by admin | Oct 5, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Pengakuan dan penghargaan Pemda Bali kepada seseorang atau kelompok orang yang telah berkarya dan mengabdikan hidupnya untuk dunia seni ditandai dengan penganugrahan piagam yang bernama Dharma Kusuma. Apresiasi pemerintah terhadap dedikasi para seniman ini, Minggu (14/8) lalu, misalnya, ditunjukkan oleh Gubernur Bali I Made Mangku Pastika serangkaian dengan HUT Pemda Bali ke-53. Di antara 18 piagam yang diserahkan gubernur Bali itu, terdapat sebuah penghargaan untuk seniman pedalangan. Piagam untuk seniman pengabdi wayang kulit ini terasa mengetuk rasa haru, mengingat semakin tergerusnya wibawa teater boneka pipih dua dimensi ini di tengah masyarakat Bali masa kini.
Dulu, wayang kulit adalah pertunjukan favorit masyarakat. Masing-masing daerah di Bali mengembangkan kekhasan bentuk dan gaya pementasannya. Kendatipun berangkat dari sumber cerita yang sama, Ramayana dan Mahabharata, ornamentasi fisik wayang kulit Bali bervariasi, seperti berukir rumit halus di Bali Selatan dan sebaliknya agak polos di Bali Utara. Namun bagaimana pun bentuk estetik fisik wayangnya dan gaya artistik pementasannya, yang pasti, di masa lalu, pementasan wayang kulit begitu mempesona penonton. Penyajiannya dicermati penonton mulai dari kotak wayang dibuka oleh dalang hingga wayang kayonan ditancapkan pertanda pertunjukan usai. Cerita yang dikisahkan merasuk ke relung hati.
Tetapi kini, kelaziman penyebutan nama desa asal domisili para dalang terkenal tidak terdengar lagi. Sebutan Dalang Sukawati (Gianyar), Dalang Bongkasa (Badung), atau Dalang Tunjuk (Tabanan) misalnya, sudah tak bergaung lagi. Kendati di kantong-kantong seni pedalangan Bali itu wayang kulit masih dirawat, namun sebagai seni tontonan yang sarat tuntunan, seni pertujukan bayang-bayang ini telah terdepak ke pinggir. Amat menyedihkan, belakangan, sebuah pertunjukan wayang hanya ditunggui segelintir orang. Masyarakat kekinian tak sempat lagi mengunyah-ngunyah lezatnya cerita atau saripati kehidupan yang dituturkan sajian wayang. Fenomena surutnya pementasan wayang terjerembab hampir di seluruh Bali.
Namun, walaupun mendung pesimisme membayang-bayangi kelir (layar) wayang, sebagian seniman pedalangan Bali masih bersiteguh menggeluti keseniannya. I Wayan Nartha, 69 tahun, di Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar, adalah salah satu dalang desa setempat menunjukkan totalitas hidupnya untuk teater wayang kulit. Karenanya, sangat pantas bila Dalang Wayan Nartha menjadi salah satu penerima piagam Dharma Kusuma tahun 2011 tersebut. Selain pantas, penghargaan ini sangat bermakna menyemangati para seniman pedalangan dan sekaligus menggedor masyarakat untuk kembali mengapresiasi wayang. Lebih-lebih bila mengingat arti penting kesenian ini sebagai seni pertunjukan adiluhung yang telah diakui Unesco, PBB, sebagai warisan budaya dunia.
Wayan Nartha adalah kakak kandung Dalang “Jengki” I Ketut Madra (almarhum). Sejak Madra meninggal pada tahun 1979, Nartha meneruskan profesi keluarganya sebagai pelaku seni pertunjukan wayang, menjadi dalang. Ketika pertunjukan wayang kulit masih mengundang antusiasisme penonton, tahun 1980-an, Dalang Nartha sering diundang pentas di tengah masyarakat Bali, baik ngewayang untuk tontonan maupun tampil dalam konteks ngayah ngewayang saat ritual keagamaan. Sebagai wujud pengabdiannya pada jagat wayang, Dalang Nartha membuat sendiri wayang yang dimainkannya. Di rumahnya, dalang yang sempat melawat ke Jerman, Jepang, dan Australia ini, kesehariannya banyak diisi dengan mengukir atau mengecat wayang buatannya.
