by admin | Nov 28, 2011 | Berita
Kedatangan Prof.Sri Hartati Reksodiputra,MA,Phd hari sabtu (26/11) ke ISI Denpasar merupakan kedatangannya yang kesekian kali, namun dalam kesempatan ini beliau mendatangi ISI Denpasar khusus dalam rangkaian persiapan acara Heads of Defense Universities, Colleges, and Institutions meeting (HDUCIM) yang akan berlangsung selama empat hari di Denpasar.
Prof Hartati meminta bantuan ISI Denpasar untuk memeriahkan acara pembukaan yang akan berlangsung di Hotel Kartika Plaza Kuta hari selasa pagi (29/11), untuk kesempatan ini, ISI Denpasar telah mempersiapkan Gamelan Instrumentalia, Tari Pendet, serta Tari Oleg Tamulilingan. Kemudian di hari yang sama rombongan HDUCIM yang berjumlah kurang lebih 120 orang akan melaksanakan Cultural Visit ke kampus ISI Denpasar pada pukul 14.30 hingga pukul 17.00. “Saya berharap Prof. Rai bersedia menjadi Keynote Speaker pada saat menerima rombongan di Kampus ISI Denpasar” ujar Prof. Hartati. Prof.Rai pun langsung menyatakan kesediaannya dan berharap dapat memberikan yang terbaik bagi peserta yang tergabung dalam acara ini.
Rapat persiapan terakhir ini turut dihadiri pula oleh Pembantu Rektor, Dekan Fakultas Seni Rupa, Kejur Karawitan, serta Pembantu Dekan I Fakultas Seni Rupa dan Desain, dalam keempatan ini Prof. Rai berharap kerjasama seluruh pihak.. Rangakaian acara selama di ISI Denpasar, rombongan pertama kali akan menikmati suguhan tarian tradisional Bali serta demo tari di gedung Natya Mandala, kemudian mengunjungi gedung Latta Mahosadi yang menyimpan berbagai gamelan, kemudian melihat secara langsung pembuatan gamelan, dan yang terakhir adalah menuju Ruang Pameran Kriya Hasta Mandala yang menyimpan berbagai koleksi seni dari mahasiswa maupun dosen ISI Denpasar.
Usai melakukan rapat koordinasi kemudian Prof.Hartati yang didampingi oleh asisten serta tim dari ISI Denpasar meninjau beberapa ruangan yang nantinya akan digunakan dalam menyambut tamu, disaat yang bersamaan di kampus ISI Denpasar sedang berlangsung kegiatan Workshop Rebab, Prof.Hartati menyempatkan waktu untuk menyaksikan sekilas pelatihan Rebab. “Seni merupakan sesuatu yang mampu membuat hidup seimbang” ujar Prof. Hartati disela-sela perbincangannya dengan Prof Rai. “Tidak hanya itu saja, seni dan budaya juga memiliki keterkaitan dengan pertahanan pada masa dahulu, dan sebagai keynote speaker saya akan menjelaskan mengapa hal tersebut saling mempengaruhi” tutup Prof.Rai.
by dwigunawati | Nov 28, 2011 | Berita, Galeri
Dengan semakin banyaknya lahan hutan di Indonesia dibuka untuk untuk diambil sumber daya alamnya dan nantinya dirubah fungsikan menjadi industri pertanian, peternakan dan kelapa sawit, maka perlu dibuatkan buku-buku panduan yang memberikan langkah-langkah benar dalam pelaksanaannya. Salah satu dari langkah tersebut adalah upaya membuka lahan hutan gambut dengan cara tidak membakar hutan dan menutup/menabat kembali parit-parit yang dulu telah dibuat di lahan gambut yang berfungsi untuk memindahkan kayu hasil tebangan. Dengan ditutupnya parit-parit tersebut maka dapat mencegah kebakaran di lahan gambut pada musim kemarau, dan mencegah terjadinya banjir di daerah sekitar lahan gambut pada musim hujan.
