Dari Kukuh Memperkokoh Tari Bali

Dari Kukuh Memperkokoh Tari Bali

Kiriman: Kadek Suartaya, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Gemerincing suara gamelan terdengar renyah dari sebuah rumah di Banjar Kukuh, Desa Marga, Tabanan. Bunyi gamelan tari Bali pada pertengahan Desember lalu itu keluar dari rekaman kaset mengiringi sebuah latihan tari Bali. Tampak seorang pelatih tari, Luh Kade Pebria Satyani (18 tahun) mengajar beberapa orang gadis belia membawakan tari Condong (bagian dari Legong Keraton) dan tari Tenun. Luh Satyani tampak sibuk mengarahkan sembari melontarkan istilah dalam tari Bali seperti seledet, agem, ngegol dan sebagainya. Anak asuhnya penuh semangat mengolah tubuh dan berolah rasa mengikuti arahan sang pelatih.

Minggu sore itu, sanggar tari Ratna Mekar yang berlokasi di Desa Marga Tabanan memang sedang melakukan latihan terakhir menjelang mengikuti Lomba Tari Anak-anak Se-Bali 2010 di Denpasar, 24-26 Desember. Dari enam materi yang dipertandingkan, sanggar tari pimpinan Ni Komang Ratni, S.Pd itu hanya mengikuti tari Condong dan Tenun saja. “Ini adalah untuk pertama kalinya kami ikut lomba tari yang paling bergengsi di Bali itu,” ujar Satyani. Menurut Satya, juara bukan menjadi tujuan melainkan memberikan pengalaman dan menumbuhkembangkan kecintaan pada diri murid-muridnya terhadap kesenian luhur bangsa. Sebab, tambahnya, kesenian berkontribusi penting terhadap pembentukan karakter generasi penerus.

Geliat anak-anak Bali bermesraan dengan jagat seni, khususnya seni pertunjukan, belakangan, cukup membanggakan. Suasana yang menggairahkan itu dapat dengan mudah  disimak di tengah-tengah masyarakat, baik yang hadir dalam konteks ritual keagamaan maupun yang teramati lewat peristiwa seni di arena profan. Pesta Kesenian Bali (PKB) yang sudah menggelindang lebih dari seperempat abad, ikut berkontribusi menggiring generasi muda Bali mencintai keseniannya. Festival Gong Kebyar Anak-anak se-Bali, misalnya, adalah forum dan momentum bergengsi anak-anak Bali unjuk kiprah dan keterampilan dalam bidang seni tabuh dan tari, yang, mendapat perhatian antusias masyarakat luas.

Bersanding dan bersaing secara elegan memang semestinya tersemai dalam dunia seni, termasuk di kalangan anak-anak. Tradisi mabarung dalam seni pertunjukan Bali, adalah histeria berkesenian secara bersanding yang menstimulasi pendakian keterampilan dan penampilan seni. Proses latihan-latihan menyongsong pentas bersifat kompetitif itu, misalnya, menampakkan kemajuan skil yang siginifikan. Pentas dalam konteks lomba memunculkan  penampilan yang sarat gairah. Begitu pula proses berkesenian untuk merebut prestasi sekaligus prestise seperti yang terjadi dalam Lomba Tari Anak-anak Se-Bali 2010, sudah pasti menstimulasi gelora jengah nan berkobar-kobar yang berimplikasi pada rasa bangga dengan dunia seni tari.

Semangat bersaing dan bersanding telah menunjukkan fenomena menggembirakan terhadap pewarisan nilai-nilai estetik bangsa. Di kalangan anak-anak Bali, seperti yang mencuat dalam Festival Gong Kebyar, menabuh atau menari dengan dorongan lomba menggedor motivasi mereka untuk berprestasi seni yang biasnya bukan hanya sebatas hasrat berprestasi dalam jagat seni semata namun bisa jadi pula dalam kehidupan yang lebih luas. Lewat kancah seni, anak-anak Bali yang sejak dini berasyik masyuk dengan nilai-nilai keindahan seni tumbuh menjadi generasi kontributif bagi masa depan yang lebih cerah dalam kehidupan berbangsa.

