M

Tentang ISI Bali

Sejarah

Pengantar

Akreditasi

Visi dan Misi

Struktur Organisasi

SAKIP

JDIH

Penghargaan

PPID

Green Metric

Pendidikan

Fakultas Seni Pertunjukan (FSP)

Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD)

Pascasarjana

Program Internasional

Alumni

Penelitian

Penelitian, Penciptaan dan Diseminasi Seni dan Desain (P2SD)

Penelitian Disertasi (PDD)

Penelitian Kompetisi Nasional

Penelitian Kerja Sama

Pengabdian

Bali Citta Swabudaya (BCS)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM)

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Pusat

Pin Dan Brosur Sebagai Sarana Promosi SD Saraswati 2 Denpasar

Pin Dan Brosur Sebagai Sarana Promosi SD Saraswati 2 Denpasar

Kiriman: Gd Lingga Ananta Kusuma Putra, SSn., Alumni PS. DKV ISI Denpasar

Pin

Pada sub ini penulis akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media pin yang digunakan sebagai salah satu media promosi SD Saraswati 2 Denpasar.

Unsur Visual Desain

1. Bentuk Fisik

            Bentuk fisik dari pin ini adalah lingkaran dengan ukuran diameter 5 cm.

2. Ilustrasi

Dalam perancangan media promosi pin ini, ilustrasi yang dipergunakan adalah ilustrasi kartun Ganesha. Penggunaan ilustrasi ini bertujuan menimbulkan kesan yang menarik perhatian, sehingga sekolah ini makin dikenal masyarakat luas.

3. Teks

Pada media stiker ini, menggunakan teks yang hanya berupa nama SD Saraswati 2 Denpasar. Tujuannya agar stiker terlihat lebih jelas dan menarik serta lebih mudah memberitahukan apa yang dipromosikan.

4. Huruf / Typografi

            Menggunakan jenis huruf Jokerman, agar lebih terkesan ceria.

5. Warna

          Dalam perancangan pin ini menggunakan warna hijau abu dan kuning pada ilustrasi dan backgroundnya. Pewarnaan pada ilustrasi menggunakan teknik digital painting dengan penambahan shadow  agar lebih menarik dan disukai anak-anak.

6. Bahan

Perancangan media pin ini menggunakan bahan plasik, plat dan pengait.

7.Teknik Cetak.

Untuk mewujudkan media ini menggunakan teknik cetak digital printing. Karena teknik ini relatif cepat, praktis dan efisien.

Kreatif Desain

Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilain desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif perancangan desain pin ini, dibuat 3 alternatif desain.

Desain pin ini dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dalam desain ini dianggap lebih menarik, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “ceria dan informatif”. Teks yang digunakan dalam desain ini berupa nama SD Saraswati 2 dan ilustrasi berupa kartun Ganesha. (untuk lebih jelasnya lihat lampiran)

Brosur

Penulis akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media brosur yang digunakan sebagai salah satu media komunikasi visual sebagai sarana promosi SD Saraswati Denpasar.

Unsur Visual Desain

1. Bentuk Fisik

Bentuk fisik dari brosur ini persegi panjang dan mempunyai ukuran 29,7 x 21 cm.

2. Ilustrasi

Dalam perancangan media brosur bagian luar ini, ilustrasi yang dipergunakan adalah illustrasi anak SD, denah lokasi dan foto bangunan SD Saraswati 2 Denpasar. Sedangkan di bagian dalamnya menggunakan ilustrasi yang berfungsi skaligus sebagai background, yang menggambarkan suasana ceria seorang guru dan murid-muridnya. Diharapkan nantinya pesan dan kesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat dapat tersampaikan.

3. Teks

Perancangan media promosi ini menggunakan teks berupa segala informasi mengenai SD Saraswati 2 Denpasar, termasuk kegiatan-kegiatan dan ekstra kurikuler yang ada di SD Saraswati 2 Denpasar serta lokasi dan syarat penaftaran. Hal ini bertujuan agar informasi yang ada dapat tersampaikan kepada masyarakat luas.

4. Huruf / Typografi

Perancangan media promosi ini menggunakan beberapa jenis huruf atau typografi, antara lain :

–  Pada nama SD Saraswati 2 Denpasar menggunakan jenis huruf Impact.

–  Pada kalimat informasi yang disampaikan menggunakan huruf Times New Roman.

–  Pada kalimat ajakan menggunakan huruf Freestyle.

            Huruf-huruf jenis ini digunakan karena bentuknya yang simpel/sederhana juga mudah dibaca. Keseluruhan jenis typografi tersebut diatas dikomposisikan menurut ukuran dan keseimbangan guna mendapatkan kesatuan serta ritme yang tepat dimana nantinya dapat memberikan keseimbangan informasi yang dinamis.

