Pengumuman Pencairan Beasiswa Bidik Misi, PPA, BBM dan Supersemar
Pengumuman Penerima Beasiswa Bidik Misi : Klik disini
Pengumuman Penerima Beasiswa PPA dan BBM : Klik disini
Pengumuman Penerima Beasiswa Supersemar : Klik disini
Pengumuman Penerima Beasiswa Bidik Misi : Klik disini
Pengumuman Penerima Beasiswa PPA dan BBM : Klik disini
Pengumuman Penerima Beasiswa Supersemar : Klik disini
Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
“Seni tradisi melarat, Barong Batubulan perang komisi, Cak Bona tinggal kenangan”. Demikian jeritan yang mengemuka di surat kabar belakangan ini sehubungan kian carut marutnya seni pertunjukan wisata di Pulau Dewata. Pemerkosaan terhadap seni tradisi dan teraniayanya seniman Bali pelaku seni pentas turistik, merupakan cerita laten yang tak pernah menemukan solusi hingga hari ini. Soal seniman berhimpitan pentas naik truk, honor ala kadarnya, standar tarip pentas yang amburadul, kualitas seni yang asal-asalan, sertifikat laik pentas yang semu, dan seterusnya, adalah sederetan persoalan ruwet yang senantiasa berkemelut di sekitar seni pertunjukan wisata Bali. Objek penderitanya, yang pasti: seni dan seniman.
Kisah pilu jagat seni wisata adalah derita yang umum mendera seni tradisi lokal yang dikemas sebagai objek komoditi di berbagai destinasi dunia. Topik ini diungkapkan sebuah makalah bertajuk “Komoditifikasi Seni Pertunjukan Bali” yang disajikan dalam Sarasehan Budaya Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 tahun 2011, Jumat (1/7) lalu, bertempat di Gedung Natya Mandala Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sebagai nara sumber, Dr. I Ketut Suwentra, SST, mengungkapkan bahwa industri pariwisata adalah sebuah situasi dan kondisi yang memberi ruang dan peluang terhadap komodifikasi seni. “Dalam konteks industri pariwisata, nilai-nilai estetik lokal masyarakat menjadi atraksi andalan. Seni pertunjukan Bali telah dikomodifikasi sejak awal kedatangan para pelancong di Pulau Dewata. Komodifikasi seni pertunjukan Bali dalam jagat kepariwisataan itu juga telah merambah bentuk-bentuk seni pentas yang tergolong sakral,“ ujar Ketut Suwentra yang dikenal sebagai Pekak Jegog ini.
Sebagai destinasi wisata dunia, papar Ketut Suwentra, Bali, kini, adalah sebuah komoditi. Bali memiliki nilai jual. Adalah industri pariwisata yang semakin mengukuhkan Bali sebagai sebuah komoditi. Begitu pesatnya perkembangan pariwisata di pulau ini menyebabkan semua pihak ingin mengkomodifikasikan hampir seluruh lekuk sekala dan niskala Bali, dari gunung hingga laut, dari relegi hingga mistik. Anugrah alam Bali dikomodifikasi tanpa sisa. Danau, sungai, pantai dan laut yang diyakini oleh orang Bali sebagai tempat pembersihan suci kini telah dikomodifikasi. Gunung, bukit, tebing yang dipercaya orang Bali sebagai bersemayamnya para dewa dan mahluk halus kini juga dikomodifikasi. Euporia mengkomodifikasi alam Bali begitu sarat gairah, baik oleh orang Bali sendiri maupun pihak luar yang mencari rejeki ekonomi di Bali. “Karena begitu permisifnya paham komodifikasi dijadikan prinsip meraup keuntungan finansial, sehingga nilai-nilai sakral, terlarang, dan rahasia pun dijajakan sebagai sebuah komoditi,“ ujarnya lugas.
Komoditifikasi adalah anak cucu dari kapitalisme yang kini mengungkung afmosfer Bali. Tarik-ulur, konfrontasi dan proses tawar-menawar, kini sedang gencar berlangsung dalam masyarakat Bali kontemporer. Sebagai bagian dari peradaban global, masyarakat Bali sedang mengalami perubahan-perubahan, baik yang bergolak secara internal maupun yang menggedor secara eksternal. Konsekuensinya adalah terjadi pergeseran-pergeseran nilai. Semua ini berimplikasi terhadap prilaku dan pola berpikir masyarakatnya. Misalnya mengemuka kecendrungan sadar sesadar-sadarnya akan arti ekomomi-uang dan pasar. Tengok misalnya bisnis kesenian dalam jagat pariwisata Bali dan berkesenian di tengah masyarakat lokal. Merupakan suatu persoalan yang dilematis adalah bagaimana para seniman Bali menyikapi atau mengkompromikan antara budaya “tulus” ngayah dengan budaya “materialistis” ekonomi-uang-pasar yang menggedor hampir dalam setiap lekuk dan sendi kehidupan mereka.
