Merayakan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer Lewat Tafsir Visual Lintas Medium
Denpasar, 29 Juli 2025 — Sebuah peristiwa budaya yang melampaui sekadar perayaan estetika tengah berlangsung di Nata-Citta Art Space (N-CAS), Institut Seni Indonesia (ISI) Bali. Bertajuk Pram–Bhuwana–Patra: Earth and Humanity, pameran internasional seni rupa dan desain ini menghadirkan 63 perupa dari Indonesia dan mancanegara, dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925–2006).
Diselenggarakan pada 29 Juli hingga 7 Agustus 2025, dan menjadi bagian dari Festival Bali Padma Bhuwana V, pameran ini lahir dari kolaborasi antara ISI Bali, Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), dan Korea-Indonesia Centre (KIC). Lebih dari sekadar mengenang, Pram–Bhuwana–Patra menghadirkan ruang tafsir atas pemikiran dan semangat Pramoedya melalui karya-karya seni yang membentang lintas medium: dari lukisan, fotografi, kriya, busana, keramik, hingga instalasi dan media baru.
“Karya Pram sepatutnya tidak hanya dikenang lewat teks, tetapi harus dibaca ulang melalui bahasa rupa, dalam konteks zaman yang terus bergerak,” ujar Prof. Dr. I Wayan Kun Adnyana, Rektor ISI Bali sekaligus kurator pameran.
Dari Kata ke Rupa: Membaca Kemanusiaan Hari Ini
Mengangkat tema Earth and Humanity (Bumi dan Manusia), pameran ini tidak hanya menampilkan tokoh-tokoh legendaris dari novel Bumi Manusia seperti Nyai Ontosoroh, Annelies, atau Minke. Melainkan, ia mengolah kembali warisan pemikiran Pram sebagai lensa kritis untuk menyoroti isu-isu kontemporer: krisis lingkungan, ketimpangan sosial, patriarki yang tak kunjung padam, serta trauma sejarah yang masih menganga.
Alih medium dari sastra ke seni rupa menjadi proses interpretasi yang kaya: negosiasi antara teks dan konteks, antara narasi historis dan refleksi kekinian. Sosok-sosok perempuan dalam karya Pram, misalnya, dihidupkan kembali bukan sebagai figur pasif, melainkan sebagai simbol agensi, luka, dan kekuatan.
Dalam karya Arka Nyai (Ni Luh Ayu Pradnyani Utami), Sekar Kolonial (Tjokorda Gde Abinanda Sukawati), dan Kala Rau dan Indrayudha (A.A. Anom Mayun Tenaya), karakter Nyai Ontosoroh menjelma dalam desain busana yang merepresentasikan keteguhan, kecerdasan, dan martabat perempuan di tengah ketidakadilan.
Di sisi lain, karya Sisa Tubuh, Sisa Tanah (Aprililia) dan Trinity (Nyoman Sani) menyoroti sisi rapuh sosok Annelies, sebagai metafora generasi yang tercerabut dari akar dan ruang pulang—potret batin manusia yang kehilangan pijakan di tengah zaman yang gaduh.
Kesadaran Ekologi dan Lintas Generasi
Seni tak hanya berbicara tentang masa lalu. Ia juga menyuarakan kegelisahan hari ini. Lewat medium tiga dimensi, para seniman menyampaikan kritik atas eksploitasi alam dan hilangnya nilai-nilai spiritual. Dalam karya Paradoks Seribu Bunga (Nyoman Suardina), tubuh manusia dihiasi bunga artifisial sebagai metafora keindahan palsu dalam budaya citra. Sementara Menatap Luka Bumi (Ida Ayu Gede Artayani) menggambarkan penderitaan ekologis lewat wajah-wajah yang saling tatap di atas ranting mati.
Dalam fashion art, seniman seperti Dewa Ayu Putu Leliana Sari dan Tiartini Mudarahayu merajut narasi perempuan dalam bentuk kebaya, kain bordir, dan instalasi partisipatif yang menyentuh tema trauma keluarga dan penghapusan identitas.
Fotografi sebagai Arsip dan Memori Kolektif
Bagian paling menggugah dari pameran ini hadir dalam karya-karya fotografi yang melampaui fungsi dokumenter. Mereka menjadi ruang ekspresi atas luka sejarah dan kekerasan sistemik.
