by dwigunawati | Jun 27, 2011 | Berita, Galeri
Penata
Nama : Ni Made Liza Anggara Dewi
Nim : 200701032
Program Studi : Seni Tari
Sinopsis :
Retna Predana ialah sebuah istilah yang berarti wanita utama dalam Bahasa Kawi. Wanita utama adalah pribadi yang mampu melaksanakan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya sehari-hari. Masyarakat Hindu di Bali yang begitu kental dengan pelaksanaan upacara keagamaan, mengharuskan kaum wanitanya terampil dalam membuat sarana upacara. Digambarkan dengan sekelompok gadis Hindu Bali yang cantik dan ulet yang sedang melakukan aktifitas mejejaitan, ditrasformasikan menjadi sebuah karya tari kreasi yang berjudul Retna Pradana.
Penata Karawitan : I Made Subandi, S.Sn
Pendukung Tari : Mahasiswa ISI Denpasar Smtr II dan VI Tari
Pendukung Karawitan : Sanggar Ceraken Batuyang
Ujian Tugas Akhir FSP Gelombang I Tahun 2011



by admin | Jun 27, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Suartaya, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Dunia cipta seni mengalir dan membuncah di Pulau Dewata. Ekspresi keindahan manusia Bali bertumbuh sejak dulu hingga kini. Bunga-bunga karya cipta para kreator seni masa lampu, kini menyemarakkan khasanah kesenian Bali. Seni pertunjukan dengan beragam bentuk, fungsi, dan maknanya hadir dan menyatu dengan sosio-kultural masyarakatnya. Sekarang, di tengah era globalisasi, jagat seni pentas tetap menggeliat. Simaklah pada 24-27 Mei lalu di ISI Denpasar. Puluhan seniman muda menguak menyajikan karya ciptanya yang sarat gereget, dinikmati penonton penuh antusias.
Antusiasisme penonton dan apresiasi para pemerhati seni menyaksikan seni pentas besutan 53 orang seniman muda itu kiranya wajar. Sebab sajian pertunjukan dalam ungkapan seni tari, seni karawitan, dan seni pedalangan itu sejatinya memang dikonstruksi dengan mengerahkan segenap kemampuan masing-masing penggarap. Maklum, garapan seni pentas itu adalah karya tugas akhir–merupakan bagian dari pertanggungjawaban akademik–bagi para mahasiswa yang akan menamatkan pendidikan kesarjanaannya (S-1) di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar. Generasi muda yang menekuni bidang penciptaan, dalam kesempatan itu, menunjukkan karyanya di depan para penguji dan masyarakat penonton.
Masyarakat penonton dapat menikmati beraneka ragam ekspresi karya seni pentas. Para seniman muda itu diberikan ruang yang sangat terbuka untuk mengimplementasikan gagasan artistiknya. Mereka juga mendapatkan kemerdekaan untuk mengolah elemen-elemen estetik, baik yang berakar dari seni tradisi maupun yang menjelajah area seni kontemporer. Tema cerita yang dipetik dari beragam sumber juga begitu variatif. Begitu pula pesan-pesan yang dilontarkan menjamah bermacam fenomena, konteks, dan nilai-nilai moral kehidupan.
Moral dari sebuah kesetiaan ditampilkan oleh Ni Nyoman Wahyu Adi Gotama dengan cipta tari bertajuk “Satyaning Amba“. Tari kreasi yang dibawakan lima penari putri ini bertutur tentang seorang putri raja, Dewi Amba, yang cinta dan harga dirinya merasa dihina oleh Bhisma, seorang ksatria brahmacari. Amba menyimpan dendam dan bertekad membalasnya. Selain moral kesetiaan dari epos Mahabharata, filosofi rwa bhineda dari sumber mitologi, juga digarap dalam sebuah koreografi karya Putu Ryma Febriana. Lewat judul “Siwa Swabhawa“, Ryma berungkap tari mengisahkan wujud ganda dari Dewa Siwa yaitu penuh kasih dan garang menakutkan. Berbeda dengan Wahyu dan Ryma, Ni Made Liza Anggara Dewi terimajinasi oleh kehidupan sehari-hari wanita Bali. Liza menstranformasikan ketulusan wanita Bali dalam aktivitas sosial keagamaannya melalui sebuah karya tari bertajuk “Retna Pradana“.
