Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Membranophone

Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Membranophone

Kiriman: Wardizal Ssen., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Gandang Tambur

Salah satu jenis instrumen gandang (kendang) yang berkembang di Minangkabau, khususnya di daerah Pariaman dan sebagian kabupaten agam seperti Tiku, Lubuk Basuang, Maninjau dan Malalak. Gandang Tambur mempunyai dua kepala (double headed) ; maksudnya bagian permukaan gandang yang dilapisi dengan kulit (membran). Gandang ini juga termasuk keluarga cylindrical drums (gandang berbentuk slinder). Bagian badan gandang terbuat dari kayu jenis ringan seperti kayu pulai dan kayu kapok. Garis tengah gandang lebih kurang 60 cm dan panjang gandang lebih kurang 80 cm. Kulit yang dipergunakan sebagai membran biasanya kulit kambing atau kulit sapi.

Untuk memainkan gandang tambur ini disandang dibahu dengan posisi gandang terletak pada bagian depan pemainnya. Agar lebih memudahkan, gandang tambur diberi tali penyandang pada kedua sisinya dengan kain yang agak tebal atau semacam ikat pinggang yang dibuat dari kain, sehingga tidak menimbulkan rasa sakit pada bahu ketika dimainkan. Alat pemukul (panggul) terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa (bentuk bulat pada kedua ujungnya) dengan ukuran yang berbeda. Agak besar untuk pemukul kepala gandang pada posisi atas, dan agak kecil untuk pemukul gandang pada posisi bawah. Jumlah pemain dari gandang tambur ini relatif, biasanya berkisar antara 4-9 orang serta dalam setiap penampikanya sejalan dengan instrumen musik Tasa.

Gandang Sarunai Sungai Pagu

Bentuk atau jenis kendang lain yang berkembang di Minangkabau yang terdiri dari 2 (dua) jenis alat, yaitu: gandang dan sarunai. Jenis gandang ini sering juga disebut dengan gandang sarunai Sungai Pagu disebabkan penyajiannya terdiri dari gandang dan sarunai yang terdapat di daerah Sungai Pagu, kabupaten Solok, Sumatera Barat.

Sama halnya dengan gandang tambur, gandang sarunai Sungai Pagu ini juga mempunyai dua kepala (double headed) dengan ukuran diameter kepala berbeda, yang satu agak lebih besar dari yang lainnya. Dari segi bentuk, instrumen musik ini termasuk keluarga conical drums (gandang berbetuk kerucut). Di tengah kehidupan masyarakat, gandang sarunai Sungai Pagu difungsikan untuk keperluan hiburan pada upacara-upacara seperti: batagak penghulu, helat perkawinan dan lain sebagainya.

Gandang Aguang

Jenis gandang yang berkembang di Minangkabau khususnya di nagari Labueh Gunuang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jenis gandang ini terdiri dari gandang jantan dan gandang batino dengan ukuran yang berbeda. Dilihat dari segi bentuk, gandang jantan tergolong jenis cylindrical drums (berbentuk slinder), sedangkan gandang batino tergolong bariel drums (gondong berbentuk tong), yaitu pada bagian tengah gandang agak cembung atau diameternya lebih panjang dari kedua bagian kepala gandang.

Gandang aguang ini merupakan bagian dari ensambel musik Talempong Aguang yang terdiri dari: talempong, gong, gandang dan pupuik batang padi. Instrumen Gandang Aguang ini lebih banyak digunakan sebagai sarana hiburan terutama digunakan pada acara-acara yang terdapat di Nagari Labueh Gunuang Kecamatan Luhak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Gandang Katindik

Jenis gandang bermuka dua (double headed) yang sering juga disebut gandang gamat. Hal ini dikarena gandang ini sering digunakan dalam pertunjukan kesenian gamat. Gandang katindik termasuk keluarga barrel drums (gandang berbentuk tong). Gandang Katindik yang berkembang di Minangkabau sama bentuknya dengan gandang katindik yang terdapat dalam karawitan Jawa.

