Gong Kebyar Di Banjar Dauh Pangkung, Desa Tista

Gong Kebyar Di Banjar Dauh Pangkung, Desa Tista

Kiriman: I Kadek Budi Artawan, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

Karawitan adalah salah satu seni budaya yang ada di Pulau Bali ini. Karawitan atau sering disebut dengan gambelan sangat di sakralkan dan memiliki arti seni yang sangat tinggi. Dengan perpaduan suara dari gambelan dengan nada-nada yang estetis dan membuat para pendengar menjadi terkagum – kagum dan terkesima menyaksikan mendengar seni budaya ini. Gambelan ini juga memiliki sejarah tersendiri dalam pembentukan gambelan, antara lain

Seperti di Banjar Dauh Pangkung yang berada di Desa Tista, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan. Sejarah pembentukan gambelan di Banjar Dauh Pangkung di mulai dari tahun 1989 tepatnya 3 agustus 1989. Dimana sebelum pada saat itu di Banjar Dauh Pangkung belum mempunyai gambelan sehingga waktu piodalan di Pura pada saat itu tidak memakai gambelan sendiri akan tetapi ngupah sekaa di desa tetangga. Karena malu, jengah hanya Banjar Dauh Pangkung yang belum memiliki gambelan dan diadakanlah peparuman oleh tokoh – tokoh di Banjar Dauh Pangkung untuk membeli gambelan, tokoh – tokoh itu seperti :

  1. gusti sutarma.
  2. gede suarnata.
  3. wayan latra.

Berserta semua warga di Banjar Dauh Pangkung pada saat itu. Dari hasil peparuman tersebut dapat di ambil keputusan mengumpulkan dana untuk membeli gambelan dengan sistem peturunan. Dimana pengumpulan dana ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama hanya bisa membeli setengah barungan, antara lain :

  1. riong
  2. 2 gangsa
  3. gong
  4. kempur
  5. bende
  6. tawa – tawa
  7. kempli
  8. 2 kantil
  9. ceng – ceng
  10. jumblag
  11. jegog
  12. kempyung

Tahap kedua baru bisa membeli kekurangannya, antara lain :

  1. trompong
  2. ugal
  3. gangsa

Sejak saat itu Banjar Dauh Pangkung sudah memiliki gambelan tepatnya tanggal 3 agustus 1989 dan di bentuklah sekaa gambelan (sekaa gong). Sejak itu tidak ada lagi kata ngupah sekaa di setiap ada piodalan di Pura – Pura di Banjar Dauh Pangkung. Gamelan ini juga mengalami renovasi total yaitu ukiran kayu gambelan, pada awalnya belum diukir hanya kelihatan klasik dan juga di prada agar gambelan terlihat indah dengan warna – warni prada. Lokasi pengukiran pada saat itu diukir dibalai Banjar Dauh Pangkung tepatnya di Pura Pempatan Dauh Pangkung. Pengukiran tersebut diukir oleh warga Dauh Pangkung sendiri yang mempunyai usaha ukiran yaitu I Wayan Badir dan karyawannya. Gambelan inipun berkembang dan generasi muda mulai belajar memainkan gambelan ini. Saya beserta pemuda di Desa Dauh Pangkung melaksanakan latihan gambelan pada saat sabtu malam, untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat. Kegiatan ini kami laksanakan secara rutin agar tidak pakumnya kesenian menabuh di Banjar Dauh Pangkung dan saya beserta pemuda juga dapat mementaskan gambelan pada saat odalan atau upacara di pura – pura.

Gambelan ini  selain digunakan untuk upacara di pura – pura juga dapat digunakan dalam acara – acara tertentu seperti : mengiringi pementasan tari – tarian, calonarang, dan segala jenis pertunjukan seni lainnya yang menyangkut karawitan. Karena warisan budaya ini nantinya akan diwariskan kepada kami. Itulah sejarah karawitan di  Banjar Dauh Pangkung. Seni budaya di Bali sangat beraneka ragam dan sangat di sakralkan. Para generasi muda harus bisa menjaga dan melestarikan budaya ini agar tidak hilang ditelan jaman dan supaya tidak diakui oleh Negara lain.Cintai seni budaya warisan nenek moyang kita. Narasumber Pak Wawan.

Gong Kebyar Di Banjar Dauh Pangkung, Desa Tista Selengkapnya

MONTIR

MONTIR

Penata

Nama                     : I Made Pande Yoga     Pranata.

