
Studi Tour Komunitas Multimedia (KOMMA) STIMIK AMIKOM Yogyakarta
KUNJUNGANBBELAJAR MAHASISWA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA YANG TERGABUNG DALAM KOMUNITAS MULTIMEDIA (KOMMA) 2011
KUNJUNGANBBELAJAR MAHASISWA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA YANG TERGABUNG DALAM KOMUNITAS MULTIMEDIA (KOMMA) 2011
Kiriman: I Wayan Ekajaya Suputra, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar
Gambelan Selonding adalah merupakan peninggalan historis dari kegiatan berkesenian nenek moyang di masa silam. Gambelan Selonding merupakan salah satu contoh mengenai Local Genius dari lelhur, yang mampu mengantarkan kita kepada suatu jenjang puncak budaya, sehingga keberadaannya masih eksis sampai saat ini. Peninggalan historis tersebut masih mampu menjembatani suatu masa ribuan tahun yang lalu dengan masa kini.
Gambelan Selonding memang masih dapat bertahan dari terpaan gelombang peradaban manusia dalam rentang waktu yang cukup lama, dan ini hanya dimungkinkan oleh adanya suatu vitalitas nilai universal yang terkandung di dalamnya dan terjalin erat dengan masyarakat pendukungnya.
Pada dasarnya gambelan Selonding yang lahir dari hasil, cipta, rasa, dan karsa nenek moyang, itu adalah sebagai perwujudan dari pengalaman estetis dikala keadaan jiwa sedang mengalami kedamaian dan kesucian. Pendakian ini hanya mungkin dapat dicapai dengan penghayatan dan pengalaman yang immanent dari ajaran agama hindu. Rupa-rupanya gambelan Selonding tumbuh, hidup dan berkembang sebagai kultur religius, sehingga dapat dipahami bahwa gambelan Selonding banyak terdapat dipusat-pusat keagamaan pada zaman Bali kuno yang oleh R. Goris disebut sebagai basis kebudayaan Bali Kuno. Dapat dimengerti, mengapa gambelan Selonding yang pernah ada di Jawa Timur pada zaman Kediri kini sudah lenyap (Tusan, 2001 : 2).
Gambelan Selonding bukanlah segugusan instrumen primitif yang kosong tanpa makna. Gambelan ini banyak tercatat dalam prasasti raja-raja Bali Kuno dari babakan pemerintah Maharaja Sri Jaya Sakti sampai dengan awal pemerintahan Majapahit di Bali. Dan juga sejumlah karya sastra para pujangga dari zaman Kediri sampai Babakan zaman Majapahit akhir. Seperti Kekawin Bharata Yudha, Hari Wangsa, Gatot Kaca Sraya, Sumana Santaka, Wrttasancaya, Wrttayana, dan Rama Parasu Wijaya, banyak merekam nuansa keindahan gambelan Selonding yang masih dapat diwarisi sampai sekarang.
Istilah Selonding yang kemudian dikenal dengan nama Selonding di Bali, berdasarkan temuan dalam sebuah lintar kuno yaitu Babad Usana Bali yang menyebutkan seorang raja besar di zaman dahulu yang bergelar Sri Dalem Wira Kesari yang bertahta di lereng gunung Tolangkir (Gunung Agung) (Tusan, 2001 : 12)
Bila dirunut asal muasal kosa kata Selonding itu berasal dari kata Salunding. H.N. der Tuuk dalam bukunya Kawi Balineesch-Nederlandsch-1984, menyebutkan bahwa Salunding itu identik dengan gambelan gender.C.F. Winter SR menyebutkan Salunding adalah gambelan Saron.Wayang Warna menyebutkan kosa kata Salunding adalah nama gambelan yang suci yang ditabuh pada upacara tertentu.
Guru-guru Kokar pada waktu mengadakan penelitian di Tenganan (1971) mengemukakan bahwa Selonding berasal dari kata Salon + Ning yang diartikan tempat suci. Karena gambelan Selonding itu dikenal sebagai perangkat gambelan yang disucikan dan disakralkan oleh masyarakat pendukungnya.
Gambelan Selonding adalah salah satu gambelan kuno yang masih dapat diwarisi sampai sekarang di Bali. Gambelan ini semula dikenal pada masa pemerintahan Sri Jaya Bawa di Kediri yang berlanjut sampai pada zaman Majapahit.
Di Bali gambelan Selonding telah dikenal pada pemerintahan Sri Maharaja Jaya Sakti (1052-1071 C), merupakan suatu kesenian yang populer pada zamannya, mengingat kewajiban-kewajiban berupa pajak yang dikenakan yang merupakan pajak tertinggi diantara kesenian lainnya.
Pada zaman pemerintah Sri Maharaja Bhatara Guru Sri Adikutiketana pada tahun 1126 C, kesenian Selonding ini akhirnya dibebaskan dari segala macam pajak, karena telah menjadi kesenian untuk mengiringi upacara keagamaan sampai dewasa ini. Gambelan Selonding tersebut masih sangat disakralkan sebagai sarana upacara keagamaan di Bali, seperti yang terdapat di Tenganan, Bungaya, Asak, Timbrah, Bugbug, Ngis, Trunyan, Kedisan ,Batur, Bantang, Manikliyu, dan Tigawas.