Sumber inspirasi pijakan karya dapat pula dari “penyakit“. I Gusti Putu Adi Putra yang sejak kecil gehgean (latah), menggarap komposisi karawitan berjudul “Gehgean”. Melalui media Gong Kebyar, Adi Putra berungkap musikal mengelaborasi kelatahannya dalam nuansa musik yang terkaget-kaget, terbata-bata, tergelak riang dalam ramuan ritme, melodi, tempo, dinamika yang tertata apik dibawakan 30 orang penabuh. Sementara itu, I Gusti Ngurah Jaya Kesuma, dalam garapan musiknya, “Kori Agung”, menggebrak dengan konsep estetik nan eksploratif. Tiga ansambel gamelan, Gong Kebyar, Semarapagulingan, Semarandana, dicampuradukannya. Berbagai kemungkinan musikal digali, dibenturkan, dan diharmonisasikannya. Bahkan musik petik gitar dan drum Afrika, jembe, juga dikolaborasikannya. Hasilnya, sebuah eksperimentasi bunyi yang unik.
Dari mahasiswa Jurusan Pedalangan ISI, juga muncul letupan garapan seni eksperimental. I Made Sukarsa yang menyuguhkan lakon “Aji Amertha Sanjiwani“ hadir dengan konvensi klasik seni pedalangan Bali namun juga bereksperimen pada aspek tata lampunya. Dalam tuturan cerita tentang ilmu menghidupkan orang mati dengan tokoh Begawan Sukra dan Sang Kaca, Sukarsa menyegarkan mata penonton dengan bayangan latar realistis yang dikendalikan komputer lewat semburan proyektor. Semangat mendekonstruksi wayang kulit Bali juga hadir pada garapan pakeliran I Putu Candra Wijaya. Lewat judul “Tri Samaya“ yang bersumber dari mitologi Bhatara Guru, berbagai kemungkinan estetik dan ungkap artistik disinkronisasikan. Dalam sebuah bentangan layar lebar vertikal, kekentalan wayang kulit tradisi dipadukan dengan pemeranan figur-figur penari lewat pencahayaan dinamis sinar belencong, lampu listrik, dan LCD.
Kreativitas adalah denyut nadi dari kesenian. Denyut cipta seni para seniman muda itu telah mengisi ruang kebudayaan kontemporer. Karya cipta seni pertunjukan buah karya generasi muda godokan ISI, beberapa tahun terakhir ini merupakan dinamika berkesenian yang patut diapresiasi tinggi oleh semua kalangan. Masyarakat Bali yang akrab dengan jagat seni perlu menyimaknya. Tetapi ratusan cipta seni tari, karawitan, dan pedalangan karya seniman akademis itu umumnya belum dicerap masyarakat. Karena tak tersosialisasi, tak sedikit masyarakat awam memandang dunia cipta seni pentas Bali telah macet. Untuk membuka pandangan yang menyepelekan itu, para kreator (koreografer, komposer, dalang), perlu memperkenalkan karyanya ke tengah masyarakat, baik dalam lingkungan komunal maupun dalam forum berskala besar. ISI dan Pemda Bali, dapat menjalin komitmen menyajikan garapan para seniman sumber insani masa depan kesenian bangsa ini di arena PKB misalnya, untuk diapresiasi dan dimaknai penonton.
Denyut Kesenian Bali Di Tengah Geliat Globalisasi, selengkapnya
by admin | Jun 26, 2011 | Berita, pengumuman
Kegiatan Tri Darma selalu menghiasi kampus ISI Denpasar. Di sela-sela kesibukan pelaksanaan Ujian Akhir Semester, kampus seni satu-satunya di Bali ini, melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat, dengan ngaturang ayah di Pura Dalem Banjar Karang Dalem 1 Desa Bongkasa Abian Semal Badung.
