Poster, X-Baner, Dan Flyer Sebagai Sarana Promosi Aromas Café Di Legian Kuta Bali

Poster, X-Baner, Dan Flyer Sebagai Sarana Promosi Aromas Café Di Legian Kuta Bali

Kiriman: I Ketut Baskara Program Studi Desain Komunikasi Visual Jurusan Desain ISI Denpasar

I Poster

Pada sub ini mahasiswa akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media promosi Poster yang digunakan sebagai salah satu media komunikasi visual sebagai sarana promosi Aromas Café di Jalan Legian Kuta-Bali.

Unsur Visual Desain

1. Bentuk Fisik

Bentuk fisik dari promosi poster ini persegi panjang dan mempunyai ukuran 42 x 30 cm. Ukuran dibuat dalam ukuran kertas A3 agar poster lebih jelas terlihat, walaupun jika dilihat dari jarak yang agak jauh.

2. Ilustrasi

Dalam desain media poster ini, ilustrasi yang dipergunakan adalah gambar brokoli sebagai background, gambar dari salah satu menu di Aromas Café, serta logo dari Aromas Café itu sendiri.

Menggunakan background brokoli agar memberi kesan hijau yang merupakan cirri khas warna sayuran. Gambar salah satu menu di Aromas Café yaitu Aromas Pizza karena merupakan salah satu menu andalan di Aromas Café. Menggunakan gambar logo Aromas Café agar masyarakat mengetahui identitas dari Aromas Café itu sendiri. Selain itu juga digunakan gambar dari tampak depan Aromas Café agar masyarakat mengetahui seperti apa rupa bangunan Aromas Café.

3. Teks

            Pada media poster ini, menggunakan teks berupa slogan “healthy vegetarian cuisine“, dimana memberikan informasi kepada masyarakat bahwa di Aromas Café menyediakan masakann vegetarian yang menyehatkan. Sedangkan copy text menampilkan sedikit informasi tentang Aromas Cafe. Serta teks “Enjoy The Sight of a Comfortable Romantic Garden Restaurant” dimana menunjukan bahwa lingkungan di Aromas Café sangatlah asri karena terdapat banyak tanaman.

4. Huruf / Typografi

Desain media promosi ini menggunakan dua jenis huruf atau typografi, yaitu: Vivaldi, serta Arial. Jenis typografi tersebut diatas dikomposisikan menurut ukuran dan keseimbangan guna mendapatkan kesatuan serta ritme yang tepat dimana nantinya dapat memberikan keseimbangan informasi yang dinamis.

5. Warna

– Untuk background menggunakan warna hijau kekuningan.

Penggunaan warna hijau kekuningan pada background disesuaikan dengan tema yang diangkat, yaitu tentang vegetarian yang sangat terkait dengan sayuran.

–  Untuk kotak tempat tulisan memakai warna orange dari wortel dan juga agar lebih atraktif

Logo Aromas Café menggunakan warna kuning serta biru.

Warna kuning merupakan warna yang menarik mata dibanding dengan warna lainnya serta membangkitkan nafsu makan, kemudian warna biru lebih berhubungan dengan ketenangan dan meditasi yang selalu dikaitkan dengan iman dimana yang menjadi salah satu alasan seseorang untuk menjadi seorang vegetarian adalad untuk melatih kesabaran iman. Sehingga kedua warna tersebut diharapkan mampu menunjukan bahwa Aromas Café adalah sebuah restoran vegetarian.

– Tulisan menggunakan warna putih dan coklat tua.

Warna putih pada tulisan ini digunakan karena merupakan warna netral sehingga tidak terpengaruh oleh warna lain. Begitu juga warna coklat yang merupakan salah satu warna tanah. Merupakan salah satu warna alam selain warna hijau.

6. Bahan

Desain media poster ini menggunakan bahan art paper 150 gsm. Kertas art paper 150 gsm dipilih karena memiliki kualitas yang bagus.

7.Teknik Cetak.

            Untuk mewujudkan poster dalam jumlah banyak, cetak offset dipilih karena harganya relatif lebih murah dan lebih bagus daripada teknik cetak lainnya.

Kreatif Desain

Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilain desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif desain poster ini, dibuat 3 alternatif desain.

