by admin | Jul 7, 2010 | Berita
Denpasar- Suasana kampus ISI Denpasar terasa lebih hangat dengan kedatangan Anggota Komisi X DPR RI, Dr. Ir. I Wayan Koster, M.M., tadi pagi (6/07/10). Sosok anggota dewan yang murah senyum tersebut disambut kekeluargaan oleh Rektor ISI Denpasar beserta jajaranya. Pada kesempatan berharga tersebut, dan disela-sela kesibukannya Dr. Ir. I Wayan Koster meluangkan waktunya untuk memberikan ceramah (sambung rasa) dengan kalangan civitas ISI Denpasar, baik pejabat struktural, pegawai maupun dosen. Dalam ceramahnya Dr. I Wayan Koster menyampikan bahwa perlunya kita untuk melestarikan seni dan budaya Bali yang sudah diwarisi ini. Menurutnya Bali yang kita cintai ini harus dipelihara lewat seninya. Sehingga apa yang sudah dimandatkan almarhum IB. Mantra untuk membangun wadah pendidikan seni perlu mendapat perhatian serius baik untuk pemerintah daerah hingga pusat. Pemeliharaan ini sudah menjadi tanggung jawab negara untuk memelihara kebudayaan. Sehingga membangun iklim akademik kampus yang kondusif perlu dibangun untuk mewujudkan hal tersebut. Pihaknya mendorong agar kwalitas dosen terus ditingkatkan dengan meraih jenjang pendidikan setinggi-tingginya. Mengingat peranan kampus ISI Denpasar sangat besar untuk memelihara Bali, maka Kampus ISI kususnya kampus seni sangat layak mendapat suntikan dana pemeliharaan dan pengembangan kampus agar berkesinambungan. Untuk itu sudah menjadi tugas kita bersama, menjaga, memelihara dan melindungi apa yang sudah diwarisi ini.
I Wayan Koster pun berjanji akan membantu menyalurkan apresiasi apapun kebutuhan kampus ini terutama perkembangan sarana dan prasarananya. Besar harapan dengan bantuan ini maka kedepan ISI Denpasar memiliki tempat pementasan, pameran dan musium berstandar internasional.
Sementara Rektor ISI Denpasar mengungkapkan apa yang ditawarkan I Wayan Koster bagaikan gayung bersambut, karena itu sudah menjadi cita-cita dan impian ISI Denpasar. Pihaknya akan menanggapi serius dan memegang teguh harapan tersebut untuk menjadikan ISI Denpasar sebagai wadah untuk melestarikan Bali.
Pada kesempatan tersebut I Wayan Koster menyempatkan untuk melakukan inspeksi ke lingkungan kampus ISI Denpasar yang tengah disibukkan pula dengan kegiatan PKB. Pihaknya pun didampingi jajaran kampus ISI Denpasar mengunjungi Gedung Pameran Seni Rupa PKB yang bertempat di ISI Denpasar. Wayan Koster pun bangga melihat karya seni lukis, kriya dan foto oleh para seniman Bali yang didominasi oleh mahasiswa, dosen dan alumni ISI Denpasar.
Humas ISI Denpasar melaporkan
by admin | Jul 7, 2010 | Berita

Jakarta- Setelah Oratorium Anggada Duta persembahan ISI Denpasar memikat hati Presiden RI saat pembukaan PKB ke-32 beberapa waktu lalu, di Arda Candra, ISI Denpasar kembali diberi kepercayaan untuk membawakan tari Pendet guna menyambut kunjungan Presiden Swiss ke Indonesia dari tanggal 6 hingga 9 Juli 2010 ke Indonesia. Tari Pendet ini akan dibawakan pada saat jamuan santap malam kenegaraan bertempat di Istana Kepresidenan Jakarta pada tanggal 7 Juli 2010. Rombongan yang dipimpin langsung Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Wayan Rai S.,M.A., berjumlah 19 orang terdiri dari penari, penabuh dan pembina. Tarian ini adalah salah satu tari tradisi Bali’ sebagai nominasi Republik Indonesia untuk diinskripsi UNESCO dalam Representative List of Humanity. Dimana tari Pendet dibawakan oleh penari wanita dengan gerakannya terinspirasi dari tari-tari untuk upacara seperti Rejang dan Memendet. Penari membawa bokor (mangkuk silver) yang berisi bungan untuk disebarkan kepada para tamu sebagai symbol selamat datang. Tarian ini diciptakan tahun 50an oleh almarhum Rindi.