5. Warna

Dalam perancangan media brosur ini menggunakan warna-warna sebagai berikut :

–  Untuk background menggunakan warna putih hijau dan kuning pada tampilan depan brosur dan warna sesuai illustrasi yang didominan biru dan putih pada tampilan belakang brosur.

–  Untuk ilustrasi logo SD Saraswati 2 menggunakan warna hitam dan putih, untuk warna ilustrasi anak-anak dan guru menggunakan warna merah, putih, coklat, abu dan hitam.

– Tulisan menggunakan warna hijau.

6. Bahan

Perancangan brosur ini menggunakan bahan art paper 150 gsm.Kertas art paper 150 gsm digunakan karena memiliki kualitas serta ketebalan yang baik.

7. Teknik Cetak

Untuk mewujudkan media brosur ini menggunakan teknik offset. Untuk mewujudkan brosur dalam jumlah banyak, cetak offset dipilih karena harganya relatif lebih murah dan lebih bagus daripada teknik cetak lainnya.

Kreatif Desain

Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilaian desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif perancangan desain brosur ini, dibuat 3 alternatif desain.

Desain brosur ini dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dalam desain ini dianggap lebih menarik, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “ceria dan informatif”. Teks yang digunakan dalam desain ini berupa informasi mengenai SD Saraswati 2 Denpasar. Ilustrasi yang digunakan dalam desain ini berupa ilustrasi anak-anak dan seorang guru, sehingga informasi yang ada dapat tersampaikan. (untuk lebih jelasnya lihat lampiran)

Pin Dan Brosur Sebagai Sarana Promosi SD Saraswati 2 Denpasar, selengkapnya

Struktur Pertunjukan Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, Bagian I

Struktur Pertunjukan Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, Bagian I

Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan

            Sebelum melangkah ke dalam pertunjukan Wayang Kulit Calonarang, terlebih dahulu meninjau sejarah dari Calonarang yang ada di Jawa ada dua (2) versi, yaitu: 1) Versi keraton yang mengisahkan tentang “Diusir Ratna Menggali”, dan 2) Versi masyarakat yang mengisahkan tentang “Bahula Duta”. Versi cerita yang dikuasai oleh dalang Ida Bagus Sudiksa meliputi: 1) Cerita “Kautus Rarung”, 2) Cerita “Ngeseng Bingin” (Bahula Duta), dan 3) Cerita “Diah Padma Yoni”. Yang menjadi pokok penelitian adalah cerita Diah Padma Yoni.

1 Lakon dan Pembabakan Ceritera

            Pertunjukan Wayang Calonarang persembahan dalang Ida Bagus Sudiksa di Pemuwunan Setra Pura Dalem Desa Kerobokan telah mengalami perubahan, baik cerita, lakon, maupun gamelan (musik iringannya). Sperti halnya di tahun 1989 sampai tahun 1996 dengan cerita penyalonarangan, lakon “Kunti Yadnya”, musik iringan menggunakan seperangkat gamelan batel. Penyalonarangan yaitu Calonarang hanya sebagai konsep pertunjukan, bukan cerita Calonarang. Pada awal ceritanya adalah Wayang Parwa dengan, kemudian pada babak ke dua dilanjutkan dengan cerita Calonarang, karena kemarahan Sang Duryodana tidak terima bahwa para Pandawa mengadakan upacara, maka Sang Duryodana datang ke kuburan minta kepada Betari Durga, agar memberikan anugerah agar dia dapat menghancurkan upacara para Pandawa. Permintaan Sang Duryodana dipenuhi oleh Betari Durga, malahan terlibat langsung menghancurkan upacara para Pandawa, dengan perubahan wujud menjadi Rangda atau Calonarang.

