by admin | Jul 12, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, SSn., Alumni ISI Denpasar
Desa Kesiman merupakan sebuah desa yang terletak di bagian timur Kota Denpasar. Meskipun masih bernaung di wilayah perkotaan, namun desa ini ternyata memiliki khasanah seni budaya yang pantas untuk diteliti lebih lanjut. Contohnya adalah Upacara Ngerebong yang di dalamnya terdapat berbagai peristiwa budaya yang menarik dan khas. Salah satunya adalah keberadaan tari Poleng Kesiman.
Menurut buku “Sejarah Pura” hasil penelitian IHD (sekarang Unhi) tahun 2006, upacara Ngerebong termasuk ke dalam kategori Bhuta Yadnya atau pecaruan. Kata Caru berarti cantik atau harmonis. Jadi, prosesi ini bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk selalu menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam., serta manusia dengan Tuhan. Prosesi “Ngerebong” ini dilangsungkan setiap Redite Pon Medangsia atau 18 hari setelah hari raya Galungan.
Tari Poleng Kesiman ini merupakan suatu bentuk tari wali yang pada masa lalu dipercaya sebagai prajurit andalan Raja Kesiman. Tari ditarikan secara kelompok berjumlah 5 orang penari. Adapun properti yang dibawa oleh para penari yaitu berbagai jenis senjata seperti Gada, Tombak, Parang, Perisai dan Keris. Kondisi penari pada saat menari adalah dalam kondisi trance atau dikendalikan oleh kekuatan tertentu di luar nalar manusia. Uniknya, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak berteriak-teriak seecara histeris seperti trance pada umumnya, namun bergerak menari dengan penuh kharisma.
Dalam pementasannya, para penari Poleng Kesiman mengenakan baju lengan panjang berwarna hitam yang terbuat dari kain bludru, memakai kain putih, saput berwana poleng, dan selendang berwarna poleng yang dililitkan di badannya. Serta mengenakan destar ( sejenis hiasan kepala berupa lembaran kain yang dilipat-lipat sedemikian rupa ) berwarna poleng juga. Di telinganya diselipkan bunga kembang sepatu berwarna merah dan di pinggangnya diselipkan sebilah keris. Di sini kita dapat melihat adanya suatu kemiripan penggunaan dan jenis kostum dengan tari Baris pada umumnya yang sangat khas terutama pada hiasan kepalanya yang berbentuk kerucut dan dihiasi dengan kulit kerang. Salah satu dari 6 ciri-ciri seni pertunjukan ritual oleh Prof. Soedarsono adalah diperlukan busana yang khas (Soedarsono, 2002:135). Pada tari Baris Poleng Kesiman, hiasan kepalanya hanya berupa lembaran kain hitam-putih (poleng) yang dilipat-lipat sedemikian rupa hingga menyerupai destar ( hiasan kepala untuk bersembahyang umat Hindu pada umumnya ). Hal inilah yang menunjukkan salah satu kekhasan yang dimiliki tari Poleng Kesiman datri segi tata busananya.
Alur pementasannya dimulai ketika para pemangku perempuan yang disebut Sutri keluar dari pintu utama pura. Mereka menari dalam keadaan trance namun tidak sehisteris prosesi pertama tadi. Dengan menggunakan busana serba putih dan dihiasi busana sejenis rompi berwarna hijau dan biru. Setelah itu, Dilanjutkan dengan mengusung benda sakral pusaka desa Kesiman berupa sabuk berwarna hitam putih (poleng) sepanjang 18 depa atau kurang lebih 15 meter. Sabuk ini diusung oleh beberapa orang pemangku perempuan yang mengenakan busana serba putih. Selanjutnya, diikuti oleh pemangku perempuan yang berjalan membawa genta sebanyak 4 orang. Di belakangnya lalu diikuti oleh para pemangku yang menari dengan mengenakan pakaian serba loreng dan membawa berbagai jenis senjata. Mereka inilah yang disebut rerencangan Poleng Kesiman. Terakhir, keluarlah Mangku Pura Dalem Kesiman, Mangku Gede Puri Kesiman, para Manca dan Prasanak menyaksikan jalannya prosesi yang mengitari wantilan sebanyak tiga kali berlawanan arah jarum jam. Setelah itu, para pemangku yang menari ini kembali ke jeroan pura.