Rombongan Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) ISI Denpasar ini, dipimpin langsung oleh Ketua Jurusan Karawitan, I Wayan Suharta. Menurut Suharta, mahasiswa jurusan Karawitan yang turut serta ngayah adalah mahasiswa semester dua, serta dosen dan beberapa alumnus.
Pada kesemptn tersebut, ISI Denpasar mempersembahkan tabuh-tabuh klasik pagongan dengan media Gong Gede yang dimainkan oleh 50 siswa Jurusan karawitan.
Di samping itu, tampil pula dosen dan alumnus memainkan selonding dalam acara Karya Ngenteg Linggih, Pedudusan Agung.,pada hari Sealasa 21 Juni yang lalu.
Rektor ISI Denpasar, Prof. Rai menyatakan ungkapan terima kasihnya kepada panitia karya yng telah memberi kesempatan kepada ISI Denpasar untuk ngaturang ayah. ‘Dengan kegiatan Pengabdian Masyarakat melalui ngayah, hendaknya kita dapat mempersembahkan talenta kita kepada Tuhan, serta memohon keselamatan bersama,’ papar Rai.
Humas ISI Denpasar Melaporkan
by admin | Jun 26, 2011 | Berita
Sejumlah 22 mahasiswa University of Western Australia (UWA) yang sedang belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar sejak 13 Juni yang lalu, Jumat (24/6) yang lalu mengunjungi Pura Tirta Empul untuk lebih mengenal lebih jauh tentang kebudayaan Bali. Selain mengamati kegiatan religious di pura tersebut, mahasiswa Negeri Kangguru itu juga ikut melukat bersama mahasiswa dan dosen ISI Denpasar.
Kegiatan field trip ini sangat berkesan bagi seluruh mahasiswa. Kegiatan tersebut dilaksanakn setelah mahasiswa mengikuti seluruh kegiatan kuliah. Adapun mata kuliah yang diajarkan kepada seluruh mahasiswa UWA tersebut diantaranya Bahasa Indonesia, Seni Budaya Bali, Komunitas dalam Ritual dan Upacara, Komunitas Masyarakat dalam Subak dan Banjar, Pengenalan Arsitektur Tradisional Bali, Ashta Bumi dan Ashta Kosala-Kosali, Ornamen, fotografy, lighting, dll.
Setelah “melukat” dan melaksanakan persembahyangan bersama, rombongan kemudian mengunjungi Balika Galery untuk mendalami apa yang mereka telah pelajari selama perkuliahan. “Saya sangat senang bisa belajar di ISI Denpasar,” ucap Josh salah satu dari mahasiswa dalam bahasa Indonesia.
Hari Minggu (26/6), rombongan berangkat ke Klungkung untuk mempelajari Kamasan Painting. Mereka akan berada di Klungkung selama tiga hari. Pada tanggal 29 Juni rombongan akan kembali ke Dormitory ISI Denpasar, untuk mempersiapkan acara pameran sekaligus acara perpisahansebelum bertolak ke Australia pada tanggal 3 Juli.
Rektor ISI Denpasar menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh keluarga besar ISI Denpasar yang telah bekerja keras dalam melaksanakan setiap kegiatan untuk mahasiswa UWA,sehingga setiap kegiatan dapat berjalan lancar. “Kesempatan ini adalah peluang yang sangat baik bagi kita semua untuk mengajar mahasiswa asing, dan sekaligus tantangan untuk kita meningkatkan diri untuk mampu bersaing di tingkat internasional,” papar Prof. Rai.
Salah seorang mahasiswa ISI Denpasar yang sempat belajar di Thailand dalam program MIT (Malaysia-Indonesia-Thailand) Student Mobility Program, Eka Sulaksana juga terlibat dalam setiap kegiatan mahasiswa UWA, termasuk membantu dalam hal interpreting di dalam kelas pada saat perkuliahan. Eka juga ikut dalam kegiatan field trip ke Pura Tirta Empul bersama PD II FSRD, Drs. I Made Bendi Yudha, M.Sn.,Dewi Yulianti, serta Agus Junianto.