Setelah tahun 1997 sampai tahun 2008, dalang Ida Bagus Sudiksa mementaskan Wayang Calonarang dengan lakon “Ngeseng Bingin” (Bahula Duta), dengan musik iringan seperangkat Semar Pegulingan. Cerita singkatnya adalah Prabu Erlangga membatalkan peminangan terhadap Diah Ratna Menggali untuk dijadikan permaisuri, karena Diah Rangda Menggali merupakan anak seorang leak. Karena Walu Nata merasa tersinggung dengan perlakuan Prabu Erlangga, maka Walu nata berangkat ke kahyanga Dalem mohon kepada Betari Durga agar diberikan ilmu hitam tingkat tinggi. Permintaan walu nata dipenuhi oleh Betari Durga dengan menganugrai sepasang rontal yang bernama “Niscaya Lingga” ilmu hitam), dan “Nircaya Lingga” (ilmu putih). Karena kesaktian yang dimiliki oleh Walu Nata, maka hancurlah kerajaan Kediri ditimpa wabah penyakit, setiap harinya puluhan orang meninggal dunia. Prabu Erlangga bingung, cemas memikirkan kerajaannya hancur, maka minta pertolongan kepada Mpu Beradah yang tinggal di Pesraman Lembah Tulis. Mpu Beradah menyanggupinya dan mengutus anaknya yang bernama Mpu Bahula agar datang ke Kerajaan Dirah mencuri ke dua pustaka itu, dengan tipu muslihat mempersunting Diah Ratna menggali, siasat Mpu Bahula berhasil, kemudian diserahkan ke dua pustaka itu kepada Mpu Beradah, dan setelah dipelajari, Mpu Beradah tahu kelemahan Walu Nata, akhirnya Walu Nata dapat dibuatnya bertekuk lutut. Kembalilah normal kerajaan Kediri.

Pada tahun 2009 dalang Ida Bagus Sudiksa mementaskan Wayang Calonarang dengan cerita Diah Padma Yoni, dengan mengangkat lakon “Kautus Rarung”, dengan petangkilan mulai di Kerajaan Kediri. Menceritakan bahwa permaisuri Prabu Erlangga bernama Diah Padma Yoni sedang hamil muda menginginkan (ngidam) otak dan daging hati manusia. Diah Padma Yoni diusir dan terlunta-lunta di Hutan Dirah. Setelah beberapa tahun Diah Padma Yoni mampu membangun sebuah kerajaan yang diberi nama Kerajaan Tanjung Pura, karena status Diah Padma Yoni seorang janda di Kerajaan di Hutan Dirah, maka dia bernama Walu Nateng Dirah. (ceritanya dapat dibaca pada lampiran lima antawecana halaman 120.

Struktur pertunjukan Wayang Calonarang persembahan dalang ida Bagus Sudiksa tidak mengalami perubahan, karena masih mengikuti struktur pertunjukan tradisional, seperti tari kayonan I, nyejer, tari kayonan II (ngabut kayonan), petangkilan, penyacah kanda, pengalang ratu (bebaturan), angkat-angkat, dan siat. Pertunjukan Wayang Calonarang ini kalau dilihat dari fungsinya termasuk seni balih-balihan, karena merupakan tontonan di luar jalannya upacaya, dan bebas dinikmati oleh siapapun yang ingin menonton pertunjukan tersebut. Begitu pula wayang Calonarang dipentaskan di luar pura, yaitu di Pemuwunan Setra Pura Dalem Desa Kerobokan, lokasinya ada di pinggir jalan utama. Tempatnya dapat dijangkau dan dinikmati oleh penonton masyarakat umum, tidak terikat dengan aturan-aturan pakaian adat seperti layaknya orang ke Pura, Esensi atau makna pertunjukan ini ada kesucian (sakral), karena mengungkap mistikisme kehidupan tokoh yang berperan penting (tokoh antagonis) di dalam ceritera Calonarang.

Sedana dalam disertasinya yang berjudul Kawi Dalang: Creativity in Wayang Theatre menjelaskan, bahwa pakem dibagi menjadi tiga bagian yaitu: pakem balungan, pakem gancaran, dan pakem jangkep. Pakem balungan merupakan tuntunan pembelajaran pedalangan Bali atau playskrip yang hanya memaparkan cerita secara ilustratif atau garis besar saja, tanpa diikuti oleh susunan pementasan atau dialog yang jelas. Pakem gancaran merupakan naskah cerita yang berbentuk prosa atau sinopsis, bentuknya lebih jelas dibandingkan dengan pakem balungan (kitab Ramayana dan Mahabharata beserta sumber-sumber cerita lainnya dikategorikan sebagai pakem gancaran). Pakem jangkep yaitu sebuah naskah yang lengkap berisi struktur atau satu alur cerita pementasan pewayangan beserta dialognya (antawecana/retorikanya). Bandem menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Mengembangkan Lingkungan Sosial yang Mendukung Wayang, bahwa pakem itu sifatnya masih sangat subyektif, seperti pengalaman yang mereka peroleh secara turun tumurun dari guru-guru mereka. Struktur pementasan beserta dialog-dialog yang dipentaskan sifatnya masih konvensional seperti yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Djelantik, dalam bukunya yang berjudul Falsafah Keindahan dan Kesenian menyebutkan, bahwa struktur di dalam karya seni itu terdapat suatu pengorganisasian, pengaturan, mempunyai hubungan tertentu antara bagian-bagian dari keseluruhan itu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa struktur adalah pengaturan atau ketentuan dari unsur-unsur suatu benda.  Pengertian yang menyiratkan, bahwa unsur-unsur yang membangun sebuah struktur harus berhubungan secara fungsional, artinya unsur itu saling mendukung dan melengkapi, sehingga mampu membangun suatu struktur yang kokoh. Sementara menurut Poerwadarminta struktur dapat diartikan bermacam-macam. Struktur bisa berarti susunan, bangunan, atau struktur berarti bagaimana sesuatu disusun.