Salah satu ciri daripada tari wali adalah tidak terlalu mementingkan estetika gerakan dan koreografi. Hal itu pun berlaku pada tarian Poleng Kesiman ini, dimana para penari kebanyakan menggunakan level rendah (ngaed). Dan, jenis gerakannya mirip seperti gerakan pencak silat. Hal ini dapat dilihat ketika penari begitu tangkas dalam memainkan properti senjata yang mereka bawa. Sesekali para penari harus memerlukan bantuan orang lain untuk menenangkan dirinya saat mereka tidak lagi bisa mengendalikan keadaan dirinya. Banyak gerakan maknawi yang terdapat pada tarian ini yang dilakukan oleh penari dalam keadaan trance, seperti mengacungkan senjata ke atas dan ke hadapan Pemangku Dalem ( yang mengawasi jalannya pementasan tarian dari pintu halaman utama mandala pura dan juga dalam keadaan trance ). Gerakan tersebut menandakan kesiapan para penari untuk berperang dan menjaga keamanan desa Kesiman secara niskala. Hal ini mirip dengan makna tari baris sakral yang terdapat di Bali pada umumnya.
Tradisi seni tari di Bali memiliki lebih dari 40 jenis tari Baris sakral Tari Baris. Tari berasal dari kata baris yang berarti deret atau leret yang menggambarkan kegagahan prajurit perang yang siap berangkat ke medan perang. Hal itu dilukiskan pada gerakannya yang tangkas nan enerjik serta penggunaan senjata sebagi properti pementasannya sekaligus menambah kesan gagah bagi penarinya. Tak jarang pula, setelah menunjukkan gerakan yang sangat tangkas dan energik, para penari baris sakral akan melakukan gerakan memendet yang lemah gemulai dan lebih bersifat kontemplatif. I Made Bandem dalam bukunya Kaja dan Kelod Tarian Bali Dalam Transisi mengungkapkan bahwa tarian memendet adalah tarian yang dilaksanakan oleh pria dewasa dari jemaah pura atau kadang-kadang oleh pemangku sendiri. Setelah selesai menghaturkan sesajen, para pemangku lalu memberi persembahan berupa arak berem kepada roh jahat. Selanjutnya, Soedarsono menyatakan bahwa Baris merupakan tari putra yang dibawakan oleh kelompok pria dewasa yang berfungsi sebagai tari penyambutan kepada para dewa yang diundang pada saat odalan.
Berpijak dari dua pernyataan tersebut, penulis berasumsi bahwa tari Poleng Kesiman ini termasuk kategori tari Bebarisan tepatnya tari Baris Pependetan. Sebab, jika dianalisa melalui aspek bentuk tari dan fungsinya, Tari Poleng Kesiman merupakan sebuah bentuk tari keprajuritan yang secara umum berfungsi sebagai pasukan atau para prajurit pengawal dewa yang turun dari kahyangan.
Poleng Kesiman: Tari Keprajuritan Sakral Pada Upacara Ngerebong Di Desa Kesiman, selengkapnya
by admin | Jul 12, 2011 | Berita
New York – Indonesia berhasil menggalang pembuatan rekor dunia “Guinness World Records” permainan angklung dengan peserta multibangsa terbanyak setelah lebih dari 5.000 orang mampu memainkan lagu “We Are the World” di Washington DC, Amerika Serikat, Sabtu petang (9/7).
Lagu ciptaan Michael Jackson dan Lionel Richie itu berhasil dimainkan para peserta di bawah panduan yang diberikan oleh Daeng Udjo dari Saung Angklung “Udjo” di Bandung, Jawa Barat.
Pencetakan rekor dunia itu berlangsung di taman National Mall-Washington Monument, yang lokasinya antara lain menghadap Capitol Hill (Gedung Kongres AS) serta berseberangan dengan Gedung Putih, yaitu kantor dan kediaman resmi Presiden AS.
Para peserta yang masing-masing mendapatkan sebuah angklung serta syal batik atau ikat kepala khas Bali saat memasuki arena, mengikuti panduan Daeng Udjo dengan membunyikan angklung berdasarkan salah satu nama pulau di Indonesia yang tercantum pada angklung mereka.
Nama-nama pulau tersebut –Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Lombok, Maluku, Flores, Papua, Halmahera– secara berurutan menggambarkan not do-re-mi-fa-so-la-ti-do-re (atas)-mi (atas).
Peserta membunyikan angklung masing-masing saat Daeng Udjo memberikan tanda not-not tersebut dengan menggunakan berbagai bentuk tangan.
