Jelang PKKMB 2025, Maba ISI BALI Laksanakan Persembahyangan Bersama

Jelang PKKMB 2025, Maba ISI BALI Laksanakan Persembahyangan Bersama

Foto: Maba ISI BALI mengikuti persembahyangan bersama di Pura Padma Nareswara ISI BALI pada Jumat (8/8)

Sebanyak 1043 mahasiswa baru (maba) Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI) bersiap mengikuti kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Tahun 2025 yang akan digelar pada 11–13 Agustus 2025 mendatang. Menjelang pelaksanaan PKKMB, maba yang beragama Hindu mengikuti persembahyangan bersama di Pura Padma Nareswara ISI BALI pada Jumat (8/8), bertepatan dengan Purnama Sasih Karo.

Persembahyangan ini menjadi salah satu bentuk penyucian diri sekaligus ungkapan rasa syukur sebelum secara resmi memulai perjalanan akademik di lingkungan kampus seni. Kegiatan ini juga menjadi simbol integrasi antara nilai-nilai spiritual dan akademik yang dijunjung tinggi di ISI BALI, sekaligus memperkenalkan budaya kampus yang sarat dengan kearifan lokal kepada seluruh maba ISI BALI. (ISIBALI/Humas)

ISI BALI Terima Kunjungan Kehormatan Wamenlu Jepang

ISI BALI Terima Kunjungan Kehormatan Wamenlu Jepang

Foto: Wamenlu Jepang Akiko Ikuina, Konjen Jepang di Denpasar Miyakawa Katsutoshi, Rektor ISI BALI Prof. Dr. Wayan Adnyana, beserta jajaran pimpinan ISI BALI di Ruang Kirtya Sabha Mahottama, Gedung Citta Kelangen ISI BALI, Rabu (23/7).

Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI) menerima kunjungan kehormatan Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Jepang, Akiko Ikuina, beserta delegasi pada Rabu (23/7), bertempat di Ruang Kirtya Sabha Mahottama, Gedung Citta Kelangen ISI BALI. Kunjungan ini disambut langsung oleh jajaran pimpinan struktural di lingkungan ISI BALI.

Dalam suasana penuh kehangatan, Akiko Ikuina menyampaikan apresiasi mendalam atas sambutan yang diberikan ISI BALI. Ia mengaku terpukau dengan penampilan tari tradisional yang dibawakan oleh mahasiswa ISI BALI. Turut hadir dalam kunjungan ini Konsul Jenderal Jepang di Denpasar, Miyakawa Katsutoshi, yang juga memberikan dukungan atas peningkatan kolaborasi bidang seni dan pendidikan antara kedua negara.

Rektor ISI BALI dalam sambutannya menyampaikan bahwa dalam empat tahun terakhir, ISI BALI telah menjalin hubungan yang semakin erat dengan institusi pendidikan seni dan desain di Jepang. Salah satu wujud nyata kolaborasi ini adalah program internasional Bali Nata Bhuwana. Pada tahun 2024, ISI BALI berpartisipasi dalam Geidai Art Festival di Okinawa, bekerja sama dengan Okinawa Prefectural University of Arts. Dalam kegiatan tersebut, 20 dosen dan mahasiswa ISI BALI turut ambil bagian dalam pertunjukan, lokakarya, dan penandatanganan perjanjian kerja sama.

Rektor juga menambahkan bahwa ISI BALI telah melakukan kunjungan ke Kunitachi College of Music, yang menghasilkan penandatanganan Memorandum of Understanding serta hibah 18 instrumen tiup. “Instrumen ini sangat memperkaya koleksi kami dan meningkatkan pengalaman belajar serta performa orkestra ISI BALI,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa kunjungan Wamenlu Jepang ini merupakan momentum strategis untuk memperkuat hubungan antara ISI BALI dan mitra-mitra pendidikan tinggi seni dan desain di Jepang. “Kami optimis kunjungan ini membuka lebih banyak peluang kolaborasi bertaraf internasional yang bereputasi tinggi,” pungkasnya. (ISIBALI/Humas)

ISI BALI Gelar Seminar Internasional Bali-Bhuwana Waskita V 2025

ISI BALI Gelar Seminar Internasional Bali-Bhuwana Waskita V 2025

Refleksi 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer

Foto: Seminar Internasional Bali-Bhuwana Waskita V 2025 bertema Pram–Bhuwana–Prana “Pramoedya–World–Paradigms” (Reflecting 100 years of Pramoedya Ananta Toer)  di Ruang Kirtya Sabha Mahottama, Selasa (29/7).

Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI) menyelenggarakan Seminar Internasional Bali-Bhuwana Waskita V 2025 bertema Pram–Bhuwana–Prana “Pramoedya–World–Paradigms” (Reflecting 100 years of Pramoedya Ananta Toer)  pada Selasa, 29 Juli 2025, di kampus ISI BALI. Seminar ini digelar sebagai bentuk penghormatan atas 100 tahun tokoh sastra legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Bali–Bhuwana Waskita V 2025 merupakan program kolaboratif antara ISI BALI, Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) Korea, dan Korea Association of Malay-Indonesian Studies (KAMIS). Melalui tema “Pramoedya’s Earth,” seminar ini mengundang para akademisi, seniman, dan penulis dari berbagai penjuru dunia untuk mengkaji karya, ideologi, persona, dan perjuangan Pramoedya dari berbagai sudut pandang.

Ketua Senat ISI BALI, Dr. Ni Made Arshiniwati, SST, M.Si. dalam sambutannya mengatakan Dikenal sebagai sastrawan terbesar Indonesia di abad ke-20, karya-karya Pramoedya mengangkat tema besar tentang kemanusiaan, perjuangan, dan keadilan sosial. Karismanya sebagai penulis dan pemikir tercermin dalam kekuatan narasi yang telah diterjemahkan ke lebih dari lima puluh bahasa asing. Seminar ini menjadi ruang diskusi dan refleksi atas warisan intelektualnya yang terus relevan di masa kini. “Kegiatan ini bukan hanya menjadi ajang ilmiah, tetapi juga menjadi upaya membangun dialog lintas budaya dan lintas disiplin mengenai pemikiran kritis yang melekat pada figur Pramoedya,” ujarnya.

Seminar dibuka dengan pemutaran video dari Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Dr. Fadli Zon, yang menyampaikan pidato kunci (keynote speech). Sejumlah pembicara undangan yang hadir dalam sesi pleno, antara lain Prof. Dr. Qie Lisha dari Peking University, Tiongkok; Prof. Dr. Koh Young Hun dari Hankuk University of Foreign Studies, Korea; Prof. Dr. Wayan Kun Adnyana dari ISI BALI, Indonesia; serta seniman pertunjukan dan pendiri Titimangsa Foundation, Happy Salma.

Prof. Dr. Qie Lisha dari Peking University memaparkan bahwa karya Pramoedya Ananta Toer telah banyak dikenalkan dalam sejarah sastra Indonesia di Tiongkok melalui berbagai publikasi penting. Ia menyoroti kontribusi Prof. Liang Liji yang menulis History of Indonesian Literature (2003), buku paling awal dan komprehensif di Tiongkok, yang mengidentifikasi dua ciri utama karya Pram: semangat nasionalisme dan pandangan kemanusiaan.

“With accelerating cultural diplomacy between China and Indonesia, Pramoedya studies are poised to attract heightened attention from a new generation of scholars. It is strongly anticipated that in the near future, Pramoedya studies in China will produce more significant academic contributions, offering new and creative insights into Indonesian literature and society (dengan semakin cepatnya diplomasi budaya antara Tiongkok dan Indonesia, studi tentang Pramoedya diperkirakan akan menarik perhatian lebih besar dari generasi baru para akademisi. Diharapkan kuat bahwa dalam waktu dekat, studi Pramoedya di Tiongkok akan menghasilkan kontribusi akademik yang lebih signifikan, serta menawarkan wawasan baru dan kreatif tentang sastra dan masyarakat Indonesia),” ujar Prof Qie Lisha.

Dalam paparannya, Happy Salma mengisahkan bagaimana perjalanan seninya di dunia teater tak lepas dari pengaruh karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Ia menekankan bahwa tokoh Nyai Ontosoroh dari Bumi Manusia menjadi titik tolak penting dalam pengembaraan teaternya, yang dipentaskan di berbagai kota dan kembali ditampilkan dalam perayaan Seabad Pramoedya di Blora. Melalui karya seperti Bunga Penutup Abad, Namaku Pram, program audio Sandiwara Sastra, hingga Di Tepi Sejarah, Happy terus menerjemahkan semangat dan pemikiran Pram ke dalam berbagai medium seni. Baginya, seni pertunjukan adalah cara untuk menghidupkan kembali warisan intelektual Pramoedya serta menyuarakan kebenaran, keadilan, dan sejarah yang terlupakan.