Adok

Jenis instrumen musik keluarga membranophone bermuka satu (single headed) yang berkembang di Minangkabau. Instrumen Adok ini termasuk keluarga vissel drums (gandang berbentuk bejana). Oleh karena pada bagian bawah dari Adok ini datar, tidak cembung, maka adok ini bisa juga dikategorikan pada jenis instrumen musik conical drums (gandang berbentuk kerucut).

Pada massa dahulu, adok ini dipergunakan sebagai media dakwah dan untuk menyebarkan informasi lainnya kepada masyarakat. Dalam penyajiannya, adok ini lebih banyak dimainkan secara tunggal. Dalam perkembanganya sekarang sering dimainkan sejalan dengan instrumen musik Minangkabau lainnya seperti: talempong, pupuik sarunai, dan erupakan ensambel musik untuk mengiringi tari-tarian terutama di luhak nan tigo. Untuk daerah Pesisir Selatan, gandang adok dipergunakan untuk mengiringi dendang yang dikenal dengan sebutan dendang adok.

Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Membranophoe, Selengkapnya

Pemenang Lomba Karya Jurnalistik dan Artikel Pendidikan

Pemenang Lomba Karya Jurnalistik dan Artikel Pendidikan

Jakarta – Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2011 diramaikan dengan Lomba Karya Jurnalistik Berita dan Penilaian Artikel di Bidang Pendidikan. Ada enam pemenang yang mendapat penghargaan dalam kegiatan yang diadakan Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat  Kemdiknas ini.

Tiga juara untuk penilaian artikel (nonlomba), dan tiga juara untuk lomba karya jurnalistik berita. Tema untuk penilaian artikel maupun lomba karya jurnalistik berita bertajuk “Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”. Pengumuman pemenang berlangsung di Hotel Orchardz, Jakarta, (20/5), bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, yang juga dipilih sebagai puncak dari rangkaian peringatan Hardiknas 2011.

Untuk pemenang penilaian artikel, juara pertama diperoleh Paul Suparno, dengan judul artikel “Character Development and Nation Building”, dimuat di The Jakarta Post pada 23 Oktober 2010. Juara kedua diraih Sansrisna Ichan, dengan artikel berjudul “Sekolah, Belajar, dan Perubahan Karakter”, dimuat di Media Indonesia pada 25 Oktober 2010. Kemudian juara ketiga diperoleh Doni Koesoema A, dengan judul artikel “Kucing Hitam Pendidikan Karakter”, dimuat di Kompas pada 19 Juli 2010.

Sedangkan untuk pemenang lomba karya jurnalistik berita, juara pertama merupakan berita karya Edwardi, berjudul “Pendidikan Karakter: Memperbaiki Kain Salah Sulam”, yang diterbitkan Singgalang, pada 23 Maret 2011. Juara kedua diterima Junianto Budi S, untuk karyanya yang berjudul “Membentuk Siswa Berpikir Solutif”, dimuat di Koran Merapi Pembaruan pada 28 Maret 2011. Kemudian juara ketiga diraih Burhanuddin Bella untuk artikelnya yang berjudul “Pendidikan Karakter Dimulai dari Usia Dini”.

Dalam acara ramah-tamah dengan para pemenang, Sekretaris Jenderal Kemdiknas, Dody Nandika, yang diwakili Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat, Ibnu Hamad mengatakan, peran media sangat penting bagi dunia pendidikan pada umumnya, dan bagi Kemdiknas pada khususnya.

Sebagai instansi pendidikan tertinggi, Kemdiknas memerlukan komunikasi dengan masyarakat, dan media adalah fasilitatornya. “Pers bisa menjadi pemancar dan penyambung informasi dari kami ke masyarakat.” Media juga bisa menjadi saluran dalam mengembangkan dan menguatkan pendidikan karakter, seperti tema Hardiknas 2011.

