Desain Interior Puri Gading Spa and Beauty Salon

Desain Interior Puri Gading Spa and Beauty Salon

Citra desain secara ideal bersifat kontekstual dalam arti ditentukan oleh ruang lingkup perancangan yang berkait dengan aspek pertimbangan desain (fungsi, struktur, dan estetika) dan aspek lingkungan. Begitu juga dengan perancangan Spa dan Salon kecantikan harus sesuai dengan fungsi dan unsur Estetika. Salon dan Spa adalah sebuah public service yang menyediakan kebutuhan penunjang, khususnya bagi para wanita. Adanya kelahiran sebuah salon dan spa dipengaruhi oleh adanya faktor gaya hidup dan trend mode yang berlaku pada masyarakat setiap tahunnya. Pada daerah pariwisata khususnya di Canggu Kuta utara Bali sangat cocok didirikan tempat relaksasi untuk masyarakat wisatawan mancanegara dan domistik karena daerah tersebut memiliki keindahan alam yang masih asri. Maka dari itu pada tugas akhir studio ini penulis mengambil kasus Desain Interior Puri Gading Spa and Beauty Salon. Pada Desain Spa dan Salon ini mengarah pada bagaimana merancang Salon dan Spa agar sesuai dengan lingkungan yang ada di Desa Canggu, dan tidak lepas dari kebudayaan Desa itu sendiri, dan memiliki gaya tarik bagi pengguna Spa dan Salon ini. Desain yang diterapkan pada kasus ini adalah desain yang memiliki konsep yang berkaitan dengan alam. Dalam merancang desain penulis melakukan survey lapangan dan mencari data-data yang berkaitan dengan studi kasus. Dari Desain Spa dan Salon ini, penulis mengambil Konsep Natural Terapi. Natural diterapkan pada desain ruang dan penggunaan bahan yang digunakan dalam desain interior ini.  Dan unsur Terapi diterapkan dengan pemilihan warna hangat dan teduh yang secara psikologis dapat menciptakan suasana ruang yang nyaman bagi kejiwaan personal pengguna ruang tersebut. Dari pembuatan konsep lanjut ke pembuatan gambar kerja dan gambar detail. Bertujuan untuk mengetahui dimensi-dimensi dan bahan yang diterapkan pada konsep tersebut, agar desain yang dibuat dapat di wujudkan di lapangan.

Kata kunci : Desain, Spa, Salon, Natural, dan Terapi.

  

“Si Jepang” yang Heboh dan “Si Bali” yang Emoh: Sebuah Kritik

“Si Jepang” yang Heboh dan “Si Bali” yang Emoh: Sebuah Kritik

Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn, Alumni ISI Denpasar

Saniscara Kliwon, wuku Wayang, 29 Oktober 2011 merupakan hari piodalan di Pura Padma Nareswari kampus ISI Denpasar. Kampus yang terkenal sebagai “Kawah Candradimuka”-nya calon-calon seniman akademis nan unggul di Bali ini pun menggelar berbagai jenis pertunjukan tari dan tabuh, baik sebagai sarana upacara atau wali, sebagai bebali atau penunjang pelaksanaan upacara dan sekedar untuk memeriahkan suasana atau balih-balihan. Pergelaran kesenian ini pun melibatkan para mahasiswa dan dosen serta tidak lupa dimeriahkan oleh para mahasiswa asing yang tergabung dalam program pertukaran pelajar Dharmasiswa.

            Dimulai dengan pementasan tari Rejang Dewa oleh mahasiswi semester satu yang baru bergabung dalam tahun ajaran baru di ISI Denpasar, antusiasme para pemedek mulai meningkat. Maklum, pemedek yang sebagian besar dosen dan pegawai serta mahasiswa ini ingin menyaksikan langsung bagaimana potensi mahasiswa baru yang menampilkan kebolehannya pada kesempatan tersebut. Sebagai catatan, merupakan sebuah kebiasaan di ISI Denpasar beberapa tahun ini untuk melibatkan mahasiswa baru sebagai penari wali dalam piodalan di kampus. Setelah pementasan tari Rejang Dewa tadi, dilanjutkan dengan pementasan tari Baris Gede, juga oleh anak-anak semester baru. Sejenak kemudian, pementasan dramatari topeng tak pernah absen menghiasi hingar binger suasana khusuk religius di kampus seni yang dulunya bernama ASTI serta STSI tersebut.

