by admin | Mar 10, 2011 | Berita
Pada tanggal 22-23 Februari 2011, ISI Denpasar menghadiri Workshop Koordinasi Program “Student Mobility Credit Transfer- MIT di Jakarta. Program ini merupakan program kerjasama pendidikan cetusan SEAMEO-RIHED yang dilaksanakan oleh 3 negara di Asia Tenggara; Malaysia-Indonesia-Thailand (MIT) yang melibatkan perguruan tinggi masing-masing negara, yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan kualitas peserta didik melalui program pengiriman peserta didik ke perguruan tinggi di tiga negara tersebut diatas, dan di Indonesia sendiri, program ini dilaksanakan di bawah arahan DITJEN DIKTI.
Workshop ini diahadiri oleh DITJEN IMIGRASI, DITJEN DIKTI, ISI Denpasar, ISI Surakarta, UI, UAD,UK Maranatha, UBINUS, UNS, UNSRI, IPB, dan UPI. “Tahun 2010, Indonesia mengirim 77 mahasiswa ke Thailand dan Malaysia, dan menerima 14 mahasiswa dari Thailand saja. Tahun 2011, Dikti menyediakan beasiswa program M-I-T untuk 50 mahasiswa, Biro PKLN menyediakan 30, dengan rincian 37 ke Thailand dan 43 ke Malaysia. Indonesia akan menerima 30 mahasiswa dari Thailand, sedangkan Malaysia akan mengirimkan 50 mahasiswa,” papar Direktur Pembelajaran dan Akademik, Illah Sailah. Untuk PT Seni, ISI Denpasar dan ISI Surakarta mendapatkan privilege untuk mengirimkan mahasiswa ke PT Seni di Thailand yang telah memiliki MoU, diluar kerangka M-I-T Programme
Dalam program MIT 2010, ISI Denpasar mengirimkan 2 orang peserta didik ke Universitas Thammasat Thailand, dari bulan Juli-Desember 2010. Mereka adalah Diana Putra dari FSP, dan Eka Laksana dri FSRD. “Tahun ini, kami merasa sangat bangga, karena dari 80 beasiswa yang disiapkan, ISI Denpasar mendapatkan 4 quota, 2 orang untuk belajar Language and Culture di Thailand, dan 2 orang di Malaysia. Untuk itu kami telah mempersiapkan tahap seleksi mulai awal Maret ini, dan seleksi diadakan mulai tingkat fakultas, dan terbuka bagi seluruh mahasiswa, dengan nilai TOEFL 500. Kami telah mensiosialisasikan program ini lewat spanduk, selebaran, disamping juga mengumumkan di kelas,”papar Dewi Yulianti yang hadir dalam Workshop selama dua hari tersebut.
Serangkaian dengan program MIT 2011, ISI Denpasar juga sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti IOA (International Office Award) yang akan diadakan oleh DITJEN DIKTI dalam waktu dekat ini.
Humas ISI Denpasar melaporkan.
by admin | Mar 9, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Nurchatijah. Mahasiswa PS. Kriya Seni Minat Kriya Keramik.
Perkembangan gerabah di Bali dari dulu sampai sekarang mengalami kemajuan yang pesat. Kalau dahulu hanya sebagai bahan utama pembangunan rumah seperti batu bata dan genting serta tempat menyimpan bahan makanan dan wadah sesaji untuk sarana upacara agama mayoritas penduduk Bali (Hindu), pada saat ini keramik dalam perkembangannya juga bisa dipasarkan sebagai cenderamata dalam bentuk meja hias, tempat dupa dan lain sebagainya. Ada beberapa sentra-sentra keramik atau gerabah yang ada di Bali antara lain : Binoh, Pejaten, Kapal dan sebagainya. Sebagai daerah yang masih memproduksi hingga saat ini keramik Pejaten masih memiliki ciri dan keunggulannya.
Desa Pejaten Kabupaten Tabanan terletak 4 km barat daya dari Kediri merupakan desa tradisional penghasil kerajinan dari tanah liat dan keramik. Desa ini diapit dua sungai dengan luar sekitar 1,5 km persegi. Masyarakat Pejaten telah menambang tanah liat merah (bahan dasar keramik) sejak awal berdirinya desa dan menggunakan cara pembakaran tradisional sampai akhirnya persediaan tanah merah tersebut menipis pada tahun 70-an dan ini menjadi sebuah kekhawatir saat itu dibarengi pula oleh produksi peralatan rumah tangga yang dibuat dengan bahan alumunium yang lebih praktis dan berkembang pesat.