Humas ISI Denpasar melaporkan.
by admin | Jun 25, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Wayan Sucipta, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar
Masyarakat pelestari Kesenian Gambuh di Desa Kedisan terkumpul dalam sebuah organisasi (sekaa) yang bernama Sekaa Gambuh Kaga Wana Giri. Kaga Wana Giri merupakan sebuah nama yang diambil dari sejarah dan letak geografis Desa Kedisan. Nama tersebut memiliki sebuah arti sebagai brikut; Kaga = Kedis (nama burung yang merupakan nama dari Desa Kedisan), Wana = alas (hutan), dan Giri = gunung. Jadi Kaga Wana Giri memiliki arti burung yang terdapat di sebuah gunung yang berhutan. Gambuh ini merupakan organisasi atau sekaa yang keberadaanya tidak dimiliki oleh Desa Adat Kedisan. Melainkan sebuah organisasi independen yang terbentuk atas orang-orang yang suka dan menggemari kesenian Gambuh. Akan tetapi kesenian ini berada dan bernaung dibawah Desa Adat Kedisan.
Kehidupan kesenian ini pada waktu dahulu sangat bertolak belakang dengan yang sekarang. Penggenerasian kesenian Gambuh di Desa Kedisan telah dilakukan semenjak dulu. Sekaa Gambuh Kedisan yang sekarang merupakan organisasi dari generasi yang ke tiga. Ketika tahun 1950-an Gambuh ini masih memiliki anggota yang cukup lengkap, baik dari penari maupun penabuh. Ketika itu masih terdapat penari-penari putri yang memerankan tokoh kakan-kakan, condong dan sebagainya dalam pertunjukan Gambuh di Desa Kedisan.
Menurut I Gusti Ngurah Widiantara, ketika itu penari Gambuh keseluruhan berjumlah 30 orang, belum pemain gamelan yang mengiringi tarian tersebut. Jadi menurutnya anggota dari Sekaa Gambuh Kedisan ketika itu sekitar 50-an, yang anggotanya masih dari Desa Kedisan. Sejalan dengan perkembangan jaman banyak anggota sekaa yang mulai tidak aktif karena faktor usia dan transmigarasi. Banyaknya angota Gambuh yang sudah tua dan tidak memungkinkan untuk menari mengakibatkan berkurangnya penari Gambuh Kedisan. Ditambah dengan sulitnya mencari penggati (generasi muda) untuk penari dan penabuh ketika itu, mengakibatkan sulit untuk mengembangan Gambuh tersebut. Faktor yang paling banyak mempengaruhi organisasi ini adalah transmigrasi. Pada tahun 1970-an banyak anggota sekaa Gambuh ini yang ikut program pemerataan penduduk oleh pemerintah yaitu transmigrasi, yang mengakibatkan banyaknya anggota yang berkurang. Banyak yang ketika itu para anggota sekaa Gambuh yang meninggalakan Kedisan dan bertransmigrasi ke Sulawesi dan ke Lampung, dengan tujuan mencari lahan pertanian dan kehidupan yang lebih baik.
