by admin | Jul 3, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Suartaya, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Ni Calonarang girang bukan kepalang karena anak kesayangannya, Ratna Mangali, dipersunting oleh raja Kediri, Airlangga. Tetapi kemudian gelora suka cita janda desa Dirah itu berbalik menjadi duka kecewa yang mengobarkan api amarahnya. Calonarang tersinggung berat dan sakit hati atas diusirnya Ratnamangali dari Kediri dengan tuduhan sebagai penganut ilmu hitam leak. Calonarang berang dan mengerang garang. Bersama murid-muridnya, Si Walu Nateng Dirah ini meneror negeri Kediri dengan mengerahkan leak ganas haus darah. Raja Airlangga menitahkan kepada patih andalannya, Maling Maguna, menghentikan prahara yang ditebar Calonarang dan mengembalikan ketenteraman rakyat Kediri.
Kisah janda dari desa Dirah atau Girah itu lazimnya disimak masyarakat Bali pada tengah malam dalam sebuah seni pertunjukan yang disebut Calonarang. Tetapi pada Sabtu (16/4) lalu, Ni Calonarang dan murid-muridnya justru ngereh dan mengumbar ilmu hitamnya pada siang bolong. Tengoklah pementasan garapan seni yang bertajuk “Prahara Ing Kediri“ di panggung terbuka Balai Budaya Gianyar. Karya seni pentas besutan para seniman Sanggar Genta Manik, Desa Seronggo, Kecamatan Gianyar, itu menyihir ribuan penonton yang memadati Pawai Budaya serangkaian hari jadi ke-240 Kota Gianyar.
Didukung oleh lebih dari 200 orang pelaku seni, “Prahara Ing Kediri“ hadir kolosal, diiringi dengan sepasukan penabuh gamelan Balaganjur yang ditata apik. Para penabuh yang bergerak dinamis, merangkai variasi figurasi di atas panggung. Peran-peran yang ada dalam teater Calonarang dihadirkan merajut kisah. Tokoh Ni Calonarang tampak berperan cukup dominan terutama saat mengerahkan murid-muridnya memporakporandakan kerajaan Kediri. Klimaks drama tari ini, pertarungan hidup mati antara Ni Calonarang dengan Maling Maguna, dihadirkan mencekam. Perubahan Ni Calonarang menjadi Rangda divisualisasikan dengan ogoh-ogoh Rangda yang diusung puluhan orang. Maling Maguna meloncat ganas ke atas dan menancapkan kerisnya berkali-kali pada sekujur tubuh Rangda. Penonton tegang.
Sihir adalah tema yang selalu ditonjolkan dalam cerita Calonarang. Kendati berasal dari Jawa, tapi di Bali sendiri, hingga kini, cerita ini masih begitu menggetarkan masyarakat. Cerita dengan tokoh utama bernama Ni Calonarang itu merasuk lewat drama tari Calonarang, sebuah genre seni pertunjukan Bali yang diduga muncul pada tahun 1825, zaman kejayaaan dinasti kerajaan Klungkung. Dalam seni pentas yang oleh peneliti asing disebut the drama of magic ini, simbol sarang Ni Calonarang di tempatkan di sisi kalangan yang disebut tingga, sejenis rumah panggung yang dibuat agak tinggi. Di depan tingga itu ditancapkan gedang renteng, tempat Calonarang dalam wujud Rangda mengangkang dan menjerit-jerit memamerkan kesaktiannya
Calonarang adalah cerita semi sejarah dengan seting kejadian pada abad XI, zaman pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. Dalam wujudnya sebagai seni pertunjukan Bali, disamping tetap mengacu kepada sastra sumbernya, terjadi pula mengembangan dan penyimpangan. Misalnya muncul tokoh penting yang disebut Rangda yang merupakan siluman Calonarang dalam wujud yang menakutkan. Padahal yang dimaksud rangda dalam sastra sumber adalah janda.
Dalam drama tari Calonarang, Matah Gede adalah figur atau karakter untuk si janda sihir dari Dirah, Calonarang, sebagai manusia biasa sebelum berubah menjadi ratu leak dalam wujud yang dahsyat menyeramkan. Tokoh ini memiliki karakter yang khas dan sekaligus menjadi identitas seni pertunjukan Calonarang. Matah Gede hadir dengan jati diri perwatakan, tata busana, dan tata rias wajahnya. Pemberang adalah watak menonjol dari tokoh yang tak pernah lepas dari tongkatnya ini. Jika sedang naik pitam, sorot matanya yang menusuk tajam dilukiskan pantang dilawan jika tak ingin hangus terbakar. Keangkeran Matah Gede juga dibangun oleh dominasi tata ucapannya dengan suara yang berat dalam bahasa Jawa Kuno.
