Kiriman : Ni Luh Kadek Resi Kerdiati (Program Studi Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar)
ABSTRAK
Material ekologis adalah jenis material ramah lingkungan yang berasal dari alam dan tidak mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan. Ciri material ekologis adalah proses produksi yang hemat energi, tidak mencemari lingkungan, memanfaatkan sumber daya alam setempat atau lokal, mengalami trasformasi sederhana dan dapat dikembalikan lagi ke alam. Tanah liat merupakan salah satu jenis material yang dapat digolongkan sebagai material ekologis. Penggunaan tanah liat sebagai material bangunan bukanlah sebuah hal baru, material ini telah banyak digunakan sebagai bahan bangunan sejak jaman dahulu dan terbukti memiliki berbagai keunggulan. Tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai penggunaan material tanah liat tersebut sebagai bahan bangunan yang bersifat ekologis. Menggunakan kajian dari beberapa sumber pustaka terkait, akan dipaparkan mengenai posisi tanah liat sebagai material ekologis, karakteristik, teknik pengolahan, serta penggunaan tanah liat dalam desain bangunan. Pembahasan mengenai tanah liat sebagai salah satu material ekologis menjadi menarik untuk diketahui, karena secara tidak langsung akan mengarah pada isu-isu kerusakan lingkungan dan sangat berpengaruh pada kualitas hidup manusia.
Kemajuan teknologi dalam pembuatan video musik kian meningkat dan beberapa video musik kini menggunakan tatanan unik dan menarik untuk memikat mata penikmat musik. Salah satu kiat menarik yang digunakan untuk meramaikan industri hiburan terutama di dunia musik yaitu banyak orang menyajikan ulang sebuah lagu dengan video menarik. Untuk penikmat hiburan game, salah satu cara mereka menikmati musik dengan menyajikan ulang lagu tersebuat. Penyajian ulang lagu tersebut bisa disebut denag cover lagu, cover lagu tersebut bisa dengan merubah alunan nada dari musik itu sendiri atau pun mengajikan kembali dengan video yang beragam. Penyajian cover musik dengan video pun bisa bermacam, salah satu dengan karakter game yang diinginkan.
Kiriman : Ni Kadek Dwiyani, S.S., M.Hum1, Ni Putu Tisna Andayani, S.S., M.Hum2 (Prodi Produksi Televisi dan Film, Fakultas Seni Rupa dan Desain1, Prodi Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar)
Edukasi nilai sosial dalam keluarga merupakan hal penting yang harus mendapatkan perhatian yang besar dari setiap pihak karena akan menyangkut permasalahan dalam hal Pendidikan moral pada anak. Media yang termudah untuk menjangkau berbagai kalangan adalah edukasi melalui film yang target penontonnya adalah keluarga, salah satunya adalah film dengan judul “Dua Garis Biru” (2019) yang sarat dengan nilai-nilai sosial dalam keluarga.
Tujuan yang ingin dihasilkan melalui tulisan ini adalah untuk mengidentifikasi dan menguraikan makna nilai sosial keluarga sebagai bentuk edukasi moral yang ditemukan pada film “Dua Garis Biru”. Hasil analisis akan disajikan berdasarkan teori Semiotika, khususnya Ground Semiotika terdiri dari Qualisign, Sinsign dan Legisign (Perrce: 1982), dan diuraikan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Hasil tulisan ini mengidentifikasi ketiga tipe yang ada dalam ground semiotika pada tyrikotomi kedua dengan kajian visual dalam film yang merepresentasikan nilai sosial keluarga seperti kasih sayang anak dan orangtua dan sebaliknya, perhatian, kebesaran hati, kepedulian dan keberanian dalam mengemukakan pendapat.
Kata kunci: pemaknaan, nilai sosial keluarga, edukasi moral, film “Dua Garis Biru”
Denpasar (ANTARA) – The Indonesian Art Institute (ISI) Denpasar inaugurate two doctorates’ students of art creation, I Wayan Sujana and I Ketut Garwa, both of whom are lecturers on campus.