Ibnu Hamad menambahkan, penilaian artikel bukan merupakan lomba, melainkan bersifat apresiasi. Bidang Pencitraan di Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kemdiknas memiliki kliping berupa kumpulan artikel dari berbagai media massa cetak. Artikel-artikel itu merupakan artikel yang dimuat di media antara Juni 2010 hingga Maret 2011. Sebanyak 435 artikel diseleksi, dan terdapat 43 artikel yang dinilai lebih lanjut ke tahap berikutnya, berdasarkan tema dan kesesuaian.

Sedangkan untuk lomba karya jurnalistik berita, ada 70 berita yang masuk ke panitia untuk didaftarkan dalam lomba. Berita-berita itu merupakan berita yang terbit dari Januari 2011, hingga Maret 2011. Dari 70 berita, kemudian diseleksi lagi menjadi 32 untuk dinilai lebih lanjut ke tahap berikutnya.

Ada empat juri yang melakukan penilaian. Mereka adalah Ahmed Kurnia dan Illa Kartila sebagai praktisi, Mahdiansyah dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdiknas, dan Dad Murnia dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdiknas, yang menilai artikel dan berita dari segi bahasa.

Mendiknas Mohammad Nuh kemudian memutuskan nama ke-enam pemenang pada 13 Mei 2010, untuk diumumkan tepat di Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei. Dalam sambutannya, Sekjen Kemdiknas Dody Nandika berharap, prestasi ini bisa menjadi pemicu dan motivasi para pemenang untuk terus berperan dalam dunia pendidikan

Sumber: kemdiknas.go.id

Lantunan Gamelan Cinta Wanita Bali

Lantunan Gamelan Cinta Wanita Bali

Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.

Belakangan, gamelan tidak tabu lagi dimainkan kaum wanita Bali. Tengoklah betapa maraknya pemunculan grup-grup gamelan ibu-ibu yang marak akhir-akhir ini. Panggul (alat pemukul gamelan) yang  sebelumnya hanya dimonopoli oleh kaum pria itu, kini kian lincah diayun oleh para wanita Bali, saat mereka meniti nada-nada gamelan. Simaklah pada Sabtu (19/2) malam di Wantilan Pura Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Sekelompok penabuh wanita memukau perhatian masyarakat setempat yang sedang menggelar piodalan.

Sungguh mengundang takjub, sekumpulan penabuh wanita berbusana kebaya pink itu, dengan penuh percaya diri, tampil secara mebarung alias pentas bersanding dengan para penabuh pria. Para penabuh wanita itu seakan tak mau kalah keterampilan dan penampilan saling unjuk tabuh-tabuh petegak (konser). Bukan hanya itu. Pada pementasan inti, berhadapan dengan para penabuh pria yang lainnya, grup penabuh wanita tersebut saling berbalas mengiringi aneka tari klasik dan kreasi. Penonton berdecak dan berkali-kali memberi aplous terhadap sajian 25 orang penabuh wanita itu.

Kelompok penabuh wanita yang pentas pada malam itu terdiri dari para dosen, pegawai, mahasiswi dan alumni ISI Denpasar yang berkibar dengan nama Asti Pertiwi. Selain sudah hadir ke pelosok Bali, sekaa gong wanita ini juga telah unjuk kebolehan di pulau Jawa seperti Solo dan Jakarta. Pentas ngayah (pagelaran seni non-profit) dalam konteks ritual keagamaan menjadi arena yang paling sering dihadiri Asti Pertiwi untuk mengibur masyarakat dan sekaligus sebagai persembahan pada Hyang Widhi. Seperti saat tampil di Desa Sukawati itu, mereka ngayah melantunkan tatabuhan yang memberi suasana hikmat piodalan dan kemudian tampil dalam pagelaran balih-balihan yaitu sajian presentasi artistik alias suguhan keindahan seni.