Dari atas panggung, Daeng melatih para peserta memainkan beberapa lagu termasuk “Take Me Home, Country Roads” ciptaan John Denver, Taffy Nivert, dan Bill Danoff, sebelum akhirnya masuk ke lagu resmi pencetakan rekor, “We Are the World“.
Sebelum pengumuman, juri dari pihak “Guinness World Records” mengaku terkesima dengan kenyataan bahwa banyak peserta sebelumnya sama sekali tidak pernah memegang angklung namun pada Sabtu sore di National Mall bisa bersama-sama memainkan “We Are the World“.
“Ini di luar dugaan. Saya tadi di panggung hampir menangis,” kata Duta Besar Indonesia untuk AS, Dino Patti Djalal, kepada ANTARA, tentang kepastian yang diumumkan pihak “Guinness World Records” dari atas panggung bahwa rekor angklung berhasil dicetak dengan peserta mencapai 5.182 orang.
Sebelumnya pada Sabtu siang, Dino mengaku tidak dapat memprediksi berapa –dari target 5.000 orang– yang akan hadir memainkan angklung untuk mencetak rekor.
“Hanya 1.000 orang pun bisa mencetak rekor kalau bisa memainkan lagu,” tuturnya.
Hingga Jumat (7/7), calon peserta yang terdaftar baru mencapai 1.600 orang.
Pembuatan rekor dunia permainan angklung itu juga diikuti dari atas panggung oleh sejumlah tokoh, termasuk Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan, Duta Besar RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York Hasan Kleib, Managing Director Bank Dunia Sri Mulyani serta pengusaha dan promotor musik Peter Gontha.
Selain pencetakan rekor dunia permainan angklung, hari Sabtu di tempat yang sama juga dijadikan sebagai Festival Indonesia dan hari perayaan multikulturalisme.
Festival menghadirkan sejumlah artis Indonesia, seperti Sherina, Elfa`s Singers, Denada, Balawan serta artis mancanegara termasuk Brazilian Percussion, Interfaith Concert hingga kelompok musik kondang dari Australia, Air Supply.
Sumber: antaranews.com
by dwigunawati | Jul 11, 2011 | Berita, Galeri
Penata
Nama : I Made Sukarsa
Nim : 200703003
Program Studi : Seni Pedalangan
Sinopsis :
Tersebutlah Sisya di perguruan Loka Asura Asrama, dibawah bimbingan Bhegawan Sukra. Yakni Detya Wersaparwa dan para Asura lainnya dengan Sang Kaca tengah menimba Aji Amertha Sanjiwani/ilmu pengurip-urip yang telah mati. Dalam persaingan belajar Sang Kaca harus kehilangan nyawanya berkali-kali dibunuh dijadikan makanan yang di hidangkan oleh para dDetya kepada Bhegawan Sukra. Alangkah kagetnya Bhegawan Sukra karena Sang Kaca di hidupkan berada dalam perutnya. Untuk keduanya selamat maka diturunkanlah Aji Amertha Sanjiwani kepada Sang Kaca saat dalam perutnya Bhegawan Sukra.
Setelah Aji Amertha Sanjiwani telah dikuasai, Sang Kaca keluar dengan membelah perut Bhegawan Sukra. Bhegawan Sukra pun mati,lalu dihidupkan oleh Sang Kaca dengan Aji Amertha Sanjiwani.
Pendukung : Sanggar Wayang Kilayumanedeng Cemagi.



by admin | Jul 11, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha SSn., Alumni ISI Denpasar
Pada tanggal 5-7 Juli 2011, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, mengadakan sebuah acara penghargaan tahunan yang diberikan kepada mereka yang tekun dan sungguh-sungguh mengabdi di dunia seni budaya. Ada empat kategori yang disediakan oleh Kemenbudpar RI kali ini yauti : 1. Bidang Maestro Seni Budaya, 2. Bidang Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya, 3. Anugerah Seni dan 4. Anak/Remaja/Pelajar yang Berprestasi di Bidang Seni Budaya.