Keteladanan Dalang Nartha yang juga patut diapresiasi dan dikagumi di tengah surutnya pertunjukan wayang adalah ketulusannya berbagi ilmu, membina generasi penerus seni pedalangan. Tanggung jawabnya mewariskan seni pedalangan pada keturunannya telah mengalir secara alamiah. Salah satu anaknya (Ketut Sudiana) dan dua orang cucunya (Natya dan Gus Dian) telah menapaki jejaknya sebagai dalang. Selain pengkaderan di lingkungan keluarganya, Dalang Nartha juga dengan penuh kesungguhan membina siapa pun dan dari mana pun orang-orang yang datang kepadanya. Bahkan peminat teater wayang dari luar negeri pun dibinanya dengan serius. Maria Bodmann, seorang pemain teater dari Amerika Serikat, telah berhasil dicetaknya menjadi dalang yang kini sudah sering pentas di negerinya.
Kaderisasi seperti yang telah diayunkan oleh Dalang Nartha tersebut patut diberi perhatian dan sangat urgen dilakukan pada seni pedalangan Bali. Sebab, di tengah masyarakat Bali, dalam konteks sosial-religius, kesenian ini masih fungsional walaupun sebagai presentasdi estetik ia kini mungkin tereduksi oleh beragamnya pilihan tontonan modern, televisi utamanya. Juga, sebagai ekpresi artistik, teater total yang telah muncul pada abad ke-11 ini perlu diselamatkan, direvitalisasi, dan ditransmisikan pada generasi mendatang. Tapi masalahnya adalah seni mendalang yang memerlukan kemampuan multiseni ini langka peminat. Di lembaga pendidikan formal yang memiliki jurusan seni pedalangan selalu cekak murid atau mahasiswa.
Krisis yang kini mendera seni pedalangan sangat mengkhawatirkan. Diperlukan kesadaran semua pihak, termasuk pemerintah, untuk menanggulanginya. Penanggulangannya, rupanya, tidak cukup hanya berupa apresiasi simbolik selembar piagam saja melainkan suatu komitmen kongkret dengan perspektif sosial-kultural-religius. Wayang, nilai keindahan seni pada umumnya, berkontribusi penting membangun humanisme serta mental-spiritual manusia dan masyarakat bangsa ini.
Ketika Layar Wayang Dihalangi Layar Televisi selengkapnya
by dwigunawati | Oct 5, 2011 | Berita, Galeri
Penata
Nama : Ni Luh Sylvia Rostina Sudira
Nim : 200701005
Program Studi : Seni Tari
Sinopsis :
Menggambarkan keindahan Bunga Menori dengan pancaran putih kemilau, tumbuh di semesta ibu pertiwi, bagaikan keagungan Dewa Dewi, menjadi kembang penghias Puspalingga.
Penata Karawitan : I Gede Suweca, S.Sn
Pendukung Tari :
1. Ni Luh Gede Dita Rini Rahayu (Mahasiswi UNDIKNAS University)
2. Kadek Yuning Meila Kesari (Siswi SMPN 2 Kuta Selatan)
3. Putu Mustika Saraswati (Alumni Politeknik Negeri Bali Jimbaran)
4. Herlina Arisetyani (Siswi SMAN 1 Kuta Selatan)
Pendukung Karawitan : Sanggar Nara Iswara


by admin | Oct 5, 2011 | Berita
Setelah menggebrak San Fransisco beberapa waktu yang lalu, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar kembali mengibarkan seni budaya Bali di Perth. Rombongan kampus seni ini berada di Australia sejak tanggal 25 hingga 30 September yang lalu, dengan mengadakan kunjungan ke UWA (University of Western Australia), Perth Australia sebagai salah satu wujud pelaksanaan MoU antara kedua kampus ini yang telah ditandatangani sejak Pebruari yang lalu.
Seperti diberitakan sebelumnya, 22 mahasiswa UWA belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar pada Juni yang lalu, mengenal lebih jauh tentang kebudayaan Bali, serta mengamati kegiatan religious masyarakat Bali. Rombongan ISI Denpasar yang berjumlah 25 orang dan terdiri dari dosen dan mahasiswa, diterima secara resmi pada Music Department UWA oleh Vice Chancelor, Dean, Director of Music, dan juga dihadiri oleh Konsul Jendral Republik Indonesia Perth, dan Vice Consul. Dalam pembicaraan tersebut, kerjasama di bidang seni pertunjukan menjadi agenda utama untuk peningkatan kerjasama tersebut ke depannya.