            Beberapa saat setelah piodalan selesai dilaksanakan, pada malam harinya dipentaskan beberapa jenis tarian untuk menghibur pemedek yang baru datang. Ada tari Selat Segara ciptaan I Gusti Ayu Srinatih, SST., M.Si, dilanjutkan dengan tari Legong Keraton Lasem oleh para mahasiswa dari Jepang serta tari Satya Brasta karya I Nyoman Cerita SST., M.FA. Namun yang mengundang decak bagi penulis adalah penampilan dari para mahasiswa Jepang bernama Yasuda Sae, Ono Satomi dan Tashiro Cia dalam membawakan tari Legong Keraton Lasem.

            Ada beberapa hal yang menurut penulis perlu diperhatikan dan dicermati dalam penampilan mereka. Yang pertama adalah antusiasme mereka untuk ikut serta melibatkan diri dalam berbagai pentas seni. Partisipasi mereka dalam meramaikan acara hiburan di areal luar Pura Padma Nareswari tersebut patut diapresiasi positif sebagai kelanjutan kelas program Dharmasiswa yang mereka ikuti di kampus. Sebagai seniman dari Bali, kita patut berbangga karena kesenian yang selalu kita lestarikan ini turut dipelajari dan disukai oleh orang asing.

Hal selanjutnya adalah keseriusan para mahasiswa asing (khususnya dari Jepang) dalam membawakan tari yang tergolong cukup rumit tersebut. Dengan beberapa penonton yang lain pun penulis sempat berdialog dan menanyakan komentarnya terhadap performa para mahasiswa asing ini dalam menari. Berbagai tanggapan positif dan kekaguman pun mencuat untuk mereka. Meskipun teknik tari tidak bisa seluwes para penari Bali yang sudah mahir, namun tetap saja penampilan mereka seolah menyiratkan bahwa mereka mengerti dan menjiwai setiap gerakan yang disajikan. Tidak kali ini saja penulis menyaksikan para mahasiswa asing membawakan tari-tari tradisional Bali yang notabene adalah budaya asli masyarakat Bali dan tentu saja hal baru bagi mereka. Penampilan prima hampir selalu mereka sajikan pada tiap kesempatan menari, entah disaksikan oleh ribuan penonton atau bahkan hanya disaksikan oleh belasan penonton.

Menyaksikan penampilan para mahasiswa asing yang demikian apiknya tidak saja membuat hati penulis berdecak bangga, namun juga membangkitkan kemirisan hati bilamana penulis mengingat beberapa pagelaran tari yang dibawakan oleh mahasiswa lokal ISI Denpasar sendiri. Pada beberapa kali kesempatan tampil dalam acara workshop (atau kunjungan tamu asing), ISI Denpasar selalu menyajikan beberapa materi tari sebagai sajian pementasan. Hal yang masih hangat dalam ingatan penulis, yang kebetulan sering dipercaya ikut mementaskan tari Oleg Tamulilingan saat workshop, menyaksikan langsung beberapa oknum mahasiswa lokal kita sangat relaks dan bahkan “terlalu relaks” dalam membawakan satu tarian. Sajian mereka di atas panggung pun menurut penulis tak lebih dari sekedar parodi bercanda yang sedikit “kelewatan”. Bagaimana tidak, sebuah tari yang serius, memerlukan penjiwaan yang dalam dibawakan seolah tanpa roh. Saling ejek dan beberapa tindakan jahil antar penari di atas panggung (saat sedang menari) seolah hal yang halal dilakukan oleh penari ISI Denpasar. Tidakkah mereka berpikir bilamana pencipta tari tersebut menonton pertunjukan mereka? Bagaimanakah perasaan mereka bila nanti tarian yang berhasil mereka ciptakan dengan penuh perjuangan dibawakan dengan asal-asalan (atau lebih tepat “dilecehkan”) sedemikian rupa? Pedulikah mereka akan komentar dan kesan penonton (yang mereka anggap “tidak mengerti” tari Bali) serta bagaimana citra lembaga setelah para tamu (yang ternyata “mengerti” tari Bali) meninggalkan kampus?