Desain poster ini dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dalam desain ini dianggap lebih menarik, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “natural”. Teks yang digunakan dalam desain ini berupa slogan promosi yang singkat, jelas dan informatif. (untuk lebih jelasnya lihat lampiran).

Poster, X-Baner, Dan Flyer Sebagai Sarana Promosi Aromas Café Di Legian Kuta Bali, selengkapnya

“ Strisadhu”

“ Strisadhu”

Penata

Nama                    : Ni Komang Septri Ariarti

Nim                       : 200701002

Program Studi : Seni Tari

Sinopsis :

Untuk menguji kesetiaan Dewi Uma, Dewa Siwa memberikan titah kepada Dewi Uma untuk turun ke marcepada (bumi) untuk mencari empehan lembu (susu). Namun dalam perjalanannya Dewi Uma bertemu dengan pengembala lembu, banyak syarat yang diberikan pengembala lembu  kepada Dewi Uma, sehingga terjadilah percintaan diantara mereka.

Namun dibalik semua itu yang mana Dewa Siwa sebenarnya adalah nyuti rupa menjadi pengembala lembu itu sendiri, marah dan murka terhadap Dewi Uma . Dengan kemurkaannya itu Dewa Siwa pun mengutuk Dewi Uma menjadi durga yang disimbulkan dengan Rangda.

Pendukung Tari      :

  1. A.A. Indah Kusuma Dewi
  2. Sayuri Kanisia
  3. Ni Putu Devita Oktaviari
  4. Komang Regi Kusuma Astuti
  5. Ni Putu Riyan Mayuni

Penata Karawitan   : I Nyoman Sudarna, BA

Pendukung Karawitan       : Sekaa Gong Sanggar Gita Bandana Praja Denpasar

 

Resensi Buku: Inkulturasi Gamelan Jawa Studi Kasus Di Gereja Katolik Yogyakarta

Resensi Buku: Inkulturasi Gamelan Jawa Studi Kasus Di Gereja Katolik Yogyakarta

Kiriman: Arik Wirawan, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar

 JUDUL BUKU : Inkulturasi Gamelan Jawa Studi Kasus Di Gereja Katolik Yogyakarta

PENULIS          : Sukatmi Susantina

PENGANTAR  : Prof.Dr. Timbul Haryono, M.Sc.

EDITOR            : Purwadi

CETAKAN        : I, 2001

PENERBIT        : MedPrint Offset

TEBAL              : XIV.,112 Halaman

Buku  Inkulturasi Gamelan Jawa Studi  Kasus Di Gereja Katolik Yogyakarta, karya Sukatmi Susantina menyajikan berbagai gambaran tentang proses inkulturasi di Gereja-gereja Katolik Yogyakarta yang mengadopsi Gamelan Jawa sebagai musik Gerejani. Inkulturasi dalam arti luas berarti sejenis penyesuaian dan adaptasi kepada masyarakat, kelompok umat, adat, kebiasaan, perilaku pada suatu tempat.

Pada kasus Inkulturasi ini adalah proses umat setempat menghayati Injil Yesus Kristus dalam situasi dan kebudayaan setempat, jadi mereka tidak merasa asing dari kebudayaannya sendiri. Sumbangan seperti ini tidak akan merusak hakikat Gamelan Jawa, malahan akan menempatpatkannya pada status dan fungsi keagamaan yang lebih tinggi. Inkulturasi yang terjadi di gereja Katolik kiranya dapat kita pelajari sebagai salah satu model perjalan kehidupan berbudaya dan membudaya, jika kita tidak ingin kehilangan budaya yang pernah kita miliki. Budaya kita yang dibangun oleh leluhur kita dengan melibatkan seluruh potensi kemampuan yang ada seharusnya tidak begitu saja kita singkirkan karena kita telah merasa mendapat budaya lain hasil pergaulan yang semakin luas ini. Inkulturasi bukanlah suatu tujuan, melainkan suatu proses, atau menempatkan dan mengadopsi budaya setempat dan dapat terekspresikan dalam bermacam-macam penghayatan agama. Sebagai suatu proses, inkulturasi tidak pernah mandeg, sejalan dengan kebudayaan selalu berkembang.

