by admin | Oct 8, 2011 | Berita
A two-week residency in Perth by visiting artists I Made Bendi, Ni Made Rinu and I Komang Arba Wirawan has culminated in the creation of three new artworks. Whilst here they worked in two venues; the new ArtLAAB Studio (situated in the Masonic Hall on the corner of Hampton Road and Stirling Highway, Nedlands) and the Ancient Rock Studio, Byford.
The guest artists of the Faculty of Architecture, Landscape and Visual Arts (ALVA) at UWA were welcomed at an official ceremony attended by the Perth Indonesian Consul-General Bapak Syarief Syamsuri and his wife Ibu Ella Syamsuri on Monday 26 September at UWA’s Cullity Gallery.
The three artists’ have different specialities but the works all reflect their unique relationship with Balinese culture.
Rinu works in the traditional Kamasan style of painting. This 400 year old style depicts puppet-like figures to bridge literacy in pictorial language between image and text. Her work is a document which records the process of developing relations between the Faculty of Art at the Indonesian Institute of the Arts (ISI), Denpasar and the ALVA.
Bendi paints in the Balinese contemporary style. His work Purification of The Earth Mother is inspired by the ancient Lontar inscriptions of Bali, especially those found in the Siwa Tatwa stories. His work describes the process in which the earth mother is purified by the universe. In Bali a ceremonial procession about the purification of our Earth Mother is normally held once each year. The ceremony is called “Mecaru Tawur Ke Sanga”. Through this ceremony Balinese hope that nature will flourish and provide bounty for humans living in the world.
Arba’s photographic work captures a moment in the Ramayana story in which Rama, Sita and Lakshmana journey into the forest during a transforming thirty-year long pilgrimage. The photograph was taken during a dance performance by some members of the Faculty of Performing Arts (ISI ) at UWA’s Calloway Auditorium on September 27.
The three works will be on display in the Cullity Gallery until the end of October 2011.
by admin | Oct 8, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Jika bumi Bali tak melahirkan seniman I Ketut Marya, mungkin wajah perkembangan tari Bali tidak seperti sekarang. Adalah karena “pemberontakan“ laki-laki tampan yang dilahirkan di Belaluan (Denpasar) dan besar di Banjar Lebah, Tabanan, inilah yang mengobarkan inovasi seni tari yang hingga kini apinya tetap membara. Karya tarinya, Kebyar Duduk (1925) dan Oleg Tamulilingan (1952) menjadi tonggak dan pelopor cikal bakal sebuah genre seni pertunjukan yang kini disebut seni kebyar. Orisinalitas artistik dan presentasi estetik Kebyar Duduk atau juga disebut Kebyar Trompong dan Oleg Tamulilingan, tak tertandingi hingga hari ini.
Marya yang meninggal tahun 1968 dalam usia 69 tahun, meniti kesenimannya dengan asupan tari-tarian klasik. Pada usia belasan tahun ia sudah dikenal masyarakat di sekitar Tabanan sebagai penari Sisya (dalam dramatari Calonarang) dan Gandrung (sejenis tari Joged yang dibawakan penari pria). Ketika mulai menginjak dewasa, Ketut Marya mempesona penonton dengan pentas tari Jauk dan Topeng. Dari penguasaan tari klasik itu menstimulasinya kemudian berolah rasa merangkai sebuah tari baru. Adalah nuansa ritmis dan dinamis dari orkestrasi Gong Kebyar yang memicu adrenalin estetik Marya, berimprovisasi mengalirkan gerak dan meletupkan ekspresi hingga tercetuslah tari yang sebagian besar diragakan berjinjit-jinjit setengah duduk, Kebyar Duduk.