Prof. Dr. Koh Young Hun dari Hankuk University of Foreign Studies, Korea, memaparkan bahwa kemanusiaan merupakan inti dari karya dan pemikiran Pramoedya Ananta Toer. Seperti halnya Han Kang, sastrawan Korea peraih Nobel Sastra 2024, yang menulis dari cinta terhadap manusia dan sejarah bangsanya, Pramoedya juga menciptakan karya-karya yang berpijak pada simpati terhadap rakyat kecil, penolakan terhadap kolonialisme, ketidakadilan sosial, dan penindasan terhadap perempuan.

Melalui tokoh-tokohnya dalam Perburuan, Keluarga Gerilya, hingga tetralogi Bumi Manusia, Pramoedya menampilkan nilai-nilai humanisme, penolakan balas dendam, serta perlawanan terhadap sistem feodal dan penjajahan. Koh menyebut bahwa karya-karya ini tidak sekadar memotret sejarah, tapi juga menawarkan pandangan baru—membangkitkan kesadaran pembaca tentang martabat dan kemerdekaan manusia Indonesia.

Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan ‘Kun’ Adnyana menyampaikan materi berjudul The Earth and Humanity Exhibition (Pram–Bhuwana–Patra) A Process of Transposing Discourse and Creative Experience. Pameran ini mentransformasikan gagasan-gagasan Pramoedya Ananta Toer ke dalam karya seni visual lintas medium sebagai bentuk refleksi atas isu kemanusiaan, ketidakadilan, ekologi, dan perlawanan terhadap patriarki dan kolonialisme. Tokoh-tokoh seperti Nyai Ontosoroh dan Minke dijadikan simbol perjuangan, kebebasan berpikir, dan identitas dalam konteks sosial kekinian.

Selain pembicara utama, seminar ini juga menghadirkan 27 pemakalah dari kalangan dosen dan akademisi, baik dari universitas dalam negeri maupun luar negeri, yang terlibat dalam sesi panel call- for-papers. Sesi ini dibagi ke dalam 3 tema bahasan, yakni Re-reading Pramoedya’s Activism / Pramoedya and Nation, Re-reading text of Pramoedya/ Pramoedya and His Word, dan Re-Imagining of Pramoedya/ Pramoedya and Beyond.

Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan monumental ini, ISI BALI juga menggelar Bali–Bhuwana Rupa V 2025, sebuah pameran seni rupa internasional yang mempertemukan karya-karya seniman kontemporer dari Indonesia dan berbagai negara. Pameran ini menghadirkan tafsir visual atas pemikiran Pramoedya, bukan sekadar ilustrasi karya sastra, melainkan pembacaan ulang secara artistik terhadap gagasan-gagasannya yang progresif dan visioner. (ISIBALI/Humas)

Pameran Internasional Seni Rupa dan Desain BALI–BHUWANA RUPA “PRAM–BHUWANA–PATRA” (Earth and Humanity)

Pameran Internasional Seni Rupa dan Desain BALI–BHUWANA RUPA “PRAM–BHUWANA–PATRA” (Earth and Humanity)

Merayakan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer Lewat Tafsir Visual Lintas Medium

Denpasar, 29 Juli 2025 — Sebuah peristiwa budaya yang melampaui sekadar perayaan estetika tengah berlangsung di Nata-Citta Art Space (N-CAS), Institut Seni Indonesia (ISI) Bali. Bertajuk Pram–Bhuwana–Patra: Earth and Humanity, pameran internasional seni rupa dan desain ini menghadirkan 63 perupa dari Indonesia dan mancanegara, dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925–2006).

Diselenggarakan pada 29 Juli hingga 7 Agustus 2025, dan menjadi bagian dari Festival Bali Padma Bhuwana V, pameran ini lahir dari kolaborasi antara ISI Bali, Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), dan Korea-Indonesia Centre (KIC). Lebih dari sekadar mengenang, Pram–Bhuwana–Patra menghadirkan ruang tafsir atas pemikiran dan semangat Pramoedya melalui karya-karya seni yang membentang lintas medium: dari lukisan, fotografi, kriya, busana, keramik, hingga instalasi dan media baru.

“Karya Pram sepatutnya tidak hanya dikenang lewat teks, tetapi harus dibaca ulang melalui bahasa rupa, dalam konteks zaman yang terus bergerak,” ujar Prof. Dr. I Wayan Kun Adnyana, Rektor ISI Bali sekaligus kurator pameran.

