Garuda Di Dadaku Dalam Debur Pentas Seni

Garuda Di Dadaku Dalam Debur Pentas Seni

Kiriman: Kadek Suartaya, S.Skar., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Garuda nan gagah perkasa. Telah sekian masa merajut kesatuan negeri tercinta ini. Susastra Hindu menuturkan, begitu menetas dari telurnya, Garuda mengguncang jagat semesta, terbang membelah angkasa, menyapu mega-mega. Diceritakan, pada suatu hari, kepakan sayap putra Bagawan Kasyapa ini menerjang Sorgaloka. Para dewa tak kuasa menghadapi amukan dahsyat Garuda yang menginginkan tirta amerta untuk diberikan kepada Naga Kadru sebagai balasan hutang ibunya. Dewa Wisnu menganugrahkan air kehidupan abadi itu dengan syarat Garuda bersedia menjadi wahananya, bersama-sama menumpas kebatilan serta menjaga keharmonisan, kedamaian dan kesejahteraan umat manusia. Kisah keluhuran budhi dan kepahlawanan Sang Garuda itulah yang menggugah para pendiri bangsa ini mengukuhkan Garuda sebagai lambang Negara Indonesia.

Masyarakat Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar yang mensyukuri rahmat hidup Hyang Widhi ini, juga mengusung  Garuda  sebagai maskot dan spirit warganya, ditandai dengan sebuah patung Garuda yang terbuat dari beton setinggi lima meter bertengger persis di tengah-tengah desa setempat.  Syahdan pada tahun 1970-an, ketika dunia kepariwisataan Bali mulai bangkit, para perajin atau seniman Desa Guwang mendapat berkah dari membuat seni ukir patung kayu yang banyak diminati oleh kalangan wisatawan. Ada pun bentuk atau figur yang seakan serentak dibuat oleh masyarakat setempat saat itu adalah patung Garuda yang dikendarai Dewa Wisnu.

Kekaguman dan rasa takzim masyarakat Desa Guwang terhadap Sang Garuda tetap bergelora hingga kini. Tengokkan Sabtu (16/4) sore lalu di panggung terbuka Balai Budaya Gianyar. Lewat ungkapan seni pertunjukan kolosal, para pelaku seni Banjar Buluh Guwang menyajikan kisah burung agung Garuda, disaksikan ribuan penonton yang menyesaki Lapangan Astina Gianyar. Garapan seni bertajuk “Garuda Sang Pangayu Jagat” ini ditampilkan dalam Pawai Budaya berkaitan dengan hari jadi ke-240 Kota Gianyar.

Mitologi tentang burung Garuda sangat lekat dengan kebudayaan Hindu. Di tengah masyarakat Bali masa kini, Garuda dalam berbagai ekspresi seni, patung dan lukisan misalnya, tidak hanya memiliki nilai komersial kepariwisataan namun dimuliakan penuh respek sebagai raja diraja burung  yang berkepala, paruh, sayap dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia. Patung Garuda ditempatkan sebagai penyangga bale gede pada bangunan arsitektur tradisional. Di Bali, bahkan, Garuda bukan hanya melayang-layang dalam kisahan dan dongeng tetapi “hidup“ menerjang lincah dalam seni tontonan, jadi ikon pahlawan pembela kebenaran dalam puspa warna  seni pertunjukan seperti tampak pada Wayang Kulit, Calonarang, Wayang Wong, dan Sendratari.

Internalisasi tokoh Garuda yang begitu kokoh di tengah masyarakat Bali mengalir dari masa kejayaan kerajaan Hindu di Jawa. Pada masa keemasan Majapahit misalnya, Sang Garuda diusung sebagai lambang kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wisnu, Garuda juga memiliki sifat pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta. Penghormatan terhadap Garuda sebagai wahana Wisnu dapat dijumpai dalam berbagai candi kuna peninggalan Hindu Jawa seperti pada candi Pranbanan, Mendut, Penataran, Belahan, Sukuh dan Cetho dalam bentuk relief atau arca. Sebuah arca menggambarkan Airlangga sebagai Wisnu tengah mengendarai Garuda yang ditemukan di candi Belahan, merupakan arca Garuda Jawa Kuna paling terkenal yang kini disimpan di Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