Seni adalah nilai keindahan yang hidup dan berkembang seturut dengan peradaban kebudayaan manusia. Dipercaya, binar lahiriah keindahan seni menyemburkan kedamaian nurani dan aura terdalam dari jagat seni memiliki dimensi spiritual yang berkontribusi kuat pada moralitas  subjek kemanusiaan. Idealnya, seni malahan dianggap mampu memanusiakan manusia. Untuk mengawal moralitas setiap individu–dengan keyakinan seni sebagai penyejuk moral—jagat kesenian sangat fungsional dijadikan sebagai media pendidikan moralitas bangsa. Kebhinekaan Indonesia yang memiliki puspa warna ekspresi seni, dengan demikian, sangat memungkinkan menjadi bangsa yang menjunjung moral dengan penuh takzim.

Akan tetapi, di tengah gelombang kesejagatan ini, peranan seni sebagai media pendidikan moral telah mulai tergerus. Di tengah masyarakat Bali yang sangat kental dengan kehidupan seninya, tak terkecuali, juga terdegradasi oleh kehidupan modern kekinian. Dulu, kesenian merupakan wahana komunikasi spesifik yang karismatik dalam memberikan pengetahuan dan tuntunan moral pada masyarakatnya. Pementasan Wayang Kulit misalnya, di masa lalu, tak hanya menyajikan tontonan namun juga tuntunan hidup positif pada komunitasnya. Demikian pula Topeng saat ritual keagamaan, Arja di bale banjar sebagai seni balih-balihan sarat dengan muatan moral yang diteladani masyarakat. Akan tetapi kini tidak lagi. Wayang, Topeng, Arja, dan seni tradisional lainnya ditekuk oleh televisi dan hiburan modern lain yang melenakan.

Beruntung di pulau Bali, seni masih kokoh bersemi integral dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Dalam peristiwa keagamaan misalnya, seni selalu hadir menyediakan ruang olah rasa bagi setiap orang. Sebagai bagian dari penempaan olah rasa, budaya ngayah dalam ritual keagamaan masih dilestarikan. “Para penari  anak asuh sanggar kami juga sering ngayah dalam upacara adat dan agama yang berlangsung di lingkungannya,“ ungkap Luh Kade Pebria Satyani saat menghias salah satu muridnya menjelang tampil dalam Lomba Tari Anak-anak Se-Bali 2010 di Denpasar itu.

Dari Kukuh Memperkokoh Tari Bali selengkapnya

Perkembangan Kesenian Gambuh di Desa Kedisan

Perkembangan Kesenian Gambuh di Desa Kedisan

Kiriman I Wayan Sucipta, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

Gambuh Kedisan adalah sebuah seni pertunjukan klasik yang masih dipelihara dan dilestarikan keberadaanya. Kesenian ini sempat mengalami kejayaanya pada tahun 1950-an. Ketika itu sempat melakukan berbagai pertunjukan di puri-puri dan masyarakat yang meminta ngayah ketika ada upacara Agama, seperti puri Agung Gianyar, Puri Ubud dan Puri Kedisan. Pada jaman dahulu ketika Raja Gianyar mengetahui di Desa Kedisan terdapat Kesenian Gambuh, Ketika itu juga Raja Gianyar meminta sekaa Gambuh tersebut untuk ngayah ngambuh di Puri Gianyar.

Pertunjukan Gambuh sering dilakukan di Puri Gianyar ketika ada upacara-upacara di lingkungan puri, seperti upacara Dewa Yadnya, Manusa Yadnya maupun Pitra Yadnya. Kesenian Gambuh Kedisan  ketika itu termasuk Gambuh yang sangat digemari oleh lingkungan Puri Gianyar. Gambuh ini ketika pentas di Puri Gianyar mendapatkan tempat pementasan khusus yang disebut dengan Bale Pegambuhan. Bangunan tersebut berada di sebelah selatan ancak saji puri. Dalam kamus Bali-Indonesia ancak saji memiliki pengertian batas dari pekarangan puri. Begitu juga halnya ketika ngayah di Puri Ubud, tempat pementasannya disediakan dengan khusus seperti di Puri Gianyar. Menurut I Gusti Ngurah Mangku Puja dan anaknya I Gusti Ngurah Widiantara, bahwa Gambuh Kedisan selalu diminta pentas (ngayah) di Puri Agung Gianyar  di setiap kegiatan upacara. Akan tetapi beliau tidak dapat memastikan kapan awalnya kesenian tersebut pentas di Puri Gianyar. Menurutnya hal tersebut sudah diwarisi secara turun temurun oleh Sekaa Gambuh Kedisan.