Karya The Day After–Without Us oleh fotografer Korea Joo Yong-seong menyoroti nasib perempuan “camptown” pasca-Perang Korea yang menjadi korban industri seks militer. Sementara Rustling Whisper of the Wind oleh Sung Namhun menghadirkan lanskap bekas pembantaian Jeju 4.3 yang ditangkap lewat teknik Polaroid memburam—simbol trauma yang tak terhapus.
“Fotografi tak hanya menyimpan citra, ia juga menyimpan luka. Melalui cahaya dan kontras, para fotografer menyuarakan kembali sejarah yang dibungkam,” ujar Jeon Dongsu, kurator asal Korea yang terlibat dalam pameran ini.
Tidak hanya seniman Indonesia, pameran ini juga menghadirkan perupa internasional seperti Ted van Der Hulst (Belanda), Aimery Joessel (Perancis), dan Paul Trinidad (Australia).
Dalam Colonial Threads, Van Der Hulst menyoroti tubuh albino Indonesia dalam balutan kolonial, mengangkat isu representasi visual dan warisan kuasa. Joessel menampilkan potret humanistik atas Ibu Hindun, petani lokal yang mengolah tanah dengan keteguhan senyap. Adapun Trinidad menelusuri relasi manusia dan alam melalui instalasi lintas budaya yang menyandingkan gurun Australia, tari Toraja, dan filosofi dualitas Bali.
Peristiwa Budaya, Bukan Sekadar Pameran
Pameran ini juga menayangkan video wawancara langka antara Pramoedya dan Prof. Koh Young Hun, Indonesianis asal Korea. Dalam kutipan rekaman tersebut, Pram berkata, “Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.” Sebuah pernyataan yang kini menemukan gaung baru melalui seni rupa.
“Digagas oleh Prof. Koh Young Hun, Indonesianis terkemuka, penelaah karya dan sosok Pram, bersama kami kurator, simposium dan pameran ini membentang sebagai ruang interaksi pemikiran berikut capaian seni visual. Salah satu penanda penting dalam pameran ini adalah petikan video wawancara Prof. Koh dengan Pramoedya, buah pertemuan puluhan tahun, “ ujar Warih Wisatsana, penyair dan salah satu kurator.
Pameran Bali Bhuwana Rupa dan Simposium Internasional ini menghadirkan juga tokoh-tokoh pemikir dan seniman mumpuni dari berbagai negara. Salah satunya adalah Happy Salma yang bertimbang renungan pengalamannya saat memerankan Nyai Ontosoroh pada berbagai panggung di tanah air, termasuk Blora, tanah kelahiran Pram. Sebuah napas panjang yang menghidupkan kembali tokoh perempuan yang melampaui zaman.
Peristiwa ini mempertemukan pemikiran Pram dengan gaung kemanusiaan yang melampaui batas geografis. Han Kang, sastrawan Korea Selatan peraih Nobel Sastra tahun 2024, menggemakan tentang cinta pada sesama manusia serta keyakinan akan masa lalu yang bisa menyelamatkan masa kini. Pandangan ini senapas dengan semangat Pram yang menempatkan manusia sebagai pusat perjuangan sejarah. Kepedulian Han Kang pun sejalan dengan karya-karya para fotografer Korea dalam pameran ini, yang mengabadikan jejak kekerasan dan tragedi kemanusiaan sebagai peringatan dan renungan lintas generasi.
Melalui benang merah pemikiran Pramoedya, Han Kang, dan para seniman lintas disiplin, pameran ini menegaskan bahwa sastra, seni, dan sejarah bukan sekadar artefak masa lalu, melainkan medan keberanian untuk menyuarakan keadilan, dan martabat kemanusiaan.
Sebagai ajang lintas generasi dan lintas disiplin, Pram–Bhuwana–Patra menunjukkan bahwa seni—seperti juga sastra—adalah ruang untuk menyimak jiwa zaman. Ia bisa menyembuhkan, menggugat, dan menyuarakan kembali apa yang nyaris luput dari ingatan kolektif.
Foto: Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan Adnyana menyerahkan cendera mata kepada kunjungan Konsul Jenderal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Denpasar, Mr. Zhang Zhishengdan dalam pertemuan di Kampus ISI BALI, Minggu (13/7).
Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI) menerima kunjungan Konsul Jenderal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Denpasar, Mr. Zhang Zhishengdan dan Presiden Shanghai Arts Museum (SACM), Mr. Hu Muqing dalam pertemuan hangat yang berlangsung di Ruang Sabha Citta Mahottama, Minggu (13/7). Delegasi ini disambut langsung oleh Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan Adnyana beserta jajaran pimpinan, termasuk para dekan dan kepala biro.