Ratusan tahun, dari zaman ke zaman Sang Garuda mengepak-ngepak dalam imajinasi generasi terdahulu. Maka, ketika bangsa Indonesia memerlukan lambang negara, burung mitologi Hindu ini seakan meluncur dari langit khatulistiwa dan hinggap menjadi penanda keindonesiaan kita. Garuda sebagai lambang negara, dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya  pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut dengan menambahkan “jambul” pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita.  Disain Garuda lambang negara itu tak berubah hingga kini. Pekik “Garuda di dadaku” kini menjadi api semangat dan kebanggaan bangsa Indonesia.

Garuda Di Dadaku Dalam Debur Pentas Seni, selengkapnya

Kehidupan Sosial Masyarakat Kota Mataram

Kehidupan Sosial Masyarakat Kota Mataram

Kiriman I Gede Yudarta, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Orang Bali, dimanapun keberadaan mereka baik secara individu maupun berkelompok akan senantiasa hidup sebagaimana di daerah asalnya yaitu Bali. Bagi yang hidup secara berkelompok atau tinggal pada suatu kawasan tertentu di luar Bali, akan senantiasa hidup dengan sistem yang telah melekat dari diwarisi oleh para leluhur mereka. Menyimak kehidupan masyarakat Bali di Mataram, dilihat dari sistem sosial yang dianut, mereka masih tetap mewarisi dan melaksanakan sistem sosial sebagaimana layaknya di Bali, bahkan dalam menjalankannya mereka lebih ketat, taat dan disiplin dari pada di daerah asalnya.

Dalam kehidupan berorganisasi, masyarakat Bali di Mataram masih melaksa-nakan sistem organisasi sebagaimana layaknya di Bali. Sebagaimana dikatakan Suyadnya (2006:6), komunitas Bali di Lombok mengorganisasikan diri dalam bentuk banjar-banjar, organisasi tradisional ala Bali. Banjar adalah organisasi kemasyara-katan tradisional yang merupakan kesatuan sosial atas dasar ikatan wilayah. Namun demikian, ada sedikit perbedaan antara banjar yang ada di Mataram dengan bajar yang ada di Bali. Apabila di Bali keberadaan banjar sebagai bagian organisasi sosial yang lebih kecil dari desa, atau kelurahan serta memiliki fungsi secara adat dan kedinasan. Di Mataram banjar tidak memiliki afiliasi ke desa adat karena tidak ada orgaisasi desa adat. Sebagaimana dikatakan lebih lanjut oleh Suyadnya, ada tiga jenis banjar di Mataram yakni banjar rojong, banjar suka duka dan banjar karya. Banjar rojong biasanya terdapat di kampong-kampung tua yang ada di Mataram. Dikatakan banjar rojong karena kramanya memiliki hubungan sidikara atau setingkat rojong (warisan/keturunan) yang diwarisi oleh para leluhur mereka. Selanjutnya banjar suka duka adalah organisasi sosial yang dibentuk berdasarkan kebutuhan suka duka. Anggotanya adalah mereka yang tidak menjadi anggota banjar rojong dan mereka pada umumnya adalah pendatang baru atau anggota banjar rojong yang kesepekang oleh rojongnya. Sama halnya dengan banjar suka duka, banjar karya adalah organisasi sosial yang anggotanya tidak atas dasar hubungan sidikara.

Selain banjar, organisasi tradisional yang sama dengan di Bali adalah sekaa, yaitu suatu perkumpulan atau kesatuan sosial yang mempunyai tujuan-tujuan khusus tertentu (Rivai Abu. ed. 1980/1981:56). Adapun sekaasekaa yang ada diantaranya: sekaa truna, sekaa angklung, sekaa gong, sekaa pesantian, sekaa jogged dan berbagai jenis lainnya sesuai dengan kebutuhan di masyarakat. Seiring dengan perkembangan yang terjadi di Bali, merebaknya kembali persoalan soroh (klen), di Mataram saat ini juga muncul organisasi sejenis seperti maha semaya warga pande, pasemetonan pasek sapta rsi, arya kenceng dan berbagai soroh lainnya. Di samping organisasi tradisional sebagaimana diuraikan di atas, terdapat pula berbagai organisasi yang bersifat modern diantaranya: Paradah, Pemuda Hindu, Parisada dan organisasi lainnya yang merupakan himpunan dari masyarakat Bali.