Permasalah yang terjadi sekarang adalah kwalitas yang dihasilkan dari keramik gerabah dan keramik stonewere sangat berbeda jauh baik itu bahan baku dan hasil barang, akan tetapi keramik gerabah tidaklah kehilangan peminat ataupun pasar, justru keramik gerabah masih mendapatkan tempat dihati peminat-peminatnya karena masih mencirikan tradisional Indonesia asalkan para pengrajin mampu mengembangkan disain-disain yang lebih unik dan menarik yang ditungkan dengan media tanah merah ini.
Perajin Gerabah UD Amerta Sedana.
Dari sejarah keramik yang ada di desa Pejaten, salah satu perajin keramik yang tetap bertahan dan masih menciptakan bentuk-bentuk hasil ide dan kreatifitas sendiri adalah I Wayan Kuturan, yang memiliki usaha industri keramik (UD. Amerta Sedana) yang masih menggunakan tanah merah sebagai bahan baku keramik produksinya diantara rekan-rekan seperjuangannya yang merintis keramik di desa Pejaten yang sudah memproduksi keramik dengan bakaran tinggi (stonewere).. Lokasi kerja (bengkel/studio) I Wayan Kuturan dan keluarganya ditempatkan di bagian belakang kediamannya memiliki luas sekitar 6×10 meter, masih menggunakan bilik bambu dan beralas lantai tanah. Sebagian serta rak-rak gerabah berkerangka bambu juga. Tempat kerja yang beralamatkan di Banjar Pangkung, Pajaten, Kediri Tabanan Bali ini berdiri sejak tahun 1990 yang dirintisnya di tahun 1960-an dimulai dari produksi genting dan peralatan dapur. Pada awal 1980 merubah menjadi produksi karya/ benda pajang karena permasalahan bahan baku yang banyak terolah menjadi bahan bangunan (genting) serta peralatan dapur yang bersaing antara bahan baku gerabah dan alumunium yang berkembang pesaat saat itu. Jumlah karyawan perusahaan ini sekarang 15 orang, jumlah ini dapat bertambah dengan istilah “karyawan borongan” jika terjadi pemesanan produksi yang banyak.
Geliat Gerabah Pejaten selengkapnya
by admin | Mar 9, 2011 | Berita, pengumuman
Surat Pengumuman Diklat PMW 2011 : Klik disni
PENGUMUMAN
Nomor 599 /I5.12.1/KM/2011
Tanggal 07 Maret 2011 2011
Ralat Jadwal
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (DIKLAT) CALON PESERTA
PROGRAM MAHASISWA WIRAUSAHA
DI LINGKUNGAN ISI DENPASAR TAHUN 2011
Diumumkan kepada mahasiswa Institut Seni Indonesia Denpasar yang berminat mengikuti Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Program Mahasiswa Wirausaha bahwa pelaksanaan Diklat yang direncanakan dilaksanakan pada tanggal 11-12 Maret 2011 diundur menjadi tanggal 24-25 Maret 2011. Batas akhir pendaftaran rencananya tanggal 8 Maret 2011 diundur manjadi tanggal 16 Maret 2011 pada pukul 12.00 Wita.
Demikian agar dimaklumi terimakasih.
an. Rektor
Pembantu Rektor III
ttd.
Drs. I Made Subrata,M.Si
NIP.195202111980031002
Tembusan :