Rektor ISI Denpasar yang juga turut serta dalam rombongan tersebut mempresentasikan tentang kampus ISI Denpasar, yang mendapat sambutan dan respon yang sangat positif. Dalam lawatannya ke Negeri Kangguru ini, ISI Denpasar juga menggelar workshop dengan UWA serta pentas seni dari Fakultas Seni Pertunjukan.Rektor ISI bersama Dean Of ALVA, Konjen Indonesia di Perth juga membuka pameran BAR ( Bendi, Arba , RINU) dari FSRD.
“Salah satu hal penting dari pembicaraan dalam kunjungan ini adalah UWA semakin percaya akan kualiatas ISI Denpasar setelah para mahasiswa ALVA yang belajar Juni lalu memberi laporan positif tentang kualitas ISI Denpasar. UWA sudah mulai mengumumkan lewat banner untuk mahasiswa yang berminat belajar di ISI Denpasar pada 2012 nanti,”papar Rektor ISI Denpasar,Prof. Dr.I Wayan Rai S.,M.A.
Konjen dalam sambutannya juga mengatakan terima kasih atas usaha yang telah dilakukan oleh ISI Denpasar yang telah mengangkat citra Indonesia lewat implementasi nyata MoU yang ditandatangani 26 Pebruari 2011.
by admin | Oct 4, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Sidik Aryawan, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar
1. Deskripsi Garapan
Abimanyu Wigna merupakan tari kreasi baru yang ditarikan oleh 5 orang penari putra, bertemakan kepahlawanan, yang ceritanya diangkat dari Epos Mahabharata.
Garapan ini pada prinsipnya tetap berpola pada tradisi, akan tetapi telah dikembangkan atau diinovasikan baik dari segi perbendaharaan gerak dengan memadukan esensi gerak tari Baris, Jauk, Topeng dan Pegambuhan, maupun pola lantai, kostum dan properti yang digunakan.
Garapan ini ditata sedemikian rupa agar kelihatan indah dan dinamis, sehingga mudah dimengerti oleh penikmatnya. Durasi waktu garapan ± 12 menit dengan diiringi seperangkat gamelan Gong Kebyar.
2. Analisis Pola Struktur
Struktur atau susunan suatu karya seni menyangkut keseluruhan karya seni tersebut, meliputi peranan masing-masing bagian dari dalam keseluruhan. Sehingga terdapat hubungan antara bagian-bagian dalam suatu karya seni (Djelantik, 1999 : 41). Garapan ini memiliki struktur yakni :
Pengawit :
Kelima penari on stage. Pada pengawit ini menggambarkan Abimanyu yang tampan dan gagah berani serta memiliki semangat jiwa muda yang bergelora. Suasana : tenang.
Pepeson :
Menggambarkan tokoh Abimanyu yang gagah berani. Suasana : gembira.
Pengawak :
Pada bagian ini mengisahkan kesiapan ataupun keberanian Abimanyu untuk masuk ke dalam Cakrawyuha yang dibuat oleh pasukan Korawa untuk melindungi Pandawa. Suasana : tegang.
Pengecet :
Pada bagian ini mengisahkan Abimanyu yang sedang latihan berperang.
Pesiat :
Pada bagian ini mengisahkan malapetaka yang menimpa Abimanyu yakni Abimanyu terbunuh akibat dari kelicikan dan kecurangan yang dilakukan oleh guru besar pihak Korawa. Suasana : tegang lalu berubah menjadi sedih.
3. Analisis Estetika
Dalam penggarapan sebuah tari, seorang seniman selalu memperhatikan nilai keindahan dalam garapannya. Pada umumnya apa yang kita sebut “indah” dapat menimbulkan rasa senang, rasa puas, rasa aman, nyaman, dan bahagia, dan bila perasaan itu sangat kuat, kita merasa terpaku, terharu, terpesona, serta menimbulkan keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu walaupun sudah dinikmati berkali-kali. Hal ini dilakukan agar penonton, yang menyaksikan pertunjukan tersebut mampu menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat di dalamnya. Menurut A.A.M Djelantik dalam bukunya yang berjudul Estetika Sebuah Pengantar, dinyatakan bahwa dalam setiap peristiwa kesenian dalam hal ini ialah garapan tari terdapat 3 (tiga) aspek yang mendasari keindahan, yakni wujud atau rupa, bobot atau isi, dan penampilan atau penyajian.