Dari Kata ke Rupa: Membaca Kemanusiaan Hari Ini

Mengangkat tema Earth and Humanity (Bumi dan Manusia), pameran ini tidak hanya menampilkan tokoh-tokoh legendaris dari novel Bumi Manusia seperti Nyai Ontosoroh, Annelies, atau Minke. Melainkan, ia mengolah kembali warisan pemikiran Pram sebagai lensa kritis untuk menyoroti isu-isu kontemporer: krisis lingkungan, ketimpangan sosial, patriarki yang tak kunjung padam, serta trauma sejarah yang masih menganga.

Alih medium dari sastra ke seni rupa menjadi proses interpretasi yang kaya: negosiasi antara teks dan konteks, antara narasi historis dan refleksi kekinian. Sosok-sosok perempuan dalam karya Pram, misalnya, dihidupkan kembali bukan sebagai figur pasif, melainkan sebagai simbol agensi, luka, dan kekuatan.

Dalam karya Arka Nyai (Ni Luh Ayu Pradnyani Utami), Sekar Kolonial (Tjokorda Gde Abinanda Sukawati), dan Kala Rau dan Indrayudha (A.A. Anom Mayun Tenaya), karakter Nyai Ontosoroh menjelma dalam desain busana yang merepresentasikan keteguhan, kecerdasan, dan martabat perempuan di tengah ketidakadilan.

Di sisi lain, karya Sisa Tubuh, Sisa Tanah (Aprililia) dan Trinity (Nyoman Sani) menyoroti sisi rapuh sosok Annelies, sebagai metafora generasi yang tercerabut dari akar dan ruang pulang—potret batin manusia yang kehilangan pijakan di tengah zaman yang gaduh.

Kesadaran Ekologi dan Lintas Generasi

Seni tak hanya berbicara tentang masa lalu. Ia juga menyuarakan kegelisahan hari ini. Lewat medium tiga dimensi, para seniman menyampaikan kritik atas eksploitasi alam dan hilangnya nilai-nilai spiritual. Dalam karya Paradoks Seribu Bunga (Nyoman Suardina), tubuh manusia dihiasi bunga artifisial sebagai metafora keindahan palsu dalam budaya citra. Sementara Menatap Luka Bumi (Ida Ayu Gede Artayani) menggambarkan penderitaan ekologis lewat wajah-wajah yang saling tatap di atas ranting mati.

Dalam fashion art, seniman seperti Dewa Ayu Putu Leliana Sari dan Tiartini Mudarahayu merajut narasi perempuan dalam bentuk kebaya, kain bordir, dan instalasi partisipatif yang menyentuh tema trauma keluarga dan penghapusan identitas.

Fotografi sebagai Arsip dan Memori Kolektif

Bagian paling menggugah dari pameran ini hadir dalam karya-karya fotografi yang melampaui fungsi dokumenter. Mereka menjadi ruang ekspresi atas luka sejarah dan kekerasan sistemik.

Karya The Day After–Without Us oleh fotografer Korea Joo Yong-seong menyoroti nasib perempuan “camptown” pasca-Perang Korea yang menjadi korban industri seks militer. Sementara Rustling Whisper of the Wind oleh Sung Namhun menghadirkan lanskap bekas pembantaian Jeju 4.3 yang ditangkap lewat teknik Polaroid memburam—simbol trauma yang tak terhapus.

“Fotografi tak hanya menyimpan citra, ia juga menyimpan luka. Melalui cahaya dan kontras, para fotografer menyuarakan kembali sejarah yang dibungkam,” ujar Jeon Dongsu, kurator asal Korea yang terlibat dalam pameran ini.

Tidak hanya seniman Indonesia, pameran ini juga menghadirkan perupa internasional seperti Ted van Der Hulst (Belanda), Aimery Joessel (Perancis), dan Paul Trinidad (Australia).

Dalam Colonial Threads, Van Der Hulst menyoroti tubuh albino Indonesia dalam balutan kolonial, mengangkat isu representasi visual dan warisan kuasa. Joessel menampilkan potret humanistik atas Ibu Hindun, petani lokal yang mengolah tanah dengan keteguhan senyap. Adapun Trinidad menelusuri relasi manusia dan alam melalui instalasi lintas budaya yang menyandingkan gurun Australia, tari Toraja, dan filosofi dualitas Bali.

Peristiwa Budaya, Bukan Sekadar Pameran

Pameran ini juga menayangkan video wawancara langka antara Pramoedya dan Prof. Koh Young Hun, Indonesianis asal Korea. Dalam kutipan rekaman tersebut, Pram berkata, “Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.” Sebuah pernyataan yang kini menemukan gaung baru melalui seni rupa.