Seiring dengan berjalannya jaman dan waktu, Gambuh Kedisan banyak mengalami permasalahan, terutama dari anggota yang sudah berumur tua. Gambuh ini sempat mengalami fakum dari pertunjukannya akibat dari sulitnya mencari seorang penari Gambuh. Pada  akhirnya angota tersebut mempunyai inisiatif untuk mengembangkan kembali kesenian Gambuh tersebut dengan jalan mendatangkan pelatih Tari Gambuh dari Batuan. Sempat beberapa periode mendatangkan pelatih tari Gambuh dari Batuan. Pelatih yang terakhir dari Batuan sempat melatih tari putri pada tahun 1982. Kesenian Gambuh kembali bisa dikembangkan meskipun tidak sejaya tahun 1950-an dan sebelumnya.

Pertunjukan dan tarian Gambuh Kedisan sempat mendapatkan perhatian dan kesempatan untuk pentas di Eropa pada tahun 1999, dengan tujuan negara Prancis dan Swiss. Pada saat itu kesenian ini kembali di tata struktur pertunjukannya guna memperindah gerakan tarian dan komposisi pertunjukan. Ketika itu sempat mendatangkan tokoh tari Bali dari Singapadu yang bernama I Made Bandem, dengan tujuan melatih tari Gambuh dan menyesuaikan pertunjukan Gambuh dengan durasi yang ditentukan. Banyak pakem tarian yang di rubah baik dipotong dan ditambah, agar mencukupi durasi waktu yang ditentukan. Pemotongan struktur pada tariannya juga mengalami perubahan terhadap iringannya. Semenjak itu sampai sekarang, kesenian ini menggunakan struktur (paileh) pertunjukan yang dipergunakan ketika kesenian tersebut pentas di Eropa.

Perubahan

Perubahan adalah suatu hal yang selalu terjadi pada setiap kebudayaan. Perubahan memiliki suatu pengertian tidak mengalami bentuk yang tetap dengan kata lain dari bentuk Y berganti menjadi X. Kebudayaan  merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang dilakukan secara terus-menerus dan turun temurun. Kebudayan juga tidak memiliki bentuk dan kepastian yang tetap, dimana selau mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan jaman. Untuk menganalisis perubahan yang terjadi pada kesenian Gambuh Kedisan, peneliti meminjam teorinya Alvin Boskof,  yang berpendapat bahwa perubahan sosial budaya dalam masyarakat disebaban oleh dua faktor, yaitu: faktor dari dalam (internal) adalah sebagian faktor yang datangnya dari dalam atau pelaku budaya tersebut, dan faktor dari luar (eksternal) adalah faktor yang datangnya dari luar pelaku budaya tersebut.

Begitu juga dengan kesenian klasik yang keberadaanya dari jaman dahulu banyak mengalami perubahan hingga bisa bertahan sampai sekarang. Contohnya kesenian Gambuh Kedisan. Gambuh Kaga Wana Giri atau yang lebih di kenal dengan istilah Gambuh Kedisan merupakan kesenian Gambuh yang sempat jaya pada tahun 1950-an. Sekarang  keberadaanya telah banyak mengalami perubahan dari segi kualitatif seperti struktur pertunjukan, dan anggota, akibat dari faktor dari dalam sekaa maupun dari luar sekaa.

Struktur pertunjukan Gambuh Kedisan mengalami perubahan ketika  beberapa penari Gambuh meninggalkan Kedisan untuk bertransmigrasi ke Sumatra dan Lampung. Ketika itu penari-penari yang telah bertransmigrasi digantikan oleh beberapa orang sebagai peran pengganti, dan itupun tidak semua tarian yang hilang dapat digantikan dengan penari lain, hanya tokoh yang memang dianggap penting dalam pertunjukan. Sulitnya mencari pengganti penari Gambuh ketika itu mengakibatkan sedikitnya tarian yang bisa dilestarikan lagi. Semenjak itu dalam pertunjukan Gambuh sedikit berubah  hanya mementaskan peran-peran yang pokok dalam adegan cerita yang dibawakan. Perubahan berikutnya ketika akan melakukan pertunjukan ke Prancis dan Swiss. Ketika itu masing-masing tarian dirubah struktur tariannya agar memenuhi durasi waktu yang ditentukan. Berubahnya struktur tarian Gambuh ketika itu secara tidak langsung mengalami perubahan terhadap iringannya. Semenjak itu ketika melakukan pertunjukan menggunakan struktur yang dipakai ketika pentas di Prancis dan Swiss.