Binar keindahan yang dilantunkan oleh Asti Pertiwi adalah melalui gamelan cinta, Semarapagulingan. Untuk diketahui, grup-grup penabuh wanita yang kini bermunculan pada umumnya memainkan gamelan Gong Kebyar, sebuah ansembel gamelan Bali yang paling luas sebarannya, hampir dimiliki oleh setiap desa atau banjar. Asti Pertiwi menyuntuki Semarapagulingan, salah satu barungan gamelan yang di masa lalu eksis di lingkungan istana. Seperti namanya, samara pagulingan, gamelan yang bersuara manis  nan merdu ini ditabuh untuk mengiringi raja dan permaisurinya saat memadu cinta kasih di peraduan. Kini, gamelan Semarapagulingan semakin terdesak oleh popularitas Gong Kebyar.

Ada dua bentuk gamelan Semarapagulingan yakni yang bernada lima (saih lima) dan yang bernada tujuh (saih pitu). Grup Asti Pertiwi ISI Denpasar mengekspresikan gairah berkeseniannya mempergunakan Semarapagulingan bernada tujuh. Untuk memainkan gamelan Semarapagulingan tujuh nada ini memerlukan keterampilan khusus, relatif lebih sulit dibandingkan memakai media Gong Kebyar. Untuk memberikan pemahaman konsep musikal gamelan saih pitu, malam itu, di sela-sela pertunjukan, Rektor ISI, Prof. Dr. I Wayan Rai S.,MA, menunjukkan kepada para penonton tentang beberapa tangga nada yang dimiliki oleh gamelan Semaparapagulingan.

Melalui media Semarapagulingan saih pitu–setelah ngayah bersanding dengan penabuh pria Gong Kebyar Banjar Tebuana Sukawati– pada pertunjukan inti yang disesaki penonton, Asti Pertiwi mebarung dengan kelompok penabuh pria para mahasiswa dan dosen ISI. Asti Pertiwi tampil apik mengiringi tari Selat Segara, Topeng Arsawijaya, dan tari Margapati. Sepasang pemain kendang mengendalikan gending dengan sigap. Tukang ugal yang bertugas menuntun melodi meniti nada-nada instrumen gangsa dengan penuh sugesti. Para penabuh jublag dan jegog yang memainkan pokok-pokok lagu mengayun panggul-nya dengan lentur dan awas. Semuanya bermain dengan tertib, semangat, dan dengan senyum tersungging.

Sebelum mengiringi tiga tarian itu, sebuah konser gamelan dengan judul “Cita Pertiwi“ berhasil menggugah penonton. Tabuh karya dosen ISI Ni Ketut Suryatini, SSKar, M.Sn ini bertutur tentang harapan dan hasrat kaum wanita Bali untuk mensejajarkan diri dengan kaum pria dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang kesenian atau seni budaya Bali pada umumnya. Penonton terkesima karena tabuh berdurasi sekitar 10 menit ini memadukan gamelan, olah vokal dan tarian. Lewat media Semarapagulingan tujuh nada, Suryatini mengeksplorasi sekian modulasi yang dimungkinkan oleh fleksibelitas gamelan ini, baik tampak pada garapan musik gamelannya maupun pada ungkapan vokal oleh seluruh pemain. Selingan tarian para pemain gamelan saat-saat menanjak pada klimaks tabuh, membuat “Cita Pertiwi” tampak begitu asyik disajikan.