Usaha Komunikasi Visual merupakan upaya untuk memberikan informasi secara visual kepada masyarakat untuk melakukan langakah-langkah yang benar dalam mengolah hutan atau lahan gambut dan menjaga lingkungan agar tidak merugikan pihak manapun.
Data yang diperoleh dari penelitian ini dikumpulkan melalui berbagai karya tulis cetak dan yang berada di Internet, serta pengamatan langsung media-media yang sudah digunakan selama ini kemudian dibandingkan dengan teori-teori desain. Selanjutnya dianalisa dan ditarik kesimpulan. Kesimpulan ini nantinya akan digunakan sebagai dasar dalam perancangan media komunikasi visual.
Dari hasil analisis dan sintesa penulis memilih untuk menggunakan konsep kartun atau ilustrasi di mana desain-desain tersebut nantinya dibuat dengan menggunakan unsur-unsur ilustrasi kartun agar dapat lebih menarik perhatian lebih banyak kalangan masyarakat dari anak-anak hingga dewasa. Media yang dibuat untuk kampanye adalah Poster, Stiker, Flyer, T-shirt, Buku Komik, Web Banner, Mug, Iklan TV (animasi), dan Kartu Pos.
Kata Kunci: Desain Komunikasi Visual, Pelestarian Hutan, Penabatan Parit, Lahan Gambut
by dwigunawati | Nov 27, 2011 | Berita, Galeri
Seiring perubahan jaman yang terus berkembang, membuat biro–biro advertising harus selalu mengikuti perubahan “trend” yang terjadi dimasyarakat Kedai Digital adalah salah satu perusahaan barang dan jasa yang memiliki spesifikasi produk berupa merchandise. Dengan slogan “Bikin merchandise semau kamu!”. Merchandise yang diproduksi berupa mug, pin, jam, bantal, mousepad,poster, dan berbagai macam merchadise pribadi tanpa harus mengorder massal.
Keberadaaan Kedai Digital Denpasar belum banyak orang yang tau dan media promosi yang ada masih sedikit maka dari hal tersebut perlu adanya penambahan media dan redesain media yang sudah ada sebelumnya. Perancangan ini bertujuan
untuk memperoleh media komunikasi visual yang efektif sesuai dengan teori, konsep dan keadaan di lapangan. Data-data yang diperoleh dari hasil observasi dan data teoritis diolah melalui analisis dan sintesa sehingga diperoleh konsep perancangan sebagai dasar merancang media komunikasi visual yang sesuai dengan kriteria desain.
Konsep dasar perancangan yang digunakan adalah simple dan kreatif agar visualisasi desain bermacam-macam, memberikan kesan yang tidak monotone serta informatif. Dalam proses perancangan media ditentukan media yang tepat dan sesuai yaitu poster, iklan majalah, iklan koran, stiker, pin, flayer, paperbag, web banner, voucher dan katalog
Kata kunci : Keda digital, perancangan, media promosi.


by dwigunawati | Nov 26, 2011 | Berita, Galeri
Bali menjadi daerah favorit tujuan wisata dunia, khususnya di daerah Selatan Bali yaitu Canggu. Persaingan bisnis kuliner menengah cukup menjamur di daerah ini. Hal ini dikarenakan peluang menuai untung terbilang sangat menjanjikan. Hal ini didorong oleh salah satu sifat konsumtif manusia dalam kebutuhan pangan yaitu restaurant. Di era ini, sebagai tempat bertemu, berbisnis dan berbagai hal lainnya. Bisnis ini seolah tiada habisnya. Hal ini dikarenakan permintaan pasar yang cukup besar. Di daerah Canggu terkenal akan daerahnya yang terdiri dari hamparan sawah hijau yang luas dan suasananya yang tenang. Hal ini mengakibatkan pengusaha tertarik untuk membuka peluang dalam bisnis yang yaitu restaurant.