1. Rektor sebagai laporan.
2. Dekan FSRD untuk diketahui
3. Dekan FSP untuk diketahui
by admin | Mar 9, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Ketut Sariada, SST., MSi., Dosen PS Seni Tari ISI Denpasar
Salah seorang koreografer tari yang namanya cukup tenar di kalangan masyarakat Bali adalah I Gusti Agung Ngurah Supartha. I Gusti Agung Ngurah Supartha adalah seorang pria berperawakan sedang, kulit putih, rambut sosoh, selalu tampil rapi dan berwibawa. Ia tampak sangat energik dan ulet dalam berkarya. Ia lahir di Puri Agung Buluh Kenana Abiantuwung Kediri Tabanan pada tanggal 22 Januari 1943. Mas Roro Suhestiningtyas adalah istri dari Ngurah Supartha. Dari perkawinannya mempunyai empat orang anak dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan yaitu I Gusti Agung Ngurah Kihasta Kenana Jenggala, I Gusti Agung Ngurah Anom Utara Pratimawan, I Gusti Ayu Istri Utari Budayawati, dan I Gusti Ayu Mas Ari Kencanawati. Dalam menempuh pendidikan formal Ngurah Supartha sangat sukses dan tidak pernah ketinggalan. Pada tahun 1956 lulus Sekolah Dasar Abiantuwung, tahun 1960 lulus Sekolah Menengah Pertama Tabanan, tahun 1964 lulus Konservatori Karawitan Bali, lulus Sarjana Muda Akademi Seni tari Indonesia Yogyakarta tahun 1967, dan lulus Sarjana Seni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1975. Ngurah Supartha adalah seniman yang sangat kreatif dan produktif (lihat lampiran 2 gambar 2.9 dan 2.10).
Ia adalah seorang seniman yang sangat energik, disiplin, dan penuh dedikasi dalam membentuk karakter seorang seniman. Hal ini tampak dari sistem pelatihan yang diterapkan kepada anak didiknya ketika ia masih menjabat sebagai Kepala Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Denpasar periode tahun 1977 sampai dengan 1985, yang berlokasi di Jalan Ratna Denpasar. Ia sangat enerjik dan tidak pernah mengeluh. Pelatihan-pelatihan dilakukan pagi, siang dan bahkan sampai larut malam. Oleh karenanya aktivitas sekolah pada waktu itu (sekitar tahun 80-an) selalu hidup.
Berdasarkan keuletannya itu pada masa kepemimpinannya, SMKI yang sebelumnya bernama KOKAR Denpasar menjadi institusi yang diidolakan dan cukup dibanggakan di masyarakat. Hal ini juga tidak terlepas dari prestasi dan hasil karya yang dipublikasikan cukup bermutu sehingga mendapat sambutan antusias dari masyarakat. Di bawah tangan dingin kepemimpinan Ngurah Supartha kejayaan KOKAR dapat diangkat kembali. Pada masa kepemimpinannya berperan selaku manager, ia juga berperan selaku koreografer yang cukup produktif. Hal ini terbukti dari sejumlah hasil karya yang dipasarkan baik institusi SMKI maupun Sanggar Tari Wrhatnala yang dipimpinannya, sebagian besar adalah hasil karyanya seperti, tari Kidang Kencana (1983), tari Baris Bandrang Manggala Yudha (1984), tari Srikandi Duta (1983), tari Bendega Duyung (1982), tari Capung Gantng (1982), produksi SMKI dan tari Ulat Sutra (1985), tari Kupu-kupu Emas (1985), tari Lelipi (1985), produksi Sanggar Tari Wrhatnala (Abian tuwung, Kediri, Tabanan). Hasil karyanya dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2006 sebanyak 461 karya tari dan karawitan atau musik (lihat lampiran 3 hal 150). Karya tari sebayak 247 terdiri dari: tari Bali sebanyak 106 karya, tari Jawa sebanyak 9 karya, tari Sumatra sebanyak 4 karya, tari Sulawesi sebanyak 1 karya, tari Irian Jaya sebanyak 2 karya, Dramatari tanpa dialog sebanyak 36 karya, Dramatari dialog prosa sebanyak 30 karya, Dramatari dialog puisi sebanyak 29 karya, Dramatari Jawa tanpa dialog sebanyak 2 karya, Drama Bali sebanyak 8 karya, Drama Nasional sebanyak 4 karya, Tari Kontemporer sebanyak 5 karya, Interaxis Collaborasi – East Meets East sebanyak 5 karya, Interaxis Collaborasi- East Meets West sebanyak 6 karya.(Supartha, 2006). Karya karawitan (musik) sebanyak 214 karya terdiri dari : Instrumentalia Bali sebanyak 19 karya, Instrumentalia Jawa sebanyak 4 karya, Musik Vokal sebanyak 2 karya, Iringan tari Bali sebanyak 75 karya, Iringan tari jawa sebanyak 4 karya, Iringan tari Sumatra sebanyak 1 karya, Iringan Dramatari tanpa dialog sebanyak 18 karya, Iringan Dramatari Bali berdialog prosa sebanyak 20 karya, Iringan Dramatari Bali berdialog puisi sebanyak 10 karya, Iringan Dramatari jawa tanpa dialog sebanyak 1 karya, Iringan Drama Bali sebanyak 8 karya, Musik Drama Nasional sebanyak 3 karya, Iringan tari Kontemporer sebanyak 7 karya, Iringan Interaxis Collaborasi East Meets East/West sebanyak 8 karya (wawancara dengan Ngurah Supartha, 20 Pebruari 2006).