“Digagas oleh Prof. Koh Young Hun, Indonesianis terkemuka, penelaah karya dan sosok Pram, bersama kami  kurator, simposium dan pameran ini membentang sebagai ruang interaksi pemikiran berikut capaian seni visual. Salah satu penanda penting dalam pameran ini adalah petikan video wawancara Prof. Koh dengan Pramoedya, buah pertemuan puluhan tahun, “ ujar Warih Wisatsana, penyair dan salah satu kurator.

Pameran Bali Bhuwana Rupa dan Simposium Internasional ini menghadirkan juga tokoh-tokoh pemikir dan seniman mumpuni dari berbagai negara. Salah satunya adalah Happy Salma yang bertimbang renungan pengalamannya saat memerankan Nyai Ontosoroh pada berbagai panggung di tanah air, termasuk Blora, tanah kelahiran Pram. Sebuah napas panjang yang menghidupkan kembali tokoh perempuan yang melampaui zaman.

Peristiwa ini mempertemukan pemikiran Pram dengan gaung kemanusiaan yang melampaui batas geografis. Han Kang, sastrawan Korea Selatan peraih Nobel Sastra tahun 2024, menggemakan tentang cinta pada sesama manusia serta keyakinan akan masa lalu yang bisa menyelamatkan masa kini. Pandangan ini senapas dengan semangat Pram yang menempatkan manusia sebagai pusat perjuangan sejarah. Kepedulian Han Kang pun sejalan dengan karya-karya para fotografer Korea dalam pameran ini, yang mengabadikan jejak kekerasan dan tragedi kemanusiaan sebagai peringatan dan renungan lintas generasi.

Melalui benang merah pemikiran Pramoedya, Han Kang, dan para seniman lintas disiplin, pameran ini menegaskan bahwa sastra, seni, dan sejarah bukan sekadar artefak masa lalu, melainkan medan keberanian untuk menyuarakan keadilan, dan martabat kemanusiaan.

Sebagai ajang lintas generasi dan lintas disiplin, Pram–Bhuwana–Patra menunjukkan bahwa seni—seperti juga sastra—adalah ruang untuk menyimak jiwa zaman. Ia bisa menyembuhkan, menggugat, dan menyuarakan kembali apa yang nyaris luput dari ingatan kolektif.

Konsul Jenderal Tiongkok dan Presiden SACM Kunjungi ISI BALI Bahas Kolaborasi Strategis Bidang Seni dan Budaya

Konsul Jenderal Tiongkok dan Presiden SACM Kunjungi ISI BALI Bahas Kolaborasi Strategis Bidang Seni dan Budaya

Foto: Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan Adnyana menyerahkan cendera mata kepada kunjungan Konsul Jenderal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Denpasar, Mr. Zhang Zhishengdan dalam pertemuan di Kampus ISI BALI, Minggu (13/7).

Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI) menerima kunjungan Konsul Jenderal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Denpasar, Mr. Zhang Zhishengdan dan Presiden Shanghai Arts Museum (SACM), Mr. Hu Muqing dalam pertemuan hangat yang berlangsung di Ruang Sabha Citta Mahottama, Minggu (13/7). Delegasi ini disambut langsung oleh Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan Adnyana beserta jajaran pimpinan, termasuk para dekan dan kepala biro.

Hadir dalam kunjungan tersebut Konsul Jenderal RRT di Denpasar Mr. Zhang Zhisheng, Wakil Konsul Ms. Tang Lingyi, Presiden Shanghai Arts Collection Museum Mr. Hu Muqing, dan Kepala Komunikasi Internasional SACM Ms. Marie Mao

Dalam pertemuan tersebut, delegasi SACM turut membawa sejumlah karya seni lukis milik dosen-dosen ISI BALI yang sebelumnya telah dipamerkan dalam sebuah pameran seni internasional bergengsi di Shanghai pada bulan Juni 2024.

Foto: Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan Adnyana beserta jajaran pimpinan bersama Presiden Shanghai Arts Collection Museum di Kampus ISI BALI, Minggu (13/7).

Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan Adnyana yang menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih atas kepercayaan pihak Tiongkok terhadap ISI BALI sebagai mitra strategis dalam bidang seni dan budaya. Rektor ISI BALI juga menyampaikan harapan agar kolaborasi yang telah terjalin selama ini dapat berkembang ke arah yang lebih konkret dan berkelanjutan.