Hadir dalam kunjungan tersebut Konsul Jenderal RRT di Denpasar Mr. Zhang Zhisheng, Wakil Konsul Ms. Tang Lingyi, Presiden Shanghai Arts Collection Museum Mr. Hu Muqing, dan Kepala Komunikasi Internasional SACM Ms. Marie Mao
Dalam pertemuan tersebut, delegasi SACM turut membawa sejumlah karya seni lukis milik dosen-dosen ISI BALI yang sebelumnya telah dipamerkan dalam sebuah pameran seni internasional bergengsi di Shanghai pada bulan Juni 2024.
Foto: Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan Adnyana beserta jajaran pimpinan bersama Presiden Shanghai Arts Collection Museum di Kampus ISI BALI, Minggu (13/7).
Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan Adnyana yang menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih atas kepercayaan pihak Tiongkok terhadap ISI BALI sebagai mitra strategis dalam bidang seni dan budaya. Rektor ISI BALI juga menyampaikan harapan agar kolaborasi yang telah terjalin selama ini dapat berkembang ke arah yang lebih konkret dan berkelanjutan.
Presiden SACM, Mr. Hu Muqing, menyampaikan apresiasi atas kerja sama yang telah berlangsung antara SACM dan ISI BALI. Ia menekankan bahwa hubungan budaya yang dibangun melalui seni dapat menciptakan pemahaman yang lebih dalam antarbangsa. Dalam kesempatan tersebut, Mr. Hu juga membahas peluang partisipasi ISI Bali dalam ajang China International Import Expo (CIIE), sebuah pameran besar yang diselenggarakan oleh pemerintah Tiongkok untuk menampilkan produk-produk dan karya unggulan dari berbagai negara di dunia.
Sementara itu, Konsul Jenderal RRT, Mr. Zhang Zhisheng, menyampaikan penghargaan yang tinggi terhadap ISI BALI sebagai lembaga seni yang memainkan peran penting dalam menjaga, mengembangkan, dan memperkenalkan seni budaya Bali ke dunia internasional. Ia menilai ISI BALI sebagai pusat seni yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki posisi strategis dalam membangun diplomasi budaya.
“Kunjungan ini bukan sekadar seremonial, tetapi menjadi simbol komitmen bersama untuk terus mempererat hubungan antara Tiongkok dan Indonesia melalui jalur seni dan budaya. Kami percaya ISI BALI memiliki peran penting dalam membangun jembatan persahabatan antarbangsa,” ujar Konsul Jenderal. (ISIBALI/Humas)
Foto: Latihan Persiapan Peed Aya PKB XLVII 2025 di Lapangan Upacara ISI BALI, Kamis (5/6).
Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI) kembali dipercaya sebagai penampil pembuka dalam Peed Aya Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII, yang akan digelar Sabtu, 21 Juni 2025. Seperti tradisi setiap tahunnya, ISI BALI membawakan tari Siwa Nataraja, sebagai bagian dari pembukaan. Namun tahun ini, ada kejutan istimewa yang membedakan penampilan ISI BALI dari tahun-tahun sebelumnya.
Jika biasanya ISI BALI tampil megah dengan barungan gamelan lengkap, tahun ini mahasiswa dan dosen kreatif ISI BALI menghadirkan komposisi tabuh kreasi baru yang hanya menggunakan instrumen pencon “Gong Guwung Gumi”. Hal ini terlihat dalam latihan yang dilakukan tim penggarap pada Kamis (5/6) di Lapangan Upacara ISI BALI.
Instrumen pencon adalah Kelompok gamelan yang berbahan logam dengan tonjolan di tengah dan memiliki berbagai ukuran. Keputusan artistik untuk hanya menggunakan instrumen pencon merupakan langkah untuk mengeksplorasi bunyi, tekstur, dan kekuatan musikalitas dari instrumen logam dalam seni pertunjukan Bali kontemporer.
Foto: Latihan Persiapan Peed Aya PKB XLVII 2025 di Lapangan Upacara ISI BALI, Kamis (5/6).
Instrumen yang digunakan dalam komposisi ini meliputi Tawa-tawa, Terompong, Terompong Semarandana, Reong, Kajar, Kempli, Gong Beri, Gong Bali, dan Gong Jawa. Ketidakhadiran instrumen berbahan kayu dan kulit justru membuka ruang untuk menciptakan atmosfer bunyi yang unik, murni metalik, dan penuh gema spiritual, sangat selaras dengan karakter simbolis Siwa sebagai penguasa transformasi dan ritme semesta.