Menurut Marajaya, untuk menyebutkan suatu karya yang bernilai estetis sesungguhnya terletak pada struktur pertunjukan Wayang Kulit Bali. Struktur atau susunan dalam pertunjukan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: struktur dalam arti luas dan struktur dalam arti sempit. Struktur dalam arti luas yaitu struktur yang membangun pertunjukan yang terdiri dari beberapa bagian atau adegan, seperti adegan petangkilan, adegan angkat-angkatan, adegan siat, dan lain sebagainya. Sementara struktur dalam arti sempit, yaitu struktur yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang saling keterkaitan, misalnya di dalam adegan  petangkilan  biasanya  terdapat  beberapa  macam  elemen  estetik  seperti

gending alas arum, penyacah parwa, tetikesan, gancaran (antawacana) dan iringan. Elemen-elemen tersebut ditampilkan secara terstruktur.

Purnamawati dalam tesisnya menyebutkan, bahwa setidak-tidaknya ada sepuluh jenis motif gending yang mengiringi pertunjukan wayang kulit Bali, yaitu pategak (gending awal sebagai pembuka untuk menarik minat pertunjukan), pamungkah (sama dengan pategak tetapi segera untuk mengawali pertunjukan), petangkilan (suasana persidangan), pengalang ratu (persidangan lanjutan), angkat-angkatan (perjalanan laskar menuju medan peperangan), rebong (suasana romantis dari tokoh-tokoh penting), tangis (suasana sedih para tokoh-tokoh penting), tunjang (suasana keras), batel (perkelahian dan peperangan yang sesungguhnya), dan penyudamalan (penutup).

Struktur Pertunjukan Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, Bagian I Selengkapnya

Seniman Bali Cemas Ketika Seni Dikemas

Seniman Bali Cemas Ketika Seni Dikemas

Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.

“Seni tradisi melarat, Barong Batubulan perang komisi, Cak Bona tinggal kenangan”. Demikian jeritan yang mengemuka di surat kabar belakangan ini sehubungan kian carut marutnya seni pertunjukan wisata di Pulau Dewata. Pemerkosaan terhadap seni tradisi  dan teraniayanya seniman Bali pelaku seni pentas turistik, merupakan cerita laten yang tak pernah menemukan solusi hingga hari ini. Soal seniman berhimpitan pentas naik truk, honor ala kadarnya, standar tarip pentas yang amburadul, kualitas seni yang asal-asalan, sertifikat laik pentas yang semu, dan seterusnya, adalah sederetan persoalan ruwet yang senantiasa berkemelut di sekitar seni pertunjukan wisata Bali. Objek penderitanya, yang pasti: seni dan seniman.

            Kisah pilu jagat seni wisata adalah derita yang umum mendera seni tradisi lokal yang dikemas sebagai objek komoditi di berbagai destinasi dunia. Topik ini diungkapkan sebuah makalah bertajuk “Komoditifikasi Seni Pertunjukan Bali” yang disajikan dalam Sarasehan Budaya Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 tahun 2011, Jumat (1/7) lalu, bertempat di Gedung Natya Mandala Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sebagai nara sumber, Dr. I Ketut Suwentra, SST, mengungkapkan bahwa industri pariwisata adalah sebuah situasi dan kondisi yang memberi ruang dan peluang terhadap komodifikasi seni. “Dalam konteks industri pariwisata, nilai-nilai estetik lokal masyarakat menjadi atraksi andalan. Seni pertunjukan Bali telah dikomodifikasi sejak awal kedatangan para pelancong di Pulau Dewata. Komodifikasi seni pertunjukan Bali dalam jagat kepariwisataan itu juga telah merambah bentuk-bentuk seni pentas yang tergolong sakral,“ ujar Ketut Suwentra yang dikenal sebagai Pekak Jegog ini.