Presiden SACM, Mr. Hu Muqing, menyampaikan apresiasi atas kerja sama yang telah berlangsung antara SACM dan ISI BALI. Ia menekankan bahwa hubungan budaya yang dibangun melalui seni dapat menciptakan pemahaman yang lebih dalam antarbangsa. Dalam kesempatan tersebut, Mr. Hu juga membahas peluang partisipasi ISI Bali dalam ajang China International Import Expo (CIIE), sebuah pameran besar yang diselenggarakan oleh pemerintah Tiongkok untuk menampilkan produk-produk dan karya unggulan dari berbagai negara di dunia.

Sementara itu, Konsul Jenderal RRT, Mr. Zhang Zhisheng, menyampaikan penghargaan yang tinggi terhadap ISI BALI sebagai lembaga seni yang memainkan peran penting dalam menjaga, mengembangkan, dan memperkenalkan seni budaya Bali ke dunia internasional. Ia menilai ISI BALI sebagai pusat seni yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki posisi strategis dalam membangun diplomasi budaya.

“Kunjungan ini bukan sekadar seremonial, tetapi menjadi simbol komitmen bersama untuk terus mempererat hubungan antara Tiongkok dan Indonesia melalui jalur seni dan budaya. Kami percaya ISI BALI memiliki peran penting dalam membangun jembatan persahabatan antarbangsa,” ujar Konsul Jenderal.  (ISIBALI/Humas)

The Butterflies of Catur Warna

The Butterflies of Catur Warna

Denpasar, 16 Juli 2025 – Kelompok 3(+1) dari Kelas Penciptaan Seni Inovatif Program Pascasarjana ISI Bali dengan hormat mengumumkan penyelenggaraan “The Butterflies of Catur Warna,” sebuah seni rupa pertunjukan berbasis masyarakat yang berlokasi di Pantai Karang pada hari Sabtu, 19 Juli 2025, pukul 15.00 – 16.00 WITA.

Karya ini merupakan eksplorasi konseptual terhadap dinamika kondisi mental manusia khususnya hubungan antara anak dan orang tua, diartikulasikan melalui metafora “The Butterflies of Catur Warna.” Pada awalnya kupu-kupu ini merepresentasikan para praktisi seni yang terlibat—yaitu Durga Laksmi (Perupa), Rai Muliyana (Fotografer), Wahyu Putra (Penari Tuli), dan Stary Brosnan (Interpreter)— serta 12 partisipan yang terlibat dengan memposisikan diri sebagai; yang mengalami atau hanya merepresentasikan pengalaman kesepian individu lainnya, yang sering kali diakibatkan oleh disrupsi komunikasi interpersonal antara anak dan orang tua. Dan akhirnya representasi kupu-kupu ini berkembang menjadi fragilitas sekaligus keindahan psike manusia dalam pencarian konektivitas dan pemahaman.

Konsep Catur Warna, yang secara etimologis berarti empat warna, dalam konteks ini berfungsi sebagai spektrum representasi kondisi mental. Representasi Catur Warna pada emosi intens dapat menjadi mengarah kedua hal yang dianggap positif dan negatif tergantung bagaimana cara untuk mengelola emosi-emosi intens tersebut. Merah; gairahkemarahan, putih; kedamaian-kehampaan, kuning; keceriaan-kecemasan, hitam; misteriduka Proses kreatif pertunjukan ini diawali dengan pengumpulan data kualitatif melalui Google Form untuk mengidentifikasi simbol-simbol keseharian yang mengindikasikan kualitas hubungan, baik positif maupun negatif, dari perspektif anak dan orang tua.

Simbol-simbol tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam seni rupa pertunjukan berbasis masyarakat “The Butterflies of Catur Warna,” yang menitikberatkan pada partisipasi aktif masyarakat umum. Inisiatif kolaboratif ini diharapkan dapat memicu efek kupu-kupu (butterfly effect) dalam diskursus sosial. Kami berasumsi bahwa intervensi artistik berskala mikro yang mengintegrasikan isu-isu psikologis dapat memicu dampak makro di masa mendatang. “The Butterflies of Catur Warna” melampaui fungsi performatif, berfungsi sebagai katalisator refleksi dan dialog, serta langkah awal menuju pemahaman dan empati yang komprehensif.

Sebagai kulminasi dari proyek ini, hasil kolaborasi akan disempurnakan melalui Forum Group Discussion (FGD) dan/atau pameran, yang diharapkan akan memperkaya khazanah pengetahuan kolektif mengenai interaksi manusia dan kesejahteraan mental.

Loading...