
Struktur Estetika Pertunjukan Wayang Calonarang
Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan
Nilai estetis yang dimaksud dalam hal ini adalah mengandung norma-norma yang dapat digunakan untuk mengatur pertunjukan Wayang kulit, sehingga dapat dipahami sebagai sesuatu yang berharga. Makna estetis adalah karakter, sikap, pola-pola prilaku wayang yang dapat dijadikan pedoman-pedoman didalam bertingkah laku yang dikemas secara estetik. Seni dikatakan sebagai persembahan untuk kegiatan ritual artinya seni mempunyai makna menghubungkan antara buana alit dengan buana agung. Nilai estetis dalam suatu sajian seni pertunjukan Wayang Kulit Bali dapat ditelusuri melalui penampilan pisik atau penataan panggung pertunjukan wayang, pengungkapan bahasa, sikap, struktur ceritera dan keseluruhan isi yang terkandung di dalamnya. Keindahan yang bersifat indrawi adalah keindahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan indera manusia baik indera pengelihatan maupun indera pendengaran, sedangkan keindahan yang bersifat rohani adalah keindahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan bathin manusia.
Nilai keindahan atau nilai estetis yang dapat dinikmati indera pengelihatan pada pertunjukan Wayang Calonarang, terletak pada penampilan pisik yang terdiri dari; wayang, gerak wayang, kelir, blencong. Elemen-elemen tersebut disajikan dalam bentuk satu-kesatuan yang dinikmati dari segi keindahan melalui tampilannya, seperti: simping atau penataan wayang pada kelir yang disusun sangat rapi di pinggir kanan dan kiri oleh katengkong; gerak wayang akan kelihatan dari karakter tokoh wayang antara keras dan lembutnya tokoh wayang yang dimainkan oleh dalang, yang akan membangkitkan kesan indah (pangus); kelir akan kelihatan indah apabila sepenuhnya dapat disinari oleh lampu (blencong), blencong kelihatan indah apabila sesuai dengan fungsinya pada setiap adegan, antara terang dengan redupnya cahaya yang diperlukan untuk mendukung suasana, karena pencahayaan sangat mendukung jalannya pertunjukan wayang kulit. Keindahan yang dapat dinikmati dengan indera pendengaran adalah: suara gamelan yang ditata sedemikian rupa, agar dapat merubah suasana pada pertunjukan wayang, seperti gamelan pada penyacah, pada angkat-angkatan, tetangisan, begitu pula pada klimak (siat). Penataan instrumen gamelan akan dapat memberikan kesan indah kepada penonton.
Djelantik, dalam bukunya yang berjudul Falsafah Keindahan dan Kesenian menjelaskan, bahwa unsure-unsur estetika meliputi wujud, bobot, dan penampilan. Wujud melipiti yang kasat mata (bias dilihat dengan mata) dan yang tidak kasat mata (bisa didengar oleh telinga dan bisa diteliti dengan analisa). Bobot mempunyai tiga (3) aspek yaitu suasana (mood); gagasan (ideal); ibarat atau pesan (message). Dalam penampilan kesenian ada tiga unsur yang berperan yaitu bakat (talent), ketrampilan (skill); sarana (media).
Penampilan merupakan keindahan yang bersifat indrawi dimana keindahan mampu memberikan kesenangan pada mata dalam melihat dan telinga dalam mendengar. Pada keindahan yang bersifat indrawi yang dilihat adalah penampilan pisik, hal ini dapat dilihat pada salah satu penampilan yang ada, misalnya pada tabuh iringannya terbuat bahan pilihan, berukir dan dicat prada sehingga sangat indah dipandang mata. Dari segi rasa estetik tabuh iringan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung dimainkan oleh penabuh yang mempunyai ketrampilan/skill dibidangny masing-masing, sehingga tabuh yang dihasilkan bagus. Dari pakaian (costume) penabuh yang dilihat dari bentuk dan warnanya sangat harmonis. Dari penjelasan di atas dapat dipastikan pada pertunjukan Wayang Calonarang Kautus Rarung terdapat nilai estetis yang mampu memberikan kepuasan secara indrawi.