Hati ini semakin teriris dan bertanya-tanya saat melihat reaksi beberapa oknum penari sesaat setelah mereka selesai menari di atas panggung. Seolah ada rasa “kebanggaan” atas segala “kelucuan” (atau kekonyolan?) yang mereka pentaskan beberapa saat yang lalu yang ditunjukkan dengan tawa-tawa puas nan lantang. Keheranan ini bertambah ketika melihat beberapa rekan mereka justru mensuport dan berpotensi meniru tindakan-tindakan semacam itu kelak. Tidak ada indikasi kritik yang mengingatkan apalagi nasehat yang bersifat preventif dari orang-orang sekitar oknum penari tersebut. Pada saat inilah penulis rasa perlu ungkapkan sebuah gambaran hidup, bahwa sebelum merasa di atas angin, kita harus berusaha untuk bisa mengepakkan sayap dan terbang melewati banyak hal terlebih dahulu.

Sungguh hal yang kontradiktif melihat fakta ironis yang telah terjadi tersebut. Bagaimana tidak, budaya adiluhung bernama kesenian yang telah membawa ISI Denpasar serta Bali menjadi terkenal justru mulai mendapat rongrongan dari dalam. Meskipun masih bersifat kecil, bilamana tidak diingatkan akan menjadi sesuatu yang massif dan bersifat dekonstruktif. Rupanya isu kedisiplinan merupakan hal yang harus kita pelajari dari mahasiswa asing yang justru mengagungkan kesenian milik kita. Mereka begitu antusias dan bangga mendapatkan kesempatan untuk belajar dan sekaligus pentas tari Bali. Berbeda dengan kita yang terkesan melecehkan kebanggaan kita sendiri. Terlebih setelah budaya atau kesenian kita diklaim bangsa lain, barulah ramai-ramai kebakaran jenggot. Maka jangan heran, rumput menjadi lebih subur di negeri tetangga karena perawatannya lebih baik, meski dari benih yang sama. Paradigma oknum mahasiswa di ISI Denpasar khususnya di Seni Tari yang bisa dikatakan memalukan tersebut harus segera diubah. Para pejabat struktural terkait, pembimbing akademik, para dosen pengajar harus selalu aktif melakukan pembinaan formal dengan pendekatan persuasif dan berkelanjutan. Di luar jam-jam belajar resmi, mahasiswa juga perlu diberikan pengertian bahwa tindakan-tindakan kurang baik seperti tersebut di atas adalah dapat dikatakan kurang menghargai hasil karya seseorang. Bahkan bila perlu, diajak untuk menonton video tari yang nyeleneh dalam arti para penarinya tidak memiliki keseriusan hati dalam menari sebagai pembanding atau cerminan dan memancing komentar mereka.

Pelecehan terhadap hasil karya menurut penulis juga merupakan sebuah pelanggaran disamping penjiplakan (plagiatisme) jika dikaitkan dengan pembelajaan HKI. Efek yang ditimbulkan dari sisi psikologis pun sama beratnya, yaitu merasa tersakiti secara emosional karena tidak adanya penghargaan atas karya yang telah tercipta. Tentu saja penulis berharap hal ini tak terjadi lagi untuk berbagai pementasan yang dilakukan oleh mahasiswa ISI Denpasar dalam kesempatan berikutnya. Banyak faktor terkait yang berpotensi dirugikan oleh tindakan semacam ini. Tulisan ini tidak lain adalah rasa jengah penulis terhadap pola pikir oknum mahasiswa terhadap keseniannya sendiri. Tiada pula tujuan untuk menyerang pribadi masing-masing. Sebelum hal ini menjadi “wabah” bagi perkembangan kesenian kita di ISI Denpasar dan Bali pada umumnya, mari berbenah diri sesegera mungkin.