Lantunan Gamelan Cinta Wanita Bali, selengkapnya

Thailand Kagumi Keragaman Budaya Bali

Thailand Kagumi Keragaman Budaya Bali

ISI Terima Kunjungan Prince fo Songkla University – Phuket Campus
DENPASAR- Menjalin dua budaya dalam satu kolaborasi seni, adalah upaya untuk mempererat hubungan dintara dua bangsa. Thailand salah satu Negara yang serupa dengan Bali, keragaman budaya, seni tari dan tabuhnya cukup unik. Sama halnya dengan Bali
keunikan budaya Bali memang tiada duanya. Hal ini diungkapkan petinggi Prince of Songkla University Phuket Campus, Ass.Prof. Pimpaporn Suwatthigul, saat berkunjung ke Intitut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Rabu (11/5). Kalangan akademisi asal negeri Gajah Putih berjumlah 3 orang itu,  dua diantaranya baru pertama kali berkunjung ke Bali.  “ Kami mengagumi  pulau ini serta orang-orang Bali yang sangat  ramah,” ujar Prof. Pimpaporn .  Pihaknya  menyebutkan  keramahan Pulau Dewata memang tiada duanya di dunia .
Kunjungan kali ini  membawa harapan untuk mengadakan kolaborasi dengan ISI Denpasar serta mengundang Rektor ISI Prof. Wayan Rai beserta staff untuk hadir kembali ke Phuket.
Pihaknya mengundang ISI Denpasar untuk bisa  memberikan workshop maupun seminar mengenai kebudayaan dan kesenian Bali khususnya.  “ Culture (budaya) and art (seni) sangat erat kaitannya,
seperti apa yang saya amati  dimana setiap karya seni yang dihasilkan para mahasiswa di kampus ini merupakan pengaruh dari budaya yang berkembang pada suatu daerah maupun bangsa,” ungkapnya .
Dalam kesempatan tersebut  Prof. Rai sangat berharap untuk bisa mewujudkan apa yang diharapkan Ass Prof. Pim untuk segera melakukan kolaborasi dalam hal workshop maupun seminar di Thailand. Pihaknya akan segera menyusun  jadwal untuk melakukan kunjungan ini, kebtulan bulan   Agustus mendatang , Rektor ISI  beserta beberapa dosen akan melakukan lawatan ke Bangkok, sehingga kemungkinan untuk mewujudkan harapan tersebut sangat besar.
Terkait dengan hubungan antara Indonesia dan Thailand, Prof. Rai menyatakan program  MIT yaitu Malaysia, Thailand, dan Indonesia, telah menjadi prioritas Kampus Seni ini.  “ Tahun ini akan ada dua orang mahasiswa dari ISI Denpasar yang mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program pertukaran mahasiswa. Salah satunya ke Thailand, dan hal ini memperlihatkan betapa dekatnya hubungan antara Indonesia dan Thailand,” kata Rektor saat mendampingi petinggi kampus asal Puket itu.
Diluar dugaan ternyata menurut Ass.Prof Pim, banyak juga mahasiswa Indonesia yang memang melanjutkan studinya disana. Hal ini membuktikan bahwa hubungan dekat antara dua negara ini, memang terus ditingkatkan baik itu dari segi pertukaran  mahasiswa maupun dengan pertukaran kegiatan yang diharapkan dapat mendukung hubungan budaya yang lebih erat lagi.

Humas ISI Denpasar melaporkan.

700 Orang Ikuti Kirab Budaya “Lampah Ratri”

700 Orang Ikuti Kirab Budaya “Lampah Ratri”

Yogyakarta  – Sekitar 700 orang dari berbagai elemen masyarakat yang difasilitasi Forum Persaudaraan Umat Beriman menggelar kirab budaya “Lampah Ratri” atau berjalan pada malam hari untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.