Faktor transmigrasi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah sekaa Gambuh Kedisan, di samping faktor usia dan peran pengganti. Sulitnya mencari pengganti untuk tarian dan iringan Gambuh, mengakibatkan semakin berkurangnya anggota sekaa Gambuh Kedisan. Kini keberadaan anggotanya rata-rata orang tua yang sudah berumur 50-an, yang beberapa anggota sudah tidak memungkinkan untuk menari Gambuh. Kini Gambuh Kedisan memiliki anggota yang sangat pas dengan peran tari dan penabuh yang ada. Terkadang sampai meminjam beberapa penari dari luar Desa Kedisan untuk menari ketika ada salah satu penari yang berhalangan.

Perkembangan Kesenian Gambuh di Desa Kedisan selengkapnya

Sairandri

Sairandri

Penata

Nama                     : Ni Luh Eni Prasanti

Nim                       : 200701022

Program Studi  : Seni Tari

Sinopsis :

Drupadi merupakan istri dari 5 Gandharwa, namun karena penyamarannya dengan Pandawa ia mengubah namanya menjadi seorang Sairandri, pelayan permaisuri raja di negeri Wirata. Di sana ia menjadi teman dan pelayan para putri, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ringan, seperti mengepang rambut dan menghibur para putri dengan menjadi teman ngobrol.

Pendukung Tari      :

  1. Anak Agung Sagung Mirah Handayani
  2. Ni Ketut Yuli Ardyanthi
  3. Ni Putu Sinta Ulantari
  4. A.A. Bintang Candra Dewi

Pendukung Karawitan       : Sanggar Windhu Lestari, Pengosekan, Ubud, Gianyar

Ujian Tugas Akhir FSP Gelombang I Tahun 2011

Komodifikasi Obyek Wisata Puri Saren Agung Ubud, bagian I

Komodifikasi Obyek Wisata Puri Saren Agung Ubud, bagian I

Kiriman Dr. Ni Made Ruastiti, SST. MSi., Dosen PS Seni Tari ISI Denpasar.

Abstrak

Puri Saren Agung merupakan sebuah obyek wisata budaya yang terletak di desa Ubud, Gianyar, Bali. Sebagai sebuah produk wisata yang dikembangkan berdasarkan konsep pariwisata budaya (cultural tourism), Puri Saren Agung memiliki nilai historis, filosofis dan estetika yang tinggi. Hal itu dapat diamati dari tata ruang puri yang didasarkan atas sejumlah konsepsi berlandaskan filosofis agama Hindu.

Berkembangnya pariwisata di Bali tampaknya telah membuat munculnya gejala komodifikasi di berbagai sektor kehidupan masyarakatnya. Komodifikasi adalah suatu konsep yang luas, yang tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit saja, namun juga menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi. Dengan adanya sistem ekonomi yang didasarkan atas spirit untuk mendapatkan keuntungan telah mendorong pihak Puri Saren Agung kreatif mengembangkan purinya sebagai sebuah obyek wisata budaya agar dapat menghasilkan uang untuk kelangsungan puri, sebagai aset budaya Bali.

Walaupun dikembangkan sebagai sebuah obyek wisata, namun bentuk, struktur bangunan puri ini tampak masih tetap seperti sediakala/tidak berubah, yakni mempergunakan konsep sanga mandala (pembagian area puri menjadi sembilan petak), memiliki nilai utama sebagai tempat yang bernilai sakral, madya sebagai ruang tempat tinggal dan nista sebagai tempat pelayanan umum. Dari hasil pengamatan, perubahan hanya tampak dalam penggunaan area puri yang memiliki nilai profan (nista) yakni diperuntukkan sebagai tempat rest house, restaurant, art shop dan sebagai tempat pementasan kesenian untuk wisatawan. Sementara area puri lainnya masih tetap fungsional sebagai pusat kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Hal itu dapat dilihat dari rutinitas kegiatan yang dilakukan masyarakat setempat di puri ini.

Dengan dikembangkannya puri ini secara tepat dan terpadu, maka komodifikasi obyek wisata Puri Saren Agung Ubud ini dapat bermakna simbiosis-mutualistis bagi puri, pariwisata, masyarakat dan kebudayaan Bali.

Key word : Komodifikasi, Puri Saren Agung Ubud, Pariwisata Bali.