Selain dari modal rasa yang nikmat, faktor desain perlu diperhatikan sehingga menjadi daya jual dan daya tarik tersendiri. Oleh karena itu Snapper Corner yang terletak di daerah Canggu memerlukan media promo untuk memperkenal Snapper Corner lebih luas lagi. Berdasarkan uraian tersebut, didapat permasalahan bagaimana merancang media komunikasi visual yang efektif dan komunikatif dan media apa saja yang tepat untuk mempromosikan Snapper Corner? Data – data yang diperoleh dari observasi, data wawancara dan data teoritis diolah melalui analisis dan sintesa sehingga dapat diciptakan media komunikasi visual yang tepat, efisien dan memenuhi kriteria untuk mempromosikan Snapper Corner.
Maka didapat simpulan, dalam merancang media komunikasi visual perlu dipertimbangkan teori-teori desain, teori sosial prinsip desain, kriteria desain, serta mempertimbangkan demografis, psikografis, dan behaviora. Dan media komunikasi yang akan dirancang untuk mempromosikan Snapper Corner antara lain Flyer, Iklan media cetak (majalah), brosur, website, web banner, sign system, tabletop banner, buku menu, dan T-Shirt.
Kata Kunci: Restaurant, Snapper Corner, promosi, media komunikasi visual, DKV
by admin | Nov 26, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Swartana, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Gambelan angklung merupakan barungan gambelan yang termasuk dalam golongan madya, karena dalam permainan gambelan angklung instrument kendang sudah mulai berperan. Demikian halnya dengan gambelan angklung milik keluarga besar Pasek Bendesa Manik Mas, yang berlokasi di Br. Kayu Padi, Desa Pupuan, Kec. Pupuan, Kabupaten Tabanan.
Mengenai keberadaan barungan gambelan ini, penulis mendapat bukti keberadaannya dari beberapa informan, dan ada pula bukti tertulis. Kedua sumber tersebutlah dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam penulisan ini.
Menurut 2 narasumber, yaitu I Made Kumpul dan I Gede Artayasa. kedua narasumber ini, merupakan generasi dari pendiri sekhe angklung, memang keberadaan seperangkat gambelan ini lebih dulu ada, dari kelahiran mereka, tetapi mereka mendapat informasi langsung dari pendiri sekhe angklung ini. Kedua narasumber ini memberikan pernyataan yang sama, bahwa keberadaan angklung tersebut dilatarbelakangi oleh kebutuhan pisikologis sekelompok keluarga yang berjumblah 7 orang, kebetulan 6 orang dari keluarga tersebut merupakan saudara kandung dan satu orang lagi merupakan ipar dari ke enam saudara kandung tersebut. Ketujuh anggota keluarga ini sepakat untuk membuat gambelan angklung, tentang alasan mengapa dipilihnya gambelan angklung adalah memang pada waktu itu Desa Pupuan sudah memiliki seperangkat gong kebyar, tetapi barungan tersebut hanya dipergunakan pada saat upacara Dewa Yadnya saja, sehingga mereka memandang bahwa jika membuat gambelan angklung, mungkin akan ada banyak orang yang mencari ( ngupah) jika mereka mengadakan Suatu upacara, baik Manusa Yadnya maupu Pitra Yadnya, para pendiri ini pada waktu itu sudah memiliki motif ekonomi disamping social kemasyarakatan, tetapi bukan itu saja sasaran mereka, melainkan mereka juga menginginka suatu hiburan untuk melepas lelah setelah mereka datang dari bekerja sebagai petani.
Awal mulanya barungan agklung ini baik yang berbilah maupun berpencon semuanya terbuat dari besi. Proses pembuatan pertama kali dilakukan dengan cara bergotong royong. Kebetulan juga salah seorang dari keluarga memiliki keahlian Memande ( membuat senjata ). Berangkat dari niat dan kesungguhan, bahan dan beralatan seadanya, bilah demi bilah tercipta oleh tangan terampil mereka, akhirnya jadi 4 tungguh gangsa, yang masing-masing terdiri dari 5 bilah, 1 tawa-tawa, 1 buah kempur dan 1 buah gong. Semuanya terbuat dari besi.