Bali diidentikkan dengan jagat seni. Kehadiran beragam ungkapan seni itu seirama dengan denyut dan tarikan napas religius masyarakatnya dalam semangat kolektif sekaa-sekaa kesenian di banjar atau dalam ketulusan ngayah di pura. Tetapi ketika zaman berubah dan kini ketika globalisasi menerjang, tak pelak membawa dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan penghuni jagat ini, termasuk pada masyarakat Bali dan keseniannya. Kesenian Bali tidak lagi hanya diperuntukkan untuk persembahan belaka, namun juga dipertontonkan kepada wisatawan. Seperti kita ketahui era kesejagatan yang lazim bertiup dengan transformasi budaya sudah tentu membawa guncangan besar dan kecil pada tata kehidupan dan perilaku masyarakatnya. Dunia ide dan rasa dalam selimut estetika yang disebut kesenian Bali, rupanya tak juga luput dari “provokasi“ semangat zaman. Industri pariwisata sebagai salah satu representasi globalisasi, mengkomodifikasi seni pertunjukan dengan ikutan beragam dampaknya.
Menurut Ketut Suwentra, komodifikasi adalah sebuah ideologi pasar. Ideologi ekonomi-uanglah yang menyangga komodifikasi seni pertunjukan Bali dalam jagat kepariwisataan. Sebagai sebuah industri perpanjangan tangan dari kapitalisme, tentu tujuan memperoleh keuntungan sebanyak-banyak adalah yang menjadi kredonya, sementara bagaimana dampak negatif dari praktek komodifikasinya bukan menjadi domainnya. Sedangkan komodifikasi seni pertunjukan di tengah masyarakat Bali masih berada di wilayah antara ketulusan ngayah, berkesenian untuk masyarakat, dan komodifikasi situasional. “Untuk meminimalisir dampak negatif dari praktek komodifikasi, kiranya diperlukan kesadaran masyarakat dan kepedulian pemerintah terhadap keberadaan seni pertunjukan Bali sebagai sebuah kristalisasi budaya yang patut diberdayakan posisinya di tengah keniscayaan globalisasi,“ himbau Suwentra.
Kiriman Ni Wayan Ekaliani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar
Untuk menjelaskan awal mula munculnya tari Legong Sambeh Bintang ini digunakan teori Religi. Taylor mengungkapkan bahwa religi adalah suatu keper-cayaan atau keyakinan yang dimiliki oleh seseorang yang membuat mereka wajib melakukan sesuatu untuk persembahan baik dalam bentuk perilaku, sesaji untuk upacara ritual, maupun tarian untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Sang Maha Pencipta Alam Semesta/Tuhan Yang Maha Esa karena mereka meyakini adanya kekuatan gaib di lingkungan sekitar kehidupannya.
Suatu ritus atau upacara religi umumnya terdiri dari kombinasi yang merang-kaikan satu-dua kegiatan. Sebagaimana masyarakat Hindu-Bali ketika mereka melakukan upacara ritual keagamaan, mereka umumnya melakukan upacara ritual keagamaan dengan mempersembahkan sesaji yang disertai persembahan seni pertunjukan. Mereka akan merasa upacara persembahan yang dilakukannya itu kurang lengkap jika tidak dilengkapi unsur bunyi-bunyian dan tari-tarian. Hal itu juga dilakukan masyarakat Desa Bangle. Untuk mensyukuri berkah dan memohon agar pertaniannya tidak diserang hama penyakit, mereka melakukan upacara persembahan kepada para dewata, setiap enam bulan sekali pada upacara piodalan Ngusaba Desa di Pura Desa yang jatuh pada hari Umanis Kuningan. Sebagaimana diungkapkan I Nengah Wati (70 th), pada wawancara tgl 21 Desember 2010 sebagai berikut.
…penduduk desa ini miskin. Sebagian besar dari kami menghidupi keluarga dari hasil bertani, dan melaut sebagai nelayan. Dari dua mata pencaharian penduduk di desa ini, yang paling sering mendapat cobaan adalah kami yang menggantungkan hidup ini dari hasil bertani. Tanaman kami dulu sering terserang hama penyakit, sehingga kami sering kebingungan karena gagal panen. Keluarga kami sering kelaparan dan sakit-sakitan. Pada suatu hari, saya mendapat pewisik agar warga di sini menghaturkan sesaji di Pura Desa ini. Saya heran, setelah melakukan upacara di pura itu perlahan-lahan hasil pertanian warga di sini mengalami peningkatan. Sejak itu kami selalu mempersembahkan sesaji di pura itu agar Beliau melindungi kami.