Organisasi Gambuh ini memiliki sebuah sistem yang berdasarkan atas kepengurusan atau yang dikenal dengan kelihan (ketua kampung atau organisasi) dan anggota. Kelihan mempunyai wewenang di dalam pengorganisasian dan melaksanakan keputusan sekaa yang diambil dari sangkep ( rapat anggota baik banjar maupun organisasi adat). Untuk melakukan rapat, organisasi Gambuh di Desa Kedisan masih menggunakan sistem tradisional, yaitu kelihan atau pengurus sekaa tersebut mengutus salah satu anggota yang telah ditentukan untuk memberi tahu masing-masing anggota tentang rapat yang akan dilaksanakan. Utusan tersebut disebut dengan istilah juru arah atau kesinoma (petugas yang membantu kelihan). Kesinoman ditentukan oleh pengurus berdasarkan urutan yang telah disepakati oleh anggota. Baik berdasarkan urutan rumah maupun yang lainnya. Tugas seorang kesinoman biasanya berlangsung dalam kurun waktu satu bulan Bali (35 hari). Kemudian dilanjutkan dengan giliran anggota lain yang telah ditentukan urutannya. Berakhirnya giliran sebagai juru arah atau kesinoman, juru arah biasanya membawa sesajen (banten penyangkepan) yang disebut dengan cane (sirih yang digunakan pada rapat desa). Banten tersebut memiliki makna dan permohonan kepada Tuhan, agar sebuah rapat yang dilaksanakan bisa berjalan baik dan lancar.
Penggenerasian Gambuh di Desa Kedisan diambil berdasarkan keturunan, seperti anak dan cucu dari anggota sekaa. Apa bila keturunan tersebut tidak memungkinkan dijadikan anggota sekaa Gambuh, maka masing-masing anggota berhak menjadikan salah satu keluarga atau orang lain untuk menggantikannya, dengan catatan generasi pengganti tersebut menjadi anggota sekaa berdasarkan rekomendasi dari anggota yang akan diganti.
Organisasi Gambuh di Desa Kedisan, selengkapnya
by admin | Jun 25, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: A.A.Ayu Kusuma Arini, SST.,MSi., Dosen PS. Seni Tari ISI Denpasar
Setelah kerajaan Cakranegara dan Mataram Lombok dikalahkan Belanda tahun 1894 hingga seorang raja tua diasingkan ke Batavia maka secara otomatis kerajaan Karangasem dengan Stedehauder I A.A.Gede Djelantik yang dilantik tahun 1896, di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Karena beliau tidak berputra, sebagai penggantinya telah dipersiapkan seorang keponakannya yakni A.A.Bagus Djelantik yang sejak kecil telah memperlihatkan bakat dan kecakapannya. Selanjutnya A.A.Bagus Djelantik yang lahir tahun 1890 dilantik menjadi Stedehauder II tahun 1908, adalah seorang seniman dan sekaligus pembina kesenian. Jabatan yang pernah dipangku adalah Zelbestur der Karangasem atau Regent Karangsem (1929-1942) dengan gelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem atas persetujuan Residen Caron, Sijuco Karangasem (1942-1945) dan raja Karangasem (1945-1950). Sebagai pemimpin daerah, walaupun kondisi Karangasem tandus, tetapi kesenian tidak dibiarkan mengering. Beliau memiliki wawasan yang luas serta pengamatan yang tajam terhadap berbagai cabang seni. Dalam seni ukir dan arsitektur, beliau mendisain berbagai ukiran semen untuk hiasan tembok maupun pot bunga di taman-taman yang dibangunnya dengan corak campuran tradisional Bali, Belanda dan Cina. Kegemaran membuat kolam ini, nampak juga di Puri Maskerdam di area kompleks Puri Agung yang di tengah-tengahnya dibangun Bale Gili sebagai tempat parum (rapat) dan menjamu para tamu.
Dalam hal seni tari, beliau sering mengunjungi dan membina seka-seka kesenian. Putra-putra beliau yang tertarik akan seni tari, dipanggilkan guru tari yang tenar seperti I Nyoman Kakul dan yang lainnya. Adapun pengalaman yang mengesankan adalah ketika beliau melakukan muhibah dua kali ke keraton-keraton Paku Buwono X, Mangku Negara VII dan Sri Paku Alam VIII di Solo, dengan membawa rombongan kesenian. Pada tahun 1928 beliau membawa kesenian Legong dari Kuta-Badung bersama I Wayan Lotering. Muhibah kedua dilakukan tahun 1935 pada waktu pembukaan Museum Sono Budoyo, membawa kesenian Topeng dan Legong dari Karangasem. Setelah kunjungan tersebut hubungan kekerabatan dengan keraton Solo semakin akrab. Salah seorang penari Legong yang ikut dalam rombongan tersebut Jero Intaran menuturkan bahwa tarian Legong yang dibawa adalah Legong Lasem dan Jobog. Guru tari Legong terkenal I Gusti Gede Raka dari Saba – Gianyar menuturkan, bahwa setelah rombongan kembali dari Solo penyebutan tari Legong lalu menjadi Legong Keraton hingga kini karena tari Legong pernah dipentaskan di Keraton Solo.