Seiring dengan kian lebarnya ruang jelajah perkembangan Gong Kebyar dari Bali Utara ke seantero Bali, nama Marya sebagai penari dan pelatih tari Kebyar Duduk juga semakin masyur. Ketokohan Marya sebagai maestro tari begitu melambung ketika ia berhasil menciptakan tari Oleg Tamulilingan pada tahun 1952. Melalui serangkaian lawatan pentasnya ke mancanegara, nama Marya pun menginternasional. Penonton Amerika dan Eropa mengagumi tariannya, mengelu-elukan namanya dengan lafal lidah mereka, Marya menjadi Mario. Menurut pakar tari Indonesia, Soedarsono, masyarakat Amerika dan Eropa menjuluki Ketut Marya The Great Mario. Nama besar Ketut Marya, selain menjadi kebanggaan masyarakat Bali dan Indonesia, kini diusung penuh respek Kabupaten Tabanan. Lihatlah, arena berkesenian yang terletak di jantung kota, diberi nama Gedung Mario. Simaklah, beberapa tahun belakangan, di Gedung Mario tersebut, sekian kali telah digelar pentas seni atau lomba tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk. Terakhir, 24-27 Agustus lalu, telah digelar pula pembinaan tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk yang diikuti oleh 24 sanggar tari se-Kabupaten Tabanan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Tabanan, sebagai penyelenggara pembinaan kedua karya Marya ini, secara khusus mendatangkan nara sumber dua penari sepuh, Ni Gusti Ayu Raka Rasmin (73 tahun) dan Ida Bagus Oka Wirjana (79 tahun), yang pernah berguru langsung kepada Marya.
Alasan mendatangkan Gusti Ayu Rasmin dan Ida Bagus Wirjana yang berasal dari Gianyar, kiranya sebagai ungkapan penghormatan pada Marya, lewat idealisme mengawal keaslian kedua tari monumental itu. Ayu Rasmin adalah penari pertama Oleg Tamulilingan yang diajarkan oleh Marya menjelang tour keliling Amerika dan Eropa pada tahun 1952. Oka Wirjana yang pada masa remajanya tinggal di Tabanan, selain sebagai pengagum juga pernah ditempa langsung oleh Marya. “Selain versi Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk yang umum dikenal masyarakat Bali, kami di Tabanan ingin melestarikan versi asli Marya,“ ujar Ni Luh Nyoman Sri Suryati, S.Sn, alumnus ISI Denpasar, pimpinan sanggar tari Sekar Rare Tabanan.
Pelatihan tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk “asli“ Marya itu, ternyata banyak mengundang minat generasi muda Tabanan. Ratusan remaja putra dan putri Tabanan dengan penuh kesungguhan mengikuti pelatihan yang diarahkan oleh Gusti Ayu Rasmin dan Oka Wirjana itu. Hasilnya, Sabtu (27/8) sore dipertontonkan kepada masyarakat umum di Gedung Mario. Sebagian tampil menari dengan pakaian latihan dan beberapa orang menari dengan kostum lengkap, diiringi sekelompok penabuh. Tak kurang dari Wakil Bupati Tabanan, Komang Gede Sanjaya, menyambut sumeringah pentas tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk itu. “Kalau saya masih muda, rasanya ingin sekali belajar tari Oleg dan Kebyar Duduk yang asli, karya seniman besar Tabanan ini,“ katanya bergairah.
Asli dan tidak asli dalam konteks tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk karya Ketut Marya tersebut, jika diperdebatkan, akan tidak berkesudahan. Sebab ketika para seniman tari kebyar tempo dulu seperti Ketut Marya, Gde Manik, atau Nyoman Kaler mentransmisikan ciptaannya diberbagai tempat di Bali, mereka selalu tergoda untuk merevisi dan mengembangkannya. Kreativitas tiada henti sesuai dengan suasana batin dan kultur lingkungan tersebut memunculkan variasi seni, tari kebyar, yang dirawat oleh masing-masing komunitas seni dan masyarakat. Di Peliatan, Gianyar, menurut Ni Gusti Ayu Raka Rasmin, tari Oleg Tamulilingan yang diajarkan I Marya padanya, masih dipertahankan dengan teguh.
Namun jika ditarik secara kultural, perhatian yang ditunjukkan Pemkab Tabanan pada cipta tari Ketut Marya selain dapat dimaknai sebagai bentuk pengayoman, tentu juga untuk meneguhkan sebuah jatidiri. Karakteristik estetik Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk serta Ketut Marya yang virtuoso (seniman hebat), sangat meyakinkan didaulat sebagai pemberi identitas dan spirit masyarakat yang berkeadaban. Bila demikian adanya semangat serta komitmen masyarakat dan Pemkab Tabanan, tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk akan berkibar lestari di Tabanan; Gedung Mario mungkin akan diberdayakan Pemkab Tabanan sebagai arena berkesenian yang berwibawa; dan patung beton Oleg Tamulilingan yang cacat tak terurus di depan gedung itu bisa jadi akan diganti pula dengan patung berbahan perunggu dalam visualisasi estetika rupa yang lebih menggugah.