I Gusti Agung Ngurah Supartha dan Karya-karyanya, Selengkapnya
by admin | Mar 8, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, dosen PS Seni Karawitan.
Si cantik Legong dan Si tampan Smara Pagulingan ibarat sepasang kekasih yang sudah lama putus cinta. Legong sebagai sebuah tari cemerlang Bali sudah amat jarang bercumbu di pangkuan kemesraan Smara Pagulingan–ensambel gamelan Bali yang bertutur manis dan merdu. Tari Legong kini lebih intim dengan sumeringah Gong Kebyar, sementara gamelan Smara Pagulingan sekarang merintih dalam gulana kesendiriannya.
Legong dan Smara Pagulingan adalah seni pertunjukan prestisius pada era kerajaan Bali tempo dulu. Legong yang kini lazim disebut Legong Keraton itu adalah seni pentas kesayangan seisi keraton dan menjadi kebanggaan masyarakat kebanyakan. Smara Pagulingan yang kini eksistensinya kian kritis, pada zaman keemasan feodalisme diapresiasi dengan penuh asyik-masyuk oleh kaum bangsawan dan masyarakat luas, baik sebagai alunan sejuk musik instrumental maupun sebagai stimulasi estetik tari Legong.
Belum jelas tentang kapan berinteraksinya Legong dengan Smara Pagulingan. Cikal bakal keberadaan Legong diduga bersemai di wilayah kerajaan Timbul, nama tua Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Catatan babad lokal setempat menyebutkan Legong sudah hadir di sana pada awal abad ke-19. Kenyataannya, hingga tahun 1930-an Sukawati memang dikenal sebagai pusat pengembangan Legong yang banyak didatangi oleh para seniman tari dan tabuh dari penjuru Bali. Reneng (Badung), Lotring (Kuta), Lebah (Peliatan), dan beberapa tokoh legong lainnya tercatat pernah nyantrik pada maestro legong setempat, Anak Agung Rai Perit, I Made Duaja, dan I Dewa Blacing.
Legong dan Smara Pagulingan rupanya bersua dan bersinergi dalam pengayoman dan kawalan ketat selera tinggi kaum bangsawan masa itu. Pada masa itu setiap istana memiliki gamelan Smara Pagulingan lengkap dengan penabuhnya. Dua lontar tua tentang gamelan Bali, Aji Gurnita dan Prakempa, menyinggung cukup signifikan tentang gamelan Smara Pagulingan dengan sebutan Semara Aturu. Mungkin itulah pasalnya gamelan ini dikaitkan keberadaannya sebagai musik rekreatif untuk menyertai saat-saat raja sedang memadu asmara di paruduannya.
Selain memakai gamelan Smara Pagulingan laras pelog tujuh nada, Legong kemudian tak kalah kenesnya diiringi dengan Palegongan—barungan gamelan turunan Smarpagulingan—bersuara renyah menawan. Sayang ketika demam Gong Kebyar menggedor, gamelan Smara Pagulingan terjungkir dan gamelan Palegongan sempoyongan. Trend Gong Kebyar sejak mulai digulirkan semangat kompetisi pada tahun 1930-an, mendepak Smara Pagulingan dan gamelan Palegongan sebagai pengiring utama tari Legong. Legong “berselingkuh” dengan Gong Kebyar. Legong menjadi umum diringingi Gong Kebyar–menguak pada tahun 1915–hingga kini.
Sungguh tragis nasib gamelan Smara Pagulingan dan Palegongan. Gelora berkebyar ria menampik senyum manis dan membungkam suara merdu kedua gamelan tersebut. Masyarakat atau sekaa-sekaa pemilik gamelan Smara Pagulingan dan Palegongan cenderung begitu emosional dibawa arus deras gebyar Kebyar. Vandalisme kolektif pun merebak di mana-mana. Banyak gamelan Smara Pagulingan dan Palegongan dilebur menjadi Gong Kebyar. Sungguh tak ada rintangan dan halangan, semua bablas.
Legong Selingkuh, Smara Pagulingan Selingkuh selengkapnya