by admin | Jul 16, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Ketut Baskara Program Studi Desain Komunikasi Visual Jurusan Desain ISI Denpasar
I Iklan Majalah
Pada sub ini mahasiswa akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media promosi Iklan Majalah yang digunakan sebagai salah satu media komunikasi visual sebagai sarana promosi Aromas Café di Jalan Legian Kuta-Bali.
Unsur Visual Desain
1. Bentuk Fisik
Bentuk fisik dari iklan majalah ini adalah persegi panjang, dengan ukuran 30 x 24 cm. Hal ini tentunya mengikuti besar majalah. Pada kasus ini saya menggunakan majalah Hello Bali sebagai patokan.
2. Ilustrasi
Dalam desain media promosi iklan majalah ini, ilustrasi yang dipergunakan adalah gambar brokoli sebagai background, gambar dari salah satu menu di Aromas Café, serta logo dari Aromas Café itu sendiri.
Menggunakan background brokoli agar memberi kesan hijau yang merupakan cirri khas warna sayuran. Gambar salah satu menu di Aromas Café yaitu Aromas Pizza karena merupakan salah satu menu andalan di Aromas Café. Menggunakan gambar logo Aromas Café agar masyarakat mengetahui identitas dari Aromas Café itu sendiri. Selain itu juga digunakan gambar dari tampak depan Aromas Café agar masyarakat mengetahui seperti apa rupa bangunan Aromas Café.
3. Teks
Pada media iklan majalah ini, menggunakan teks berupa slogan “healthy vegetarian cuisine“, dimana memberikan informasi kepada masyarakat bahwa di Aromas Café menyediakan masakann vegetarian yang menyehatkan. Sedangkan copy text menampilkan sedikit informasi tentang Aromas Cafe. Serta teks “Enjoy The Sight of a Comfortable Romantic Garden Restaurant” dimana menunjukan bahwa lingkungan di Aromas Café sangatlah asri karena terdapat banyak tanaman.
4. Huruf / Typografi
Desain media promosi ini menggunakan dua jenis huruf atau typografi, yaitu: Vivaldi, serta Arial. Jenis typografi tersebut diatas dikomposisikan menurut ukuran dan keseimbangan guna mendapatkan kesatuan serta ritme yang tepat dimana nantinya dapat memberikan keseimbangan informasi yang dinamis.
5. Warna
– Untuk background menggunakan warna hijau kekuningan.
Penggunaan warna hijau kekuningan pada background disesuaikan dengan tema yang diangkat, yaitu tentang vegetarian yang sangat terkait dengan sayuran.
– Untuk kotak tempat tulisan memakai warna orange dari wortel dan juga agar lebih atraktif
– Logo Aromas Café menggunakan warna kuning serta biru.
Warna kuning merupakan warna yang menarik mata dibanding dengan warna lainnya serta membangkitkan nafsu makan, kemudian warna biru lebih berhubungan dengan ketenangan dan meditasi yang selalu dikaitkan dengan iman dimana yang menjadi salah satu alasan seseorang untuk menjadi seorang vegetarian adalad untuk melatih kesabaran iman. Sehingga kedua warna tersebut diharapkan mampu menunjukan bahwa Aromas Café adalah sebuah restoran vegetarian.
– Tulisan menggunakan warna putih dan coklat tua.
Warna putih pada tulisan ini digunakan karena merupakan warna netral sehingga tidak terpengaruh oleh warna lain. Begitu juga warna coklat yang merupakan salah satu warna tanah. Merupakan salah satu warna alam selain warna hijau.
6. Bahan
Desain media iklan majalah ini menggunakan bahan art paper 150 gsm karena ringan dan biasa digunakan sebagai bahan kertas untuk majalah.
7.Teknik Cetak.
Untuk mewujudkan media ini menggunakan teknik cetak offset. Cetak offset digunakan agar lebih murah bila memproduksi dalam jumlah banyak serta lebih mudah.
Kreatif Desain
Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilain desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif perancangan desain iklan majalah ini, dibuat 3 alternatif desain.
Desain iklan majalah ini dipilih dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dalam desain ini dianggap lebih menarik, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “natural”. Teks yang digunakan dalam desain ini berupa slogan promosi yang singkat, jelas dan informatif. (untuk lebih jelasnya lihat lampiran).