Sebagai sastrawan, beliau menggubah sebuah gaguritan “Melayar ke Surabaya” yang ditulis ketika berobat ke Surabaya. Jauh dari sanak keluarga dan operasi berat yang dijalani, rupanya mengusik jiwa seni beliau untuk menulis tentang nasehat nilai-nilai kebenaran. Ketika gaguritan tersebut dibaca dalam tembang yang mengharukan, para pendengar tertegun haru dan menitikkan air mata. Selain itu, naskah gaguritan Membangun Sekolah Putri ditemukan di Istana Mangkunegara Surakarta, kiranya dibuat menjelang pembukaan Sekolah Keputrian di Denpasar yang kini dikenal sebagai SKKA.
Dalam dunia pendidikan, beliau menggagas menghimpun dana untuk pendirian sebuah sekolah yang mengutamakan pendidikan kebudayaan. Hal ini disambut baik oleh raja-raja Klungkung, Bangli dan Gianyar. Maka berdirilah sebuah Yayasan yang bertujuan memajukan pendidikan putra-putra Bali yakni Holland Indlansche School (H.I.S-Siladarma) di Klungkung, tahun 1920. Pada jaman kolonial, kemahiran membaca, menulis dan pemahaman bahasa Belanda menjadi syarat utama bagi pribumi yang akan melamar pekerjaan. Beliau amat memperhatikan pendidikan putra-putrinya maka setelah berdiri sekolah-sekolah pada jaman Belanda itu, beberapa putra-putri beliau disekolahkan ke Klungkung, Denpasar (H.I.S), Singaraja (E.L.S – Europisesche Lagere School), bahkan sampai ke Jawa dan salah seorang putra beliau A.A.Made Djelantik melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Belanda pada tahun 1938.
Selain Taman Ujung, taman Tirta Gangga yang dibangun oleh raja Karangasem terakhir itu pada tahun 1946, juga dijadikan tempat shooting film tersebut. Pada mulanya taman ini disebut Embukan adalah tempat untuk memohon air suci bagi desa-desa disekitarnya untuk melaksanakan upacara Melasti dalam rangkaian Piodalan karena memiliki mata air yang dipandang keramat dan suci, terletak di bawah pohon beringin. Letak geografis taman ini tidak kalah menariknya dengan Taman Ujung, di kaki sebuah bukit yang dikitari sawah bertingkat dan berjarak enam kilometer ke arah Utara kota Amlapura. Udaranya sangat sejuk dan cocok untuk tempat beristirahat. Mata air yang bening mengalir sepanjang tahun, memberikan ide penciptanya untuk membangun sebuah taman, Tirta Gangga. Beberapa kolam besar, Bale Kambang dan menara air mancur (Jalatunda) menjadi ciri taman ini, dan tidak mengalami kerusakan yang berarti dari guncangan gempa Gunung Agung.
Berkat jasa-jasa beliau dalam bidang seni, maka Gubernur Kepala Daerah Tk.I Propinsi Bali tahun 1980, menganugerahkan penghargaan Seni “Dharma Kusuma”.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, kiranya makna pepatah itu tepat untuk Anglurah Ketut Karangasem Walaupun sudah wafat pada tanggal 6 Nopember 1986 dan di Palebon dengan Naga Banda tanggal 1 Januari 1987, namun tetap dikenang sebagai seniman genius yang telah memadukan unsur-unsur seni Eropa dengan seni tradisional Bali pada taman air di ujung Timur pulau Bali.
Taman Ujung Yang Dibangun Oleh Seorang Seniman, selengkapnya