Prof. Rai mengungkapkan kesempatan ini merupakan suatu kehormatan bagi Institusi, untuk dapat menampilkan yang terbaik demi kepentingan bangsa. Moment ini pun sangat tepat untuk mempromosikan kampus seni ISI Denpasar dikancah internasional, sebagai awal dari internasionalisasi perguruan tinggi seni. Pihaknya berupaya semaksimal mungkin memberikan yang terbaik untuk bangsa ini. Karena secara tidak langsung lewat senilah kita dapat memepersatukan antar Bangsa serta mampu mengangkat citra baik nusa dan bangsa lewat seni. Untuk itu Prof. Rai menghaturkan terima kasih banyak atas kerja keras seluruh civitas ISI Denpasar, dan apa yang diapresiasi oleh Presiden RI ini dapat mengobati sebagala perjuangan yang sudah kita lakukan untuk kemajuan kampus ini. Pada kesempatan tersebut Prof. Rai juga menghaturkan syukur dan terima kasih kepada keras Gubernur Bali beserta jajarannya atas dukungan dan motivasinya.
Humas ISI Denpasar melaporkan
by admin | Jul 6, 2010 | Berita
Denpasar- Guna mempercepat kelulusan serta memeri peluang kepada mahasiswa untuk memperbaiki nilai guna memperoleh hasil yang terbaik, maka untuk pertama kalinya Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) ISI Denpasar menggelar Ujian Sarjana Seni untuk gelombang II, setelah kesuksesan pelaksanaan sebelumnya, gelombang I pada tanggal 24 samapai 27 Mei 2010. Pada ujian gelombang ke dua ini, menghadirkan 5 peserta ujian yang terdiri dari 1 orang Jurusan Tari, 2 orang Jurusan Karawitan serta 2 orang dari Jurusan Pedalangan. Ujian berlangsung pada tanggal 5 Juli 2010, dimulai pada pukul 09.00 pagi hingga selesai. Pementasan pertama akan menampilkan karya pedalangan dengan judul Khang Ci Wi, dengan penata I Dewa Gede Agung Sutresna. Penata mengisahkan bahwa masa lampau dipetik dari Prasasti Dalem Balingkang, menceritakan pertemuan antara Raja Jaya Pangus dengan putri saudagar China bernama Khang Ci Wi. Dikisahkan sekian lama dari perkawinan ini belum juga membuahkan keturunan. Sampai pada suatu waktu Raja Jaya Pangus memutuskan untuk bertapa di lereng Gunung Batur. Pertapaan Jaya Pangus pun terusik akan pesona paras cantik nan rupawan Dewi Danu hingga terjalin hubungan antara Jaya Pangus dan Dewi Danu. Khang Ci Wi menjadi murka setelah mengetahui hubungan ini. Maka terjadilah peperangan antara Khang Ci Wi dengan Dewi Danu. Pada saat peperangan terjadi, akhirnya Batari Batur mengutuk Jaya Pangus dan Khang Ci Wi menjadi Barong Landung yang mengemban misi menyeimbangkan alam dari mara bahaya. Dengan pendukung Karawitan dari Sanggar Rare Angon, garapan ini menghasilkan perpaduan warna antara budaya Cina dan Bali. Ini tercermin dari music iringan yang mengkolaborasikan etnik-entik Cina pada tembang yang dibawakan gerongnya.
Kemudian dilanjutkan dengan judul karya pedalangan ‘Pralaya’ oleh penata Ida Bagus Putra Tenaya dari Jurusan Pedalangan. Garapan Pralaya ini menceritakan akibat perbuatan tidak terpuji yang dilakukan Raden Samba putra Kresna terhadap tiga Maharsi Agung. Akhirnya Dwarawati beserta keluarga besar Yadu dikutuk hingga mengalami kemusnahan. Sebagai antisipasi Sri Kresna memerintahkan seluruh keluarga besar Yadu untuk melakukan penyucian diri ke Prabhasatirta, namun kemusnahan itu tetap terjadi sebagai kehendak alam. Menurut penata, kisah ini diangkat dari Mosala parwa bagian ke enam belas epos Mahabharata, yang melibatkan pendukung Karawitan dari Sekaa Semar Pegulingan Margia Bhuana Abiansemal, Badung.