Buku yang memuat V BAB ini juga mengungkapkan langkah-langkah inkulturasi di Indonesia, khususnya di Jawa, inkulturasi gending didalam ibadat  sudah dirintis tahun 1925 di sekolah pendidikian guru Muntilan oleh C. Hardjosoebroto, atas dorongan Br.Clementius ia memberanikan diri mengarang beberapa gending Gereja dalam bahasa Jawa dengan tangga nada pelog yang dinyanyikan tanpa iringan. Pada tahun 1956, usaha inkulturasi gamelan pertama kali diadakan dan didemontrasikan gending Gereja dengan iringan Gamelan, karangan Atmodarsono dan C. Hardjoesoebroto. Baru setelah Konsili Vatikan II tahun 1962 orkes gamelan dipakai secara utuh dalam mengiringi gending Gereja,

Dalam buku karya Ibu Sukatmi Susantina ini disimpulkan bahwa penggunaan Gamelan Jawa dalam ibadat keagamaan dapat mengungkapkan kepercayaan dan penghargaan umat terhadap Tuhan secara tepat. Buku ini patut dianjurkan untuk dibaca dan menjadi sumber referensi utama bagi para mahasiswa, dosen, seniman kontemporer atau tradisi, kaum terpelajar, pustakawan, wartawan, dan mereka yang yang tertarik kepada masalah-masalah seni dan budaya. Penyajian buku ini cukup sederhana, mudah diikuti, namun tetap bertumpu pada realita dan para pembaca  diajak untuk menemukan nilai-nilai adi luhung dari budaya setempat, dipertemukan dengan nilai-nilai religious, untuk saling memperkokoh dan menguatkan.

Resensi Buku: Inkulturasi Gamelan Jawa Studi Kasus Di Gereja Katolik Yogyakarta, selengkapnya

PENGUMUMAN

Diberitahukan kepada seluruh mahasiswa Jurusan Desain FSRD ISI Denpasar agar berkumpul pada:

Hari/Tanggal   : Kamis, 21 Juli 2011

Jam                      : 11 Wita

Tempat               : Kampus ISI Denpasar

Acara                  : Pengarahan dari Ketua Jurusan Desain mengenai Dies Natalis

yang ke-8.

Demikian kami sampaikan untuk diperhatikan dan dilaksanakan. Terimakasih.

 

Denpasar, 17 Juli 2011

Sekretaris Jurusan Desain

A.A. Gde Bgs. Udayana, S.Sn, M.Si

Tari Legong Legod Bawa

Tari Legong Legod Bawa

Kiriman Ida Bagus Gede Surya Peradantha, SSn., Alumni ISI Denpasar

Tari Legong Legod Bawa adalah salah satu jenis tari klasik yang tetap berpijak pada pakem Palegongan. Tarian ini dibawakan oleh dua orang penari wanita, tanpa adanya penari Condong sebagaimana yang terdapat pada Legong Keraton Lasem. Sesuai dengan yang penulis sampaikan di atas, bahwa perkembangan suatu tarian di suatu tempat merupakan adaptasi yang sangat terkait dengan daerah tempat tarian itu berkembang. Hal ini pun berlaku pada tari-tari Palegongan di Desa Saba dimana tariannya tetap bersumber pada kaidah Palegongan dengan menambahkan beberapa gerakan-gerakan yang khas dan unsur cerita yang disesuaikan dengan keinginan penciptanya dahul. Dalam tarian ini akan dijumpai bebrapa gerakan khas yang dimiliki oleh style Saba, diantaranya Ngengsogang pinggul, Ngubit sebanyak dua kali dan Maserod.

Unsur cerita bukanlah hal yang paling penting dalam tari Legong, karena cara pendramaannya cukup sederhana dan abstrak. Untuk menyampaikan maksud atau inti cerita kepada para penoton, diperlukanlah adanya peran seorang juru tandak. Juru tandak inilah yang nantinya mentransfer cerita melalui nyanyian mengikuti irama musik pengiring tarian. Hal ini pun terjadi pada pementasan tari Legong Legod Bawa, dimana cerita yang diambil bersumber pada mitologi Hindu.