Setelah adanya seperangkat gambelan seadanya tersebut, munculah keinginan untuk mengupulkan sekhe gebug. Ternyata banyak dari keluarga yang satu darah berminat bergabung menjadi sekhe gebug, akhirnya terciptalah sekhe demen pada waktu itu
Setelah adanya sekhe mereka memulai latihan,akan tetapi pada waktu itu sangat sulit mencari pelatih tabuh, sehingga latihan dilakukan dengan kemampuan sendiri. Beberapa gending-gending dolanan, yang dipergunakan oleh anak-anak pada saat bermain mereka transfer kedalam tabuh angklung.
Ternyata keberadaan skhe ini mendapat dukungan yang sangat antusias dari masyarakat sekitar, hal ini dibuktikan dengan seringnya mereka kupah untuk menabuh jika ada suatu upacara baik Manusa Yadnya maupun Pitra Yadnya.
Mulai bertambahnya wawasan dan tau akan pentingnya keberadaan angklung dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, akhirnya muncul keinginan untuk membeli seperangkat gambelan angklung yang terbuat dari bahan kerawang.
Menurut bukti yang tertulis diatas daun lontar yang menggunakan tulisan Bali/aksara Bali, disana disebutkan bahwa ketujuh orang ini yang membeli dan sekaligus sebagai pendiri atau perintis sekhe pada tahun 1940, tetapi tanggal dan bulannya tidak tertulis. Ketujuh pendiri tersebut antara lain :
- Pan Tadi
- Pan Rancis
- Pan Mintar
- Pan Nasti
- Pan Bekung
- Pan Nari
- Pan Mudatri
Disepakati untuk membeli angklung di daerah Tihingan, Klungkung. Pembelian dilakukan secara satu persatu, pembuatan seluruhnya dilakukan disana, tetapi bahan dari pelawahnya berasal dari ketujuh pembeli ini. Prosesnya sangat sulit karena pada tahun 1940 sangat sulit mencari transportasi, sehingga proses pembawaan kayu sebagai bahan terampa harus berjalan dari Pupuan ke Tihingan itu juga harus sembunyi-sembunyi, karena pada waktu itu Negara Indonesia masih belum merdeka sehingga masih banyak tentara-tetara penjajah yang berkeliaran. Bisa dibilang sampai mempertaruhkan nyawa untuk membeli gambelan angklung pada waktu itu. Setelah selesai dibuat, satu persatu dari instrument di bawa ke Pupuan, itu juga tidak mudah, harus tidak sampai terlihat oleh tentara penjajah pada waktu itu. Tidak terbayang bagaimana perjuangan para pendiri angklung ini.
Barungan angklung dibeli seharga 400 ringgit, pada waktu itu belum ada uang rupiah, bisa dikatakan cukup mahal pada jaman itu. Sumber dananya adalah dari ketujuh pendiri tersebut dengan cara patungan. Instrument yang dibeli antara lain : 4 tungguh gangsa, 4 tungguh kantilan ( masing-masing tungguh terdiri dari 5 bilah ), 2 tungguh gangsa pemetit, 2 tungguh jegog, 1 buah kempur, 1 buah tawa-tawa, 1 buah gong lanang, dan 1 buah gong wadon.
Setelah sarana lengkap, sekhe gebug sudah ada, tetapi pada waktu itu belum adanya sistim kepeggurusan sekhe, hanya berpedoman kepada para pendirinya. Tetapi pada waktu itu sudah memiliki aturan-aturan/ awig-awig bagi sekhe gebug dan pendirinya yang terlihat pada bukti tertulis ada 6 aturan, diantaranya :
- Barang siapa yang ingin masuk sebagai sekhe gebug, boleh menjadi sekhe angklung, asalkan taat dengan awig-awig, istilah balinya bani ngutang gae, sing madengang payuk jakan jumah atau dengan kata lain skhe ini adalah cenderung pada kegiatan social.