Tabanan Mengusung Mario Sang Maestro Nan Virtuoso selengkapnya
by admin | Oct 7, 2011 | Berita, pengumuman
PENGUMUMAN
Di umumkan kepada seluruh dosen dan mahasiswa FSRD peserta FKI agar kumpul di gedung Natia Mandala pada:
Hari : Selasa
Tanggal : 11 Oktober 2011
Pukul : 11.30 wita
Acara : Pengarahan dari Bapak Pembantu Rektor IV
DAFTAR PESERTA FKI ISI SURAKARTA 2011
NO |
NAMA |
L/P |
PRODI |
1 |
I Ketut Alit Wijaya |
L |
Lukis |
2 |
Ni Made Yeni Rahmadewi |
P |
Lukis |
3 |
Ngakan Putu Agus Arta Wijaya |
L |
Lukis |
4 |
I Wayan agus Darmayasa |
L |
Lukis |
5 |
Ni N. Ratih Sintya Dewi Pinatih |
P |
Lukis |
6 |
Jin Dirgandi |
L |
Lukis |
7 |
I Putu Adnyana |
L |
Lukis |
8 |
Dewa Putu Budiarta |
L |
Patung |
9 |
R Kun Aji Pratama |
L |
Interior |
10 |
Anur Prasojo Mukti |
L |
Interior |
11 |
I Nyoman Tera Gradi W. |
L |
DKV |
12 |
I Komang Gede Sentanu |
L |
DKV |
13 |
Rizky Indra Brata |
L |
DKV |
14 |
Yogi |
L |
DKV |
15 |
Wardiyanta |
L |
Kriya |
16 |
Putu Kusuma |
L |
Kriya |
17 |
Desak Made Yuni |
P |
Kriya |
18 |
I Made Andy Darmawan |
L |
Fotografi |
19 |
A A GD Swabawa |
L |
Fotografi |
20 |
Ngurah Arya Sutawan |
L |
Fotografi |
21 |
Ni Made Sri Wahyuni |
P |
Fotografi |
Demikian pengungumuman ini dibuat untuk dilaksanakan sekian dan terimakasih
Denpasar, 7 Oktober 2011
Pembantu Dekan III
TTD
Drs. D.A Tirta Ray, M.Si
NIP:195704231987101001
by dwigunawati | Oct 7, 2011 | Berita, pengumuman

Jumat, 30 September 2011 16:58 WIB
London – Penggunaan instrumen pembelajaran berbasis teknologi 3D terbukti meningkatkan konsentrasi siswa di sekolah, demikian menurut sebuah penelitian.
Penelitian yang dilakukan oleh sejumlah peneliti dari Badan Penelitian Internasional (International Research Agency) menunjukkan penggunaan instrumen pembelajaran berbasis 3D meningkatkan nilai tes siswa sebanyak 17 persen.
Seperti yang diberitakan oleh BBC, penelitian tersebut dilakukan terhadap 740 siswa sekolah di Perancis, German, Italy, Belanda, Turki, Inggris dan Swedia.
Penggunaan teknologi 3D juga membuat siswa yang cenderung pemalu untuk berani berbicara di depan kelas.
Hanya beberapa sekolah di Inggris yang sudah menggunakan teknologi 3D, seperti proyektor 3D dan juga kacamata 3D, dalam proses pembelajaran.
Para siswa diuji sebelum dan sesudah pelajaran bersama satu kelompok kontrol siswa yang belajar menggunakan sumber pembelajaran sederhana.
Rata-rata 86 persen siswa yang diajar dengan metode pembelajaran 3D mempunyai hasil ujian yang meningkat. Sementara itu, hanya terdapat 52 persen siswa dari kelas yang diajar dengan metode pembelajaran tradisional yang menunjukkan peningkatan hasil ujian.
Penelitian tersebut juga menunjukkan tingkat konsentrasi siswa meningkat. Sebanyak 92 persen siswa memperhatikan pelajaran dengan teknologi 3D. Sementara itu, dalam kelas biasa, hanya 46 persen siswa memperhatikan selama pelajaran.