“Kegiatan ini rutin kami lakukan setiap tahun untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional, dan pada tahun ini adalah penyelenggaraan keempat kalinya,” kata Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Abdul Muhaimin di Yogyakarta, Kamis malam.
Selain ditujukan untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional, kegiatan tersebut juga ditujukan untuk terus menumbuhkan semangat pemulihan pascaerupsi Merapi serta tata kelola budaya di Sungai Opak dan Code.
Seluruh peserta berkumpul di Monumen Jogja Kembali untuk kemudian berjalan tanpa boleh ada satupun yang mengeluarkan suara sedikitpun.
Peserta melewati titik-titik yang dianggap menjadi simbol bagi warga Yogyakarta yaitu Tugu dan Titik Nol Kilometer untuk kemudian finish di Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Di setiap titik simbol tersebut, peserta kemudian melakukan prosesi doa bersama antar umat beragama dan rencananya seluruh peserta kirab akan diterima Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X di Pagelaran atau kerabat keraton lainnya.
Selama perjalanan tersebut, peserta kirab budaya juga mengawal bende serta air kehidupan yang diambil dari tujuh mata air berbeda.
Tema yang diangkat dalam penyelenggaraan kirab budaya “Lampah Ratri” 2011 tersebut adalah “Merah Negeriku, Bersatu Bangsaku, Sejahtera Rakyatku”.
“Rute yang dilalui dalam kirab budaya ini berbeda-beda karena menyesuaikan tema yang diangkat. Tetapi, selalu menetapkan keraton sebagai titik start atau finishnya,” katanya.
Keraton, lanjut dia, tidak dapat dipisahkan dari kirab budaya tersebut karena merupakan simbol budaya yang harus terus dijaga.
Abdul mengatakan, kegiatan tersebut pernah diikuti oleh 5.000 orang, saat dilakukan pascagempa bumi Yogyakarta.

Sumber: antaranews.com

Perbedaan Tokoh Arya pada Dramatari Gambuh Gaya Batuan dengan Pedungan

Perbedaan Tokoh Arya pada Dramatari Gambuh Gaya Batuan dengan Pedungan

Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn.

Sebagaimana diketahui, di Bali, khususnya di Bali Selatan terdapat dua daerah yang memiliki tingkat konservasi seni Dramatari Gambuh yang tinggi yaitu Desa Batuan di Kab. Gianyar dan Desa Pedungan di Kota Madya Denpasar. Kedua daerah ini memiliki gaya tersendiri yang membedakannya dengan yang lain, sehingga kesenian ini memiliki pengembangan variasai yang beragam semenjak kedatangannya pertama kali di Bali yang diperkirakan sekitar abad ke-14 Masehi. Pada tulisan ini, secara khusus kita akan mengupas lebih jauh tentang penampilan tokoh Arya dalam Dramatari Gambuh gaya Batuan dan Arya dalam Dramatari Gambuh gaya Pedungan. Adapun berbagai aspek yang dimaksud antara lain :

A. Karakter

Dalam pementasan dramatari, yang dipentingkan adalah pemahaman setiap pelaku terhadap alur cerita yang dibawakan yang akan berdampak pada pengenalan karakter tokoh yang ditarikan oleh pelaku pementasan. Bila tidak demikian, dapat dipastikan pementasan yang dibawakan kurang memiliki penjiwaan dan bahkan mungkin pesan ataupun amanat yang terkandung dalam cerita tersebut tidak sampai pada penonton yang menunjukkan pementasan tersebut boleh jadi dikatakan gagal.

Dalam Dramatari Gambuh, tokoh Arya mempunyai peran yang cukup vital, mengingat ia merupakan tokoh yang menjadi kepercayaan tokoh Panji ataupun Prabangsa. Namun dalam hal ini, Arya termasuk ke dalam kategori protagonist yaitu mendampingi Panji. Arya merupakan tokoh putra keras yang memiliki watak tegas, gagah dan energik. Dalam melantunkan wawankata, tokoh Arya melakukannya dengan penuh tenaga, tegas dan bernada rendah.

Perbedaan yang cukup mencolok antara Arya Gambuh Pedungan dan Batuan dapat dilihat pada adanya penggunaan tembang. Dalam tokoh Arya Batuan, terdapat sebuah tembang/tandak pepeson pendek yang diucapkan oleh penarinya. Sedangkan sebaliknya,  pada Arya Pedungan tidak ditemukan penggunaan tembang.