Jumlah
Satuan | Ciri-ciri Instrumen | |
8 | tungguh | berisi 4 buah bilah |
6 | tungguh | masing-masing berisi 4 buah bilah |
2 | tungguh | berisikan 8 buah bilah |
Karawitan Bali mencatat bahwa instrumentasi dari gambelan Selonding, yaitu :
Jumlah | Satuan | Instrumen |
2 | tungguh | gong |
2 | tungguh | kempul |
1 | tungguh | peenem |
1 | tungguh | petuduh |
1 | tungguh | nyongnyong alit |
1 | tungguh | nyongnyong ageng |
Tabuh-tabuh yang dimainkan dengan patet yang berbeda-beda, dapat dikelompokkan menjad:
Kebudayaan adalah hasil hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Kehidupan tradisional merupakan bagian dari kebudayaan, kelahirannya dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, adat kebiasaan setempat dan dilandasi oleh keadaan alam setempat. Karena budayalah kita setiap saat cenderung mengalami perubahan-perubahan yang sering disebut modernisasi. Terlihat jelas bahwa kebudayaan selalu melatarbelakangi setiap fenomena sosial dan sering menimbulkan dilema antara tradisi yang cenderung bertahan dan modernisasi yang cenderung merombak dengan membawa nilai-nilai baru. Masyarakat Bali kini dihadapkan dengan budaya luar, karena mereka setiap saat berinteraksi dan berhadapan langsung dengan wisatawan asing dan pergeseran budaya pun terjadi tanpa disadari. Pengaruh-pengaruh luar ada berbagai macam dan bentuknya antara lain : teknologi, ekonomi, agama, pendidikan,gayahidup dan beberapa pengaruh lainnya yang membawa nilai-nilai pembaruan.
Untuk mendapatkan ide dilakukan dengan observasi, dan melihat aktivitas soaial masyarakat saat ini. Sehingga dilakukan suatu eksperimen dengan alat dan bahan. Dengan eksperimen tersebut dilakukan suatu proses pembentukan, dengan prinsip-prinsip penyusunan karya seni lukis. Melalui tahap finishing yang merupakan evaluasi terakhir terciptalah karya seni yang biasa diapresiasikan ke masyarakat.
Untuk memberikan gambaran kepada masyarakat tentang fenomena sosial budaya yang sedang terjadi, pencipta menggunakan media seni lukis dengan cara ungkap realis dan dengangayayang mengarah pada karya-karya pop art. Dalam hal ini pencipta menghasilkan karya seni lukis sebanyak 12 karya.
Kata kunci : Budaya, Tradisional, Wisatawan, Sosial, Modernisasi.
Kiriman: I Wayan Eris Setiawan, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar.
Jes Gamelan Fusion merupakan sebuah group musik yang dibentuk oleh I Nyoman Windha pada tanggal 31 Januari 2006. Group musik ini terlahir dari adanya kegelisahan dan kepedulian Windha terhadap kesenian Bali di masa-masa yang akan datang. Darikegelisahannya itulah memunculkan keinginan untuk mewujudkan sebuah gagasan yang mungkin bisa dikatakan agak radikal yang sebenarnya semata-mata sebagai ekspresi yang meluap betapa ia mencintai Bali. Ide ini lahir dari rasa peduli dan pengamatannya meneropong dan menyayangi Bali dari jauh yang juga didukung oleh pengalamannya mengajar di beberapa group gamelan dan tari Bali di Amerika Serikat serta kontribusi penempaan dan pengalamannya belajar komposisi musik di Mill College. Disamping itu ia juga mengakui bahwa pengalamannya berkolaborasi dengan Indra Lesmana dalam konser kolosal Megalitikum Kuantum (2005) telah memberikan motivasi yang kuat buat Windha untuk membentuk group musik Jes Gamelan Fusion ini.
Fusi dari gamelan yang terbuat dari bambu dan tembaga ini diintegrasikan menjadi sebuah barungan gamelan yang sistem nadanya dilaras mendekati tangga nada diatonis. Sejalan dengan konsep fusion yang diungkapkan Windha, dalam Jes Gamelan Fusion ini ia juga juga menggunakan beberapa instrument gamelan Jawa seperti kendang Ciblon dan sitar Jawa; alat-alat musik barat seperti biola, keyboard, bas gitar, drum set, saxsophone dan alat-alat musik non gamelan lainnya seperti djembe, dan tabla.