Wujud atau Rupa
Wujud garapan tari Abimanyu Wigna terdiri dari bentuk dan struktur garapan. Garapan ini berbentuk tari kreasi yang ditarikan berkelompok. Struktur garapan ini memiliki unsur estetis yang berperan penting, yaitu keutuhan (unity), penonjolan (dominance), dan keseimbangan (balance). Keutuhan dari garapan Abimanyu Wigna dapat dilihat dari struktur garapan yang terdiri dari lima bagian, dan masing-masing bagian mempunyai hubungan yang relevan. Bagian pepeson menggambarkan tokoh Abimanyu yang gagah berani. Bagian pengawak mengisahkan kesiapan ataupun keberanian Abimanyu untuk masuk ke dalam Cakrawyuha yang dibuat oleh pasukan Korawa. Bagian pengecet mengisahkan Abimanyu yang sedang latihan berperang. Kemudian dilanjutkan pada bagian pesiat mengisahkan malapetaka yang menimpa Abimanyu yakni Abimanyu terbunuh akibat dari kelicikan dan kecurangan yang dilakukan oleh guru besar pihak Korawa.
Bobot
Unsur yang sangat penting dalam menilai bobot kesenian dapat dilihat dari cara penyampaiannya atau “komunikasi”, karena maksud atau makna dari suatu karya seni itu tidak akan sampai pada si penikmat bila komunikasinya kurang. Isi dari suatu garapan tari bukan hanya apa yang semata-mata dilihat di dalamnya, akan tetapi meliputi apa yang dirasakan dan apa yang dihayati dari isi itu. Aspek utama dari bobot yakni suasana, gagasan dan pesan.
Suasana yang ditampilkan dalam garapan ini terdapat di setiap bagian dari struktur garapan. Pada saat Abimanyu memasuki lingkaran Cakrawyuha ditekankan suasana tegang. Suasana gembira dan agung pada bagian pepeson yakni pada saat menggambarkan keagungan Abimanyu. Suasana panik dan tegang ditekankan pada saat kepanikan Yudhistira akan Cakrawyuha yang dibuat oleh pasukan korawa dan pada saat Abimanyu menyatakan siap untuk turun ke medan perang. Suasana tegang ditekankan pada saat perang yakni pada saat Abimanyu dicurangi oleh petinggi Korawa yang dipertegas dengan tata cahaya.
Ide atau gagasan garapan ini bersumber dari epos Mahabharata dengan tema kepahlawanan yang menenkankan sifat berani dan rela berkorban yang dimiliki oleh Abimanyu. Adapun pesan yang ingin disampaikan oleh penggarap dalam garapan tari kreasi baru Abimanyu Wigna ini adalah agar kita sebagai generasi muda memiliki sifat yang berbakti kepada orang tua serta sikap rela berkorban demi bangsa dan negara.
Penampilan
Penampilan yang dimaksud di sini adalah penyajian. Bagaimana karya seni itu disajikan kepada sang pengamat, penonton atau khalayak lainnya. Di dalam penampilan ada 3 (tiga) unsur yang berperan, yakni bakat, ketrampilan dan sarana. Bakat dan ketrampilan merupakan hal yang terpenting dalam suksesnya suatu garapan dengan tema pola kelompok, bakat dan ketrampilan penari harus setara. Untuk itu harus dilakukan seleksi dan latihan secara berulang-ulang untuk mencapai hasil yang maksimal. Mengenai sarana yang digunakan adalah lighting, layar, dan properti berupa pedang dan panah. Secara utuh garapan ini akan dilaksanakan pada ujian akhir yang bertempat di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar pada tanggal 25 Mei 2011.
4. Analisis Simbol
Supaya penonton lebih mudah memahami maksud atau pesan yang akan diungkapkan dalam garapan ini, maka akan disampaikan beberapa simbol-simbol, seperti gerak, kostum, tata rias dan pola lantai.
Gerak
Garapan Abimanyu Wigna menggunakan beberapa gerak yang memiliki makna tertentu yang dapat dijadikan simbol gerak. Untuk menunjukan keenerjikan serta keberanian Abimanyu ditandai dengan gerak-gerak yang tegas dan bergetar didukung dengan irama musik yang banyak mengandung aksen. Teknik angkat (lifting) yang dilakukan seorang penari yang menyimbolkan keagungan Abimanyu. Selanjutnya gerakan yang berpindah-pindah menyimbolkan kelincahan dan keenerjikan Abimanyu.