Dari pernyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Bangle yakin akan adanya kekuatan gaib yang dapat memberi mereka perlindungan dari serangan wabah penyakit.
Semula, masyarakat Desa Bangle hanya memiliki Gamelan Terompong Beruk sebagai pelengkap persembahan mereka di pura. Seiring berjalannya waktu, mereka pun berkeinginan untuk menampilkan pependetan (tari-tarian) pada saat upacara piodalan di Pura Desa tersebut. Sebagaimana diungkapkan I Nengah Wati (70 th), ketika wawancara dilakukan pada tgl 21 Desember 2010, sebagai berikut.
… dulu pada saat upacara piodalan di Pura Desa kami hanya mem-persembahkan tetabuhan (lagu) dari menabuh gamelan Terompong Beruk. Gamelan ini sudah ada sejak zaman kakek saya. Kami tidak tahu secara pasti tahunnya. Tetapi ketika zaman Belanda gamelan ini sudah ada, dan kami hanya meneruskan saja. Kami belajar menabuh gamelan ini secara tradisi, turun-temurun. Semua warga desa, khususnya yang laki-laki, harus bisa memainkan gamelan ini karena kami harus ngayah megamel (menabuh) di setiap upacara piodalan di pura ini.
Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa gamelan Terompong Beruk telah muncul dan berkembang ketika zaman penjajahan Belanda. Karena dibutuhkan untuk digunakan sebagai persembahan di setiap upacara piodalan di Pura Desa, maka warga masyarakat setempat belajar dan mampu memainkan alat musik tradisional tersebut. Dari penuturan informan tersebut juga dapat diketahui, bahwa walaupun mereka berada dalam kondisi serba terbatas baik dalam pengetahuan maupun sarana yang dimimilikinya, namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk hidup berkesenian.
Penyajian bunyi-bunyian berupa gamelan ini berlangsung cukup lama. Sampai suatu ketika tetua pura yang bernama I Nyoman Karang (75 tahun) mem-punyai gagasan untuk meramaikan upacara Usaba Desa tersebut dengan memper-sembahkan tari-tarian. Desa tersebut tidak mempunyai gamelan lain selain Terom-pong Beruk maka tarian yang ditampilkan oleh para pemedek (warga yang bersembahyang) di pura tersebut menari diiringi Gamelan Terompong Beruk. Sebagaimana diungkapkan oleh informan I Nyoman Kaler pada sebuah wawancara yang dilakukan di rumahnya tgl 21 Desember 2010, pukul 10.00 wita menuturkan sebagai berikut:
“… ketika upacara piodalan sedang berlangsung, saya lupa tahunnya, ada petunjuk dari Beliau agar kami mempersembahkan tari-tarian untuk persembahan kepada para dewata. Saya bingung pada waktu itu. Ketika itu seketika ada inisiatif, agar para warga (para gadis) yang datang sembahyang di pura ini menari di hadapan pelinggih ini. Maklum anak-anak itu bukan penari, jadi mereka melakukan secara seadanya, sebagaimana yang ditampilkan itu”.
Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa tari Legong Sambeh Bintang ini memang diciptakan untuk tari persembahan kepada para dewata, yang dipentaskan masyarakat setempat di setiap upacara piodalan Ngusaba Desa, di Desa Bangle, Abang, Karangasem.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat penyungsung pura itupun merasa perlu mempersembahkan tari-tarian selain tetabuhan pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa itu dilaksanakan. Mereka berkeyakinan bahwa dengan mempersem-bahkan sesaji dilengkapi tetabuhan dan tari-tarian para dewata penguasa alam di desa tersebut akan merasa lebih senang, dan berkenan mengabulkan permohonannya yakni diberi perlindungan agar pertanian mereka tidak diserang hama penyakit. Untuk itu, mereka pun berupaya menampilkan tari-tarian seadanya diiringi Gamelan Terompong Beruk pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa yang jatuh tiap enam bulan sekali tepatnya pada hari Umanis Kuningan.