Bentuk kehidupan sosial lain yang dilakoni oleh masyarakat Bali di Mataram adalah dalam pelaksanaan berbagai upacara adat seperti sebagaimana tercakup dalam Panca Yadnya, dimana masyarakat Bali senantiasa melaksanakan upacara tersebut sesuai dengan apa yang telah mereka warisi dari para leluhur mereka. Sikap gotong royong, kebersamaan dan saling menghargai satu sama lainnya masih tampak dalam kehidupan masyarakat di Kota Mataram. Seperti tradisi megibung (makan bersama), yang merupakan tradisi masyarakat dari daerah Karangasem (Bali) pada saat pelaksanaan upacara ngaben, pernikahan dan upacara lainnya masih tetap dilestarikan dan dilakukan oleh masyarakat Bali di Kota Mataram. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1614 Caka (1692 Masehi) ketika salah satu Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak (Lombok). Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut megibung yang sarat akan tata nilai dan aturan yang khas.

Kehidupan Sosial masyarakat kota mataram, Selengkapnya

Revitalisasi dan Inovasi Dramatari Arja: Sebuah Harapan Baru

Revitalisasi dan Inovasi Dramatari Arja: Sebuah Harapan Baru

Kiriman Ida Bagus Surya Peradantha, S.Sn.

Dramatari Arja, merupakan kesenian tradisional Bali yang terkenal. Setiap kabupaten di Bali, sejak jaman dahulu telah memiliki Dramatari Arja dengan berbagai style atau gayanya masing-masing. Pada tahun 1920-an sampai 1960-an, kesenian ini menemukan kejayaannya, dimana setiap pementasannya selalu dipadati penonton. Durasi yang panjang, yaitu sekitar 5-6 jam ini tidak menyurutkan niat penonton untuk menyaksikan jalannya cerita hingga penghujung. Wajar saja Dramatari Arja pada jaman itu menjadi tontonan sekaligus hiburan utama masyarakat, mengingat pola hidup masyarakat serta kebiasaan yang dianut tidaklah seperti sekarang. Setelah masa kejayaannya berakhir, eksistensi Dramatari Arja perlahan tapi pasti mengalami kemunduran. Bahkan tidak jarang, setelah ditinggalkan oleh para generasi emasnya, sangat sulit ditemukan seniman yang memiliki bakat sekaligus niat untuk melanjutkannya.

Etimologi kata Arja menurut I Made Bandem dalam bukunya Ensiklopedi Tari Bali diduga berasal dari kata “ Reja “  yang mendapat awalan “A” sehingga menjadi kata Areja. Oleh karena kasus pembentukan kata, istilah Areja berubah menjadi Arja yang berarti “sesuatu hal yang mengandung keindahan”. Dewasa ini kata Arja dipergunakan untuk menamakan satu jenis kesenian Bali yang berunsurkan tari, drama dan nyanyian.

Melihat perkembangan teater belakangan ini, maka teater dapat digolongkan ke dalam 3 jenis, masing-masing :

  1. 1.    Literary Music Form ( Bentuk literer, Drama )
  2. 2.    Musical Form ( Seni Drama yang mempergunakan seni suara sebagai pengungkap cerita, juga dapat disebut opera )
  3. 3.    Audio Visual Form ( Televisi dan Film )

Setelah kita mengetahui penggolongan jenis teater tersebut, maka dapatlah kita menggolongkan Dramatari Arja ini ke dalam Musical Form, dimana musik ( Tembang dan Instrumental ) menjadi bagian yang paling dominan dan penting. Karena, setiap pengungkapan dramatisasi pasti menggunakan tembang dan istrumen.