“Si Jepang” yang Heboh dan “Si Bali” yang Emoh : Sebuah Kritik, Selengkapnya

 

Perancangan Media Komunikasi Visual Mengkampanyekan Pelestarian Pupulasi Penyu Hijau

Perancangan Media Komunikasi Visual Mengkampanyekan Pelestarian Pupulasi Penyu Hijau

Penyu Hijau atau Chelonia Mydas adalah salah satu dari tujuh spesies penyu laut yang masih bertahan di seluruh dunia sampai saat ini. Dibanding dengan ke enam spesies lainnya, populasi penyu hijau adalah yang terbesar di dunia. Namun, bukan berarti populasi penyu hijau tidak terancam punah. Hal ini dikarenakan perburuan yang dilakukan oleh manusia secara terus-menerus terhadap penyu hijau. Penyu hijau ditangkap untuk diambil dagingnya terutama di pulau Bali. Oleh sebab itu pulau Bali sempat dijuluki daerah pembunuh penyu terbesar di dunia. Maka dari itu, kita sebagai masyarakat Bali hendaknya berusaha agar citra buruk itu hilang dengan cara mengkampanyekan pelestarian terhadap penyu hijau. Berangkat dari masalah diatas maka diperlukannya media komunikasi visual yang akan digunakan untuk mengkampanyekan pelestarian penyu hijau di Bali. Berdasarkan uraian tersebut, didapat permasalahan bagaimana merancang media komunikasi visual yang efektif dan komunikatif dan media apa saja yang tepat untuk mengkampanyekan pelestarian populasi penyu hijau di Bali?

Data – data yang diperoleh dari observasi, data wawancara dan data teoritis diolah melalui analisis dan sintesa sehingga dapat diciptakan media komunikasi visual yang tepat, efisien dan memenuhi kriteria untuk mengkampanyekan pelestarian penyu hijau. Maka didapat simpulan, dalam merancang media komunikasi visual perlu dipertimbangkan teori-teori desain, teori sosial prinsip desain, kriteria desain, serta mempertimbangkan demografis, psikografis, dan behaviora. Dan media komunikasi yang akan dirancang untuk mengkampanyekan pelestarian penyu hijau antara lain Poster, Pamflet, Spanduk, Brosur, T-Shirt, Sign System, X – Banner, Pin, dan Stiker.

Kata Kunci: Penyu Hijau, kampanye, pelestarian, Bali, media komunikasi visual

Desain Interior Douce France Bakery & Cafe

Desain Interior Douce France Bakery & Cafe

Persaingan bisnis kuliner di Bali cukup menjamur salah satunya adalah bakery. Oleh karena itu bakery di era sekarang sudah berkembang pesat di Bali. Perkembangan gaya hidup membuat bisnis bakery menciptakan image baru, munculah gagasan pemakaian kata Café dibelakang nama sebuah bakery. Menjadikan bakery bukan lagi sekedar sebagai tempat penjualan roti tetapi juga digunakan sebagai tempat berkumpul dan bertemu rekan bisnis sambil menikmati makanan dan minuman yang tersedia. untuk menarik perhatian para pengunjung salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan membuat suasana yang menarik dan berkonsep.

Kondisi inilah yang menjadi peluang bagi Douce France Bakery & Cafe untuk melakukan ekspansi mencari pasar baru. Douce France Bakery & Cafe adalah tempat yang menjual roti-roti dan kue khas Perancis yang berkualitas. Salah satu menu yang menjadi unggulan adalah Croissant, yaitu sejenis roti yang merupakan roti khas Perancis (France bread). Roti croissant ini dulu disebut roti bangsawan karena hanya disajikan dan dipakai perjamuan raja dan ratu perancis di istana Versailles. Roti ini memiliki sejarah, rasa dan bentuk yang unik yang membuat lebih istimewa dari yang lain.

Disamping ingin menampilkan suatu atmosfer dan suasana yang baru bergaya Neoklasik. Desain yang ditampilkan mengambil karakteristik serta sejarah dari croissant dan istana Perancis yaitu Versailles dengan perjamuan perjamuan makannya. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Croissant du Versailles terpilih menjadi konsep yang diaplikasikan pada Desain Interior Douce france Bakery & Café. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengangkat Douce France Bakery & Cafe untuk dijadikan sebagai studi kasus perancangan tugas akhir mahasiswa.