B. Rias dan Busana

Rias dan busana dalam sebuah tarian merupakan hal yang sangat penting dan segera menarik perhatian karena dari sanalah penonton dapat menafsirkan apa dan bagaimana karakter seorang tokoh pementasan di atas panggung. Sebagai tokoh yang memiliki karakter tegas, gagah dan energik, maka tata rias yang ditampilkan haruslah sesuai. Dimulai dari rias wajah, Arya memiliki alis yang tebal dan pada bagian ujung dibentuk agak sedikit naik untuk tetap memperlihatkan sisi maskulinnya. Arya dalam rias wajahnya memakai kumis dan cambang buatan dari pensil. Dalam hal ini, tidak ditemukan adanya perbedaan tat arias antara Arya Batuan dengan Arya Pedungan.

Sementara busana tariannya memakai jenis sesaputan, dengan lelancingan yang dibuat agak panjang dibiarkan menyentuh tanah. Tokoh Arya menggunakan baju lengan panjang yang biasanya berwarna merah atau hitam, badong tumpuk yang tebal, stewel, celana panjang putih dan saput berwarna dominan ungu. Warna ungu di sini dimaksudkan untuk memberi kesan keras dan tegas sehingga dapat menunjuang karakter yang diinginkan. Lanjut pada hiasan kepala atau yang bisa disebut gelungan, Arya menggunakan hiasan kepala berbentuk keklopingan yang di kedua sisi gelungannya diletakkan daun pandan serta susunan bungan merak. Pada sisi kiri dan kanan gelungan tepat berada di atas telinga, terdapat bunga merah yang sudah dipadukan dengan daun gegirang berwarna hijau.

C. Ragam Gerak

Tokoh Arya Batuan dengan Arya Pedungan dalam pementasannya memiliki sedikit perbedaan dalam hal abah (pembawaan yang tampak dari sikap tubuh) dan ragam gerak. Abah dalam Arya Batuan, misalnya dalam posisi agem kanan, memiliki sikap tubuh kedua kaki menghadap keluar, kaki kiri sedikit berada di depan kaki kanan, jari kaki kiri dinaikkan, berat badan dipusatkan di kaki kanan, tangan merentang ke luar hampir menyentuh angka 180 derajat, telapak tangan menghadap ke bawah. Sepintas, sikap ini mirip dengan sikap tangan dalam tari topeng, namun lebih lebar. Sedangkan pada Arya Pedungan, hampir sama namun yang membedakannya hanyalah pada bukaan rentang tangan yang menyentuh angka 180 derajat alias direntangkan sempurna dengan telapak tangan masing-masing menghadap ke arah kanan dan kiri.

Adapun ragam gerak nyaris sama, hanya saja pola penempatannya yang berbeda.  Semisal dalam Arya Batuan terdapat gerak nayog, ngelies, kirig udang, nimpah, ngrajeg, nglangsut, ngeger, nyambir, bhuta ngawa sari, matetanganan, gelatik nuut papah, kaya dan angsel kado. Sedangkan pada Arya Pedungan, terdapat tambahan ragam gerak ngotes rambut dan gerakan tayungan dengkleng. Perlu diketahui juga, perbedaan paling mendasar antara tokoh Arya Batuan dengan Arya Pedungan adalah pada adanya gerakan seledet mata pada Arya Batuan dan tiadanya gerakan mata ini pada Arya Pedungan. Oleh para pengajar dahulu, ketiadaan gerakan seledet mata ini pada Arya Pedungan dikarenakan bilamana penari Arya Pedungan melakukan gerakan ini, maka akan dianggap seolah tidak fokus pada tarian oleh penonton (ledat, dalam bahasa Bali).

Perbedaan Tokoh Arya pada Dramatari Gambuh Gaya Batuan dengan Pedungan, selengkapnya

Loading...