Masyarakat Bali saat ini pantas berbangga diri, karena salah satu putra-putri terbaiknya di bidang seni tari kembali mendapat penghargaan bergengsi tingkat nasional oleh pemerintah pusat di Jakarta. Acara bertajuk “Penghargaan Maestro Seni Tradisi dan Anugerah Kebudayaan Tahun 2011” ini diberikan kepada mereka yang telah berjasa dan mendedikasikan dirinya di bidang seni budaya. Setelah tahun lalu (2010) seniman Bali I Made Sija menerima penghargaan dari pemerintah pusat, kali ini adalah (alm.) Jero Puspawati, seniwati dramatari Arja, dari Geriya Bongkasa, Abiansemal, Kab. Badung, Bali. Beliau mendapat penghargaan di bidang Maestro Seni Tradisi. Penghargaan Kali ini diserahkan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono yang diwakili oleh Wakil Presiden Boediono beserta Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Ir. Jero Wacik kepada perwakilan (alm.) Jero Puspawati yaitu Ida Ayu Wimba Ruspawati selaku putri sulung beliau.
Jero Puspawati adalah seorang seniman yang bergelut khusus di bidang seni tradisi Dramatari Arja. Dilahirkan sekitar 77 tahun yang lalu di Desa Pejeng, Kab. Gianyar, beliau terlahir dengan nama Ni Wayan Sembo. Sejak umur 7 tahun, beliau memulai karir berkesenian secara otodidak. Hal ini dipelajari langsung dari ayahnya yang bernama I Raos yang pada jamannya dikenal sebagai pemeran tokoh Pandung dalam dramatari Calonarang yang cukup populer karena penguasaan teknik serta penjiwaannya. Beliau sangat rajin mengikuti kiprah ayahnya pentas kesana-kemari demi sebuah pengalaman sekaligus menjalankan kegemarannya menyaksikan orang menari. Dari berbagai pengalaman-pengalaman menonton tersebutlah, secara tidak disadari ketajaman intuisinya akan seni tradisi menjadi terasah. Tak heran, ia pun dengan mudah menghafal urutan pementasan karakter-karakter yang terdapat dalam dramatari Arja.
Bakat emas ini ternyata cepat disadari oleh ayahnya kala itu. I Raos kemudian mengajarinya tembang-tembang Sekar Alit sebagai modal utama dalam memerankan tokoh dalam opera tradisional tersebut. Karena memang sudah memiliki potensi unggul, Ni Sembo tak membutuhkan waktu lama untuk menguasai berbagai pupuh yang diajarkan ayahnya. Selanjutnya, perjalanan karir keseniannya di dramatari Arja pun dimulai. Pelatihannya dimulai dari belajar tari Condong, lalu beralih ke Mantri Manis, Mantri Buduh, lalu berakhir di tokoh Limbur. Seiring dengan meningkatnya jam terbang pementasan beliau, maka semakin matanglah pengalaman di bidangnya. Pun demikian dengan kematangan penokohan karakter yang mulai mengarah secara spesifik. Setelah demikian lama berlatih dan pentas, akhirnya beliau dikenal cocok membawakan tokoh Mantri Buduh dan Limbur. Identitas pun disematkan oleh masyarakat kepada beliau sebagai Mantri Buduh Pejeng atau Limbur Pejeng, karena memang berasal dari Pejeng, Gianyar.
Karena kemampuan serta pengalamannya itulah, beliau sempat tergabung dengan berbagai seniman dramatari Arja yang terkenal dan pentas di seluruh Bali. Beliau sempat bergabung dalam grup Arja Singapadu yang disesaki oleh seniman-seniman besar seperti (alm.) Tjokorda Oka Tublen, (alm.) I Wayan Geria, (alm.) I Made Keredek, serta sering pentas bersama seniman besar (alm.) I Ketut Rindha dari Blahbatuh, Gianyar, (alm.) Jero Suli dari Denpasar serta pasangan punakawan (alm.) I Sadru dan (alm.) I Monjong dari Keramas, Gianyar. Dengan seniman-seniman tersebutlah, Ni Sembo sering bertukar pikiran, berdialog dan tanpa sungkan-sungkan menggali ilmu pada siapapun. Oleh karenanya, interaksi yang intensif dengan seniman berbagai karakter di luar desanya membuat Ni Sembo semakin diperhitungkan di jagat dramatari Arja pada jamannya.