Karya selanjutnya dari Jurusan Karawitan berjudul ‘TawaCeng oleh I Ketut Yuliarta. Dengan berpolah tingkah lucu, penata ingin menampilkan garapan karawitan kontemporer yang terilhami dari terjadinya sebuah perubahan. Perubahan sangat berpengaruh dan berperan dalam segala proses yang dilakukan oleh makhluk hidup di dunia ini, Karena perubahan itu abadi keberadaannya. Kata perubahan yang menyebabkan terbesitnya sebuah ide dan konsep, dimana penata mentransformasikan ide dan konsep perubahan lewat bahasa musikal dengan perubahan fungsi dan teknik pukul dari media ungkap Tawa-tawa dan Ceng-ceng ricik. Dengan tetap mengutamakan unsur-unsur musikal seperti tempo, ritme dan dinamika, penata ingin mempersembahkan sebuah garapan karawitan kontemporer yang begitu harmonis didengar oleh penikmat seni. Penata melibatkan Pendukung Karawitandari Sanggar Sangglir.
Dilanjutkan dengan penampilan dari Ni Luh Putu Eka Oktayanti, mahasiswa dari Jurusan Tari dengan garapan berjudul Jayastri. Menurut penata, Jaya berarti menang, Stri artinya wanita. Jayastri adalah seorang wanita yang mampu memenangkan dalam memperebutkan senjata lawan. Sebuah garapan tari yang menceritakan keberanian seorang wanita pejuang Nyonya Lasti memiliki jiwa patriotisme yang ditugaskan oleh I Gst.Ngurah Rai merebut persenjataan Bali yang telah dikuasai Polisi Jenderal Wagimin dari pasukan Belanda. Penata melibatkan pendukung Karawitan dari Sanggar Nara Iswara Renon, Denpasar.
Sementara untuk akhir pementasan ditampilkan karya dari mahasiswa Jurusan Karawitan yang bernama I Kadek Aryadi Wijaya dengan judul Tetikesan. Dikisahkan perjalanan hidup masing-masing individu selalu diwarnai ungkapan rasa, karsa yang penuh dengan nilai-nilai estetika. Tetikesan mempunyai makna, tingkah laku atau pola sikap. Dari hal tersebut pengekspresian dan perwatakan tari barong sebagai simbolisasi dari Banaspatiraja manjadi latar belakang pijakan untuk ditransformasikan kedalam sebuah tabuh kreasi Bebarongan inovatif, dengan tetap berpedoman pada pola-pola tradisi, menekankan pengolahan teknik atau gegebug serta memaksimalkan pengolahan dengan media ungkap gamelan semara pegulingan. Penata mencoba menjelaskan dalam bentuk bahasa musikal secara subyektif dengan mempertimbangkan aspek garap karawitan “tabuh petegak bebarongan”. Penata menyajikan garapan Tetikesan dengan melibatkan pendukung Karawitan dari Sanggar Sekar Mas, Desa Adat, Desa Adat Peninjoan Denpasar.
Humas ISI Denpasar melaporkan
by admin | Jul 6, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan
Masyarakat mancanegara telah mengenal legong sebagai seni tari dari Pulau Dewata. Terminologi kesenian bangsa-bangsa menempatkan legong sebagai seni tari yang luwes gemulai dalam pangkuan gemerincing gamelan yang renyah dinamis. Seni pertunjukan yang seutuhnya merupakan rajutan estetika tari ini menggapai puncak kejayaannya para era kerajaan Bali. Saat itu beberapa kerajaan besar di Bali menjadikan legong sebagai seni kesayangan sekaligus gengsi para penguasa. Namun sejak pupusnya patronisasi puri-puri oleh terjangan kolonalisme, legong yang juga lazim disebut legong keraton, secara perlahan kian redup binarnya. Masyarakat Bali masa kini umumnya tak memiliki ikatan estetik-emosional dengan si elok legong.
Namun kemilau seni tari yang biasanya dibawakan para gadis belia ini bagai mutiara yang sedang berbalut lumpur. Sebab konsep estetik legong masih menjadi acuan dalam penciptaan seni tari. Nilai artistik yang menjadi aura legong tetap mengundang inspirasi kreator tari Bali masa kini. Tengoklah, misalnya, tari “Nara Simha“ garapan I Gusti Agung Ayu Savitri. Dalam pentas ujian akhirnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Senin (24/5) malam lalu, koreografer muda yang tak lain dari cucu maestro legong I Gusti Raka Saba (almarhum) ini dengan meyakinkan menyajikan koreografi pelegongan, karya tari yang dikembangkan berdasarkan konsep estetika legong.