Pengertian wujud mengacu pada kenyataan yang tampak secara kongkrit (dapat dipersepsi dengan mata dan teling) maupun kenyataan yang tidak nampak secara kongkrit, yang abstrak, yang hanya bisa dibayangkan, seperti sesuatu yang bisa dibayangkan dalam buku. Berdasarkan uraian di atas pertujukan Wayang Calinarang lakon Kautus Rarung diwujudkan ke dalam pertunjukan wayang tradisi, dimana dalam pertunjukan tersebut ditemukan wujud-wujud yang kongkrit/nyata. Yang dimaksud dengan bentuk (form) adalah totalitas dari karya seni. Ada dua macam bentuk : pertama visual form, yaitu bentuk pisik dari sebuah karya seni atau satu-kesatuan dari unsur-unsur pendukung karya seni tersebut; kedua special form, yaitu bentuk yang tercipta karena adanya hubungan timbal balik yang dipancarkan oleh fenomena bentuk pisiknya terhadap tanggapan emosionalnya.
Bentuk visual dari pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung persembahan Ida Bagus Sudiksa merupakan garapan pakeliran tradisi, dengan alasan karena melihat aparatus pertunjukan yang digunakan masih berkonsep tradisi, mulai dari kelir yang digunakan, tata cahaya (lighting), tabuh iringan tergolong musik tradisi meski pada tabuh iringannya ada sentuhan inovasi, ukuran wayang, struktur garapan, tata panggung, retorika dan sebagainya.
Penataan panggung pada wayang tradisi dan inovatif tidak jauh berbeda, ini disesuaikan dengan tempat digelarnya pertunjukan. Dalam wujud secara kongkrit akan banyak ditemukan keindahan yng memiliki nilai estetis yang bersifat indrawi. Sedangkan wujud yang tidak nampak atau abstrak dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung terdapat pada antawecana (retorika), ide, makna, tema dan dialog pada pertunjukan tersebut. Untuk mengetahui pesan yang abstrak tersebut hanya bisa dibayangkan melalui pemikiran, menonton, mendengarkan dan merasakan dari pertunjukan tersebut yang disusun secara satu-kesatuan. Pada wujud abstrak pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung terdapat banyak nilai estetis yang bersifat rohani. Dapat kita lihat pada lakon pertunjukan yang begitu menyentuh perasaan, ketika Diah Ratna Menggali diutus oleh ibunya (Walu Nata) untuk menemui ayahnya (Prabu Erlangga) di Kerajaan Kediri, akan tetapi tidak diijinkan oleh Patih Madri bertemu dengan raja, dan teganya Patih Madri menyiksa Diah Ratna Menggali hingga babak belur diajar habis-habisan. Diah Ratna Menggalipun kembali pada ibunya, karena merasa sakit hati kemudian bersama-sama pergi ke Pemuwunan Setra untuk memohon waranugraha Hyang Nini Bagawati. Setelah mendapat anugrah, kemudian Walu Nata dan Diah Ratna Menggali menebar wabah yang melanda Kerajaan Kediri. Akhirnya sadar Prabu Erlangga bahwa itu perbuatan mantan istrinya (Diah Padma Yoni). Saat itu Prabu Erlangga mengutus Mpu Beradah untuk menghentikan perbuatan Walu Nata, Walu Nata pun tak bisa berkutik disaat dihadapi oleh Mpu Beradah, yang menyadarkan dirinya insyap dan bertobat akan berbuat kebajikan, itulah Calon Arang, Calon artinya gelap dan Arang artinya terang, setelah Diah Padma Yoni sadar dengan kekurangannya, kemudian diberikan pengeruwatan oleh Mpu Beradah dan siraman rohani, yang menyebabkan Diah Padma Yoni menemukan jalan terang menuju nirwana. Ajaran Pengiwa dan Penengen adalah tujuannya satu yaitu kedyatmikan, seperti halnya piramid yang pada akhirnya akan bertemu di satu titik yakni Aji Kalepasan. Nilai estetis yang bersifat rohani terletak pada garapan lakon yang meliputi: narasi dalang, gerak wayang (tetikesan), bahasa bertembang, karakterisasi, dialog wayang dan vokal dalang.