- kalau ingin berhenti boleh, dan tidak ada unsur paksa. Dengan terus terang dihadapan sekhe.
- kalau ada hasil uang, ia dapat bagian, dari jumbelah hasil yang dibagi rata, bagi anggota yang berhenti.
- Setelah berhenti dengan terus terang, tidak boleh memperhitungkan barang angklung yang ada, sebab yang membeli barang angklung itu terdiri dari 7 orang
- Bagi anggota 3 kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan, diadakan pendekatan.
- Bagi pemilik angklung yang berhenti sama sekali tidak boleh meminta bagian berupa barang angklung yang ada, maupun uang yang ada, walaupun mereka yang ikut membelinya.
Begitulah aturan menurut bukti tertulis tersebut.
Seiring dengan perkembangan jaman, sekitar tahun 60-an baru dibuat nama sekhe, yaitu sekhe Angklung MARGA UTAMA, dan mulai membuat system organisasi kepengurusan sekhe.
Begitulah sejarah singkat tentang keberadaan gambelan angklung Marga Utama milik keluarga Pasek Bendesa Manik Mas yang masih diwarisi sampai saat ini.Hingga saat ini Trampa dari barungan angklung ini belum pernah diganti, karena keadaannya masih tetap awet dengan motif-motif ukiran yang sangat lama ( kuno ), hanya saja sempat dipangur dan diganti tabung resonatornya saja sebnyak 2 kali dari awal berdirinya hingga saat ini. Barunngan angklung ini juga termasuk unik, karena merupakan gambelan laras selendro 5 nada, yaitu nding, ndong, ndeng, ndung, ndang.
Keberadaan angklung ini memang sudah cukup lama dan memiliki peranan yang sangat penting bagi kegiatan upacara baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat umum, selain itu barungan angklung ini telah memberikan dampak atau pengaruh yaitu sebagai pengikat suatu tali persaudaraan (istilah Balinya, Pang sing pegat-pegat menyama ), terbukti sekarang ini sudah sampai empat generasi. Keberadaan Gambelan Angklung ini harus tetap di jaga dan di lestarikan.
Eksistensi Gambelan Angklung Keluarga Besar Pasek Bendesa Manik Mas, selengkapnya
by admin | Nov 25, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Dwi Cipta Adi Kusuma, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar.
Pada mulanya banjar Sigaran belum mempunyai gambelan, namun demi kepentingan upacara panca yadnya, gambelan tersebut sangat diperlukan. Maka dari itu, para pengelingsir (tokoh-tokoh seniman tua) yang ada di Sigaran berinisiatif untuk membuat salah satu gambelan yaitu gambelan angklung. Tetapi para pengelingsir belum mempunyai dana untuk membuat gambelan tersebut.
Oleh karena itu, pengelingsir (tokoh-tokoh seniman tua) yang ada di Sigaran membentuk sekehe nandur dan sekehe manyi diantaranya Gurun Sendri dan Pan Renin. Dimana uang dari pendapatan sekehe itu sedikit demi sedikit dikumpulkan untuk biaya pembuatan angklung tersebut.
Pada akhirnya sekitar tahun 1860 para tokoh seniman tua di Sigaran dapat tersenyum karena dana untuk pembuatan gambelan tersebut sudah terkumpulkan dan mereka pun mulai menggarap pembuatan gambelan itu yang dibuatkan oleh pande yang berasal dari desa Thiingan. Pande itu pun langsung membuat gambelan angklung, tepatnya di Sigaran Kauh di bawah pohon durian yang besar. Sekelompok pengelingsir di Sigaran nampaknya antusias membantu pembuatan gambelan angklung saih 4 tersebut. Dan cara pembuatan pelawahnya dengan cara dibagi-bagi, perorang mendapatkan tugas membuat 2 pelawah, terkecuali pelawah reong dan ada juga yang menyumbangkan emas dan berlian untuk pembuatan angklung tersebut.