Dikisahkan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu sedang bercengkrama di Sorga. Mereka saling membanggakan kesaktian masing-masing yang tiada tandingannya. Percakapan mereka pun terdengar oleh Dewa Siwa. Oleh karena keduanya tidak ada yang mengalah dan mengaku lebih sakti, maka Dewa Siwa menjadi penengah bagi mereka berdua dengan cara berubah menjadi Lingga sembari mengajukan syarat barang siapa yang mampu menemukan ujung ataupun pangkal Lingga tersebut, maka dialah yang lebih sakti. Dewa Brahma dan Dewa Wisnu merasa tertantang untuk menunjukkan kesaktian masing-masing. Dewa Brahma memutuskan untuk berubah menjadi burung api yang akan mencari puncak Lingga tersebut. Dewa Wisnu pun tak mau kalah dengan mengubah wujud menjadi Warak (Babi hutan besar) yang akan mencari pangkaldari Lingga Dewa Siwa. Kedua Dewa tersebut terus berusaha sekuatnya mencari ujung maupun pangkal dari Lingga tersebut. Semakin tinggi Dewa Brahma terbang, semakin tinggi pula ujung Lingga. Demikian halnya Dewa Wisnu yang semakin ke bawah mencari pangkal Lingga, semakin jauh ke bawah pula pangkal Lingga tersebut. Akhirnya, Dewa Brahma dan Dewa Wisnu tak kuasa lagi berusaha menemukan ujung dan pangkal Lingga Dewa Siwa. Keduanya pun menyerah dan akhirnya sadar bahwa di atas kekuatan yang mereka miliki, masih ada kekuatan lain yang jauh melebihi dan tak terkira sampai mana batas kekuatannya yaitu Siwa sebagai Yang Maha Kuasa.

Agar pengetahuan kita semakin lengkap dalam memahami dan memudahkan untuk belajar tarian ini, maka dipandang perlu untuk mencatatkan ragam geraknya, berikut pola lantai yang terdapat dalam tarian ini. Adapun struktur dan ragam gerak yang dimiliki antara lain sebagai berikut : Pengawit, Pepeson, Pengawak, Pengrangrang I, Pesiat, Pengrangrang II, Pemurtian, Pesiat, Pekaad. Sebagai catatan, pada saat masuk bagian pemurtian, para penari menggunakan kostum dan properti masing-masing (sayap dan panah) sesuai karakternya.

Kostum tari Legong Legod Bawa tidak berbeda dengan tari Legong lainnya. Namun sebagai pembeda, tiap tari legong memiliki warna kostum masing-masing agar memudahkan dalam identifikasinya oleh para penonton. Misalnya Legong Goak Macok memakai warna dominan ungu,, berwarna merah untuk Legong Kuntir, untuk Legong Jobog menggunakan warna pink tua, sedangkan Legong Keraton Lasem dominan hijau. Untuk tari Condong Legong, menggunakan warna merah tua. Pada tari Legong Legod Bawa, kostumnya dominan warna hijau, dengan tambahan kostum berupa sayap garuda dan panah. Sayap garuda digunakan untuk karakter Dewa Brahma, sedangkan Panah untuk menandakan karakter Dewa Wisnu. Hal ini penting untuk diketahui oleh para seniman generasi muda khususnya, agar identitas tari Legong tetap terjaga dengan baik sesuai dengan pakem serta kaidah-kaidahnya.

Dengan menyimak pemaparan dari tari Legong Legod Bawa di atas, harus semakin disadari bahwa sesungguhnya Bali memiliki ragam kesenian yang sangat kaya. Khusus di bidang seni tari, jenis kesenian yang dimiliki sangat banyak. Sebagai contoh, dari tari Palegongan saja sudah memiliki belasan ragam tari seperti Lasem, Legod Bawa, Kuntir, Jobog, Semarandana dan lainnya. Daerah persebarannya pun yang bermula dari lingkungan istana tersebar ke beberapa desa seperti Saba, Peliatan, Binoh, Kelandis, Bedulu dan lainnya lagi. Dari beberapa daerah tersebut, tidak banyak yang dapt mempertahankan ciri khasnya lagi.

Dalam perjalanannya, perkembangan tari Palegongan di Desa Saba telah mengalami peningkatan yang baik. Hal ini dapat kita lihat dari lahirnya beberapa jenis tarian yang asli berasal dari sana seperti Bapang Saba yang cukup dikenal luas. Ragam gerakannya pun sangat khas mencirikan style Saba dan mampu memberikan pengayaan dalam perbendaharaan gerak-gerak tari Bali.