Berawal dari mempersembahkan Gamelan Terompong beruk yang mereka buat dari batok kelapa, masyarakat setempat mulai berkreasi menciptakan sebuah tarian yang walaupun dilakukan dengan ragam gerak bebas dan seadanya, mereka bangga akan kesenian yang mereka miliki itu. Hal itu tampak dari ekspresi dan sikap masyarakat setempat ketika mereka mempersembahkan tarian tersebut di setiap upacara piodalan Ngusaba Desa, di Pura Desa, desa setempat. Hal itu diperkuat oleh pernyataan salah seorang informan bernama I Nyoman Kaler (75 tahun) pada wawancara tgl 21 Desember 2010, pukul 10.00 wita yang menuturkan sebagai berikut.
“untuk melengkapi persembahan sesaji yang kami haturkan kami selalu mempersembahkan Tari Legong Sambeh Bintang diiringi Gamelan Terompong Beruk pada upacara piodalan di Pura Desa”.
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat di Desa Bangle, Karangasem sejak dahulu telah hidup berkesenian untuk persembahan kepada para dewata. Hal senada juga dikemukakan oleh salah seorang seniman tua yang ada di Desa Bangle, bernama Ni Luh Rongket (80 tahun), pada wawancara yang dilakukan di rumahnya tanggal 10 Desember 2010, pukul 14.00 wita menuturkan sebagai berikut.
“tari Legong Sambeh Bintang ini sudah ada sejak saya lahir. Menurut Ibu saya, penari pertama tarian ini adalah nenek saya ketika beliau masih gadis. Katanya beliau didapuk menarikan tarian ini di depan pelinggih pura ketika upacara piodalan berlangsung. Kira-kira hal itu terjadi pada zaman penjajahan Belanda”.
Dari pernyataan tersebut dapat di ketahui bahwa awal mula munculnya tari Legong Sambeh Bintang ini kira-kira ketika zaman penjajahan Belanda, yakni pada tahun 1920-an. Sejak awal muncul dan berkembangnya tari Legong Sambeh Bintang yang hingga kini tetap disakralkan masyarakatnya ini ditarikan oleh para gadis (daha) yang belum mengalami akil balik. Sebagaimana diungkapkan oleh informan bernama I Ketut Puger, salah seorang seniman Desa Bangle pada sebuah wawancara yang dilakukan tanggal 5 Desember 2010, yang menuturkan antara lain sebagai berikut.
“Tari Legong Sambeh Bintang ditarikan oleh 50 orang gadis yang belum mengalami akil balik dan belum potong gigi. Kira-kira umur mereka 10-13 tahun. Namun walaupun penari yang diperbolehkan menarikan tarian ini belum mengalami akil balik, tetapi jika mereka masih terlalu kecil (tangan mereka belum dapat menyentuh apit-apit Bale Agung) yang ada di Pura Puseh, desa setempat, merekapun tidak diperkenankan menarikan tarian ini”.
Serpong, Banten – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan teknologi serta inovasi merupakan tumpuan utama untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Kepala Negara dalam peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) di Auditorium Graha Widya, Komplek Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi (Puspitek), Serpong, Tangerang, Banten, Rabu sore.
“Pertanyaan kemudian adalah inovasi dan teknologi seperti apa yang harus kita kembangkan. Saudara tentu sepakat bila pertanyaan seperti itu opsi sangat terbuka dan banyak pilihan yang terbuka, para ilmuwanlah yang berperan dan ini tantangan serta misi besar saudara semua,” kata Presiden.
Dalam uraiannya, Kepala Negara mengatakan, tantangan Indonesia di masa mendatang semakin berat, bukan hanya masalah yang dihadapi Indonesia namun juga oleh bangsa-bangsa di dunia.
“Sekarang jumlah penduduk dunia 7 milyar manusia dan kemudian 2045 menjadi 9 milyar jiwa. Saya sampaikan apa implikasinya dari kebutuhan paling asasi, food security dan energy security,” kata Presiden.
Ia mencontohkan tiga hal, terkait tantangan dalam keamanan pangan, tantangan dalam ketersediaan energi dan perubahan fundamental ekonomi dari ekonomi sumber daya alam menjadi ekonomi yang mengedepankan peningkatan kualitas dan nilai produk nasional.
“Konkritnya tahun mendatang, kita harus bisa percepat dan perluas terbangunnya industri bernilai tambah. Untuk itu semua, upaya besar solusi yang diharapkan kita harus percepat inovasi dan kontribusi ekonomi untuk kuasai itu,” katanya.
Berdampingan dengan program percepatan pembangunan ekonomi Indonesia yang telah dicanangkan pemerintah, Kepala Negara meminta agar inovasi dan pengembangan teknologi bisa memberi kontribusi pada pengembangan kekuatan ekonomi nasional.