Bobot yang dimaksud dalam karya seni adalah isi atau makna dari apa yang disajikan pada sang pengamat. Untuk mengetahui bobot pertunjukan tersebut penulis mengamati melalui tiga hal yaitu : suasana, gagasan atau ide, dan ibarat atau anjuran. Mengamati pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung, salah satunya adalah tabuh pengiring, suasana yang bangun dalam tabuh, baik pategak maupun pamungkah adalah tidak kasat mata. Suara gambelan tidak dapat dilihat dengan mata akan tetapi bisa didengarkan (dirasakan indahnya) bisa diteliti dengan analisa, dibahas kompenen-kompenen penyusunannya dan dari segi struktur atau susunan. Pesan yang disampaikan adalah penonton diajak agar datang menonton pertunjukan wayang yang akan segera digelar. Jadi sangat jelas dalam petunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung bagaimana suasana yang dibangun, gagasan maupun pesan yang disampaikan kepada penonton.
Struktur Estetika Pertunjukan Wayang Calonarang, Selengkapnya

GUNDAH
Penata
Nama : I Gede Agus Prasastika Putra
NIM : 2007.02.020
Program Studi : Seni Karawitan
Sinopsis :
Kekacuan……Bencana menghantam……Kesadisan dan kebengisan kaliyuga menyiksa alam raya dan makhluk penghuni Bumi memperparah keharmonisan alam raya, dengan ikut terseret gelapnya zaman kaliyuga. Gundah ……………………………, gundah menyikapi kenestapaan pertiwi yang kian merintih.
Melalui dayuan rebab, penata mencoba memeberikan cerminan dalam bahasa musical tentang disharmoni yang telah terjadi era ini. Tema gundah penata bahasakan lewat nada-nada mendayu rebab hasil gesekan penuh inspirasi. Inspirasi menata bait demi bait nada menjadi melodi yang syahdu membentuk sebuah garapan utuh dan memiliki jiwa yang sesuai tema Gundah, Gundah untuk menata pertiwi yang santhi dan jagadhita.

BKS PTSI Siap Gelar FKI VII & Symposium Seni
BKS PTSI (Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia) yaitu IKJ (Institut Kesenian Jakarta), STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung, ISI (Institut Seni Indonesia) Padangpanjang, ISI Yogjakarta, ISI Surakarta, STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya, serta ISI Denpasar baru-baru ini menggelar rapat bertempat di Ruang Sidang Kampus ISI Denpasar, dengan agenda pembahasan FKI (Festival Kesenian Indonesia) VII, Symposium Seni, serta isu-isu strategis di bidang pendidikan seni di Indonesia.
Rapat yang dihadiri oleh Rektor/Ketua BKS PTSI, Forum Guru Besar dan Empu Seni, serta para Dekan, Pembantu Dekan, serta Humas ISI Denpasar ini diawali dengan sambutan Ketua BKS PTSI, Prof. Dr. I Wayan Rai S.,M.A, yang dilanjutkan dengan laporan Rektor ISI Surakarta, Prof T.Slamet Suparno mengenai persiapan FKI VII yang mengambil tema “Voice of the Archipelago”. FKI VII akan diselenggarakan pada bulan Oktober 2011. “FKI yang salah satu tujuannya untuk menumbuhkembangkan apresiasi masyarakat terhadap karya seni serta merangsang kesadaran baru pada pentingnya pendidikan seni dalam upaya menumbuhkan olah rasa dan competitive pride ini telah memasuki persiapan maksimal,”papar Prof Slamet.
FKI VII akan dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional dengan kegiatan meliputi Pertunjukan, Pameran, Festival, Seminar Mahasiswa,Seminar Internasional tentang Vocal, Seminar Internasional tentang Film, Workshop, Pemutaran Film Komunitas,Ngobrol bareng animator, kartunis, dan komikus,serta kegiatan lainnya.