Nim                       : 2007 02 014

Program Studi       : Seni Karawitan

Sinopsis       :

Montir merupakan sebutan untuk orang yang bekerja di bengkel. Kegiatan montir dalam memperbaiki sepeda motor banyak menimbulkan sumber-sumber bunyi. Bunyi yang timbul akibat adanya sentuhan antara peralatan bengkel dapat digarap menjadi komposisi musik yang lebih indah dan bisa dinikmati.

Pendukung Karawitan : Mahasiswa Jurusan Karawitan Semester VI ISI Denpasar

 

 

 

 

 

 

Garapan Jagat  Santhi

Garapan Jagat Santhi

Kiriman I Made Gawi Antara, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

            Komposisi Karawitan Jagat Santhi ini merupakan sebuah garapan musik karawitan inovasi baru yang masih berpegang pada pola-pola tradisi karawitan Bali. Pola-pola tradisi tersebut dikembangkan baik dari segi struktur lagu, teknik permainan maupun motif-motif gendingnya dengan penataan atau pengolahan unsur-unsur musikal seperti nada, melodi, irama (ritme), tempo, harmoni dan dinamika. Di samping itu juga dilakukan penataan penyajian agar musik yang disajikan tidak hanya enak didengar tetapi juga enak dilihat. Selain hal-hal tersebut di atas, sifat-sifat estetik umum seperti unity (keutuhan, kekompakan, kerapian), intensity (kekuatan, keyakinan, kesungguhan) dan complexity (kerumitan) dijadikan acuan dalam mewujudkan karya untuk memberikan bobot seni terhadap garapan yang berkualitas.

Deskripsi Garapan

Istilah komposisi secara umum berarti susunan. Dalam konteksnya dengan karawitan Bali berarti susunan elemen-elemen musikal menjadi sebuah gending atau lagu. Begitu juga dengan musikalitas garapan komposisi Jagat  Santhi ini, disusun berdasarkan komposisi / struktur garapan yang terdiri dari empat bagian yang akan disebutkan sebagai bagian pertama, kedua, ketiga dan  keempat dimana masing-masing bagian memiliki karakter musikal yang berbeda.

Komposisi Karawitan Jagat Santhi  ini merupakan sebuah garapan musik karawitan inovasi baru yang masih berpegang pada pola-pola tradisi karawitan Bali. Pola-pola tradisi tersebut dikembangkan baik dari segi struktur lagu, teknik permainan maupun motif-motif gendingnya dengan penataan atau pengolahan unsur-unsur musikal seperti nada, melodi, irama (ritme), tempo, harmoni dan dinamika. Di samping itu juga dilakukan penataan penyajian agar musik yang disajikan tidak hanya enak didengar tetapi juga enak dilihat. Selain hal-hal tersebut di atas, sifat-sifat estetik umum seperti unity (keutuhan, kekompakan, kerapian), intensity (kekuatan, keyakinan, kesungguhan) dan complexity (kerumitan) dijadikan acuan dalam mewujudkan karya untuk memberikan bobot seni terhadap garapan yang berkualitas.

Pengertian wujud mengacu pada kenyataan yang nampak secara kongkrit (berarti dapat dipersepsi dengan mata atau telinga) maupun kenyataan yang tidak tampak secara kongkrit, yang abstrak, yang hanya bisa dibayangkan, seperti suatu yang diceritakan atau dibaca dalam buku. Wujud dari suatu garapan yang dinikmati oleh masyarakat/penonton merupakan hasil terakhir dari proses kreativitas yang berawal dari perencanaan, penciptaan dan penampilan dengan menggunakan media tertentu.

Terkait dengan garapan ini, sebagaimana telah diulas dalam bab sebelumnya bahwa wujud dari garapan ini adalah sebuah karawitan inovatif yaitu merupakan sesuatu yang bersifat baru atau pembaharuan dalam karya seni, namun masih berpijak pada unsur-unsur tradisi yang telah ada sebelumnya. Unsur-unsur tersebut dikembangkan dan diberikan sentuhan kreatif disesuaikan dengan perkembangan estetika masa kini.

Analisa Pola Struktur Garapan

Istilah komposisi secara umum berarti susunan. Dalam konteksnya dengan karawitan Bali berarti susunan elemen-elemen musikal menjadi sebuah gending atau lagu. Begitu juga dengan musikalitas garapan komposisi Jagat Santhi  ini, disusun berdasarkan komposisi / struktur garapan yang terdiri dari empat  bagian yang akan disebutkan sebagai bagian pertama, kedua, ketiga dan  ketiga dimana masing-masing bagian memiliki karakter musikal yang berbeda.