Kata kunci : Desain, Interior, Douce France Bakery & Cafe, Croissant du Versailles.

PKB Diusulkan Digelar Tiga Tahun Sekali, Setujukah?

PKB Diusulkan Digelar Tiga Tahun Sekali, Setujukah?

Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn, Alumni ISI Denpasar

Di Bali sendiri, PKB digelar setiap tahunnya. Sejak diadakan pertama kali pada tahun 1978, event kesenian terbesar dan paling bergengsi di Bali ini selalu berhasil membius berbagai kalangan mulai dari para pakar seni, pelaku seni, hingga masyarakat awam untuk datang ke tempat digelarnya acara sepanjang satu bulan ini yaitu di Art Center Denpasar. Para seniman dari berbagai sanggar atau kelompok-kelompok seni di seantero Bali pun berdatangan dan saling unjuk gigi mempertontonkan kelihaiannya dalam berolah kreativitas.

Berbagai jenis kesenian baik yang bersifaat konservasi seni klasik, rekonstruksi seni-seni langka, hingga kesenian pengembangan dan partisipasi kelompok seni luar negeri tak pernah absen menghiasi indahnya PKB. Setiap tahun, selalu saja para penggemar seni dari seluruh kabupaten di Bali menyempatkan diri untuk menyaksikan primadona pertunjukan seperti Parade Gong Kebyar Pria Dewasa (yang dahulu selalu dilombakan), parade Topeng, Seni Klasik seperti Arja dan Gambuh serta Palegongan. Tidak lupa juga, kesenian pengembangan seperti tari-tari kontemporer pun menjadi warna baru yang sanggup membuka wawasan penonton akan perkembangan kesenian di Bali.

Kini, setelah memasuki usianya yang ke-33, PKB ternyata memiliki berbagai sisi lemah yang belum sepenuhnya mendapat solusi dari berbagai pihak. Seperti misalnya, kualitas penyajian kesenian yang cenderung monoton, miskin kreativitas, menghabiskan dana yang banyak dan sebagainya. Di sisi lain, faktor ketersediaan lahan parkir dan lokasi penyelenggaraan yang terlalu sentralistik pun tak luput menjadi sorotan. Tak ayal, kritik pun terlontar dari berbagai komponen masyarakat untuk penyelenggara PKB ini.

Pembenahan yang bersumber dari pemikiran-pemikiran cerdas harus segera dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari kritik yang diutarakan oleh Tjok. Raka Kerthyasa atau yang akrab dipanggil Cok. Ibah. Belau adalah seorang anggota DPRD Bali dari Puri Ubud, Gianyar. Pria yang bertugas di Komisi IV ini, kepada sebuah media ternama nasional mengungkapkan bahwa PKB idealnya diselenggarakan tiga tahun sekali. Pemikiran ini didasarkan bahwa dalam jangka waktu satu tahun, adalah waktu yang terlalu singkat bagi para kreator seni untuk melahirkan sebuah mahakarya yang benar-benar mampu memberi rasa takjub bagi para penikmat seni. Ia juga berpendapat bahwa penyelenggaraan PKB yang setahun sekali merupakan salah satu penyebab monotonnya kualitas seni yang disajikan. Jikalau pun ada pengembangan, paling-paling hanya sedikit dan itupun masih ada kemiripan dengan tahun sebelumnya.