Tari Legod Bawa merupakan salah satu jenis tari klasik yang tetap bersumber pada pakem-pakem Palegongan yang telah lama tercipta di Bali yang berkembang di Desa Saba, Kec. Blahbatuh, Gianyar. Sumber ceritanya berasal dari mitologi Hindu yang mengisahkan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu yang bersaing mencari ujung dan pangkal Linga Dewa Siwa. Tarian ini dibawakan oleh dua orang penari wanita tanpa adanya peran Condong seperti yang biasa kita jumpai dalam pementasan tari Legong Keraton Lasem.

Tari Legong Legod Bawa, selengkapnya

Kober Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali

Kober Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali

Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar

Bendera sebagai panji atau tunggul bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Pada bab sebelumnya telah banyak dijelaskan, bahwa bendera atau tunggul telah menjadi salah satu identitas dalam kerajaan. Bendera juga sebagai identitas Negara, organisasi, partai maupun penanda adanya suatu kegiatan. Kober sebagai penanda biasanya dihiasi dengan gambar ornamen tertentu sebagai identitas yang mengandung arti dan makna sesuai dengan tujuan organisasi atau kegiatan yang dilakukan. Namun, bendera atau kober juga tidak selalu dihiasi dengan gambar atau logo, seperti bendera milik bangsa Indonesia yang terdiri dari dua warna  (dwi warna) yaitu merah dan putih. Dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian bendera adalah sepotong kain segi empat atau segi tiga yang dijadikan lambang negara, panji atau tunggul.  Dilihat dari bentuk, warna  dan ukurannya, kober sangat berpariasi sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Parisada Hindu Dharma Pusat dalam penjelasannya; memilah antara sakral dan tidak sakral dibedakan ada tidaknya gambar pada bendera tersebut. Kalau yang tidak sakral tidak berisi gambar, sedangkan yang dianggap sakral harus berisi gambar seperti gambar Hanoman dan Garuda. Kalau dikaitkan dengan bendera Bangsa Indonesia yang tidak bergambar/ornamen, pendapat atau asumsi tersebut masih/belum tepat. Mungkin yang dimaksudkan oleh Parisada Hindu Dharma Pusat adalah bendera atau kober yang difungsikan sebagai sarana ritual umat Hindu Bali dalam upacara Panca Yadnya. Lebih lanjut dikatakan,  ukuran ideal sebuah kober disesuaikan dengan  kreasi para perajin/undagi atau dapat dilihat pada Asta Kosala. Sedangkan menurut I Nyoman Jujur, ukuran kober yang baik adalah berbentuk “nyolok” yaitu sebesar ukuran korek api (3,6 x 5,3) cm. atau 1,2 : 1,6.    Perajin tedung dari Bangli ini  membuat jenis kober hanya  dua ukuran yaitu: 80 x 120 cm. dan 100 x 150 cm.  dengan gambar yang sama yaitu Hanoman dan Garuda.

            Bentuk ukuran “nyolok” yang dimaksudkan  sebenarnya hampir sama dengan ukuran golden section maupun ukuran-ukuran atau sikut  tradisional Bali yaitu skala 1 : 1.6. Bila dicermati dengan ukuran yang ada, kober yang dibuat oleh I Nyoman Jujur menggunakan skala perbandingan 2 : 3. (dua berbanding tiga) yang umum digunakan para undagi di Bali dalam membuat bangunan tradisional. Perbedaan ukuran golden section (1: 1.6) dengan ukuran tradisional Bali  yaitu 2 : 3. (dua banding tiga) ada selisih sangat tipis yaitu : o,1 meli meter. Ukuran 2 : 3. (dua berbanding tiga) kalau dibagi 2 (dua) akan didapat ukuran 1: 1,5. (satu berbanding satu lima). Ukuran skala 1: 1.5. (satu berbanding satu setengah) juga digunakan untuk ukuran bendera Kebangsaan  kita Indonesia. (lihat tabel V)

            Pada perajin yang berbeda, selain ditemukan ukuran yang sama yaitu :1: 1,5. (satu berbanding satu lima),  juga ada menggunakan ukuran 60 x 80 cm.,  dan 85 x 115 cm., kalau dihitung akan ditemukan skala  1: 1.3. (satu berbanding satu koma tiga). Dari data lapangan yang minim dan sangat sederhana namun mempunyai tingkat nilai kesakralan yang tinggi ini, ditemukan sklala ukuran bendera seperti: 1: 1.3. (satu berbanding satu koma tiga)., dan skala  1: 1.5. (satu berbanding satu setengah). Kendati ukuran bendra Sang Saka Dwi Warna berbeda-beda, kalau dihitung dengan skala ditemukan angka ; 1: 1.5. (satu berbanding satu setengah). Ukuran ini dapat dikatakan sebagai standar global.