Iklan Majalah dan Brosur Sebagai Sarana Promosi Aromas Café Di Legian Kuta Bali, selengkapnya
by admin | Jul 15, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ari Wirawan, Mahasiswa PA Seni Karawitan ISI Denpasar
Penulis : Linus Suryadi AG
Edisi Pertama : Cetakan Pertama, 1993
Penerbit : Andi Offset, Yogyakarta 55281
Percetakan : Andi Offset
Pusat Penjualan : PT. Andi Pratita Trikarsa Mulia Jakarta Barat 11510
Candi Borobudur Dan Sekolah Abad 8-10 Di Jawa
Candi Borobudur yang di angap salah satu dari 10 kaajaiban dunia, dengan jelas memperlihatkan bahwa nenekmoyangetnik jawa bukan hanya bangsa ketengan. Sejumlah setudi arkiologi dan sejarah dan arsitektur ikut menterjemahkan prestasi yang berprestasi tingi itu. Gandrebangsa berperadaban tinggi dan besar yang di bangun atas dasar wangsa-wangsa pernah menjadi model terbaik dan modal bagi usaha konsultasi dan dinamisasi ini.
Belum lagi jelas wangsa sriwijaya atau wangsa medang kamulan yang membangun candi merah dan agung itu, ketika wangsa pertama di kabarkan berpusat di Sumatra dan wangsa kedua berpusat di jawa tengah, tetapi sebuah hipotensa sudah pula di ajukan. Sebagian candi prambanan di bagun oleh wangsa sanjaya yang berpusat di kraton baka, maka hal itu berarti bangunan tersebut tidak jauh dari pusat kekuasaan dan pemeritah. Agaknya demikian pula dengan candi Borobudur yang di bangun oleh wangsa Cailendra yang berpusat di jawa tengah. Akan tetapi, hipotera pembangun candi Borobudur yang berpusat di lokasi tertentu dik kawasan ini, nasibnya selalu di gugurkan oleh bencana alam letusan gunung merapi yang berulang, sehinga bukti arkiologi menghendaki pengalian lokasi secara besar-besaran.
Dan konon lokasi-lokasi tmpat berdirinya kemegahan peradaban bhuda di tanah jawa pada lebih dari 10 abad yang lampau itu, berkat timbunan erosi gunung merapi, akibatnya berada jauh lebih rendah lokasinya ketimbang permukaan tanah jawa abad 20. Demikianpun sekolah-sekolah Zaman kebudan, yang memunkinkan keberadaban Budha di kawasan ini dapat tumbuh dapat berkemgang baik sera subur, berda sayu penambang lapisan tanah, sama dengan banguna kraton medang kamulan. Untuk konteks ini dipakai konpensi sementara bahwa pembagunan candi Borobudur adalah wangsa cailendra, dan kraton kerajannya bernama medang kamulan.
Dusun sebagi lokasi sekolah budha yang kini bernama jetiskadi sobogo, walaupun bentuk dan gambarannya dusun pada waktu kini, namul lokasinya berda di bawah permukaan tanah masa kini, berna,ma dusun giridanda. Sedang jabatan selaku derektur sekolah pada masa itu di sebut gurudhama maharesh, namanya sudapala.
Budaya Religi Komunitas Jawa
Dalam komunitas jawa, yang mulai entah sejak abad sebelumnya masehi atau sesudah masehi actual. Ritus yang berhubungan dengan peristiwa kehidupan manusia tersebut mengambil titik-titik poros incidental, titik-titik secara turun temurun diangap mempunyai makna penting dan makna vital, sebagai inti kejadian pada deminsi wakyu dan deminsi ruang. Dari kejadian insidental yang bermakna penting dan pital itulah suatu tanda hidup bermula dan berahir ketitik tanpa ujung.
Adapun titik poros incidental ini menyankut awal dan ahir manusia ada di dunia, dan di tengah-tengah proses tersebut ritus pelengkap yang berpariasi jenis dan jumlahnya.
komunitas jawa, manakala dunia dan hidupnya tergelar terpapar, berbabai ritus hidup diad Dari rentang waktu lahir sampai meningal dunia bagi seorang manusia dalam kompensi akan. Ritus dalam pergelaran hidup tersebut banyak ragamnya, dari yang pital sampai kecabang dan rantingnya. Hal itu untuk memenuhi krenteg dan karep, niat dan kehendak, didalam angapandan tangapan dunia bahwa pada dasarnya hidup manusia itu sacral. Dari asal usunlnya yang sacral, bereksistensi di dunia yang sacral,pada giliranya kembali kea lam sacral pula. Dari asal usulnya yang tanpa dimensi ruang dan tanpa dimensi waktu, masuk kedalam tahap kesadaran hidup yang terbinkai ruang dan dimensi waktu, ahirnya pun balik kedemensi tanpa ruang dan demensi tanpa waktu, alias demensi ruang waktu yang tungal.