Antonin Artaud, seorang dramawan terkemuka Prancis, sempat sangat terpesona dengan drama tari Calonarang. Ceritanya pada tahun 1931, Artaud dan para pekerja seni pertunjukan di Eropa sempat digemparkan pementasan Calonarang oleh para seniman Bali yang dipimpin oleh Cokorda Gede Raka Sukawati di arena Paris Colonial Exhibition. Sementara itu, kajian ilmiah menyangkut teater ini juga cukup banyak. Diantaranya, Beryl de Zoete & Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1931), Urs Ramseyer dalam The Art and Culture of Bali (1977), dan I Made Bandem & Fredrik deBoer dengan Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981).
Belakangan, televisi yang bersiaran di Bali juga rajin menayangkan teater Calonarang—cukup diminati pemirsa. Calonarang agaknya masih menyihir masyarakat Bali masa kini. Termasuk, garapan seni pentas “Prahana Ing Kediri” tersebut, disimak antusias ribuan penonton yang memadati lapangan Astina Gianyar. Karya seni pentas binaan seniman Drs. I Made Mertanadi, M.Si yang merupakan duta Kecamatan Gianyar ini tampak membuat haru Camat Gianyar, A.A. Gde Agung, S.Sos, M.Si dan Perbekel Desa Seronggo, A.A. Gde Bagus Udayana. Lewat bingkai cerita Calonarang, ungkap Mertanadi, para seniman Gianyar, dalam beragam pengejawantahan ekspresi kreatif seni, bertekad tetap “menyihir” dunia.
Ketika Calonarang “Ngereh” Di Siang Bolong selengkapnya
by dwigunawati | Jul 2, 2011 | Berita, Galeri
Penata
Nama : I Made Murdana
NIM : 2007.02.021
Program Studi : Seni Karawitan
Sinopsis :
Ujar Sinambung merupakan sebuah garapan komposisi baru yang memadukan antara instrument saih pitu yaitu gamelan semarandhana dan instrument gamelan dari bambu. Perpaduan dua instrument yang memiliki karakteristik warna bunyi (timbre) yang dimaksud sebagai implementasi akustik yang berbeda dalam kesinambungan. Cetusan imajinasi dan penalaran musikal dari teknik gegebug, penggunaan patutan, pola garapan dan penonjolan masing-masing instrumen, merupakan keterikatan pada satu kesatuan garapan yang utuh (unity) dan berkesinambungan (continuity) untuk mpencapaian keindahan music ( aesthetic musical )
Pendukung Karawitan : Sekaha Gong Sida Githa Karya, Br. Dukuh Mertajati, Sidakarya, Denpasar Selatan
Ujian Tugas Akhir FSP Gelombang I Tahun 2011



by dwigunawati | Jul 1, 2011 | Berita, Galeri
Penata
Nama : I Gst Ngurah Wira Adnyana.
Nim : 2007 02 038
Program Studi : Seni Karawitan
Sinopsis :
Bharatasattama adalah sebutan yang diberikan kepada seorang ksatria pandawa di medan perang Kurusehetra yang tiada lain adalah Arjuna yang berarti ksatria terbaik wangsa bharata. Terkadang di saat pertempuran telah tiba kegelisahan dan keraguanpun menyelimuti hatinya. Akan tetapi demi melaksanakan kewajiban sebagai seorang ksatria yang bertempur di medan laga. Demikianlah gambaran seorang ksatria pandawa yang dikenal dengan sebutan Bharatasattama. Dengan adanya tokoh tersebut penata mencoba untuk mentranspormasikannya kedalam sebuah komposisi karawitan kreasi pepanggulan dimana, dalam pengolahannya masih berpijak pada pola-pola tradisi yang kemudian dikemas menjadi karya baru yang inovatif dengan media ungkap Gong Kebyar.
Pendukung Karawitan:
Sekaa Gong Manik Gangga, Br Perean, Baturiti Tabanan
Ujian Tugas Akhir FSP Gelombang I Tahun 2011



by admin | Jul 1, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, S.Sn., Alumni ISI Denpasar
Sejarah Sangar
Sanggar tari Printing Mas merupakan sanggar yang tidak hanya membidangi wilayah tari, namun juga tabuh dan kostum. Sanggar tari ini di Bali cukup dikenal oleh karena kualitas dan kredibilitasnya. Terletak di Jl. Meduri no.11, Denpasar Timur, sanggar tari ini selalu saja ramai dikunjungi oleh anak-anak atau remaja yang belajar tari dan tabuh serta konsumen yang ingin menyewa atau membeli pakaian tari. Wajar saja, karena disamping eksis di bidang tari, sanggar ini memiliki spesialisasi di bidang pembuatan dan sewa pakaian.