“Ini (penggunaan teknologi 3D) menarik perhatian siswa… teknologi ini seperti memicu ketertarikan dalam belajar yang terjaga hingga di akhir pelajaran,” kata pemimpin penelitian Prof. Anne Bamford.
Jumlah pertanyaan dari siswa juga meningkat dan para guru melaporkan bahwa mereka yang mengajukan pertanyaaan adalah siswa yang biasanya tidak mau atau jarang bertanya di kelas,” kata Bamford kepada BBC.
Para peneliti juga mengamati serangkaian pelajaran Biologi, dimana para siswa belajar mengenai fungsi tubuh.
“Siswa dapat melihat cara kerja tubuh. Mereka mempelajari jantung secara nyata, tidak statis, melihat secara langsung darah mengalir melalui katup jantung, melihat pergantian oksigen, memutar, memiringkan hingga memperbesar gambar jantung,” kata Prof. Bamford.
Guru Biologi Ros Johnson mengatakan pembelajaran bagian-bagian tubuh menggunakan proyektor 3D memberikan cara baru dalam belajar dan membaca di Abbey School
sumber : antaranews.com
by dwigunawati | Oct 7, 2011 | Berita, Galeri
Penata
Nama : Agus Ary Andika
NIM : 2007.02.008
Program Studi : Seni Karawitan
Sinopsis :
Pada zaman penjajahan colonial Belanda peperangan demi peperangan terjadi diseluruh wilayahIndonesia, tak terkecualiBalidan Khususnya di Kerajaan Badung. Sikap Raja Badung yang tidak menunjukan tanda-tanda menyerah, dan memicu perang Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906.
Semangat Puputan yang dimiliki oleh laskar Badung atau dikenal sebagai “Baladhika” yaitu pasukan perang yang gagah berani. Hal tersebut menhyentuh hasrat penata untuk mengungkapkan kedalam sebuah karya komposisi karawitan kreasi Beleganjur, Pelog Lima Nada, yang tetap berpedoman pada unsur-unsur tradisi seperti kawitan, pengawak, pengecet, atau pekaad. Dalam proses penggarapan ditonjolkan berbagai variasi pukulan seperti geguletan kendang, aksen-aksen kendang belik, gong bheri dan rebana yang ritmis, namun tetap berpijak pada unsur melodi dengan cita rasa yang harmonis, dan pukulan yang mantap, menggambarkan puputan Badung
Pendukung Karawitan :
Mahasiswa Jurusan Karawitan ISI Denpasar dan Sanggar Rare Angon SMP N 2 Abiansemal Desa Sedang, Badung.



by admin | Oct 6, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan
Unsur Mistik Pada Tembang
Pada tembang atau Gending Basur (Ginada Basur) yang dilantunkan oleh Twalen mengandung unsur mistik, karena mengungkap adanya ilmu hitam pada saat terjadinya perubahan wujud (ngelekas), hal itu dapat kita lihat pada babak III sebagai berikut:
”Liak destine mecanda
Ngawetuang wisia mandi
Ngelarang aji pangiwa
Siwa gni mwang siwa gandu
Durga sakti kearcana
Ngawe gering
Sasab grubug lan merana”. (pupuh ginada basur).
Arti bebasnya adalah :
Para pelaku mejik pada bersenang-senang
Mengeluarkan aura yang menakutkan
Bagi para yang melakukan ajaran mejik
Seperti siwa geni dan siwa gandu
Betari Durga yang dipuja
Yang menimbulkan wabah penyakit
Wabah penyakit dan perhara
Pupuh Ginada Basur di atas pada prinsipnya adalah pengundangan (pengaradan), artinya sang dalang mengundang para pelaku mistik (leak) agar datang ke tempat pementasan, guna mencoba kemampuan sang dalang itu sendiri, barang siapapun yang berani memasur (melantunkan pupuh Ginada Basur) di saat tengah malam, otomatis para pelaku mistik (leak) akan datang ke tempat di mana orang melantunkan tembang itu. Bagi orang-orang yang menganut ajaran mejik (pengeleakan) selalu mengharapkan kehancuran orang lain, dengan menghalalkan segala cara agar, orang lain kena musibah yang menyebabkan kematian.