Sebagai destinasi wisata dunia, papar Ketut Suwentra, Bali, kini, adalah sebuah komoditi. Bali memiliki nilai jual. Adalah industri pariwisata yang semakin mengukuhkan Bali sebagai sebuah komoditi. Begitu pesatnya perkembangan pariwisata di pulau ini menyebabkan semua pihak ingin mengkomodifikasikan hampir seluruh lekuk sekala dan niskala Bali, dari gunung hingga laut, dari relegi hingga mistik. Anugrah alam Bali dikomodifikasi tanpa sisa. Danau, sungai, pantai dan laut yang diyakini oleh orang Bali sebagai tempat pembersihan suci kini telah dikomodifikasi. Gunung, bukit, tebing yang dipercaya orang Bali sebagai bersemayamnya para dewa dan mahluk halus kini juga dikomodifikasi. Euporia mengkomodifikasi alam Bali begitu sarat gairah, baik oleh orang Bali sendiri maupun pihak luar yang mencari rejeki ekonomi di Bali. “Karena begitu permisifnya paham komodifikasi dijadikan prinsip meraup keuntungan finansial, sehingga nilai-nilai sakral, terlarang, dan rahasia pun dijajakan sebagai sebuah komoditi,“ ujarnya lugas.

Komoditifikasi adalah anak cucu dari kapitalisme yang kini mengungkung afmosfer Bali. Tarik-ulur, konfrontasi  dan  proses  tawar-menawar, kini sedang gencar berlangsung dalam masyarakat Bali kontemporer.  Sebagai  bagian dari peradaban   global, masyarakat Bali  sedang mengalami perubahan-perubahan, baik yang bergolak secara internal maupun yang menggedor secara eksternal. Konsekuensinya adalah  terjadi pergeseran-pergeseran nilai. Semua ini berimplikasi terhadap  prilaku dan pola berpikir masyarakatnya. Misalnya mengemuka kecendrungan sadar sesadar-sadarnya akan arti ekomomi-uang  dan  pasar.   Tengok misalnya bisnis kesenian dalam  jagat pariwisata Bali dan berkesenian di tengah masyarakat lokal. Merupakan suatu persoalan yang dilematis adalah bagaimana para seniman Bali menyikapi  atau mengkompromikan  antara budaya  “tulus”  ngayah  dengan budaya “materialistis”  ekonomi-uang-pasar yang menggedor  hampir  dalam setiap lekuk dan sendi kehidupan mereka.

Bali diidentikkan dengan jagat seni. Kehadiran beragam ungkapan seni itu seirama dengan denyut dan tarikan napas religius masyarakatnya dalam semangat kolektif sekaa-sekaa kesenian di banjar atau dalam ketulusan ngayah di pura. Tetapi ketika zaman berubah dan kini ketika globalisasi menerjang, tak pelak membawa dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan penghuni jagat ini, termasuk pada masyarakat Bali dan keseniannya. Kesenian Bali tidak lagi hanya diperuntukkan untuk persembahan belaka, namun juga dipertontonkan kepada wisatawan. Seperti kita ketahui era kesejagatan yang lazim bertiup dengan transformasi budaya sudah tentu membawa guncangan besar dan kecil pada tata kehidupan dan perilaku masyarakatnya. Dunia ide dan rasa dalam selimut estetika yang disebut kesenian Bali, rupanya tak juga luput dari  “provokasi“  semangat zaman. Industri pariwisata sebagai salah satu representasi globalisasi, mengkomodifikasi seni pertunjukan dengan ikutan beragam dampaknya.

        Menurut Ketut Suwentra,  komodifikasi adalah sebuah ideologi pasar. Ideologi ekonomi-uanglah yang menyangga komodifikasi seni pertunjukan Bali dalam jagat kepariwisataan. Sebagai sebuah industri perpanjangan tangan dari kapitalisme, tentu tujuan memperoleh keuntungan sebanyak-banyak adalah yang menjadi kredonya, sementara bagaimana dampak negatif dari praktek komodifikasinya bukan menjadi domainnya. Sedangkan komodifikasi seni pertunjukan di tengah masyarakat Bali masih berada di wilayah antara ketulusan ngayah, berkesenian untuk masyarakat, dan komodifikasi situasional. “Untuk meminimalisir dampak negatif dari praktek komodifikasi, kiranya diperlukan kesadaran masyarakat  dan kepedulian pemerintah terhadap keberadaan seni pertunjukan Bali sebagai sebuah kristalisasi budaya yang patut diberdayakan posisinya di tengah keniscayaan globalisasi,“ himbau Suwentra.