Bagian ini adalah bagian awal dari garapan Jagat Santhi. Dalam bagian ini dimulai dengan kebyar dan dilanjutkan motif pukulan riyong. yang menggambarkan suasana dimana bumi ini sedang kacau. Pada bagian ini dimulai oleh instrumen Ganggsa, kantil,jublag, jegog, kendang dan  riyong  yang dipukul bersamaan dengan melodi yang sama,  dilanjutkan dengan jejagulan kendang, dengan pukulan gong sebagai finalisnya, dilanjutkan dengan permainan riyong ,jublag, dan jegog  Setelah permainan riyong dilanjutkan dengan permainan ganggsa, kantil,jublag, jegog suling, dengan melodi yang sama, setelah permainan ganggsa, kantil, julag, jegog, suling dilanjutkan permainan gegenderan  dilanjutkan dengan permainan suling dan jublag, dan jegog setelah permainan suling dan jublag dan jegog masuk permainan kendang,ganggsa, kantil, jublag, jegog dan riyong dimana permainan dari semua instrumen berbeda- beda kemudian dilanjutkan dengan suling dan vokal.dilanjukan dengan kebyar dimana  instrumen yang dimainkan secara bersamaan adalah kendang, riyong, ganggsa, jublag, jegog, suling yang semuanya diawali dengan nada (ndang) kajar sebagai tempo dari permainan itu, permainan ceng-ceng ricik,kendang, riyong, ganggsa jublag, jegog dan pukulan gong sebagai finalisnya, dilanjutkan permainan suling, jublag, jegog dan jejagulan kendang dilanjutkan dengan permainan bersamaan. Setelah permainan itu masuk permainan kekotekan  dimana permainan ini diulang dua kali secara bersamaan, dilanjutkan permainan riyong, jublag, jegog, suling dan gong sebagai finalis gending bagian pertama untuk peralihan bagian pertama ke bagian kedua.

Garapan Jagat  Santhi Selengkapnya

Angklung Purnama Budaya, Banjar  Batubidak, Kerobokan, Bagian I

Angklung Purnama Budaya, Banjar Batubidak, Kerobokan, Bagian I

Kiriman:  I  Made Sujendra, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

Profil  Desa Kerobokan

Kerobokan dulunya pemerintahanya  menggunakan istilah “ Perbekel” dan kebanyakan  mata pencaharian masyarakatnya sebagai petani. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, maka pemerintahanyapun tidak lagi menggunakan istilah Perbekel, dengan sebutan “Kepala desa” dan dengan diberlakukanya Undang- undang Otonomi Daerah, desa kerobokan dibagi menjadi tiga pemerintahan yaitu: “Kerobokan Kaja, Kerobokan dan Kerobokan Kelod”, dengan status Pemerintahanya memakai status “ Kelurahan”, namun tetap menjadi satu Desa Adat yakni “ Desa adat Kerobokan”.

Desa adat Kerobokan, terdiri dari : dua puluh lima Banjar Dinas dan empat puluh delapan Banjar Adat.  Mengempon “ satu Pura Desa Puseh, satu Dang Kahyangan ( Pura Petitenget ) dan lima pura Kahyangan”, termasuk salah satu di dalamnya Pura Dalem Kerobokan, yang letaknya paling Utara dan termasuk ke dalam wilayah “ Banjar Adat Batubidak”.

Hubungan   Pura Dalem  Kerobokan Dan  Sekehe  Angklung  “Purnama   Budaya”   Banjar   Batubidak  Kerobokan

            Pada awal- awal kemerdekaan , Pura Kahyangan Tiga dan Sad Kahyangan yang berada dilingkungan wilayah Desa Adat Kerobokan, diempon oleh warga banjar yang terdekat dengan Pura tersebut, dibantu oleh warga yang  dapat mengerjakan tanah “ Pelaba Pura”atau dengan kata lain mendapat Catu /Pecatu, sehingga mereka memiliki kewajiban untuk menghaturkan Piodalan di Pura tersebut. Karena lokasi Pura Dalem Kerobokan berdampingan dengan “ Pura Bujangga Waisnawa” dan “Pura Hyang Ratu Gede Pengubengan” maka penyungsungnya menjadi pengempon utama dari pada Pura Dalem Kerobokan, yang mayoritas merupakan cikal bakal pendiri Sekehe Angklung Purnama Budaya Banjar Batubidak Kerobokan.