Symposium Seni akan diselenggarakan pada bulan November usai pelaksanaan FKI VII, sebagai bagian dari kesadaran akan pentingnya pendidikan seni dalam upaya menumbuhkan olah rasa dan competitive pride..”Dalam rapat ini juga dibahas tentang pentingnya pendidikan karakter dalam dunia penddikan,dengan nilai-nilai utama: kejujuran, kerja keras, penghargaan,empati terhadap pluralitas, yang didasarkan pada seni dan budaya dalam membangun karakter bangsa,guna melihat wajah pendidikan seni Indonesia secara lebih khusus dan holistic,”papar Prof .Rai ditemui seusai rapat.
Pendidikan karakter bukan lagi hanya berorientasi pada IPTEK (ilmu Pengetahuan dan teknologi) semata,tapi IPTEKS, yakni dengan peranan seni dan budaya yang akan membangun identitas dan karakter bangsa. Nah, saatnya para pelaku pendidikan menggeliatkan seni dan budaya kita sebagai bagian dari pendidikan karakter.

Pertemuan Rektor ISI Denpasar dengan Kanda University
Upaya ISI Denpasar untuk go international memang merupakan sebuah visi misi yang selalu diemban hingga saat ini, salah satu wujud nyatanya adalah terlaksananya MoU dengan Kanda University of International Studies. Untuk yang kesekian kali, kembali direalisasikannya pertukaran pelajar dimana salah seorang pelajar dari Kanda University of International Studies Jepang dikirim untuk belajar selama satu semester di jurusan Karawitan ISI Denpasar. Mahasiswa tersebut adalaha Kato Akane yang merupakan mahasiswa jurusan bahasa Indonesia di kampus tersebut.
Rabu, (24/8) yang lalu, Rektor ISI Denpasar menerima Prof. Minagawa dan Kato Akane di ruang kerjanya. Ditemui seusai tes wawancara calon mahasiswa peserta program pascasarjana ISI Denpasar Prof Rai mengatakan sangat bahagia atas kehadiran perwakilan Kanda University yaitu Prof Minagawa yang membawa serta salah satu mahasiswa untuk belajar di ISI Denpasar, semoga kedepannya ISI Denpasar yang akan mengirimkan mahasiswanya untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Kanda University”.
Dalam kesempatan yang sama Prof Minagawa yang sangat pandai berbahasa Indonesia juga mengungkapkan kehadirannya di ISI Denpasar tidak hanya mengantar mahasiswanya saja namun juga memiliki tujuan untuk melakukan research atau penelitian mengenai Gong Kebyar, penelitian yang dilakukan tata laras gong kebyar ini dibiayai oleh pemerintah Jepang, dan prof Minagawa akan menulis dari segi ilmu budaya dan sosialnya. Saya berharap bisa mewawancarai Prof Rai sebagai salah satu tokoh composer gong kebyar di Bali” ujarnya. Prof Rai pun menyetujui rencana tersebut dan dalam waktu dekat ini prof Minagawa akan memulai penelitian tersebut.

Proses Pembuatan Bilah
Kiriman I Putu Arya Sumarsika, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Dalam pembuatan seprangkat gamelan adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan ketrampilan yang khusus dan dimiliki oleh seorang pande gamelan, dan dalam prosesnya mempergunakan cara-cara dan alat-alat yang bersifat tradisional dan modern. Dalam pekerjaan ini teknologi modern tersebut hanya mampu mempengeruhi sebagian kecil dari pekerjaan membuat gamelan di Banjar Babakan Desa Blahbatuh.
Peleburan Tahap ke-2
Peleburan dalam hal ini adalah peleburan tahap ke-dua yang sebelumnya pada peleburan tahap pertama pande gamelan melebur timah dan tembaga yang setelah matang disebut dengan “krawang lakar masak”. Setelah krawang matang mulailah tahap penakaran yang didapat dari memecahkan krawang yang dilebur pada tahap pertama dan timbang sesuai dengan kebutuhan instrumen yang akan diproses. Dalam proses penakaran ini sangat mempengaruhi kualitas suara nantinya setelah selesai proses keseluruhan usai. Laklakan adalah sebuah lempengan-lempengan krawang/perunggu yang sudah melalui tahap pencetakan. Lempengan bakal bilah yang belum pernah ditempa, semua itu disebut laklakan.