Pola-pola klasik legong bukan hanya menjadi orientasi kreatif Ayu Savitri. Dalam ujian akhir ISI yang banyak menyedot perhatian penonton itu ada pula Komang Ari Wisa Kendraniati yang kebincut dengan bingkai keindahan tari yang muncul di Sukawati pada akhir abad ke-19 ini. Rabu (26/5) malam, gadis asal Tabanan ini menyuguhkan kreasi pelegongan dengan tajuk “Satya Jayanthi”. Jika Savitri bertutur tentang penumpasan keangkaramurkaan Hiraniakasipu oleh titisan Wisnu, Kendraniati berkisah tentang perjalanan Yudhistira ke sorga untuk mencari dan membuktikan kebenaran sejati.
Konsep estetik legong dengan kompleksitas tari dalam ikatan iringan gamelannya memang dapat membawakan beragam lakon. Demikian pula kreasi pelegongan yang belakangan telah ratusan digarap, berangkat dengan aneka tema dari berbagai sumber cerita. Masyarakat Bali dapat menyimak geliat kreasi pelegongan tersebut di arena Pesta Kesenian Bali (PKB). Dalam mata acara pagelaran festival atau parade Gong Kebyar, greget kreasi pelegongan merupakan bentuk seni pentas yang pernah beberapa kali diwajibkan untuk diketengahkan. Selain dalam ajang PKB, ujian-ujian akhir di ISI Denpasar juga telah banyak menelorkan kreasi pelegongan.
Cinta Si Elok Legong Bertepuk Sebelah Tangan Selengkapnya
by admin | Jul 6, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Kadek Suartaya, Dosen Program Studi Seni Karawitan
Di tengah perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 1990 silam, Ni Ketut Cenik, seorang penari sepuh tampil energik. Membawakan tari Joged, seniwati asal Desa Batuan, Sukawati, Gianyar, itu mengundang Gubernur Bali Ida Bagus Oka untuk ngibing ke atas pentas. Gubernur Oka tanpa sungkan-sungkan menimpali gelinjang Ni Cenik dengan tak kalah tangkas dan jenakanya. Para undangan dan penonton yang hadir di panggung Ksiarnawa pada malam itu, tampak begitu terharu menyaksikan kepiawaian dan semangat yang ditampilkan Cenik dan perhatian sungguh-sungguh yang diperlihatkan seorang gubernur. Acara yang disebut “Pemberian Penghargaan Kepada Seniman Tua” tersebut diteruskan hingga kini.
Berkaitan dengan PKB ke-32, Senin (21/6) malam lalu, sembilan seniman tua dari kabupaten/kota dihadirkan di Taman Budaya Bali untuk menerima penghargaan dari pemerintah atas pengabdian dan dedikasinya melestarikan dan mengawal kesenian Bali. Para seniman tari, karawitan, dan pedalangan yang rata-rata berusia 60-an tahun itu tampak terharu menerima penghargaan yang diserahkan oleh Wakil Guberbur Bali Anak Agung Puspayoga. Mereka, para pendekar kebudayaan itu, diterpa rasa haru, mungkin karena jagat seni yang mereka lakoni selama ini bukan dunia yang sarat pretensi melainkan sebuah bagian dari kehidupan yang berkeadaban.
Kesenian adalah sebuah representasi dari peradaban. Para seniman merupakan insan-insan kebudayaan terdepan yang mengisi kehidupan dengan nilai-nilai keindahan seni. Melalui karsa, cipta dan karyanya, harkat sebuah bangsa, komunitas, kampung atau banjar ditenun menjadi sehelai jati diri. Sebagai kontributor terdepan kebudayaan, para seniman dengan keseniannya, sejak dulu selalu berinteraksi dengan bidang-bidang kehidupan yang lainnya seperti sosial politik dan ritual keagamaan. Ada kalanya dalam suatu masa keemasan, para seniman diposisikan begitu mulia serta strategis dan ada kalanya dalam saat-saat genting posisi mereka tersudut tragis.