Buduya Keris Pusaka
Pada sebuh keluarga jawa masa kini, manakala kehidupanya masih sedikit punya konfensi tradisi keluaraga jawa, maka dam simpanan lemarinya dapat diduga bahwa keluarga jawa itu punya keris pusaka. Di desa dan di kota, keluarga miskin dan kaya, di keluarga priyayi dan petani, di keluarga pejat dan pedagang, tidak menjadi soal. Pada semua jenjang predikat dan pankat. Tinkat soal dan ekonomi, dan semua lapisan budaya masyarakat, pihak-pihak tersebut mennyimpan prianti hidupberupa pusaka. Namun sebuh periode zaman, manakala pengertian mengenai filsapat kebudayan jawa dihayati kongkrit, tidak selamanya mempunyai tempat disegala bidang kehidupan dan sendi-sendi konfensi tradisi keluarga jawa pun mengalami pengendoran. Karena, itu kini “hanya” dalam sebuah keluarga jawa yang yang tebal maka dalm sipanan lemarinya dapat dipastikan bahwa keluaraga jawa itu punya keris pusaka.
Resensi Buku: Regol Mengal Mengol Fenomena Kosmogoni Jawa, selengkapnya
by dwigunawati | Jul 15, 2011 | Berita, Galeri
Penata
Nama : I Komang Teja Ambara
NIM : 2007.02.004
Program Studi : Seni Karawitan
Sinopsis :
Air merupakan sumber kehidupan bagi semua mahkluk hidup yang membuat lingkungan menjadi asri. Akibat dari pergeseran jaman, membuat aliran air yang mengalir di sungai menjadi tidak tetap atau mengalami pasang surut. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor kehidupan kehidupan warga seperti : penebangan pohon liar yang mengakibatkan hutan menjadi gundul, sehingga air pun tidak mendapat resapan di daerah pegunungan. Aliran air sangat mudah membesar bahkan menyebabkan terjadinya banjir bandang. Fenomena air diatas menjadi sumber inspirasi untuk dikemas kedalam suatu bentuk penciptaan komposisi karawitan inovatif dengan judul “Nyat Mancuh”
Pendukung Karawitan : Mahasiswa semester II & VI Jurusan Karawitan FSP, ISI Denpasar.



by admin | Jul 15, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Made Dwi Andika Putra, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Oleh : Drs.K.M. Suhardana
Penerbit : “ PARAMITA”
Cetakan Pertama : Tahun 2006
Kata “Arya” menurut P.J. Zoetmulder dan S.O. Robson dalam “Kamus Jawa Kuno Indonesia” diartikan sebagai “terhormat, terpandang, mulia atau ningrat,” sedangkan kata “Nararya” diartikan sebagai “yang mulia diantara orang-orang keturunan ningrat. Sementara itu kata Nararya sering kali dicantumkan di depan nama diri. Dengan demikian menjadi jelas bahwa Nararya di depan nama seseorang menunjukkan bahwa orang tersebut adalah keturunan raja, keturunan ningrat atau orang yang terhormat, mulia atau terpandang. Pemakaian gelar Arya sebenarnya sudah berjalan sejak jaman Bali Kuno ketika Raja Ugrasena Berkuasa (tahun 882 M), demikian juga pada waktu Raja Kesari Warmadewa memerintah (tahun 913 M). Jayakaton yang pada tahun 907 menjadi Patih Raja menurunkan Arya Rigih, kemudian Arya Rigih melahirkan Arya Rigis yang selanjutnya menurunkan Arya Kedi. Berikutnya Arya Kedi menurunkan Arya Karangbuncing. Kemudian pada jaman Airlangga (tahun 1019 M) pun gelar Arya juga sudah dipergunakan. Sri Airlangga sendiri dari isterinya seorang putri gunung menamakan putranya Arya Buru atau Arya Pangalasan atau Arya Timbul.