Dalam proses pencetakan bakalan laklakan gamelan ini, pada intinya sama seperti proses pembuatan krawang di atas. Tetapi pada proses pembuatan laklak sudah menentukan takaran bilah yang akan dibuat.
Pada proses pembuatan gamelan bilah Semar Pegulingan Saih Pitu di perapen milik I Wayan Pager di Banjar Babakan, Blahbatuh tidak hanya mengandalkan bahan baku yang tergolong baru. Beliau mengatakan bahwa bahan pembuatan gamelan disini juga mempergunakan bahan bekas gamelan yang sudah rusak, dan barang bekas seperti kabel yang sudah tidak terpakai lagi dapat dibeli tengkulak-tengkulak.
Hal ini dilakukan karena permintaan dari pemesan gamelan dan dapat menekan biaya produksi. Pengaruh terhadap kualitas suara yang dihasilkan sangat berbeda dengan mengunakan bahan tembaga dan timah murni. Dalam memproses bekas gamelan yang akan dijadikan barungan gamelan baru mengalami proses yang agak lama. Ini dikarenakan gamelan bekas yang diproses memiliki kotoran dan membutuhkan proses peleburan agak lama, dan membutuhkan tambahan campuran untuk membuat instrumen apapun yang akan dibuat. Ini dikarenakan instrumen yang akan dibuat memerlukan cadangan tembaga atau tambahan bahan kurang lebih 1 ons untuk cadangan.
Membuat laklakan bilah di tempat ini masih menggunakan krawang yang sudah berupa lempengan pecahan gamelan yang sudah diancurkan dengan palu besi, yang sebelumnya melalui proses ngalub terlebih dahulu. Ngalub adalah proses memanaskan krawang tanpa membuat krawang berubah warna menjadi merah melainkan membuat krawang menjadi setengah matang. Ngalub berfungsi membuat pecahan gamelan menjadi renyah, sehingga mudah diancurkan. Setelah krawang dihancurkan langkah selanjutnya pande mempersiapkan api untuk memanaskan musa.
- Peleburan diawali dengan mempersiapkan alat-alat yang dipakai dalam proses peleburan, memerlukan “tungku perapian” yang biasanya akan rusak setelah dipakai. Hal yang harus dipersiapkan : landesan dua buah, sebuah palu besi dengan berat 1,5kg, 2 buah sepit besar, sebuah blower atau pompa angin modern, sepotong kayu sebagai landesan untuk menghancurkan krawang dari lempengan krawang yang sudah mengalami peleburan, 12 penyangkan, 15 buah musa yang isinya 2,5-3,5 kg, arang dan minyak kelapa atau minyak goreng.
- Dalam pengerjaan pembentukan laklakan ini 15 buah musa yang dipergunakan bergiliran dalam tungku perapian atau perapen mengingat tungku perapian tidak terlalu besar untuk menampung semua bahan bilah sekaligus.Tahap penakaran pada instrumen bilah memiliki berat yang sama mulai dari bilah yang paling kecil sampai yang paling besar. Sesuai dengan pemaparan penulis pada tabel. 1 (satu).
- Setelah takaran sudah tepat dan selesai dilakukan selanjutnya krawang dimasukkan ke dalam masing-masing musa yang sudah disiapkan. Satu (1) takaran dipanaskan dalam 1 musa, kecuali takaran untuk jegogan, menggunakan 2 musa dan kemudian dipanaskan dengan arang kayu kopi selama kurang lebih 90 menit sambil diaduk mempergunakan sepit untuk mengetahui apakah krawang yang dibakar sudah cair atau masih keras.
- Sambil menunggu krawang mencair atau matang, disiapkan penyangkan. Dalam proses pembuatan laklakan bilah penyangkan sangat mutlak digunakan ini dikarenakan, nantinya akan mempermudah pengerjaan membentuk bilah. Pada penyangkan yang digunakan untuk laklakan sebelum dipakai terlebih dahulu diisi dengan minyak kelapa atau minyak apa saja asalkan minyak goreng ini dimaksudkan agar pada proses penuangan lakar laklakan yang berupa cairan laklakan nantinya berjalan dengan lancar.