Garapan Abimanyu Wigna selengkapnya
by admin | Oct 4, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Nyoman Lia Susanthi, Dosen PS Seni Pedalangan ISI Denpasar.
Keberadaan budaya sangat menentukan keberhasilan dalam berkomunikasi. Budaya merupakan cara hidup atau cara berperilaku yang didasarkan atas norma-norma dan nilai-nilai yang disepakati untuk mengatur kehidupan bersama dalam sebuah entitas kehidupan. Dunia tersebar dengan beragam budaya yang berbeda yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing negara. Setiap budaya memberi identitas kepada sekolompok orang tertentu sehingga jika kita ingin lebih mudah memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam masing-masing budaya tersebut paling tidak kita harus mampu untuk mengidentifikasi identitas dari masing-masing budaya tersebut. Identitas dapat dilihat dari elemen budaya yang tidak terhitung jumlahnya. Elemen budaya yang penting antara lain terlihat pada sejarah, agama, nilai, organisasi sosial dan bahasa.
Perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal dalam komunikasi. Sebagai salah satu jalan keluar untuk meminimalisir kesalahpahaman akibat perbedaan budaya adalah dengan memahami prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya yang lain. Oleh karena itu, perlu memahami budaya sebagai konstruksi teori komunikasi.
Dalam artikel ini penulis mencoba untuk menguraikan bagaimana perbedaan budaya antara Amerika dan Indonesia disikapi oleh Presiden Amerika Serikat, Barrack Hussein Obama bersama istri saat berkunjung ke Indonesia. Dalam menganalisisnya penulis menggunakan pendekatan pada salah satu teori komunikasi lintas budaya yaitu Communication Accomodation Theory (CAT). Teori ini menjelaskan proses bagaimana identitas dapat mempengaruhi perilaku komunikasi agar individu termotivasi untuk mengakomodasi (bergerak menuju atau menjauh dari orang lain) dengan menggunakan bahasa, perilaku nonverbal, dan parabahasa. Dalam hubungan transaksional antara komunikasi dan identitas menunjukkan bagaimana identitas mempengaruhi komunikasi, dengan tindakan konvergensi dan divergensi. Konvergensi menggambarkan proses dimana individu mengakomodasi dengan interaksi menjadi lebih dekat bahkan menyerupai pola individu lain. Sementara divergensi kebalikannya, yaitu individu menonjolkan perbedaan linguistik antara ingroup dan outgroup dengan individu lain dalam rangka mempertahankan identitasnya.
Dalam kunjungan yang berlangsung dua hari pada bulan November 2010 lalu, penulis hanya mengkaji kunjungan Presiden Obama dan istri ke masjid terbesar di Asia Tenggara yaitu Masjid Istiqlal Jakarta. Kunjungan Presiden Obama bersama istrinya ke masjid melahirkan berbagai spekulasi dan persepsi. Namun ada keunikan tersendiri dalam kunjungan yang berlangsung selama 25 menit di Masjid Istiqlal. Obama sebagai penguasa negara adidaya mampu beradaptasi lewat komunikasi verbal dan non verbal yang ditunjukkannya.
Komunikasi verbal digambarkan pada bahasa yang Obama gunakan selama kunjungan berlangsung. Memasuki Masjid Istiqlal, Obama dan istri disambut oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. dan Obama langsung mengucapkan salam dengan “Asalamualaikum” yang langsung dijawab oleh Imam Ali dengan “Waalaikum salam dan selamat datang di tanah air Anda yang kedua”. Walaupun hanya satu kata yang diucapkan Obama, namun membawa dampak yang luar biasa, karena makna ‘Assalaamualaikum’ ialah semoga Allah menyelamatkan dan memberikan kesejahteraan atas kamu. Salam dalam bentuk ucapan adalah ungkapan yang bersifat amalan digunakan untuk memperkenalkan diri atau menyapa orang lain.
Mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya, yaitu bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual dan sebagainya), namun juga melalui prilaku non verbalnya. Komunikasi non verbal memiliki muatan emosional yang lebih dibandingkan komunikasi verbal. Klasifikasi bahasa non verbal diantaranya bahasa tubuh, orientasi ruang dan jarak pribadi, diam, sentuhan, penampilan, konsep waktu dan yang lainnya. Dalam kunjungan singkatnya, Obama dan istri juga menunjukkan komunikasi non verbal yang lebih cenderung pada klasifikasi bahasa tubuh dan penampilan. Busana dapat menunjukkan nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan, yang semua sangat dipengaruhi oleh respon kita terhadap lingkungan. Dalam kunjungannya, istri Obama, Michelle mengkombinasikan busana yang dikenakan saat berkunjung ke masjid dengan pakaian jas formal berwarna hijau, dengan balutan kerudung. Subkultur atau komunitas menggunakan busana yang khas sebagai simbol keanggotaan mereka dalam kelompok. Di Indonesia orang menggunakan kerudung, jubah atau jilbab sebagai tanda keagamaan dan keyakinan mereka. Komunikasi non verbal yang ditunjukkan Micchelle melalui busana mencerminkan kepribadian dan citra yang dia miliki. Miishelle yang bukan muslim sangat terbuka terhadap agama lain dan menerima perbedaan untuk tujuan perdamaian. Komunikasi non verbal lainnya yang ditunjukkan Obama dan istri adalah dengan melepas alas kaki saat memasuki areal masjid. Adat ketimuran menunjukkan sopan dan santun saat memasuki tempat ibadah adalah dengan melepas alas kaki. Sebagai bentuk penghormatan dan menghargai sesama, Obama dan istri juga melakukan hal yang sama.
Dari gambaran tersebut terlihat jelas bahwa Presiden Obama beserta istri, saat melakukan kunjungan ke Indonesia khususnya ke Masjid Istiqlal, melakukan upaya konvergensi. Presiden Obama mengakomodasi dengan mendekati lawan bicara melalui penggunakan bahasa seperti menyampaikan salam “Asalamualaikum”. Konvergensi lainnya yaitu dengan menggunakan prilaku non verbal dari gaya berpakaian dan sikap non verbal yang bergerak mendekati daerah adaptasinya.
Kunjungan 25 Menit Obama dan Istri ke Masjid Istiqlal JakartaDalam Kajian Komunikasi Lintas Budaya selengkapnya
by admin | Oct 3, 2011 | Berita
Bertempat di gedung Natya Mandala Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Senin (3/10) President Suan Sunandha Rajabhat university Thailand,Assoc. Prof. dr. Chuangchote Bhuntuvech beserta 11 orang anggota lainnya mengadakan lawatan ke kampus ISI Denpasar dengan agenda utama penandatanganan Memorandum of Agreement (MoA) antara kedua Institusi Seni ini, yang diantaranya menyoal tentang pertukaran mahasiswa, pertukaran dosen, kolaborasi pementasan, serta kolaborasi penelitian akademis.
Rombongan diterima langsung oleh Rektor ISI Denpasar, para pembantu rector, Dekan kedua fakultas beserta jajarannya, pejabat structural, serta mahasiswa ISI denpasar. Sebelum acara penandatanganan, rombongan disambut dengan tari Selat Segara, serta tari Satya Brastha, yang sekaligus menuntun Presiden SSRU Thailand beserta Rektor ISI Denpasar menuju meja penandatanganan MoA.
Prof. Chuangchote mengatakan bahwa pihaknya sangat bangga dan kagum akan kampus ISI Denpasar yang telah terkenal di dunia, dan berharap MoA antara SSRU dan ISI Denpasar dapat diimplementasikan kedalam bentuk kegiatan yang dapat memajukan kedua kampus ini.”Sebagai wujud implementasi dari MoA,kami akan mengundang ISI Denpasar ke SSRU pada tangga;l 22-26 Desember mendatang untuk mengikuti acara Faculty Collaboration,”ujarnya tersenyum.
Selain menandatangani MoA, rombongan juga membuka pameran bersama antara ISI Denpasar dan SSRU Thailand dengan tajuk The Culture Bridge for Relationship and Peace yang diadakan di Gedung Kriya Asta Mandala, menyaksikan pertunjukan wayang, serta meninjau kegiatan belajar mengajar di kedua fakultas.
“Kami sangat bangga dengan penandatanganan MoA ini, yang menjadi bukti kecintaan dunia internasional pada ISI Denpasar. Terima kasih kepada seluruh dosen, pegawai serta mahasiswa ISI denpasar yang selalu bekerja keras untuk kesuksesan serta kemajuan kampus kita. MoA ini akan diimplementasikan dalam berbagai kegiatan akademis, dan telah kami laporkan kepada Mendiknas dan Dirjen Dikti,” pungkas Rektor ISI Denpasar, Prof. Rai.