Pemikiran ini bila dianalisis memiliki beberapa nilai plus dan minus. Pertama, untuk penyelenggaraan yang berjangka waktu tiga tahun, sisi baiknya adalah para seniman khususnya para pengkarya atau kreator seni memiliki waktu yang lebih panjang untuk berpikir, mencari ide-ide baru, kreativitas yang segar dan tentu saja original. Hal ini akan berdampak pada sisi kualitas karya yang dimaksud Cok. Ibah di mana oleh beliau dituturkan bersifat monoton alias itu-itu saja. Namun, di sisi yang berlawanan menurut beberapa pelaku dan penggiat seni yang sering terlibat dalam setiap kesempatan di PKB, waktu tiga tahun untuk memproduksi sebuah karya baru, dinilai terlalu lama. Wacana penyelenggaraan PKB tiga tahun sekali ini pun dinilai rentan terhadap serangan pengaruh budaya asing yang tidak pernah berhenti mengincar Bali. Sebagaimana kita ketahui, agama, kebudayaan dan kesenian merupakan benteng pertahanan budaya Bali yang harus diperkokoh oleh masyarakat pendukungnya dari dalam. Demikian pula, PKB sebagai sebuah event kebudayaan dan kesenian di Bali secara tidak langsung merupakan sebuah filter yang sangat baik demi mempertahankan keluhuran budaya Bali dari pengaruh global yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya lokal. Dengan diadakannya PKB setiap tiga tahun sekali, dikhawatirkan kesenian bahkan kebudayaan Bali akan mudah disusupi pengaruh negatif globalisasi.

Selain alasan tersebut, waktu satu tahun bagi seorang atau kelompok seni untuk memproduksi sebuah karya tidaklah terlalu mepet. Justru, mereka akan merasakan tantangan dan semakin terpacu untuk menemukan gagasan segar untuk dituangkan dalam karya seninya. Tetapi, apakah faktanya memang demikian? Tidak salah, namun belum sepenuhnya benar. Kesenian yang tertampil di PKB memang beragam dan masih menghormati keberadaan kesenian Bali yang sakral, klasik dan bahkan langka. Namun, dari sisi kualitas, nampaknya masih perlu dilakukan pembenahan, misalnya menyangkut masalah teknis, artistik dan tentu saja yang paling esensial adalah inovasi. Inovasi bukanlah sesuatu yang dianggap merusak tatanan seni tradisi yang sudah mapan, namun justru menempatkan seni tradisi sebagai sumber penciptaan dan inspirasi karya yang tidak akan habis untuk diolah dan setidaknya menjadi sebuah tawaran baru untuk mengatasi tudingan monotonitas PKB dari tahun ke tahun akibat miskin inovasi.

Sisi baik yang kedua adalah, bilamana PKB diadakan tiga tahun sekali, akan memberikan peluang untuk membina bibit-bibit penari unggulan di setiap kabupaten di Bali. Sebagaimana kita ketahui, Bali sangat kaya dengan potensi seniman mulai usia belia hingga uzur. Sangat mudah menemukan seorang yang bisa berkesenian di Bali. Namun, tak semua orang yang bisa berkesenian itu dapat disebut seniman. Inilah yang harus dicari oleh para pembina-pembina seni di tiap kabupaten untuk mendapat kualitas individu seniman yang menonjol yang tentu saja berpengaruh terhadap kualitas pertunjukan secara menyeluruh.

Faktor pembinaan mungkin menjadi hal yang menjadi pokok pikiran politisi adik kandung Bupati Gianyar Cok Ace ini. Sebagaimana kita ketahui, sebelum pentas di panggung utama Art Center Denpasar, para seniman yang merupakan andalan tiap-tiap kabuaten di Bali ini harus melalui tahapan seleksi yang digelar oleh kabupaten masing-masing. Namun rupanya, tudingan monotonitas yang dialamatkan beberapa komponen masyarakat dan pemerhati budaya di Bali tidak hanya berhenti pada aspek inovasi semata. Menurut penulis, monotonitas pun berlaku pada aspek pelaku dan bahkan kreator seni di masing-asing kabupaten. Hal ini bisa dilihat dari lambannya proses regenasi seniman pengkarya di masing-masing kabupaten yang mengirim dutanya sehingga kita tidak bisa menyalahkan adanya tudingan miskin seniman di kabuaten tertentu. Belum lagi masalah “ISI-nisasi” (terlalu berkiblat ke ISI Denpasar) sehingga kearifan lokal yang terdapat di daerah tertentu menjadi tersisihkan begitu saja, proses seleksi yang terkesan like and dislike, hingga dominasi kelompok seniman tertentu di suatu kabupaten yang seolah tak tergantikan posisinya sebagai pengkarya.