Pada tahun 1952, Ni Sembo sempat mengadakan pentas tari Arja ke Lombok bersama grup ayahnya. Beliau kesana atas undangan komunitas Bali yang rindu akan seni tradisional di tanah leluhurnya. Di tempat inilah beliau bertemu dengan Ida Bagus Made Raka, seniman besar Bali yang berasal dari desa Bongkasa, kec. Abiansemal, Kab Badung. Mereka pun saling jatuh hati dan tak lama kemudian melangsungkan proses pernikahan. Ni Sembo resmi menikah ke Geriya Gede Bongkasa dan berganti nama menjadi Jero Puspawati. Karir keseniannya di bidang dramatari Arja bukannya terganjal karena menikah dan mengurusi rumah tangga, namun sebaliknya, justru semakin berkibar berkat dukungan sang suami. Ida Bagus Made Raka yang tak hanya dikenal tangguh sebagai Baris atau Jauk Bongkasa, juga dikenal sebagai juru kendang tari Arja yang sangat mahir. Atas prakarsa mereka berdua bersama Ida Pedanda Gede Putra Singarsa (alm.) yang juga dikenal sebagai Dalang Bongkasa pada masa lalu, terbentuklah grup kesenian Parwa Agung yang berbasis di desa Blahkiuh, Kec. Abiansemal, Kab. Badung. Grup ini sangat terkenal pada masanya dan hingga kini masih tetap eksis. Selain itu, mereka pun secara berpasangan mengabdikan diri memenuhi permintaan masyarakat di berbagai desa di Bali untuk mengajar dramatari Arja. Berdua, mereka merasakan indahnya kebersamaan tak hanya sebagai pasangan hidup, namun juga sebagai pasangan seniman yang sangat serasi dan bermental pengabdian yang sangat tulus.
Pada tahun 2002, sang suami yaitu Ida Bagus Made Raka berpulang menghadap Sang Pencipta karena sakit yang dideritanya. Tentu, kesedihan yang mendalam menghinggapi Jero Puspawati selaku pasangannya. Namun hal ini tak menyurutkan niat beliau untuk terus mengabdi di bidangnya secara professional. Hidup harus terus berlanjut dan tiada henti mengabdi. Setidaknya prinsip itulah yang menguatkan mental Jero Puspawati dalam melanjutkan sisa hidupnya. Terbukti, beliau didaulat oleh para anggota sekaa santi Gita Keheningan Banjar Kehen Kesiman untuk membina pesantian ini di bidang Sekar Alit. Senyum girang kembali menghiasi bibir beliau ketika mengingat sisa hidupnya yang masih memiliki guna dan manfaat bagi masyarakat sekitarnya.
Kepercayaan masyarakat di desa Kesiman (tempat domisili sementara beliau sepeninggal sang suami) kepada beliau semakin tebal ketika beliau didaulat menjadi duta Br. Kehen sebagai penari Joged Bumbung dalam parade pentas tari Joged Lansia yang digelar oleh Pemerintah Desa Kesiman Petilan pada tanggal 6 Februari 2011 yang lalu. Keceriaan beliau nampak jelas menghiasi hari tuanya. Menari seolah sebagai terapi kesehatan bagi beliau. Sesakit apapun tubuhnya, dapat dilupakan sejenak bilamana beliau mendengarkan lantunan pupuh Sekar Alit yang dikumandangkan oleh orang di sekitarnya maupun lewat siaran radio. Pun demikian ketika suatu waktu ada beberapa orang datang ke tempat beliau mendiskusikan masalah pakem tari Arja.
Akhirnya, Sabtu, 21 Mei 2011 beliau menghembuskan nafas terakhirnya karena sakit lever yang dideritanya dan sekaligus sebagai pertanda perpisahan beliau pada pengabdiannya di jagat seni tradisi Bali. Beliau meninggalkan dua orang putri yaitu Ida Ayu Wimba Ruspawati (51 th) dan Ida Ayu Mas Yuniari (47), serta enam orang cucu. Dua di antaranya merupakan tunas muda yang diharapkan dapat meneruskan pengabdian beliau di jagat seni, sesuai bidangnya masing-masing. Mereka adalah Ida Bagus Gede Surya Peradantha S.Sn., serta Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti. Ida Ayu Wimba Ruspawati selaku putri almarhum mengucapkan terima kasih kepada perhatian pemerintah pusat kepada seniman-seniman di Bali khususnya yang telah berjasa di bidangnya masing-masing. Ia berharap agar pemerintah tak henti-hentinya membangun usaha untuk memperhatikan keberadaan para seniman yang telah mengharumkan nama daerah dan bahkan negara di dunia internasional. Tak hanya TKI yang merupakan pahlawan devisa, namun seniman melakukan hal yang lebih sebagai media promosi potensi seni dan budaya seuatu negara.
Seniman Bali Menerima Penghargaan Pemerintah RI, selengkapnya