I Wayan Oklan dan adiknya I Made Oklin, adalah dua orang bersaudara yang merupakan pencetus ide untuk mendirikan Sanggar Printing Mas. Sanggar ini pada mulanya hanyalah kumpulan seniman yang merasa terpanggil untuk mengabdi di jagat seni tradisi Bali, tanpa memandang imbalan. Hal inilah yang dituturkan oleh sang ketua sanggar Eka Surya Wirawan. Sesuai penuturannya, sanggar ini dahulunya tidak memiliki modal pendukung seperti instrument gong kebyar. Instrumen tersebut akhirnya didapat dengan cara meminjam dari pihak Bank Sri Partha yang terletak di dekat sanggar ini berada. Kompensasinya, bila di Bank Sri Partha terdapat upacara keagamaan yang memerlukan pementasan kesenian, maka kelompok seni yang dipimpin Oklan dan Oklin diundang untuk ngayah. Kontan saja Oklan dan Oklin antusias menyambut tawaran tersebut.
Dengan dibantu Oleh I Nyoman Suarsa, maka kegiatan di sanggar ini pun bertambah ramai seiring dengan mulai datangnya pesanan pementasan baik yang bersifat ngayah maupun yang bersifat komersial. Seiring dengan berjalannya waktu, sanggar ini tumbuh dan berkembang hingga akhirnya memiliki perangkat gamelan Gong Kebyar yang utuh, serta memiliki beberapa pakaian tari yang dipergunakan untuk pentas keliling.
Berdasarkan kejelian dari Oklan dan Oklin, maka dilebarkanlah bentang sayap bisnis sanggar ini ke bidang kostum tari. Peruntukan dari bidang ini tidak lagi hanya sebagai pelengkap pementasan, namun juga sebagai salah satu sumber pemasukan dari segi finansial, lantaran kostum tari juga dapat disewakan. Pemasukan sanggar pun bertambah dengan adanya bidang usaha penunjang ini.
Pada awal dekade 1990-an, Sanggar Printing Mas membentuk sebuah grup dramatari Arja Muani, dimana seluruh pelakon dalam grup ini adalah laki-laki (muani dalam bahasa Bali berarti laki-laki). Grup inilah yang membawa pengaruh besar dalam melambungkan nama Sanggar Printing Mas hingga dikenal oleh sebagian masyarakat di Bali. Proses pembentukan grup ini pun tidak beda jauh dari proses berdirinya sanggar, yaitu diawali dengan niat ngayah dan berdasarkan perasaan suka berkumpul antar senimannya. Ide untuk membentuk grup ini secara permanen dicetuskan oleh I Wayan Juana, S.Sn. yang kala itu baru saja menamatkan studinya di STSI Denpasar (kini ISI Denpasar). Olehnya, digandenglah nama-nama seniman muda yang memiliki prospek cerah seperti Gde Anom Ranuara, I Gusti Lanang Oka Ardika, SST (dosen ISI Denpasar), Dek Cilik, dan Codet. Grup Arja Muani itu bertahan hingga kini dan selalu saja ada permintaan untuk pentas dari masyarakat maupun instansi pemerintah.
Kini Sanggar Printing Mas telah memiliki sekitar 90 orang murid baik anak-anak hingga remaja yang khusus belajar di bidang seni tari. Sedangkan untuk penabuh, sudah memiliki sekitar 50 orang personil. Di bidang pembuatan dan persewaan pakaian, sanggar ini telah memiliki 7 pegawai kantor dan 15 orang pekerja borongan yang khusus menggarap pesanan pakaian tari maupun tabuh.
Event yang sudah pernah diikuti sanggar ini antara lain yaitu pernah diundang ke Jepang dan Australia oleh Kedutaan besar RI di Negara masing-masing dalam bentuk grup kesenian. Sedangkan dari perorangan, personil sanggar kebanyakan memiliki koneksi yang sangat baik dengan pihan Dinas Kebudayaan propinsi Bali sehingga tidak jarang mereka ditunjuk untuk menjadi anggota rombongan melawat ke luar negeri.
Dalam skala lokal, Sanggar Printing Mas aktif mengikuti kegiatan lomba tari antar sanggar di tingkat kabupaten/kota, serta di tingkat propinsi. Gelar juara pun tidak jarang berdatangan ke lemari piala sanggar ini. Sedangkan untuk event yang bersifat pesanan, Sanggar Printing Mas juga pernah menerima tawaran syuting iklan dari salah satu produsen otomotif terbesar di tanah air dalam rangka promosi produk baru mereka. Demikian juga dari pihak Dinas Kesehatan Propinsi Bali, pernah member tawaran kepada Sanggar Printing Mas untuk mengkampanyekan pemberantasan penyakit TBC. Masih banyak lagi event yang diikuti sanggar ini termasuk acara rutin dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digelar tiap tahunnya di Bali, serta kerjasama dengan salah satu universitas di Tokyo, Jepang untuk membina mahasiswanya belajar kesenian Bali.