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa gamelan Jegog adalah salah satu jenis perangkat gamelan yang menjadi ciri khas daerah Jembrana. Sebuah karya seni yang lahir di bumi makepung ini banyak memiliki kekhasan yang yang dapat membedakannya dengan ensambel gamelan lainnya di Bali. Kekhasan itu dapat diamati dari sistem pelarasannya yang menggunakan laras pelog empat nada, penampilannya yang selalu enerjik. Demikian juga halnya dengan gamelan Semar Pagulingan yang sudah memiliki kekhasan yaitu memakai laras pelog tujuh nada. Lalu kenapa Windha memilih kedua ensambel ini untuk digabungkan dan dirubahnya sistem pelarasan yang sudah mentradisi dari kedua ensambel tersebut mendekati tangga nada diatonis? Apakah ia tidak akan merusak dari khasanah budaya yang sudah ada?
Menurut Windha, aspek musikal Jes Gamelan Fusion dibentuk atas dasar pertimbangan konsepsi musikal yang telah diperhitungkan dengan masak-masak. Pengabungan Jegog dengan Semar Pagulingan tidak semata-mata digabung begitu saja, namun berangkat dari aspek estetik-musikal yang cermat dan atas pertimbangan yang jeli dalam hal pemilihan nada dasar yaitu mengambil tonika nada diatonis untuk digunakan dalam kedua ensambel itu. Dengan tonika nada diatonis tersebut, secara praktis akan membuat kedua ensambel ini akan lebih mudah berinteraksi dan beradaptasi dengan instrument musik Barat. Pembuatan nada yang tidak sama dengan aslinya juga dilakukan atas dasar pertimbangan model atau jenis musik yang akan dihasilkan. Windha menambahkan bahwa dengan memakai media ini ia akan coba menggarap komposisi musik dengan menggunakan konsep-konsep musik jazz.
Inovasi yang dilakukannya terhadap gamelan Jegog dan Semar Pagulingan tidak membuatnya menjadi khawatir akan pertanyaan apakah perbuatannya itu dapat dikatakan merusak dari kesenian tradisi atau tidak. Justru Windha memberi jawaban dengan memberi pertanyaan ”apakah kemunculan gamelan seperti Semarandhana yang juga merupakan penggabungan dari gamelan Gong Kebyar dan Semar Pagulingan akan merusak dari keberadaan gamelan lainnya di Bali?” Windha menegaskan bahwa apa yang ia perbuat sekarang justru akan menambah keragaman seni yang di miliki Bali dan ini merupakan sebuah usaha yang dilakukannya untuk dapat dipersembahkan kepada tanah kelahirannya
Instrumentasi dan Jumlah Instrument
Media ungkap yang digunakan oleh I Nyoman Windha adalah Jes Gamelan Fusion. Jes adalah singkatan dari Jegog dan Semar Pagulingan, serta gamelan fusion didefinisikan sebagai sebuah perpaduan gamelan. Intrumen gamelan Jegog dan Semar Pagulingan yang dipakai disini tidaklah komplit, namun yang dipakai hanya beberapa instrument saja yang diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan garap.
Gamelan Jegog yang digunakan disini adalah gamelan Jegog Tingklik. Jegog Tingklik adalah bentuk lain dari Gamelan Jegog Jembrana dimana alatnya berbentuk Jegog bilah/daun yang menggunakan resonator lepas, namun hanya instrument Jegognya saja yang memakai resonator yang menyatu dengan sumber getarnya. Adapun intrumen yang digunakan yaitu:
Mengenai gamelan semar Pagulingan, instrument yang digunakan disini yaitu:
Skrip karya ini mengambil tema “ Fenomena Kehidupan Perempuan Tua Sebagai Sumber Inspirasi Dalam Penciptaan Karya Seni Lukis”. Berawal dari melihat dan memperhatikan tentang kehidupan perempuan tua yang menyentuh perasaan yang mengarah pada filosofi tentang hakekat kehidupan, ketika perempuan mulai tua ia akan semakin berpegang teguh pada perbuatan dan tingkah laku yang bijak kesopanan dan kerendahan hati. Dari sudut pandang itulah menjadikan dorongan untuk pencipta mengangkat perempuan tua sebagai sumber inspirai dalam penciptaan karya seni lukis.
Untuk mempermudah proses perwujudan karya diperlukan kajian sumber sebagai referensi di dalam pencipta berkarya. Adapun kajian yang diterapkan dalam penciptaan ini adalah melalui pengamatan obyek, pengamatan karyadari seniman lain, dari media komunikasi dan media cetak lainnya, yang kemudian diteruskan pada proses penciptaan melalui tahap penjelajahan, tahap eksperimen, dan tahap pembentukan, sehingga terwujud karya yang sesuai tema yang diinginkan.
Akhirnya dapat disimpulkan terkait dengan tema bahwa sosok kehidupan perempuan tua mempunyai permasalahan yang komplek dan terkadang sangat sulit untuk dipecahkan, sehingga mampu mebangkitkan inspirasi seni yang mendorong munculnya ide-ide pencipta untuk merealisasikan semua itu kedalam karya seni lukis. Dalam visual karya pencipta menggunakan teknik dusel, dan teknik kerok.
Kata kunci : Fenomena Perempuan Tua, penciptaan seni lukis