Dalam sejarahnya memang penggunaan gelar Arya itu menjadi semakin meluas setelah jatuhnya Kerajaan Kadiri ke tangan pasukan Majapahit. Sejak jatuhnya Kerajaan Kadiri, keturunan Sri Jayakatwang dan orang-orang Kerajaan Kadiri tidak lagi memperoleh kepercayaan. Semua pejabat yang semula dipegang orang-orang Kadiri diganti dengan orang-orang Majapahit. Raja Kadiri Sri Sastrajaya (tahun 1258-1271M) yang kedudukannya diganti oleh Jayakatwang turut menerima kekalahan itu dan mendapatkan gelar baru sebagai Arya Kadiri dan lazim disebut Ksatriyeng Kadiri atau Ariyeng Kadiri. Semua keturunan dan sanak saudaranya juga memperoleh gelar atau julukan yang sama. Gelar Arya atau Ksatria itu tidak saja diberlakukan bagi keturunan Raja Kadiri, tetapi juga bagi keturunan bekas Kerajaan Kahuripan. Karena itu disamping Arya Kadiri ada pula Arya Kahuripan. Ada Kesatiyeng Kadiri ada Kesatriyeng Kahuripan. Tidak itu saja, mantan Raja-raja dan keturunannya dari kerajaan-kerajaan kecil bekas daerah kekuasaan Kerajaan Kadiri maupun Kahuripan pun memperoleh gelar atau julukan yang sama. Gelar Arya diberikan juga kepada mereka yang kawin nyeburin (nyentana) dengan keturunan Kesatriyeng Kahuripan yang sudah menyandang gelar Arya. Misalnya Ida Bang Banyak Wide (wangsa Brahmana) yang kawin nyentana dengan Ni Gusti Ayu Pinatih putra Arya Beleteng (wangsa Arya) beralih kewangsaannya dari Brahmana menjadi Arya. Itulah sebabnya mengapa Ida Bang Banyak Wide menurunkan wangsa Arya Wang Bang Pinatih atau I Gusti Pinatih.
Di Bali, kata Arya yang berarti juga ksatria ini diterjemahkan menjadi Gusti. Bahkan keturunan para Arya sendiri semisal Pangeran, Kiyai dan lain-lain diberi julukan yang sama yaitu Gusti. Tidak jelas kapan julukan Gusti termaksud diberlakukan, namun dapat diduga ada keterkaitannya dengan gelar para Raja Bali yang oleh pemerintah colonial Belanda diatur berdasarkan Staatblad No. 226 tanggal 1juli 1929. ketika itu Raja-raja Bali diberi gelar Cokorda, anak Agung atau I Dewa Agung. Dari sinilah rupanya gelar atau sebutan Gusti itu menunjukkan jati dirinya sebagai pengganti kata Arya, Kiyai atau Pangeran.
Resensi Buku Babad Arya, Kisah Perjalanan Para Arya, Selengkapnya
by admin | Jul 14, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar
Tedung sebagai salah satu jenis perangkat upacara ritual keagamaan khususnya di Bali, memiliki beberapa bentuk, ukuran, warna, fungsi dan istilah yang beragam. Bentuk atau form dalam dunia seni rupa harus dilihat secara keseluruhan atau sebagai satu kesatuan yang utuh. Kesatuan bentuk tersebut dapat terbentuk lewat teknik pengerjaan, material yang digunakan, proporsi ukuran maupun komposisi yang tersusun. Sesuai data lapangan dan dokumen yang ada, bentuk, tinggi dan lebar ukuran tedung yang ada maupun dibuat para perajin/undagi dibeberapa pura tempat/daerah yang masih bervariasi, baik tedung agung maupun tedung robrob. Untuk dipahami, pengertian atau penyebutan istilah tedung agung dan robrob dibedakan atas lenter/ider-ider yang dikenakan pada sisi penggir tukub/atap tedung dengan posisi berjuntai. Kalau Tedung robrob, pada sisi pinggirnya diisi atau dihiasi dengan anyaman atau sulaman dari benang. Sulaman atau rajutan yang menghiasi pinggiran tedung robrob menggunakan benang wol yang berwarna, seperti hitam, putih, kuning merah maupun hijau. Sedangkan tedung agung, pada hiasan tepi pinggir dijuntai dengan kain warna atau prada yang lazim disebut dengan ider-ider. Kain yang berjuntai tersebut terdiri dari dua lapis/warna dengan ukuran kain atas/depan lebih pendek dari pada yang dibagian bawah/tengahnya.