Kembali menurut opini penulis, usulan penyelenggaraan PKB yang tiga tahun sekali memang ada benarnya, namun mungkin akan lebih bijak bila justru setiap tiga tahun sekali diadakan regenerasi para kreator atau seniman pencipta khususnya untuk seni-seni yang bersifat tradisi. Sedangkan untuk kesenian yang bersifat rekonstruksi, diupayakan agar tiap-tiap daerah menampilkan kearifan lokal yang mereka miliki, sehingga jauh dari kesan ISI sentris karena PKB bukan ajang untuk homogenisasi atau bahkan ISI-nisasi tiap-tia kabupaten, tapi justru membuat event tersebut semakin beragam warna. Seni-seni yang langka di Bali masih banyak yang belum terekspos melalui event ini. Seperti misalnya ragam tari Sanghyang, tari Baris-baris yang kuno, permainan tradisonal yang kini semakin ditinggalkan masyarakat khususnya anak-anak, dan sebagainya. Proses penggalian dan rekontruksi ini saja jika diberikan waktu setahun, sudah dirasa cukup. Belum lagi penciptaan karya pengembangan atau seni kontemporer yang tidak memiliki batasan-batasan baku, yang setiap saat dapat merangsang imajinasi kreativitas yang unik.

            Dari sisi akomodasi, Cok. Ibah juga memberi saran bahwa PKB jangan terlalu sentralistik. Artinya, setiap kegiatan di PKB sebaiknya jangan terpusat di satu tempat tertentu, namun agar disebar ke tempat-tempat tertentu di sekitarnya. Misalnya pameran lukisan bisa diadakan di Monumen Bajra Sandhi, Parade Topeng bisa ditempatkan di lapangan Puputan Badung, dan begitu juga dengan acara lainnya. Menurut saya, ini usulan yang cukup baik dan sesungguhnya telah dilaksanakan oleh paenyelenggara PKB, meski belum sepenuhnya terealisasi. Seperti yang terjadi pada event PKB yang baru berakhir beberapa wakktu lalu, di mana materi parade Baleganjur dan Angklung Kebyar dilaksanakan di lingkungan kampus ISI Denpasar. Mungkin untuk ke depannya, penyelenggara dalam hal ini harus berpikir dan mengkaji berbagai kemungkinan, agar kesan semrawut dan sentralistik di PKB ini bisa dikurangi.

            Kesimpulannya, PKB merupakan event kesenian terbesar di Bali yang masih perlu pembenahan. Hal ini wajar, karena pada esensinya perkembangan merupakan sesuatu yang abadi terjadi khususnya pada perjalanan kesenian. Kesan monoton yang menjadi tudingan utama dari penyelenggara PKB, mau tidak mau harus dicari pangkal permasalahannya.pokok-pikiran yang muncul ke permukaan harus dicermati dari berbagai sisi agar dapat disaring nilai-nilai yang dapat memperbaiki penyelenggaraan ke depannya.

Usulan penyelenggaraan PKB tiga tahun sekali yang dilontarkan oleh Tjok. Raka Kerthyasa tersebut di atas patut kita apresiasi, sebab secara tersirat ada pemikiran untuk membenahi dan meningkatkan kualitas PKB dan menjauhkannya dari kesan monoton. Namun, mengingat usulan tersebut baru dalam tahap opini pribadi, dirasa terlalu dini dan perlu adanya analisis berikut perbandingan sudut pandang sehingga solusi yang dihasilkan dapat mengayomi berbagai pihak (win-win solution). Solusi yang sebaiknya kita laksanakan adalah dengan mengoptimalkan konsep penyelenggaraan yang telah disiapkan. Penyelenggaran PKB tiga tahun sekali mungkin belum saatnya diterapkan. Namun, bilamana situasi sudah begitu medesak, bukan tidak mungkin usulan ini akan menjadi kenyataan di masa mendatang. Tentu, dengan catatan dan pertimbangan dari berbagai pihak terkait yang juga terlibat dalam event PKB ini. Bagaimana menurut pendapat anda?

PKB Diusulkan Digelar Tiga Tahun Sekali , Setujukah? selengkapnya

Loading...