“Ini tantangan, misi kita yang harus disukseskan. Saya ajak jangan kita sia-siakan peluang dan momentum yang kita miliki. Sasaran kita dalam MP3EI bisa dikatakan ambisius, tapi saya yakin itu bisa kita capai,” kata Presiden.
Dalam jangka waktu hingga 2025 mendatang, Presiden optimistis kondisi perekonomian Indonesia bisa mencapai kekuatan ekonomi dunia ke-12.
“MP3EI yang kita buat menentukan sasaran yang konservatif, sasaran 2025 yaitu GDP Rp4 triliun hingga Rp4,5 triliun, income percapita capai 14.000 dolar AS hingga 15.000 dolar AS dan kita berupaya capai peringkat nomor 12 dunia,” tegasnya.
Untuk mencapai itu, kata Presiden, ada sejumlah hal yang perlu dilakukan, yaitu sebagai bangsa harus bersatu, mau bekerja bersama, mau bekerja keras, jangan lunak jangan asal-asalan, bersikap adaptif dan inovatif.
“Dan yang kelima, di era globalisasi ada ancaman ada peluang, menjadi bangsa yang cerdas dalam cari dan ciptakan peluang yang tersedia dimana-mana. Jika sasaran itu dicapai maka rakyat kita semakin sejahtera, kemiskinan bisa berkurang lebih signifikan, dan keadilan dimana-mana,” kata Presiden.
Dalam peringatan hari kebangkitan teknologi nasional ke-16 tersebut, hadir pula mantan Presiden BJ Habibie, para menteri kabinet Indonesia Bersatu, sejumlah duta besar negara sahabat dan para peneliti dari seluruh Indonesia.
Hari kebangkitan teknologi nasional diperingati setiap 10 Agustus. Tonggak peringatan diawali dengan penerbangan pertama pesawat produksi PT Dirgantara Indonesia N-250 Gatotkaca pada 10 Agustus 1995 bertepatan dengan bulan peringatan 50 tahun kemerdekaan RI saat itu.
Peringatan Hakteknas 2011 diisi dengan sejumlah kegiatan termasuk sejumlah seminar bertemakan pengembangan inovasi dan teknologi.
sumber : antaranews.com
Kiriman Dewi Yulianti, Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Kegiatan “ngayah” merupakan kegiatan rutin kampus ISI (Institut Seni Indonesia) Denpasar.Pada hari Senin (15/8) yang lalu,pada saat rainan Kajeng Kliwon, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar ‘ngayah’ di Pura Kauman Banjar Sumerta Kaja, Denpasar, dalam pementasan Calon Arang berjudul “Gusti Ayu Pelung”.
Dalam pementasan ini, ISI Denpasar membawakan tarian Telek dan Watangan. Tarian Telek dibawakan oleh Kadek Arsiniwati, Nyoman Sriwahyuni, Gusti Ayu Srinatih, Ni Nyoman Kasih, Oka Surya Negara, serta Sutirta. Kemudian untuk Tarian Watangan atau Bangke-Bangke dibawakan oleh I Nyoman Kerta yang merupakan dosen ISI Denpasar serta warga dari Banjar Lebah jalan Kecubung, Denpasar. Dalam kesempatan ini turut hadir pula Rektor ISI Denpasar yang menyaksikan pementasan Calon Arang, dimana beliau sempat mengungkapkan bahwa ISI Denpasar mengikuti acara ngayah di Pura Kauman yang merupakan perwujudan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi. “Kami sangat bersyukur kepada Tuhan, karena kami diberikan kesempatan untuk “ngayah” dengan talenta seni yang kami miliki, untuk dipersembahkan kembali kepada Tuhan. Terima kasih juga kepada panitia yang telah member kami kesempatan untuk turut serta dalam kegiatan ngayah ini, yang mana para seniman ISI Denpasar mendapat kesempatan untuk berkolaborasi dengan masyarakat dalam kegiatan ngayah ini,”papar Prof. Rai.
Ketua Pelaksanaan kegiatan ini mengungkapkan bahwa kegiatan yang berlangsung tepat pada malam Kajeng Kliwon ini merupakan rangkaian acara odalan dari Pura Kauman. Rangkaian acara ini akan dimulai pada pukul delapan malam hingga selesai, adapun susunan acara dalam pementasan Calon Arang ini adalah Barong 1, Legong Kuntul, Jauk Manis, Barong 2, Telek, Sisya, Desak Rai, Liku, Matah Gede, Penasar Wijil, Mantri, Bendega, Sisia Ngereh, Watangan, Bondres, Banjar-Banjaran atau Grubug, Balian, Pandung, serta Rangda dan Unying. Rangkaian Acara yang berjumlah 19 tarian ini baru usai hingga dini hari.