Terbentuknya  Sekehe  Angklung “ Purnama Budaya”  Br Batubidak Periode, Tahun 1940 -1962

            Mayoritas kehidupan masyarakat pada saat itu sebagai petani, sehingga mereka bebas menentukan waktu mereka bekerja tanpa adanya ikatan jam kerja. Pada umumnya mereka pagi-pagi buta sudah berangkat ke lahan mereka masing-masing dan ketika hari sudah mulai agak panas biasanya mereka akan segera beranjak pulang. Sisa waktu biasanya dimanfaatkan berkumpul diluar rumah sambil membawa ayam aduan mereka masing-masing. Hiburan pada saat itu agak jarang ,tidak seperti sekarang.

            Berawal dari kecintaan mereka terhadap seni, akhirnya mereka sepakat membuat seperangkat gamelan angklung, melalui kelompok pemetik padi, yang dalam istilah balinya disebut “ sekehe manyi ,mereka membeli seperangkat gamelan sedikit demi sedikit sehingga menjadi seperangkat angklung “ keklentangan”. Setelah seperangkat gamelan terbentuk , karena di Bali tidak bisa terlepas dari yang namanya upakara untuk kesucian barungan gamelan tersebut.

            Keinginan untuk mendapatkan  taksu, atas kesepakatan akhirnya mereka mohon taksu atau  mendak Pregina di Pura Dalem Kerobokan. Sebagai rasa sujud bakti  sekehe angklung akan selalu siap ngayah setiap ada keperluan gamelan, mulai dari Pujawali, Melasti, Caru atau Tawur Agung termasuk juga acara pengabenan masal yang diselenggarakan oleh Pura Dalem Kerobokan dan ini masih tetap berlaku sampai pada saat ini.

            Mengingat luasnya wilayah Desa Adat Kerobokan, banyaknya Pura-pura Paibon, dan minimnya jumlah Gamelan pada saat itu  maka keberadaan Sekehe Angklung sangat membantu kegiatan adat di Desa kerobokan , mulai dari ; upacara Pitra Yajna, Dewa Yajna, Manusa Yajna dan lain-lainya. Adapun gending –gending yang disajikan pada saat itu , hanyalah tabuh-tabuh keklentangan. Dengan kondisi seperti ini  sangat mendukung perkembangan angklung Purnama Budaya, karena dengan seringnya mereka diupah,  tentunya sekehe yang bersangkutan bisa memiliki khas, yang akan digunakan untuk melengkapi dari pada barungan gamelan tersebut, diantaranya, satu buah Gong yang terbuat dari Drum, sepasang kendang besar dan mengganti Pelawah Gamelan yang pertama, yang konon bentuknya sangat sederhana sekali.

Periode , Tahun  1962 – 1965

             Pada periode ini, terjadi regenerasi yang merupakan generasi ke -2 di sekehe Angklung Purnama Budaya. Setelah memiliki instrument Gong dan Kendang besar mulailah mereka mencari Tabuh-tabuh petegak, Pelegongan dan tari  Lepas. Inilah yang merupakan awal mula berdirinya Legong Angklung “ PURNAMA  BUDAYA” Br. Batubidak Kerobokan, dengan pelatih tabuh waktu itu adalah Bapak I Nyoman Dendi ( almarhum ), dari Banjar Pemedilan Denpasar. Para penarinya pada saat itu diambil dari beberapa banjar yang merupakan PENGEMPON DALEM   antara lain : Banjar Batubidak, Banjar Babakan dan Banjar Batuculung. Tarian yang dicari antara lain seperti :

  • Tari Pendet , dengan 4 orang Penari.
  • Tari Marga Pati.
  • Tari Tenun.
  • Tari Wiranata.
  • Tari Panji Semirang.
  • Tari Oleg Tamulilingan.
  • Palawakia.
  • Legong Keraton.

            Semenjak resmi berdiri legong angklung Purnama banyak mendapat undangan pentas di desa-desa lain. Menurut penuturan Bapak IKetut Sunia (85 tahun) selaku nara sumber, ketika mereka pentas di tempat lain, rombongan sering dihadang di tengah perjalanan  biasanya, jalan-jalan dipenuhi dengan bambu, batu, kayu dan material-material lainya. Hal ini merupakan konsekwensi dari situasi politik yang bergejolak ketika itu.  Menurut Bapak Ketut Sunia misalnya ketika rombongan pentas di Desa Sembung dan di Bukit, bahkan kuda penarik kereta juga dilempari orang tak dikenal. Jadi bisa dibayangkan bagaimana rawanya situasi ketika itu, transportasi satu-satunya saat itu adalah dokar, juga tidak ada penerangan listrik. Setelah terjadinya peristiwa G-30 S PKI, menyebabkan legong Angklung Purnama dibubarkan   (mesimpen ), dengan suatu upacara yang disebut dengan Metebasan dengan sarana utama yaitu memakai seekor burung Cinglar.