Hari demi hari pembuatan gambelan angklung tersebut berjalan dengan lancar tidak mengenal siang maupun malam. Pada akhirnya gambelan tersebut dapat terselesaikan walaupun dengan ukiran pelawah yang berbeda-beda, namun tetap menjadi 1 barung gambelan angklung saih 4 yang berlaraskan selendro. Karena gambelan tersebut dipasupati di Pura Dalem Rajaguru yang sekarang disebut dengan Jegu. Upacara upakarapun sudah siap, ritual pemasupatian dimulai yang dipimpin oleh pemangku Dalem bertepatan pada malam hari, lalu kejaiban muncul, gambelan tersebut berbunyi dengan sendirinya dan salah satu pemangku kerauhan dan mendapat sabda (pawisik) bahwa angklung tersebut mulai saat itu sah menjadi unen-unen di pura Dalem, dan angklung tersebut mendapatkan paica yaitu sejenis lunak (asam) yang ditaruh ke semua gambelan. Gambelan itupun tidak boleh dibawa pulang selama 3 hari.
Setelah 3 harinya gambelan angklung tersebut ditaruh di bale banjar Sigaran dan pengelingsir (tokoh-tokoh seniman tua) membentuk sekehe yang bernama sekehe angklung Sinar Jaya Sigaran. Setiap hari sekehe tersebut mulai berlatih dengan mencari tabuh lelambatan klasik yang dipergunakan untuk mengiringi upacara ngaben. Pada tahun 1955-an sekehe angklung Sinar Jaya Sigaran berinisiatif membuat angklung kebyar, dimana gong dari angklung tersebut dibeli di banjar Serason, sekehe pun mencari pelatih bernama Pan Resin dari banjar Sigaran, Mambal, Badung. Pelatih itupun senantiasa mengajarkan sekehe tersebut dengan mencari tabuh kebyar dan tarian-tarian diantaranya : Tari Pendet, Panyembrahma, Oleg Tamulilingan, Belibis, Manukrawa, Marga pati, Panji Semirang dan Nelayan, termasuk juga Tari Legong. Dengan kegigihan sekehe tersebut, akhirnya angklung kebyar Sinar Jaya Sigaran semarak di gemari penonton sampai kupah ke plosok-plosok desa yang ada di Tabanan. Walupun kupahnya dengan berjalan kaki tetapi sekehe angklung Sinar Jaya Sigaran tetap semangat.
Sekitar tahun 1970-an sekehe angklung Sinar Jaya Sigaran mulai mengikuti lomba-lomba dulu disebut mapetuk di tingkat kabupaten Tabanan, angklung Sinar Jaya Sigaran paling terdepan dan banyak digemari penonton begitu juga sekehe angklung tersebut mengambil job’s di hotel-hotel. Hingga sekarang angklung Sinar Jaya Sigaran terkenal dengan suara emasnya.
Sampai sekarangpun angklung Sinar Jaya Sigaran sangat disucikan di Sigaran dan juga menjadi budaya di Sigaran, antara lain angklung tersebut dipergunakan untuk mengiringi upacara ngaben/Pitra Yadnya, piodalan di pura, ngetelu bulanin, mesangih, pernikahan dan yang paling menjadi budaya adalah Ketus Pungsed. Dimana setiap bayi yang ketus pungsed khususnya di Sigaran harus ngupah angklung karena angklung tersebut dipercayai untuk menjaga keselamatan bayi tersebut. Sampai sekarangpun budaya tersebut tetap berlaku di Sigaran dan angklung Sinar Jaya Sigaran tetap berjaya, yang sekarang merupakan generasi keempat.
Sejarah Berdirinya Angklung Sinar Jaya Sigaran, Penebel, selengkapnya