1.  Latar Belakang

Pulau Bali merupakan daerah tujuan wisata (tourism destination) yang sangat terkenal akan keunikan budayanya. Keunikan budaya Bali tercermin pada kehidupan masyarakatnya yang religius. Hal itu dapat dilihat dari gaya hidup masyarakatnya yang selalu mengaitkan kehidupannya dengan upacara ritual keagamaan baik di pura maupun di lingkungan rumah tempat tinggalnya. Selain gaya hidup masyarakatnya unik, arsitektur bangunan suci pura dan purinya pun tidak kalah menarik. Oleh sebab itu banyak wisatawan tertarik datang mengunjungi obyek wisata pura maupun puri.

Banyaknya wisatawan tertarik datang ke Bali karena keunikan budayanya ini disikapi Pemerintah Daerah setempat dengan mengembangkan industri pariwisatanya berdasarkan kebijakan pariwisata budaya.  Kebijakan ini dituangkan dalam Perda Nomor 3 Tahun 1974,  yang direvisi menjadi Perda Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya, yang intinya menyebutkan bahwa setiap industrialisasi pariwisata daerah ini dilandasi kebudayaan Bali.

Pembangunan pariwisata yang konformis harus mengangkat local knowledge masyarakat karena hal ini merupakan adaptasi ekologis masyarakat tersebut.  Jika konsep ini diterapkan kiranya pariwisata Bali akan dapat bermakna simbiosis mutualistis bagi masyarakat, pariwisata dan kebudayaan Bali. Setiap masyarakat tentunya memiliki pengetahuan, budaya berbeda-beda sesuai dengan lingkungan dimana mereka berada. Jika ini dikembangkan menjadi sebuah produk wisata maka industri ini akan memiliki produk wisata beragam dan unik, ramah lingkungan serta diterima masyarakat secara sosial-budaya-religius.

Dengan konsep industri pariwisata budaya, Pemerintah Daerah ini mengharap industrialisasi pariwisata budaya terjadi di berbagai sektor pariwisata, baik biro perjalanan wisata (BPW), hotel dan restoran, transportasi, seni pertunjukan, cendramata, dan lain sebagainya. Hal inilah kiranya yang mendorong terjadinya komodifikasi obyek wisata di Puri Saren Agung Ubud. Proses industrialisasi sebagaimana dilakukan Puri Saren Agung ini disebut sebagai komodifikasi. Komodifikasi (commodification) adalah suatu konsep yang luas, yang tidak hanya menyangkut tentang masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit tentang barang-barang yang diperjual-belikan saja, namun menyangkut lebih daripada itu, yakni tentang bagaimana barang-barang itu didistribusikan dan dikonsumsi.

Fairclough (1995 : 207) menyatakan bahwa : Commodification is the process whereby social domains and intitutions,  concern is not producing commodities in the narrower economic sense of goods for sale, come nevertheles to be organized and conceptualized in terms of commodity production,  distribution and consumtions. Keat dan Abercrombie (1990) menyatakan bahwa komodifikasi bukanlah sesuatu hal yang baru,  melainkan telah terjadi sejak dahulu sehingga seakan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Max Weber (dalam Turner, 1992 : 115-138) menyebut munculnya gejala komodifikasi ini karena adanya spirit ekonomi uang untuk memperoleh keuntungan.

Sebagaimana ditunjukkan oleh masyarakat Bali yang selama ini begitu kreatif melakukan inovasi menyikapi pariwisata di daerahnya masing-masing.  Hal itu dapat dilihat dari menjamurnya produk wisata baru dengan segala keunikan ditawarkannya kepada konsumen.  Salah satu produk wisata yang relatif baru dikembangkan adalah “wisata puri”.  Wisata puri pada hakekatnya di daerah/negara lain telah berkembang sejak lama, dan populer disebut sebagai “wisata istana”.  Negara-negara yang telah mengembangkan model wisata istana/wisata puri, antara lain : Grand Palace di Bangkok,  Istana Malacanang di Manila, dan lain sebagainya.  Sedangkan di Indonesia, wisata puri telah dikembangkan oleh istana Yogyakarta, istana Surakarta, istana Mangkunegaran, dan Puri Saren Agung Ubud.

Puri di Bali, merupakan tempat tinggal bagi kalangan/golongan kasta kesatria yang memegang pemerintahan. Bangunan puri umumnya terletak di bagian kaja kangin di sudut perempatan agung, di pusat desa (Gelebet, 1986).  Menurut Alvin Toffler yang dikutip oleh Soedarsono (1999)  mengatakan bahwa istana adalah tempat menyimpan berbagai kekayaan atau warisan budaya yang sering dipergunakan sebagai daya tarik wisata oleh daerah tersebut.  Sebagaimana dilakukan oleh Puri Saren Agung Ubud yang mengembangkan purinya sebagai sebuah obyek wisata karena mereka memahami bahwa wisatawan sangat tertarik datang ke istana kerajaan/puri untuk melihat kebudayaan daerah yang dikunjunginya.