            Walaupun legong telah dibubarkan, kegiatan sekehe angklung masih tetap berjalan sebagaimana mestinya, karena Gamelan saat itu masih langka. Tapi untuk upacara Dewa yajnya merka sudah memakai Gong dan kendang besar ( cedugan / gupekan ), dan untuk Pitra Yajnya mereka memakai tabuh-tabuh kekelentangan, jadi sudah mulai ada perbedaan dalam pemakaian instrument. Ini berlangsung sampai tahun 1980-an.

Angklung Purnama Budaya, Banjar  Batubidak, Kerobokan, Badung I selengkapnya

GORESAN ILUSI

GORESAN ILUSI

Penata

Nama                     : Ngurah Krisna Murti.

Nim                       : 2007 01 006

Program Studi       : Seni Tari

Sinopsis       :

Aku seorang pelukis, ketika aku menuangkan imajinasi ku, aku melukis Roh Rangda yang menjadi kepercayaan magis dalam Agama Hindu, secara tidak sengaja aku mampu menarik kekuatan Roh tersebut sehingga aku menjadi takut dan akhirnya aku menghancurkan semua untuk menghalau rasa takut ku.

 

 

Pendukung Tari      : Ariyitna Zianet Charmeis (Mahasiswa ISI Dps)

Penata Iringan       : I Wayan Arywijaya, S.Sn

Pendukung Iringan  : Palawara Music Company dan Mahasiswa Fakultas Sastra UNUD.

      

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Melekatkan Nilai-nilai Budaya dalam Proses Pendidikan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Melekatkan Nilai-nilai Budaya dalam Proses Pendidikan

Jakarta – Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) resmi berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik kabinet hasil reshuffle, Rabu pagi, (19/10), di Istana Negara.

Sesuai Keppres No.59/P/Tahun 2011, Mendiknas Mohammad Nuh resmi berganti jabatan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Kepemimpinannya di Kemdikbud dibantu dua wakil menteri, yaitu Musliar Kasim sebagai Wakil Mendikbud bidang pendidikan dan Wiendu Nuryanti sebagai Wakil Mendikbud bidang kebudayaan.

Dalam keterangan persnya, Mendikbud M. Nuh mengatakan, ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Yang pertama adalah ingin nilai-nilai budaya melekat dalam proses pendidikan kita,” ujarnya saat menggelar jumpa pers di Gedung A Kemdikbud, Rabu siang, (19/10).

Kedua, Menteri Nuh menjelaskan, Kemdikbud ingin menumbuhkan kecintaan anak-anak Indonesia terhadap nilai-nilai budaya. Ia member contoh apresiasi anak-anak terhadap museum. Menurutnya, kehadiran museum belum bisa menjadi daya tarik bagi anak-anak untuk mempelajari sejarah atau nilai budaya. “Museum belum bisa memunculkan nilai atraktif”.

Tujuan yang terakhir, Kemdikbud akan berusaha menggali warisan budaya yang belum ditemukan. Saat ini, warisan budaya Indonesia yang telah diangkat menjadi warisan budaya dunia antara lain batik, wayang, keris dan angklung. Untuk ke depannya, diharapkan akan bertambah warisan budaya Indonesia yang dikenal masyarakat dunia.

Wamendikbud Bidang Pendidikan, yang juga mantan Rektor Universitas Andalas, Musliar Kasim, mengatakan, penyatuan visi pendidikan dan kebudayaan ke dalam satu kementerian harus bisa saling mengisi. “Anak didik harus punya kecerdasan yang baik, tapi juga memiliki karakter budaya Indonesia,” tuturnya.

Sementara Wiendu Nuryanti, Wamendikbud Bidang Kebudayaan, yang juga Guru Besar UGM mengatakan, akan memprioritaskan terselesaikannya cetak biru pembangunan nasional kebudayaan. “Tujuan cetak biru itu untuk jadi panduan, berisi kebijakan-kebijakan ke depan, 15 atau 20 tahun ke depan,” jelasnya. Dalam cetak biru tersebut akan dijabarkan strategi dan program-program untuk pembangunan nasional kebudayaan.

Sumber: kemdiknas.go.id

Loading...