Kiriman: Kadek Suartaya, S,S.Kar, M.Si., Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar.
Disampaikan pada seminar dalam rangka kegiatan dies natalis dan wisuda tahun 2011
III. Rekonstruksi-Dekonstruksi
Sejatinya, khasanah seni tradisi adalah mata air yang mengalirkan dahaga berkreasi. Kontinuitas pelestarian dan pengembangan kesenian di Bali lazimnya berorientasi pada nilai-nilai estetika dan konsep-konsep artistik dari kesenian tradisi yang telah teruji zaman tersebut. Gambuh misalnya, bertransformasi menjadi Arja dan Legong. Konsep klasik Legong kini dielaborasi menjadi beragam tari palegongan. Begitu pula dalam seni karawitan. Konsep dan pola-pola musikal dalam gamelan Gambuh mengejawantah dalam gamelan Semarapagulingan. Repertoar yang dimiliki Gong Gede disajikan lebih segar dan kreatif dalam gamelan Gong Kebyar. Kini di tengah dinamisnya perkembangan Gong Kebyar, tak sedikit yang mengeksplorasi elemen-elemen yang terdapat dalam gamelan tua seperti Gambang, Slonding, atau Gender Wayang. Kesenian tradisi-klasik yang menyimpan nilai estetik nan luhur, lebih-lebih yang telah terpuruk langka, patut digali, direkonstruksi, direvitalisasi dan dibanggakan di tengah lingkungan komunitasnya serta dalam publik lebih luas seperti PKB. Uluran tangan Pemda Bali dalam konteks PKB merekontruksi dan merevitalisasi bentuk-bentuk seni tradisi tentu patut dihargai. Ini merupakan tonikum yang diharapkan menggeliatkan kesenian yang tergolek merana itu untuk beringsut menyapa fenomena kehidupan. Sayangnya yang terjadi selama ini di lapangan, sering wajah kusut dan aroma masainya hanya segar dan wangi sekelebat saja. Hasil rekontruksi sebuah kesenian langka yang diuji coba dipentaskan, seusai dipertontonankan, umumnya kembali lunglai. Kontekstualisasi hasil rekontruksi sebuah kesenian dengan komunitas pendukungnya tak terjalin.
Rekontruksi dan revitalisasi bentuk-bentuk seni tradisi, selain dengan penguatan estetik-konseptualnya, kiranya sanggaan penguatan sosial-kultural dan psikis-mental yang berkorelasi dengan kesenian tersebut semestinya juga dibangun. Secara sosial-kultural, kepada para pelaku seni dan komunitasnya ditumbuhkan semangat kebersamaan memaknai nilai-nilai estetik dan etik yang dilandasi kasih damai. Secara psikis-mental, di kalangan pegiat seni dan masyarakat pendukungnya disemai kembali psiko-estetik dan psiko-relegi yang dapat meneguhkan mentalitas penyayang terhadap keagungan budaya tradisi, seni tradisi yang unggul.
Adalah drama tari Gambuh, teater tua yang diakui sebagai mata air seni pertunjukan Bali, masih mampu bertahan dari kepunahannya di Desa Batuan, Sukawati, dalam sanggaan karakteristik para pelaku seni dan masyarakat pelestari budaya. Di Batuan, seni pentas kehormatan pada era kejayaan kerajaan Bali itu kini digeluti sebagai persembahan seni dan juga dipertahankan sebagai seni persembahan ritual keagamaan.
Era baru semestinya tak melumpuhkan karakter bangsa. Beruntung, semangat untuk memperkuat karakter diri, masyarakat, dan bangsa itu masih terasa cukup membuncah di Pulau Dewata. Gairah berasyik masyuk dengan seni tradisi masih menyala-nyala di tengah masyarakat Bali. Kekhusukan ritual keagamaan masih dimeriahkan oleh persembahan seni ngayah. Para seniman Bali masih jengah mengawal dan mengembangkan warisan seni leluhurnya. Pemerintah Bali pun masih bergairah menyokong Pesta Kesenian Bali (PKB) yang direspons riuh masyarakat. Suara gamelan masih mengalun dan lenggok tari masih mengumbar senyum di Pulau Kesenian ini.