Pola Manajemen Sanggar
Untuk menjalankan roda kegiatan di Sanggar Printing Mas, kedua perintisnya yaitu I Wayan Oklan dan I Made Oklin pada awalnya hanya menggunakan pola manajemen kekeluargaan, dimana seluruh pengelola sanggar berasal dari anggota keluarganya. Tidak hanya sampai di sana, pola keuangan pun digarap seadanya berdasarkan rasa kekeluargaan tanpa perhitungan teknis dan ekonomis lainnya. Menurut saya, hal ini masih dirasa wajar, mengingat kala baru berdiri sanggar ini belum memiliki lingkup kegiatan seluas sekarang. Dengan memiliki beberapa bidang usaha seperti sanggar tari, tabuh dan pembuatan/persewaan pakaian tari, seharusnya menjadi kemudahan dan keuntungan tersendiri bagi sanggar ini. Namun kenyataannya, pola manajemen yang kurang perhitungan menyebabkan beberapa kali sanggar ini hampir kolaps dan mengalami masa kritis.
Terhitung sejak 1995, ditunjuklah Eka Surya Wirawan sebagai ketua sanggar. Lulusan Ekonomi manajemen di salah satu perguruan tinggi negeri di bali ini pun membentuk manajemen professional untuk membawa perubahan dalam sanggar ini.
Sanggar Printing Mas : Sejarah dan Pola Manajemennya, selengkapnya
by admin | Jun 30, 2011 | Berita
Kiriman Hery Budiyana, Staf FSRD ISI Denpasar
Kegiatan Promosi Seni Budaya di Belanda yang diadakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag, Belanda merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mempererat hubungan seniman muda Indonesia dan Belanda dengan membina dan memperkenalkan hasil karya seniman muda berbakat Indonesia kepada masyarakat Belanda, adapun kegiatan tersebut melingkupi: pameran di pasar malam, melukis dibawah bimbingan 2 pelukis Belanda, bertemu dan berdiskusi dengan seniman Belanda, mengikuti kursus/kuliah seni, mengunjungi galeri/museum seni di Belanda, mengajar di sekolah Indonesia-Belanda, serta mengadakan pameran.
Setelah menyelesaikan Promosi Seni Budaya di Belanda yang berlangsung dari tanggal 29 maret hingga tanggal 6 juni 2011 di Negara Belanda, salah satu mahasiswa yang terpilih untuk mewakili kegiatan ini adalah Dewa Ayu Eka Savitri Sastrawan yang merupakan mahasiswa Seni Rupa Murni minat Lukis, kembali ke kampus ISI Denpasar dengan diterima oleh Dekan Fakultas Seni Rupa dan Design dan Pembantu Dekan I, II, dan III. Dalam kesempatan ini Savitri begitu biasanya ia disapa menceritakan pengalamannya selama di Belanda dan menjelaskan usaha-usaha yang telah ia lakukan untuk mempromosikan budaya dengan mengikuti keseluruhan kegiatan itu, Selama disini saya akhirnya memutuskan untuk terjun ke simbolisme, spiritualitas dan tradisi di dalam bentuk abstrak. Abstrak sendiri disini tidak berarti memusingkan penikmatnya namun dengan membentur elemen serta subjek tertentu maka sesuatu akan ditemukan dan kadang tidak disadarkan bahwa itu lebih membuka mata kita akan realitas. Kemudian dalam kolaborasinya dengan dua seniman di Belanda Savitri telah bereksperimen dengan cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan karya-karyanya, dia berusaha memadukan elemen-elemen dan cerita Wayang Kamasan Bali yang memiliki makna yang simbolik terutama dari karakter yang merepresentasikan karakter manusia sendiri yang kadang tak pernah kita ketahui. Dan hal Inilah yang menjadi inspirasi utamanya selama berkarya di residensi ini.
Ibu Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain pun menyampaikan kegembiraannya karena Savitri telah menuntaskan program ini dengan baik serta berharap kedepannya untuk membagi pengalaman-pengalaman berharga yang didapat selama disana kepada teman-teman di jurusannya. Tak lupa juga beliau menambahkan untuk selalu menjaga nama baik institusi dimanapun berada.
by admin | Jun 30, 2011 | Berita, pengumuman