Peran para seniman Bali sangat dipuja puji pada era kejayaan kerajaan sejak zaman pemerintahan Dalem Waturenggong pada abad ke-16. Setelah berada dalam posisi yang gamang pada masa penjajahan, era kemerdekaan memberikan kesempatan kalangan seniman untuk mereposisi diri. Kendati sempat terombang-ambing pada zaman Orde Lama dan awal Orde Baru, namun tahun 1970-an dirasakan berhembusnya angin segar bagi para seniman Bali. Semilir angin sejuk itu terutama sejak ditancapkannya tonggak penting berkesenian dalam skala Bali yaitu PKB pada tahun 1978 oleh gubernur Bali kala itu, Ida Bagus Mantra. Tak sedikit yang dengan sumeringah membanggakan PKB sebagai kebangkitan kesenian Bali.
Seniman Bali Disayang Gubernur Dan Presiden Selengkapnya
by admin | Jul 5, 2010 | Berita
Denpasar– Setelah sukses menampilkan Cak Wanita pada peringatan hari Kartini beberapa waktu lalu, Cak Wanita Bungan Sandat ISI Denpasar tampil memukau dalam ajang bergengsi Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-32, pada 1 Juli 2010. Kelompok cak wanita yang beranggotakan ibu-ibu Darma Wanita Persatuan (DWP) ISI Denpasar tampil percaya diri di panggung Kesirarnawa Taman Budaya Denpasar. Yang menjadikan cak ini tampil berbeda dari biasanya adalah dengan menyelipkan tetembangan dalam setiap sela-sela pementasan, bahkan ada pesan yang disampaikan lewat bebondresan dengan iringan geguntangan. Sementara keindahan wanita diispirasikan lewat pembentukan formasi bunga-bunga disela-sela penampilan cak dengan menggunakan media kipas. Selain itu kemasan bondres dibuat kocak, yang menjadikan paket cak ini sangat menarik. Dalam bondres disampaikan bahwa wanita dalam hal ini ibu memiliki peranan yang besar dalam membina rumah tangga. Selain sebagai seorang ibu, dia juga memiliki mandat untuk mengarahkan suami agar bertindak pisotif. Cerita dalam garapan ini dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, diantaranya pertenggaran kecil terjadi dalam rumah tangga karena sang suami terlalu mabuk akan judi tajen. Sang istri terus berupaya untuk menyakinkan sang suami agar tidak hanyut dalam permainan judi yang pasti merugikan. Namun suami tidak mempedulikan pesan istri hingga akhirnya karma menimpa suami. Pesan-pesan singkat lewat lawakan menjadikan suasana begitu mencair. Apalagi adegan metajen sang suami benr-benar diperankan secara alami. Tak ayal ayam asli pun masuk ke ranah panggung untuk tampil mendukung pementasan. sontak polah tingkah ayampun menarik perhatian penonton. Termasuk diantaranya Kepada Dinas Kebudayaan, Kepala UPT Taman Budaya, Ibu Wagub, Bintang Puspayoga serta undangan lainnya. Ide yang digagas oleh Koordinator Asti Pertiwi (Skaa tabuh wanita ISI Denpasar), Ni Ketut Suryatini, M.Sn ini sangat didukung oleh Ketua Darma Wanita ISI Denpasar, I Gusti Ayu Srinatih, S.ST., M.Si. Menurutnya kegiatan ini sangat penting untuk menjalin keakraban dan kebersamaan antar anggota.
Sebagai acara pembuka untuk menyambut kedatangan tamu-tamu serta penonton, seniman-seniman cilik yang tergabung dalam Sanggar Karawitan Gangsa Dewa, dengan lihai memainkan alat musik gender. Tiga puluh enam penabuh yang rata-rata berusia sekitar 7 sampai dengan 13 tahun ini memaikan gending tabuh yang berjudul tulang lindung, seketi, Sekar Taman, Cucuk Punyah, Merak Nyelo, serta Cecek Megelut. Menurut Pembina Ni Ketut Suryatini yang juga dosen Karawitan ISI Denpasar, anak-anak ini berlatih secara intensif 2 kali dalam seminggu. Mereka sangat antusias untuk belajar gender, walaupun ada kesan bermain gender itu sulit. Namun dengan metode dan teknik pengajaran yang menarik menjadikan mereka tertarin untuk belajar bermain gender. Kini keanggotaan sanggar sudah ada sekitar 60 peserta. Rencananya kedepan akan membuat konser gender khusus anak-anak. Dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk turut tampil dalam ajang bergengsi ini, maka dapat memotivasi generasi lain untuk berkarya.
Humas ISI Denpasar melaporkan