Penulis buku Island of Bali (1937), Miguel Covarrubias, mengagumi masyarakat Bali sebagai orang-orang yang berbakat seni. Menurut peneliti asal Meksiko tersebut, stimulasi estetis itu terekspresi dalam segala aspek kehidupan. Emosi berkesenian tersebut biasanya membumbung dalam ritus keagamaannya. Hampir dalam setiap upacara agama Hindu di Bali disertai persembahan seni. Tak berlebihan bila dikatakan pasang surut dan bahkan hidup mati kesenian Bali disangga oleh psiko-relegi dalam implementasi upacara-upacara agama. Beragam jenis kesenian seperti sastra, teater, musik, tari hingga seni rupa menyembul, mengkristal, dan menggeliat di tengah atmosfir relegiusitas seperti itu.
Kesenian Bali merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Bali yang sudah diwarisi sejak zaman lampau. Hampir semua jenis kesenian Bali mengandung tendensi untuk menunjang dan mengabdikan kehidupan agama Hindu. Di tengah masyarakat Bali pada umumnya, hasrat berkesenian dan menyimak kesenian tampak tumbuh dan berkembang sejak masa bocah. Ini berarti pendidikan karakter tunas-tunas bangsa itu sudah bersemi sejak dini. Oleh karena itu, berkesenian dalam konteks ritual keagamaan dan berkesenian dalam presentasi estetik festival, parade atau lomba patut terus digelorakan, semuanya memiliki andil membentuk karakter manusia Bali.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan.
Bertakwa, bertanggung jawab, berdisiplin, jujur, sopan, peduli, kerja keras, sikap baik, toleransi, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, menghargai, bersahabat, dan cinta damai, adalah karakter postif sebuah bangsa. Agama dan budaya merupakan dua pondasi karakter bangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. Selain dari agama, bahwasannya tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Menggali akar kebudayaan dan kesenian dari dialektika imajinasi dan pemikiran kreatif suatu bangsa, menjadi proses yang bisa diarahkan bagi ikhtiar pembentukan karakter bangsa sebab kesenian berkembang tak lepas dari proses perjalanan sebuah bangsa. Seni dalam segala perwujudannya merupakan salah satu ekspresi proses kebudayaan manusia, sekaligus pencerminan dari peradaban suatu masyarakat atau bangsa pada suatu kurun waktu tertentu. Karena seni, bagaimanapun, merupakan bagian langsung dari kehidupan manusia yang sama penting dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Jejak peradaban suatu bangsa berkembang selaras dengan perkembangan kebudayaannya. Di dalamnya perkembangan seni tradisi, sains, dan teknologi. Seni tradisi dalam banyak hal dipengaruhi oleh orientasi nilai hidup manusia dalam proses interaksinya dengan alam, manusia sesama, dan Tuhan. Itulah sebabnya pada seni tradisi, kita temukan begitu banyak aspek. Antara lain spiritualitas, magis, dan kebiasaan-kebiasaan alamiah.
Di tengah terjangan budaya global sekarang ini, pemberdayaan dan penguatan terhadap keberadaan seni tradisi rupanya perlu segera diupayakan. Kesenian Bali pada umumnya, seni tradisi khususnya, harus melakukan reposisi kultural yaitu mencari posisi politik di tengah masyarakat lokal, benteng pertama dan terakhir yang mengawal legitimasinya. Nilai-nilai tradisi yang selama ini dianggap tidak berubah, orisinil, abadi, langgeng, dan a-historis kini dituntut untuk menemukan posisi dan maknanya yang baru. Karena itu disamping langkah rekonstruksi, upaya dekonstruksi juga mesti dilakukan. Dekonstruksi dilakukan pada seni tradisi bukan dalam pengertian ekstrim pembongkaran dan penghancuran melainkan melalui reinterpretasi dan inovasi. Pemikiran ini dilandasi bahwa kesenian adalah murupakan proses kebudayaan yang selalu dinamis dan akan berpeluang eksis dalam sanggaan kreativitasnya.
Kreativitas merupakan proses mental dimana pengalaman masa lampau dikombinasikan kembali, sering dalam bentuk yang diubah sedemikian rupa sehingga timbul pola-pola baru, bentuk-bentuk baru yang lebih baik untuk mengatasi kebutuhan tertentu. Proses kreatif dimulai dari dalam diri manusia berupa pikiran, perasaan atau imajinasi kreatif manusia kemudian dituangkan menggunakan media dan teknik tertentu, sehingga melahirkan karya-karya kreatif Secara luas kreativitas bisa berarti sebagai potensi kreatif, proses kreatif dan produk kreatif. Proses kreativitas melalui kegiatan seni adalah jalan sebaik-baiknya yang dapat dilakukan sebab melakukan kegiatan seni berarti terjadi suatu proses kreatif.