Rektor ISI BALI Prof. Dr. Wayan ‘Kun’ Adnyana mengatakan Ketidakhadiran instrumen berbahan kayu dan kulit justru membuka ruang untuk menciptakan atmosfer bunyi yang unik, murni metalik, dan penuh gema.
“Ini adalah eksplorasi yang berani dan segar. Kami ingin menunjukkan bahwa gamelan logam, yang kadang dianggap sebagai pelengkap, sejatinya menyimpan kekuatan ekspresif luar biasa jika diberi ruang utama,” Prof. Kun Adnyana.
Garapan dengan judul R’ta Bhuwana Rena (Meraya Citta Samasta) ini semakin istimewa karena proses kreatifnya yang bersifat kolaboratif dengan melibatkan lebih dari 150 mahasiswa, dosen, hingga tenaga kependidikan. Latihan intensif pun telah dimulai sejak Maret 2025, menunjukkan dedikasi dan semangat bersama dalam menyuguhkan pertunjukan pembuka yang berkualitas. (ISIBALI/Humas)
Foto: Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan Adnyana dan Kanwil Kemenkumham Bali, Wahyu Eka Putra menunjukkan piala juara 1 untuk Sayembara Aransemen Lagu Mars KI Indonesia di Kampus ISI BALI, Selasa (10/6).
Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI) bersama Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Bali berhasil meraih Juara 1 dalam Sayembara Aransemen Lagu Mars Kekayaan Intelektual (KI) Indonesia yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kemenkumham RI. Kompetisi ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Kekayaan Intelektual Sedunia dan diikuti oleh 33 Kanwil Kemenkumham se-Indonesia.
Atas capaian gemilang ini, Kepala Kanwil Kemenkumham Bali, Wahyu Eka Putra, bersama jajaran stafnya hadir secara langsung ke kampus ISI BALI untuk menyampaikan rasa terima kasih dan kebanggaan. Rombongan disambut hangat oleh Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan ‘Kun’ Adnyana, didampingi oleh Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerja Sama, Koordinator Program Studi Seni Karawitan dan Musik, serta Ketua Satuan Pengawasan Internal (SPI) ISI BALI.
Foto: Rektor ISI BALI, Prof. Dr. Wayan Adnyana menerima kunjungan Kanwil Kemenkumham Bali, Wahyu Eka Putra di Kampus ISI BALI, Selasa (10/6).
Kemenangan ini tidak terlepas dari kerja kolaboratif tim produksi aransemen Mars KI yang dikoordinatori oleh Ketut Sumerjana, M.Sn. Tim aransemen terdiri dari para seniman dan akademisi unggulan ISI Denpasar, yaitu I Komang Darmayuda, M.Sn., Dr. Ni Wayan Ardini, M.Si., Dr. I Nyoman Kariasa, dan koreografer I Putu Bagus Bang Sada Graha, M.Sn. Dalam produksi ini juga terlibat pembina karawitan I Kadek Agus Cahaya Suputra, M.Sn., serta tim penata kostum yang terdiri dari Dr. Tjok Istri Ratna C.S., Made Tiartini Mudarahayu, M.Sn., Ni Kadek Yuni Diantari, M.Sn., Ni Putu Darmara Pradnya Paramita, M.Sn., dan Ni Luh Ayu Pradnyani Utami, M.Sn.
Sebanyak 32 mahasiswa dari Program Studi Musik, Seni Karawitan, Desain Mode, serta Produksi Film dan Televisi turut ambil bagian dalam tim produksi. Mereka berperan penting dalam berbagai aspek pertunjukan, mulai dari penggarapan musik dan gamelan, tata rias, hingga produksi video dokumentasi. (ISIBALI/Humas)
Foto: Upacara Pengambilan Sumpah, Pelantikan, dan Serah Terima Jabatan di Gedung Citta Kelangen, ISI BALI, Selasa (10/6).
Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI) menggelar Upacara Pengambilan Sumpah, Pelantikan, dan Serah Terima Jabatan pada Selasa, 10 Juni 2024, di Gedung Citta Kelangen, ISI BALI. Suasana khidmat mewarnai prosesi yang menjadi momen penting dalam penyegaran struktur kepemimpinan kampus seni terbesar di Bali ini.