Di bawah ini dilanjutkan pada kutipan pupuh ginada basur sebagai berikut:
”Dasaksara kaincepang
Panguripan panca geni
Manyumbah mider buana
Kaja Kelod Kangin Kauh
Pamurtyan Ongkara sungsang
Sinah ugig
Ngawe laliate nyungsang”. (pupuh ginada basur)
Arti bebasnya adalah :
Aksara yang jumlahnya sepuluh itu terus direnungkan
Yang mampu menghidupkan panca geni
Menyembah kepada empat penjuru
Utara Selatan Timur dan Barat
Yang akan melahirkan ongkara terbalik
Sudah jelas merusak
Yang membuat pengelihatan terbalik
Keterangan dari pupuh ginada di atas adalah yang dilakukan oleh orang yang belajar ilmu pengiwa, maka dia akan memeras aksara yang jumlahnya sepuluh butir itu sebagai dasar (sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya), kemudian menjadi Pancaksara. Pancaksara kemudian menjadi tri aksara, seterusnya menjadi dwi aksara, dan akhirnya menjadi ekaksara yakni Ongkara: ongkara ngadeg atau berdiri sebagai dasar panengen, dan ongkara sungsang atau terbalik sebagai dasar pengiwa. Karena keadaan menjadi terbalik maka terbalik pula persepsi orang melihat fisik pelaku ilmu hitam tersebut, seperti halnya mistik berasal dari bahasa Inggris Mistake yang artinya salah persepsi pandangan orang kepada benda hasil dari pelaku ilmu hitam tersebut. Nara sumber di atas mengindikasikan bahwa, terjadinya perubahan wujud bagi pelaku ilmu hitam akan dilihat berbeda bagi orang yang tingkatan kedyatmikannya lebih rendah dari pelaku ilmu hitam itu sendiri. Kalau kemampuan yang dimiliki lebih tinggi dari pelaku ilmu hitam itu sendiri, maka perubahan wujud itu tidak akan nampak atau orang tersebut tidak mampu dikelabui oleh pelaku ilmu hitam. Kardji dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hitam dari Bali menyebutkan bahwa, Gegendu bisa berubah wujud menjadi sapi, kerbau, kuda, yang merupakan wujud pengeleakan tingkat lima (5), akan tetapi jika kita bisa mengamati secara cermat, akan kelihatan dengan jelas bahwa kaki sapi, kerbau, kuda jadi-jadian tersebut sesungguhnya hanya berkaki tiga (3), orang yang memiliki ilmu panengen kelas tinggi akan melihat hal yang sebenarnya, yakni seorang yang memakai tongkat, berkain kancut (wiron) putih, berselimut putih, memakai kerudung seperti suster.
Di bawah ini ada lagi pupuh ginada yang memngungkap keberadaan ajaran ilmu hitam sebagai berikut:
”Mamusti masuku tunggal
Nunggalang adnyana sandhi
Japa mantra kauncarang
Ngamijilang geni murub
Tuhu luih mawisesa
Iku yukti
Brahma Semeru ngaranya”. (pupuh ginada basur).
Arti bebasnya sebagai berikut :
Berdoa posisi berdiri dengan satu kaki bertumpu di tanah
Berkonsentrasi penuh terpusat di hati
Dengan membaca mantra
Mengeluarka api berkobar-kobar
Sangat menakjubkan dan sangat dahsyat
Itulah yang disebut brahma semeru.
Pupuh Ginada Basur di atas menjelaskan bahwa orang yang telah memiliki ilmu hitam tingkat tinggi hingga tingkat kesebelas yang disebut Aji Brahma Semeru, yang mampu mengeluarkan api dari ubun-ubunnya hingga menembus langit, akan sangat membahayakan bagi orang yang terkena serangannya dengan radius tertentu. Ilmu seperti itu menurut tingkatannya adalah tingkat kedelapan. Kalau dibandingkan dengan tingkatan ilmu yang dimiliki oleh Rarung yang mencapai tingkat kesembilan, berarti Aji Brahma Semeru setingkat berada di bawah Ajian Pudak Sategal.
Unsur Mistik Pada Pertunjukan Wayang Calonarang Bagian II selengkapnya