Proses berkesenian dekonstrukstif dalam seni pertunjukan Bali telah dikobarkan oleh I Ketut Marya pada tahun 1920-an. Ingatlah kembali bagaimana proses kreatif Marya menciptakan tari Kebyar Duduk. Sebagai seniman berbasis seni tradisi klasik, ia menginterpretasikan tabuh-tabuh instrumental gamelan Gong Kebyar yang kemudian mengkristal menjadi tari baru yang dikenal sebagai Kebyar Duduk. Tatanan tari tradisi diterobosnya namun identitas estetik tari Bali lebih diberi artikulasi artistik. Tari Kebyar Duduk dan atau kemudian jadi tari Terompong menjadi tonggak pembaharuan tari jenis kebyar. Demikian pula apa yang dilakukan I Wayan Limbak di Bedulu pada tahun 1930-an terhadap tari yang kini disebut Cak. Didorong oleh Walter Spies, ia mendekonstruksi koor cak dalam ritual penolak bala Sanghyang menjadi tari Cak turistik. Bahkan reinterpretasi pada Cak kembali dilakukan oleh Sardono W. Kusumo tahun 1972 di Banjar Teges Kanginan, Ubud, dalam pertunjukan yang disebut Cak Rina.
Di masa kini, ada beberapa dekonstruksi pada seni pertunjukan tradisional Bali yang berhasil diterima masyarakat. Sendratari PKB dibangun dari semangat dekonstruktif. Elemen-elemen utama yang menjadi konstruksi sendratari yang baru muncul di Bali pada tahun 1962 itu ditunjang oleh seni tradisi. Penampilan sendratari dipanggung yang lebar dengan disaksikan ribuan penonton mengharuskan seni pertunjukan ini mendekonstruksi dirinya menjadi seni pentas dalam sajian estetik global-kolosal. Adi Merdangga yang muncul tahun 1984 dan hingga kini menjadi ujung tombak pawai PKB adalah kreativitas seni yang merupakan dekonstruksi dari seni tradisi gamelan Balaganjur. Seni tradisi wayang kulit pun tak luput dari adanya semangat dekonstrukstif seperti munculnya garapan wayang inovasi di ISI Denpasar yang kini tampak berhasil ditata apik-komunikatif oleh salah satu alumnusnya, I Wayan Nardayana yang populer dengan sebutan dalang Cenkblonk (baca: cengblong).
IV. Kreatif-Kritis
Seni tradisi adalah gudang penyimpanan makna-makna kebudayaan masyarakat pendukungnya, memiliki kontribusi penting membangun karakter bangsa di tengah era globalisasi. Secara bentuk dan isi, seni tradisi merupakan media komunikasi spesifik yang mengandung nilai-nilai estetik dan moral yang merefleksikan kebeningan nurani dan pencerahan budhi, dua pondasi utama dari kualitas konstruksi karakter bangsa. Untuk tampil sebagai budaya tanding globalisasi, seni tradisi sudah seharusnya mencari posisi strategis atau reposisi kultural yang merepresentasikan dirinya sebagai modal budaya jati diri bangsa. Aktualisasi seni tradisi dalam konteks membangun karakter bangsa dalam pengejawantahan jati diri bangsa di tengah transformasi budaya dan hegemoni budaya massa itu memerlukan idealisme berkesenian yang konstrukstif-prospektif. Ekspresi artistik dalam seni tradisi harus direkonstruksi secara kreatif. Nilai-nilai estetik yang mengendap pada seni tradisi tak ditabukan didekonstruksi secara kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Bastomi, Suwaji, 1992. Wawasan Seni. IKIP Semarang Press, Semarang.
Dibia, I Wayan, 1999. Seni Diantara Tradisi dan Modernisasi, STSI Denpasar,
Denpasar,
Lubis, Mochtar. 1992. Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Murgiyanto, Sal, 2004. Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia,
Wedatama Widya Sastra, Jakarta.
Piliang Yasraf Amir, 2000. Global/Lokal: Memperhitungkan Masa Depan (dalam Jurnal
MSPI Th X 2000), Bandung.
———————–, 2005. Penguatan Seni Pertunjukan Tradisi dalam Era
Merkantilisme Budaya (dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pedekatan
Emik), STSI Surakarta, Surakarta.
Wolff, Janet (dalam Joost Smiers), 2009. Art Under Pressure: Memperjuangkan
Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi (terj. Umi Haryati), INSISPress,
Yogyakarta.
*Paper ini disajikan pada dies natalis ISI Denpasar tahun 2011, Senin, 25 Juli 2011.