Seniman Bali Cemas Ketika Seni Dikemas, selengkapnya

Awal Mula Munculnya Tari Legong Sambeh Bintang

Awal Mula Munculnya Tari Legong Sambeh Bintang

Kiriman Ni Wayan Ekaliani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar

Untuk menjelaskan awal mula munculnya tari Legong Sambeh Bintang ini digunakan teori Religi. Taylor mengungkapkan bahwa religi adalah suatu keper-cayaan atau keyakinan yang dimiliki oleh seseorang yang membuat mereka wajib melakukan sesuatu untuk persembahan baik dalam bentuk perilaku, sesaji  untuk upacara ritual, maupun tarian untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Sang Maha Pencipta Alam Semesta/Tuhan Yang Maha Esa karena mereka meyakini adanya kekuatan gaib di lingkungan sekitar kehidupannya.

Suatu ritus atau upacara religi umumnya terdiri dari kombinasi yang merang-kaikan satu-dua kegiatan. Sebagaimana masyarakat Hindu-Bali ketika mereka melakukan upacara ritual keagamaan, mereka umumnya melakukan upacara ritual keagamaan dengan  mempersembahkan sesaji yang disertai persembahan seni pertunjukan. Mereka akan merasa upacara persembahan yang dilakukannya itu kurang lengkap jika tidak dilengkapi unsur bunyi-bunyian dan tari-tarian. Hal itu juga dilakukan  masyarakat Desa Bangle.  Untuk mensyukuri berkah dan memohon agar pertaniannya tidak diserang hama penyakit, mereka melakukan upacara persembahan kepada para dewata,  setiap enam bulan sekali pada upacara piodalan Ngusaba Desa di Pura Desa yang jatuh pada hari Umanis Kuningan. Sebagaimana diungkapkan I Nengah Wati (70 th), pada wawancara tgl 21 Desember 2010 sebagai berikut.

…penduduk desa ini miskin. Sebagian besar dari kami menghidupi keluarga dari hasil bertani, dan melaut sebagai nelayan. Dari dua mata pencaharian penduduk di desa ini, yang paling sering mendapat cobaan adalah kami yang menggantungkan hidup ini dari hasil bertani. Tanaman kami dulu sering terserang hama penyakit, sehingga kami sering kebingungan karena gagal  panen. Keluarga kami sering kelaparan dan sakit-sakitan. Pada suatu hari, saya mendapat pewisik agar warga di sini menghaturkan sesaji di Pura Desa ini. Saya heran, setelah melakukan upacara di pura itu perlahan-lahan hasil pertanian warga di sini mengalami peningkatan. Sejak itu kami selalu mempersembahkan sesaji di pura itu agar Beliau melindungi kami.

            Dari pernyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Bangle yakin akan adanya kekuatan gaib yang dapat memberi mereka perlindungan dari serangan wabah penyakit.

Semula, masyarakat Desa Bangle hanya memiliki Gamelan Terompong Beruk sebagai pelengkap persembahan mereka di pura. Seiring berjalannya waktu, mereka pun berkeinginan untuk menampilkan pependetan (tari-tarian) pada saat upacara piodalan di Pura Desa tersebut. Sebagaimana diungkapkan I Nengah Wati (70 th), ketika wawancara dilakukan pada tgl 21 Desember 2010, sebagai berikut.

… dulu pada saat upacara piodalan di Pura Desa kami hanya mem-persembahkan tetabuhan (lagu) dari menabuh gamelan Terompong Beruk. Gamelan ini sudah ada sejak zaman kakek saya. Kami tidak tahu secara pasti tahunnya. Tetapi ketika zaman Belanda gamelan ini sudah ada, dan kami hanya meneruskan saja. Kami belajar menabuh gamelan ini secara tradisi, turun-temurun. Semua warga desa, khususnya yang laki-laki, harus bisa memainkan gamelan ini karena kami harus ngayah megamel (menabuh) di setiap upacara piodalan di pura ini.

Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa gamelan Terompong Beruk telah muncul dan berkembang ketika zaman penjajahan Belanda. Karena dibutuhkan untuk digunakan sebagai persembahan di setiap upacara piodalan di Pura Desa, maka warga masyarakat setempat belajar dan mampu memainkan alat musik tradisional tersebut.  Dari penuturan informan tersebut juga dapat diketahui, bahwa walaupun mereka berada dalam kondisi serba terbatas baik dalam pengetahuan  maupun  sarana yang dimimilikinya, namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk hidup berkesenian.