Secara visual, posisi lingkaran pinggiran yang dibentuk oleh ruas iga-iga dari lima bentuk tedung ini, mempunyai lengkungan bentuk yang berbeda. Jenis tedung robrob yang ada di pura Besakih, memiliki bentuk melingkar yang datar, di pura pasekan payangan yang merupakan buatan perajin dari bangli mempunyai lingkaran bentuk yang “ngampid lawah” (sayap kelelawar) tidak terlalu melengkung atau datar, dan yang terdapat di Kusuma Yasa (perajin), mempunyai lingkaran bentuk ngojong atau menyerupai kerucut. Dalam arsitektur Bali disebut atap jongjong. Bebeda dengan lingkaran bentuk tedung yang berangka tahun 1910 dan 1947 foto koleksi Tropenmuseum Royal Tropical Institute mempunyai bentuk datar atau nayah. Dilihat dari proporsi antara lebar lingkaran dan tingginya tiang tedung, khususnya gambar/foto tedung yang berangka tahun 1910 dan 1947 nampak mempunyai ukuran lebih tinggi kalau dibandingkan dengan ukuran tinggi tiang tedung yang ada sekarang.
Disadari pula, untuk mendapatkan validitas data terkait dengan jenis, bentuk ukuran tedung, kober, dan umbul-umbul yang tepat dan ideal, terlebih untuk yang kategori sakral, tidaklah pekerjaan mudah yang harus diupayakan untuk ditemukan. Data berupa dokumentasi foto-foto yang ada relevansinya dengan obyek penelitian belum atau tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang ketinggian, kelebaran, dan bentuk yang bisa diukur. Namun demikian, komporasi sampel dengan populasi berbeda menjadi sulusi untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Tindakan identivikasi secaran langsung dengan melakukan pengukuran dan menghitung ketinggian dan lebar jenis-jenis tedung (tedung agung dan robrob) karya para perajin yang telah ditetapkan. Langkah ini dapat memberi gambaran terhadap ukuran, dan bentuk tedung yang digunakan sebagai sarana ritual keagamaan ataupun sebagai dekorasi.
Penelitian tahap awal atau tahun pertama dari dua tahun yang kami rencanakan ini belum dilakukan penelusuran dan mengungkap data secara tuntas. Kendala utama yang ada ketika untuk mendapatkan tentang ukuran tinggi dan lebarnya tedung, umbul-umbul, kober maupun jenis Pengawin/uparengga yang tersimpan maupun yang digunakan di beberapa pura. Secara ritual, tedung, umbul-umbul, dan kober yang ada di pura telah disakralkan dan secara etika pula peneliti merasa enggan untuk melakukan pengukuran, walaupun hal tersebut sangat mungkin dilakukan atau diijinkan sesuai dengan tatacara yang berlaku. Untuk mendapatkan validasi data dalam kondisi seperti ini, peneliti mengambil nisiatif memohon informasi dari prejuru atau pemuka adat tentang asal-usul dimana tedung, umbul-umbul, kober maupun jenis Pengawin/uparengga lainnya dibuat/didapatkan. Informasi ini adalah petunjuk yang sangat efektif untuk menemukan tempat pembuat/perajin tedung, umbul-umbul, kober dengan jenis, bentuk, maupun ukuran yang sama dengan yang ada di pura. Lewat penelusuran ke sumber obyek yang relevan, validasi data dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan.
Tedung Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali, selengkapnya
by admin | Jul 14, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, SSn., Alumni ISI Denpasar
Tari Legong dalam khasanah budaya Bali termasuk ke dalam jenis tari klasik karena awal mula perkembangannya bermula dari istana kerajaan di Bali. Tarian ini dahulu hanya dapat dinikmati oleh keluarga bangsawan di lingkungan tempat tinggal mereka yaitu di dalam istana sebagai sebuah tari hiburan. Para penari yang telah didaulat menarikan tarian ini di hadapan seorang raja tentu akan merasakan suatu kesenangan yang luar biasa, karena tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam istana.
Mengenai tentang awal mula diciptakannya tari Legong di Bali adalah melalui proses yang sangat panjang. Menurut Babad Dalem Sukawati, tari Legong tercipta berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, Raja Sukawati yang bertahta tahun 1775-1825 M. Ketika beliau melakukan tapa di Pura Jogan Agung desa Ketewel ( wilayah Sukawati ), beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di surga. Mereka menari dengan menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari emas.