Untuk mendapatkan tinggi tiang kober, peneliti tidak mengukurnya sama dengan cara mendapatkan pada ketinggian tiang tedung, dimana tinggi tiang didapat dari hasil penjumlahan atau perkalian lebar dikalikan tiga. Tinggi tiang kober secara visual dan berdasarkan pengamatan baik yang ada di pura (tidak diukur langsung) maupun di tempat perajin sama tingginya dengan tinggi ukuran tombak maupun penawasangan. Cara yang digunakan adalah sama dengan mengukur tinggi tangkai tombak, yaitu mulai dari tangkai tombak, sampai besinya (tombak) .

Panjang atau tinggi tiang tombak seperti yang telah dijelaskan pada bab. Sebelumnya yaitu disesuaikan dengan kegunaannya. Dari beberapa fungsi dan kelayakan pemilik yang ada pada ukuran tombak, peneliti cenderung menggunakan ukuran yang digunakan/dimiliki oleh Brahmana dan Raja/kesatria. Pemilihan ukuran ini didasari atas peran dan fungsi seorang Brahmana maupun Raja, kedudukan/kewajiban seorang brahmana dalam masyarakat Hindu Bali yaitu sebagai pemimpin upacara ritual keagamaan. Sedangkan seorang Raja adalah berkewajiban memayungi dan memberi rasa aman bagi rakyatnya. Jadi ukurannya dua depa empat lengkat, tujuh guli gajah, pembawaan brahmana, dan dua depa, mahurip lima lengkat, seguli, bernama eka dwaja,  yang diperuntukkan bagi  Raja.

Selain ukuran yang telah disebutkan di atas, untuk mendapatkan ukuran  yang ideal dalam  proporsi, bentuk, kenyamanan bagi pengguna, dan praktis dalam fungsi,  para undagi/sangging  di Bali mempunyai perhitungan dan berpedoman yang namanya  kekuub, yaitu memperhitungkan unsur kesatuan tidak saja pada subyek bangunan itu sendiri, juga bangunan-bangunan disekitarnya secara keseluruhan. Penerapan  pertimbangan ini  dimaksudkan  untuk mendapatkan satu kesatuan  yang  serasi, selaras, dan seimbang.

Hanoman maupun Garuda adalah  mahluk mitologi sebagai pilihan untuk hiasan/ ornamen kober tidak lepas dari keistimewaan kedua mahluk tersebut dalam menguasai dua jaman yaitu jaman “kanda dan parwa” atau Ramayana dan Mahabharata.  Kehidupan pada  jaman  berbeda bagi Hanoman dan Garuda adalah tanda kesetiaan yang tidak terbatas didalam menjalankan  swadarma/kewajiban sebagai abdi penegak kebenaran. Ceritera Arjuna Premada yang mengisahkan kehebatan hanoman dalam membuat jembatan situbanda,  Adi dan Udyoga Parwa yang mengisahkan keunggulan Garuda dalam mendapatkan tirta amerta yang berakhir dengan semaya/janji setia untuk bersatu antara Dewa Wisnu dan Garuda untuk menjaga keselamatan dunia. Tanda kesetiaan tersebut dapat dilihat dari rasa saling hormat-menghormati, tidak merasa direndahkan, dan menghargai keunggulan/kebenaran lawan. Visualisasi bentuk rupa sebagai tanda kesetiaan Garuda dan Dewa Wisnu  oleh para sangging/undagi khususnya di Bali diwujudkan berupa gambar garuda sebagai wahana Wisnu. Pada gambar tersebut dibuat DewaWisnu menduduki pundak Garuda dan ekor Garuda memayungi dewa wisnu yang sedang membawa tirta amerta. Komposisi gambar yang vertikal secara visual ekor garuda (umbul-umbul)  lebih tinggi yang berfungsi memayungi. Ekor Garuda dalam bentuk umbul-umbul sampai sekarang dapat kita lihat pada pertunjukkan sendratari Ramayana.

Kober Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali, selengkapnya

Loading...