Penyajian bunyi-bunyian berupa gamelan ini berlangsung cukup lama. Sampai suatu ketika tetua pura yang bernama I Nyoman Karang (75 tahun) mem-punyai gagasan untuk meramaikan upacara Usaba Desa tersebut dengan memper-sembahkan tari-tarian. Desa tersebut tidak mempunyai gamelan lain selain Terom-pong Beruk maka tarian yang ditampilkan oleh para pemedek (warga yang bersembahyang) di pura tersebut menari diiringi Gamelan Terompong Beruk. Sebagaimana diungkapkan oleh informan I Nyoman Kaler pada sebuah wawancara yang dilakukan di rumahnya tgl 21 Desember 2010, pukul 10.00 wita menuturkan sebagai  berikut:

“… ketika upacara piodalan sedang berlangsung, saya lupa tahunnya, ada petunjuk dari Beliau agar kami mempersembahkan tari-tarian untuk persembahan kepada para dewata. Saya bingung pada waktu itu. Ketika itu seketika ada inisiatif, agar para warga (para gadis) yang datang sembahyang di pura ini menari di hadapan pelinggih ini.  Maklum anak-anak itu bukan penari, jadi mereka melakukan secara seadanya, sebagaimana yang ditampilkan itu”.

Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa tari Legong Sambeh Bintang ini memang diciptakan untuk tari persembahan kepada para dewata, yang dipentaskan masyarakat setempat di setiap upacara piodalan Ngusaba Desa, di Desa Bangle, Abang, Karangasem.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat penyungsung pura itupun merasa perlu mempersembahkan tari-tarian selain tetabuhan pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa itu dilaksanakan. Mereka berkeyakinan bahwa dengan mempersem-bahkan sesaji dilengkapi tetabuhan dan tari-tarian para dewata penguasa alam di desa tersebut akan  merasa lebih senang, dan berkenan mengabulkan permohonannya yakni diberi perlindungan agar pertanian mereka tidak diserang hama penyakit. Untuk itu, mereka pun berupaya menampilkan tari-tarian seadanya diiringi Gamelan Terompong Beruk pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa yang jatuh tiap enam bulan sekali tepatnya pada hari Umanis Kuningan.

            Berawal dari mempersembahkan Gamelan Terompong beruk yang mereka buat dari batok kelapa, masyarakat setempat mulai berkreasi menciptakan sebuah tarian yang walaupun dilakukan dengan ragam gerak bebas dan seadanya, mereka bangga akan kesenian yang mereka miliki itu. Hal itu tampak dari ekspresi dan sikap masyarakat setempat ketika mereka mempersembahkan tarian tersebut di setiap upacara piodalan Ngusaba Desa, di Pura Desa, desa setempat. Hal itu diperkuat oleh pernyataan salah seorang informan bernama I Nyoman Kaler (75 tahun) pada wawancara tgl 21 Desember 2010, pukul 10.00 wita yang menuturkan sebagai berikut.

“untuk melengkapi persembahan sesaji yang kami haturkan kami selalu mempersembahkan Tari Legong Sambeh Bintang diiringi Gamelan Terompong Beruk pada upacara piodalan di Pura Desa”.

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat di Desa Bangle, Karangasem sejak dahulu telah hidup berkesenian untuk persembahan kepada para dewata.  Hal senada juga dikemukakan oleh salah seorang seniman tua yang ada di Desa Bangle, bernama Ni Luh Rongket (80 tahun), pada wawancara yang dilakukan di rumahnya tanggal 10 Desember 2010, pukul 14.00 wita menuturkan sebagai berikut.

“tari Legong Sambeh Bintang ini sudah ada sejak saya lahir.  Menurut Ibu saya, penari pertama tarian ini adalah nenek saya ketika beliau masih gadis. Katanya beliau didapuk menarikan tarian ini di depan pelinggih pura ketika upacara piodalan berlangsung. Kira-kira hal itu terjadi pada zaman penjajahan Belanda”.

Dari pernyataan tersebut dapat di ketahui bahwa awal mula munculnya tari Legong Sambeh Bintang ini kira-kira ketika zaman penjajahan Belanda, yakni pada tahun 1920-an.  Sejak awal muncul dan berkembangnya tari Legong Sambeh Bintang yang hingga kini tetap disakralkan masyarakatnya ini ditarikan oleh para gadis (daha) yang belum mengalami akil balik. Sebagaimana diungkapkan oleh informan bernama I Ketut Puger, salah seorang seniman Desa Bangle pada sebuah wawancara yang dilakukan tanggal 5 Desember 2010, yang menuturkan antara lain sebagai berikut.

“Tari Legong Sambeh Bintang ditarikan oleh 50 orang gadis yang belum mengalami akil balik dan belum potong gigi. Kira-kira umur mereka 10-13 tahun.  Namun walaupun penari yang diperbolehkan menarikan tarian ini belum mengalami akil balik, tetapi jika mereka masih terlalu kecil (tangan mereka belum dapat menyentuh apit-apit Bale Agung) yang ada di Pura Puseh, desa setempat, merekapun tidak diperkenankan menarikan tarian ini”.