Ketika beliau sadar dari semedinya, segeralah beliau menitahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng yang wajahnya tampak dalam mimpi beliau ketika melakukan semedi di Pura Jogan Agung dan memerintahkan pula agar membuatkan tarian yang mirip dengan mimpinya. Akhirnya Bendesa Ketewel pun mampu menyelesaikan sembilan buah topeng sakral sesuai permintaan I Dewa Agung Made Karna. Pertunjukan tari Sang Hyang Legong pun dapat dipentaskan di Pura Jogan Agung oleh dua orang penari perempuan.
Tak lama setelah tari Sang Hyang Legong tercipta, sebuah grup pertunjukan tari Nandir dari Blahbatuh yang dipimpin I Gusti Ngurah Jelantik melakukan sebuah pementasan yang disaksikan Raja I Dewa Agung Manggis, Raja Gianyar kala itu. Beliau sangat tertarik dengan tarian yang memiliki gaya yang mirip dengan tari Sang Hyang Legong ini, seraya menitahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata kembali dengan mempergunakan dua orang penari wanita sebagai penarinya. Sejak itulah tercipta tari Legong klasik yang kita saksikan sekarang ini.
Bila ditinjau dari akar katanya, Legong berasal dari kata “ leg “ yang berarti luwes atau elastis dan kata “gong” yang berarti gamelan. Kedua akar kata tersebut bila digabungkan akan berarti gerakan yang sangat diikat ( terutama aksentuasinya ) oleh gamelan yang mengiringinya (Dibia, 1999:37).
Sebagai sebuah tari klasik, tari Legong sangat mengedepankan unsur artistik yang tinggi, gerakan yang sangat dinamis, simetris dan teratur. Penarinya pun adalah orang-orang yang berasal dari luar istana yang merupakan penari pilihan oleh raja ketika itu. Maka, tidaklah mengherankan jika para penari merasakan kebanggaan yang luar biasa jika menarikan tari Legong di istana. Begitu pula sang pencipta tari. Akan menjadi suatu kehormatan besar apabila dipercaya untuk menciptakan suatu tarian oleh seorang pengusa jaman itu. Walaupun nama mereka tidak pernah disebutkan mencipta suatu tarian kepada khalayak ramai, mereka tidak mempersoalkan itu asalkan didaulat mencipta berdasarkan hati yang tulus dan penuh rasa persembahan kepada sang raja. Ini dapat dilihat dari hampir seluruh tari-tari klasik maupun tari tradisi lain yang berkembang di luar istana seperti tari Legong, Baris, Jauk dan Topeng.
Kini di jaman yang tidak lagi menganut paham feodalisme, keseian Legong telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari segi kuantitas maupun kualitas. Disebutkan bahwa tari Legong Keraton ( karena berkembang di istana ) keluar dari lingkungan istana pada awal abad ke-19. Para penari wanita yang dahulunya berlatih dan menari Legong di istana kini kembali ke desa masing-masing untuk mengajarkan jenis tarian ini kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui, orang Bali adalah orang yang sangat kreatif sehingga gaya tari masing-masing pun sedikit berbeda sesuai dengan kemampuan membawakannya. Oleh karena itu, timbul style-style Palegongan yang tersebar di berbagai daerah seperti di desa Saba, Peliatan, Bedulu, Binoh, Kelandis dan beberapa tempat lainnya. Dari sekian daerah perkembangan tari Legong, hanya desa Saba dan Peliatan yang masih kuat mempertahankan ciri khasnya dan mampu melahirkan jenis-jenis tari Palegongan dengan berbagai nama.
Tari-tari legong yang ada di Bali pada awalnya diiringi oleh gamelan yang disebut Gamelan Pelegongan. Perangkat gamelan ini terdiri dari dua pasang gender rambat, gangsa jongkok, sebuah gong, kemong, kempluk, klenang, sepasang kendang krumpungan, suling, rebab, jublag, jegog, gentorang. Sebagai tambahan, terdapat seorang juru tandak untuk mempertegas karakter maupun sebagai narrator cerita melalui tembang. Namun, seiring populernya gamelan gong kebyar di Bali, akhirnya tari-tari palegongan ini pun bisa diiringi oleh gamelan Gong Kebyar, karena tingkat fleksibilitasnya.