Komodifikasi Obyek Wisata Puri Saren Agung Ubud, bagian I, selengkapnya

Angganing Bagia

Angganing Bagia

Penata

Nama                     : I Wayan Agusnita

Nim                       : 2007 02 046

Program Studi  : Seni Karawitan

Sinopsis       :

Kesenangan merupakan suatu rasa yang dimiliki oleh setiap orang. Rasa senang akan dirasakan ketika yang diinginkan dapat tercapai. Dengan perasaan senang segala sesuatu akan merasa mudah dan membuahkan hasil memuaskan.

Berpijak dari hal tersebut, menggugah penggarap mewujudkan kedalam sebuah garapan komposisi karawitan kreasi inovatif,dengan pembagian ruang dan pola-pola variatif yang memberikan kesan artistic. Sebagai media ungkap, gamelan semara Pegulingan dengan pengolahan patet, melodi, ritme dan permainan tempo, sehingga melahirkan garapan yang berjudul “Angganing Bagia”.

Pendukung Karawitan       : Sanggar Gamelan Cendana Batubulan

Ujian Tugas Akhir FSP Gelombang I Tahun 2011

Mahasiswa Uwa Dilepas Dengan Exibition & Farewell Party

Mahasiswa Uwa Dilepas Dengan Exibition & Farewell Party

Program ISACFA (International Studio for Arts & Culture FSRD-ALVA),  sebuah program yang merupakan implementasi dari MoU antara ISI Denpasar dan University of Western Australia (UWA) dengan 22 mahasiswa UWA dibawah komando Prof. Paul Trinidad belajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISI Denpasar sejak 13 Juni yang lalu, Jumat malam (1/7) yang lalu dilepas secara resmi oleh Rektor ISI Denpasar lewat pameran bertajuk “Exhibition of ISAFCA Program, Darmasiswa &ISI Denpasar Students”. Pameran ini diawali dengan penandatanganan kanvas oleh seluruh undangan dan mahasiswa UWA.

Pameran ini terlaksana setelah mahasiswa UWA mempelajari Kamasan Painting sejak 26 Juni lalu di Klungkung selama tiga hari. Selain mengikuti perkuliahan, diantaranya Bahasa Indonesia, Seni Budaya Bali, Komunitas dalam Ritual dan Upacara, Komunitas Masyarakat dalam Subak dan Banjar, Pengenalan Arsitektur Tradisional Bali, Ashta Bumi dan Ashta Kosala-Kosali, Ornamen, fotografy, lighting, dll mereka juga mengunjungi Pura Tirta Empul untuk lebih mengenal lebih jauh tentang kebudayaan Bali. “Selain mengamati kegiatan religious di pura tersebut, mahasiswa Negeri Kangguru itu juga ikut melukat bersama mahasiswa dan dosen ISI Denpasar,”papar Dekan FSRD, Dra.Ni Made Rinu,M.Si.

Alexander Philip Wolman, salah seorang mahasiwa UWA yang memberi sambutan pada acara malam itu,mengungkapkan rasa bahagia dan terimakasih atas semua yang telah diperoleh saat perkuliahan di ISI Denpasar. “We have a very wonderful time here, so many  invaluable knowledge and ISI Denpasar has given us more than what we expected, ”ujar Alex yang disambut applaus seluruh hadirin.

Rektor ISI didampingi para Pembantu Rektor, Dekan FSP, Dekan FSRD serta jajarannya menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh keluarga besar ISI Denpasar yang telah bekerja keras dalam melaksanakan setiap kegiatan untuk mahasiswa UWA,sehingga setiap kegiatan dapat berjalan lancar. “Kegiatan ini adalah implementasi dari MoU antara ISI Denpasar dan UWA. Kedepan akan ada banyak kegiatan lagi tidak hanya di FSRD, tapi juga di FSP, yang tentunya merupakan  tantangan untuk kita meningkatkan diri untuk mampu bersaing di tingkat internasional,” papar Prof. Rai ditemui pada acara makan malam bersama seluruh mahasiswa UWA malam itu.

Humas ISI Denpasar melaporkan.

Loading...