The two ISI Denpasar lecturers were successively tested by 11 examiners, including from academics outside ISI Denpasar,” said the Rector of ISI Denpasar Prof Dr Wayan Kun Adnyana in Denpasar, Tuesday.
The Art Study Program of the ISI Denpasar Postgraduate Doctoral Program graduated the two doctoral students in an open examination which took place on Monday (15/11) and Tuesday (16/11).
I Wayan Sujana, who is fondly known as Suklu, produced findings on the art practice of MAL (Mobile Art Laboratory): Alternative Space for Community-Based Performing Arts Creative, while Ketut Garwa on the transformation of the Ngrebeg Kuningan tradition in Bangli City in colossal musical compositions.
During open exam, Monday (15/11) Ketut Garwa was tested by Prof. Dr. I Nengah Duija, Prof. Dr. I Komang Sudirga, Dr. I Nyoman Sukerna, Dr. I Gusti Ngurah Seramasara, Dr. I Kadek Suartaya, Dr. I Ketut Suteja, and Dr. Ni. Made Arshiniwati.
Examiners from the promoter element Prof. Dr. I Wayan Dibia, Co-Promoter 1 Prof. Dr. I Wayan Rai S., Co-Promoter 2 Dr. I Gede Yudarta, and the Chief of the Examiner Prof. Dr. Wayan Kun Adnyana—The rector as well as the Head of the Organizing Unit for the Art Study Program of the ISI Doctoral Program Denpasar.
The Rector of ISI Denpasar Wayan Kun Adnyana also as the promoter led an open examination on Tuesday (16/11) for Sujana Suklu, with examiners Prof. Dr. Setiawan Sabana, Dr. Jean Couteau, Prof. Dr. I Nyoman Suarka, Prof. Dr. I Nyoman Sedana, Dr. I Nengah Wirakusuma. , Dr I Ketut Muka, Dr I Ketut Suteja, and Co-Promoter 1 Prof Dr. I Wayan Dibia and Co-Promoter 2 Dr I Wayan Suardana.
During the open exam, Ketut Garwa convincingly responded to all the questions posed by the examiner.
“Ngrebeg Kuningan in Bangli City is transforming into a colossal musical composition, requiring observation, imagination building, then creative practices that manage the talents of Bangli local musicians, until a composition is born that departs from the Pangurip Panca Dewata concept,” said Garwa.
According to Garwa, who is also the Dean of the Faculty of Performing Arts, ISI Denpasar, this work can be a model for transforming ritual traditions into new artistic creativity.
Meanwhile, Prof. Komang Sudirga as the examiner said the work of Ngrebeg Kuningan Colossal Music Composition has the meaning of transforming sacred religious values related to the Ngrebeg rite in Catus Pata as the axis of the world (cosmic axis), the unification of the relationship between the macrocosm and the microcosm.
“The concept of work based on the Pangurip Panca Dewata with odd numbers is not commonly applied in Balinese musical compositions, but through a creative touch, the nuances of musicality flow harmoniously. This innovative creativity can be used as a source of inspiration for young composers in the future,” said Sudirga.
Meanwhile, Sujana Suklu is noted to have practiced the MAL concept 10 times in various locations. Prior to the final exhibition at Komaneka Gallery, Ubud agilely explained the findings of art practice based on interaction, dialogue, and collaboration, including intermingles in MAL, enabling the general public to practice art together.
One of Sujana Suklu’s examiners, Dr Jean Couteau, emphasized that Suklu’s paintings are very personal, but in turn, he consciously builds a communal collaboration space full of possibilities.
“Personal painting does not become an obstacle to build collaborative creative spaces across arts, even with the wider community. This is a sociological path for contemporary art,” said the French anthropologist who has lived in Bali for decades.