Awal Mula Munculnya Tari Legong Sambeh Bintang selengkapnya

Teknologi Tumpuan Selesaikan Masalah Bangsa

Teknologi Tumpuan Selesaikan Masalah Bangsa

Rabu, 10 Agustus 2011

Serpong, Banten – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan teknologi serta inovasi merupakan tumpuan utama untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Kepala Negara dalam peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) di Auditorium Graha Widya, Komplek Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi (Puspitek), Serpong, Tangerang, Banten, Rabu sore.
“Pertanyaan kemudian adalah inovasi dan teknologi seperti apa yang harus kita kembangkan. Saudara tentu sepakat bila pertanyaan seperti itu opsi sangat terbuka dan banyak pilihan yang terbuka, para ilmuwanlah yang berperan dan ini tantangan serta misi besar saudara semua,” kata Presiden.
Dalam uraiannya, Kepala Negara mengatakan, tantangan Indonesia di masa mendatang semakin berat, bukan hanya masalah yang dihadapi Indonesia namun juga oleh bangsa-bangsa di dunia.
“Sekarang jumlah penduduk dunia 7 milyar manusia dan kemudian 2045 menjadi 9 milyar jiwa. Saya sampaikan apa implikasinya dari kebutuhan paling asasi, food security dan energy security,” kata Presiden.
Ia mencontohkan tiga hal, terkait tantangan dalam keamanan pangan, tantangan dalam ketersediaan energi dan perubahan fundamental ekonomi dari ekonomi sumber daya alam menjadi ekonomi yang mengedepankan peningkatan kualitas dan nilai produk nasional.
“Konkritnya tahun mendatang, kita harus bisa percepat dan perluas terbangunnya industri bernilai tambah. Untuk itu semua, upaya besar solusi yang diharapkan kita harus percepat inovasi dan kontribusi ekonomi untuk kuasai itu,” katanya.
Berdampingan dengan program percepatan pembangunan ekonomi Indonesia yang telah dicanangkan pemerintah, Kepala Negara meminta agar inovasi dan pengembangan teknologi bisa memberi kontribusi pada pengembangan kekuatan ekonomi nasional.
“Ini tantangan, misi kita yang harus disukseskan. Saya ajak jangan kita sia-siakan peluang dan momentum yang kita miliki. Sasaran kita dalam MP3EI bisa dikatakan ambisius, tapi saya yakin itu bisa kita capai,” kata Presiden.
Dalam jangka waktu hingga 2025 mendatang, Presiden optimistis kondisi perekonomian Indonesia bisa mencapai kekuatan ekonomi dunia ke-12.
“MP3EI yang kita buat menentukan sasaran yang konservatif, sasaran 2025 yaitu GDP Rp4 triliun hingga Rp4,5 triliun, income percapita capai 14.000 dolar AS hingga 15.000 dolar AS dan kita berupaya capai peringkat nomor 12 dunia,” tegasnya.
Untuk mencapai itu, kata Presiden, ada sejumlah hal yang perlu dilakukan, yaitu sebagai bangsa harus bersatu, mau bekerja bersama, mau bekerja keras, jangan lunak jangan asal-asalan, bersikap adaptif dan inovatif.
“Dan yang kelima, di era globalisasi ada ancaman ada peluang, menjadi bangsa yang cerdas dalam cari dan ciptakan peluang yang tersedia dimana-mana. Jika sasaran itu dicapai maka rakyat kita semakin sejahtera, kemiskinan bisa berkurang lebih signifikan, dan keadilan dimana-mana,” kata Presiden.
Dalam peringatan hari kebangkitan teknologi nasional ke-16 tersebut, hadir pula mantan Presiden BJ Habibie, para menteri kabinet Indonesia Bersatu, sejumlah duta besar negara sahabat dan para peneliti dari seluruh Indonesia.
Hari kebangkitan teknologi nasional diperingati setiap 10 Agustus. Tonggak peringatan diawali dengan penerbangan pertama pesawat produksi PT Dirgantara Indonesia N-250 Gatotkaca pada 10 Agustus 1995 bertepatan dengan bulan peringatan 50 tahun kemerdekaan RI saat itu.
Peringatan Hakteknas 2011 diisi dengan sejumlah kegiatan termasuk sejumlah seminar bertemakan pengembangan inovasi dan teknologi.

sumber : antaranews.com

Loading...