Dalam acara tersebut, dilakukan pelantikan sejumlah pejabat untuk periode 2025–2029, di antaranya Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, dan Koordinator Program Studi. Selain itu, 14 dosen juga turut mengucapkan sumpah jabatan fungsional dan sumpah sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Foto: Upacara Pengambilan Sumpah, Pelantikan, dan Serah Terima Jabatan di Gedung Citta Kelangen, ISI BALI, Selasa (10/6).
Serah terima jabatan Wakil Rektor menjadi salah satu sorotan. Posisi Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni resmi diserahkan dari Dr. Anak Agung Gede Rai Remawa kepada Prof. Dr. Anak Agung Gde Bagus Udayana, S.Sn., M.Si., yang sebelumnya menjabat sebagai Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain. Sementara itu, jabatan Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan kini dipegang oleh Dr. I Made Jodog, MFA, menggantikan Prof. Dr. Drs. I Ketut Muka, M.Si. Dr. Jodog sebelumnya menjabat sebagai Ketua Satuan Pengawas Internal ISI Bali. Adapun Prof. Dr. I Komang Sudirga, S.Sn., M.Hum. tetap melanjutkan masa jabatannya sebagai Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerja Sama. (ISIBALI/Humas)
Foto: Pembukaan Bulan Bung Karno VII tahun 2025 di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali, pada Minggu (1/6).
Menandai pembukaan Bulan Bung Karno VII tahun 2025, Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI) berkolaborasi dengan Sanggar Cressendo mempersembahkan Konser Intermedium bertajuk “Kerthi Bhuwana Sidhi – Meraya Bung Karno Melihat Indonesia”. Konser ini digelar megah di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali, pada Minggu (1/6).
Garapan kolaboratif yang melibatkan dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa ISI BALI ini menyuguhkan perpaduan seni lintas disiplin—mulai dari orkestra, vocal group, solo saxophone, tari, karawitan, hingga pembacaan puisi. Pertunjukan tersebut menjadi refleksi estetika dan spiritual atas gagasan kebangsaan dan kemanusiaan Bung Karno yang dikemas dalam narasi musikal dan koreografis yang kuat.
Foto: Penabuh ISI BALI padaPembukaan Bulan Bung Karno VII tahun 2025 di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali, pada Minggu (1/6).
Konser Intermedium Kerthi Bhuwana Sidhi merupakan orkestrasi karya-karya dari tokoh-tokoh besar seperti Bung Karno, Guruh Soekarnoputra, Franky Sahilatua, Rodinda, Ian Antono, Kun Adnyana, hingga Eros Chandra. Lagu-lagu nasional yang menjadi ekspresi cinta tanah air dan penghormatan kepada Sang Proklamator diaransemen secara apik oleh musisi-musisi ISI Bali, antara lain Gede Yudis, Ketut Sumerjana, Putu Lukita, dan Guntur Prasetyo.
Keutuhan orkestra berpadu dengan musikalitas gamelan serta tembang Bali dan Jawa dalam komposisi Ketut Garwa, Saptono, dan Wahyu Dinata. Iringan musik menghidupkan ritme tari kreasi baru Tik Gelatik dan Padmaswari Kalpa karya Tjokorda Istri Padmini, Sri Wahyuni, dan Sulistyani, yang diperkaya dengan puisi Chairil Anwar, menjadikan konser ini sebagai rajutan seni masa kini yang tetap berpijak pada budaya luhur Nusantara.
Foto: Pembukaan Bulan Bung Karno VII tahun 2025 di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali, pada Minggu (1/6).
Rektor ISI Bali, Prof. Dr. Wayan ‘Kun’ Adnyana, yang turut hadir dan menyaksikan langsung pertunjukan tersebut, menyampaikan apresiasinya atas semangat kebangsaan yang hidup melalui seni. “Konser ini bukan sekadar pergelaran seni, melainkan sebuah ritual budaya yang membangkitkan kembali semangat perjuangan dan cinta tanah air seperti yang dicita-citakan Bung Karno. Melalui bahasa seni, kami ingin menyuarakan nilai-nilai keindonesiaan yang harmonis, berjiwa Pancasila, dan berpandangan ke masa depan,” ujar Prof. Kun Adnyana.
Bulan Bung Karno VII yang mengusung tema Prana Jagat Kerthi: Mahakarya Bung Karno Simbol Keharmonisan Alam Semesta, resmi dibuka oleh Gubernur Bali, Dr. Ir. Wayan Koster, M.M. Acara pembukaan ini turut dihadiri oleh jajaran pemerintahan provinsi, kabupaten/kota, tokoh masyarakat, pemuda, pelajar, dan elemen masyarakat lainnya. (ISIBALI/Humas)