Jika diperhatikan ke belakang, di saat derasnya pengaruh globalisasi, kebutuhan manusia akan sebuah hiburan sungguh merupakan sesuatu yang mutlak. Hal ini dikarenakan begitu padatnya volume aktivitas yang mereka jalani tiap harinya. Maka dari itu, waktu luang yang ada merupakan hal yang harus dimanfaatkan secara efisien untuk menyegarkan kembali pikiran yang lelah. Salah satu cara misalnya adalah dengan menyaksikan televisi yang sarat hiburan berbagai genre. Namun di sisi lain, justru hal inilah yang menjadi salah satu penyebab pudarnya kilau Dramatari Arja yang dahulu merupakan hiburan yang ditunggu-tunggu.

Sebagai seorang seniman muda, saya mencoba untuk peka terhadap isu yang terjadi pada apa yang dihadapi oleh Dramatari Arja. Kebetulan, saya mempunyai seorang nenek yang merupakan penari Arja terkenal pada zamannya. Beliau bercerita bahwa membawakan kesenian Arja merupakan sesuatu yang sangat sulit. Kita dituntut harus bisa berakting, berdialog verbal, berdialog dengan tembang tradisional Bali, menari dan bahkan mengarang syair tembang secara spontan di atas panggung. Di samping itu, seorang penari juga dituntut untuk mengetahui beberapa cerita yang bersumber dari legenda, babad, epos, dan sejarah. Secara tidak langsung hal ini menuntut seorang penari harus menguasai bidang sastra daerah secara cukup dalam.

Kompleksitas dari Dramatari Arja inilah yang ternyata menjadi salah satu isu penting dari memudarnya pamor kesenian ini di mata seniman muda dan menyebabkan perlunya proses ekstra panjang untuk melakukan regenerasi. Di samping itu, pengaruh televisi yang menyajikan jenis hiburan lebih beragam, menarik, mudah dan murah, serta praktis, juga turut memberikan andil sepinya penonton untuk menyaksikan hiburan tradisional seperti Dramatari Arja. Maka dari itu, kesenian ini pun menyesuaikan diri dengan memadatkan cerita dan durasi pementasan menjadi maksimal dua jam yang semula sangat panjang hingga enam jam. Cukupkah itu untuk kembali menarik minat masyarakat menyaksikan Dramatari Arja tradisional? Sayang sekali, hal itu belumlah memberikan hasil maksimal untuk menyegarkan kesenian ini.

Untungnya, seniman di Bali tidak begitu saja melupakan dan meninggalkan warisan kesenian adiluhung ini. Sebagai bukti, untuk menyelamatkan keberadaan Dramatari Arja, banyak usaha yang dilakukan, seperti misalnya pembinaan sejak usia dini, dibukanya kesempatan tiap sanggar untuk menampilkan kesenian Arja pada event-event tertentu seperti PKB kali ini, hingga revitalisasi dan inovasi keberadaan Dramatari Arja. Usaha terakhir ini patut mendapat perhatian lebih, sebab memungkinkan seorang seniman untuk membawa sebuah misi pembaruan dalam usahanya mempertahankan eksistensi kesenian ini.

Revitalisasi dan Inovasi Dramatari Arja: Sebuah Harapan Baru, selengkapnya

Gending Pegambuhan di Desa Kedisan

Gending Pegambuhan di Desa Kedisan

Kiriman I Wayan Sucipta, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

Lagu pegambuhan merupakan sajian lagu yang sangat ritmis. Hal tersebut karena sebagian besar instrument dalam Gamelan Gambuh didominasi oleh instrument pukul yang teknik permainannya tergolong ritmis. Ditambah dengan suara suling dan rebab,yang memainkan gending-gending dengan cengkok dan wilet. Gending-gending Gambuh lebih bersifat gending-gending yang ditarikan dari pada bersifat instrumental atau petegak. Misalnya ketika pentas sekaa Gambuh ini hanya memainkan satu atau dua tabuh petegak selebihnya untuk iringan tari.

Gending-gending pegambuhan pada sekaa Gambuh Kedisan memiliki dua bentuk gending, yaitu gending petegak dan gending iringan tari. Gending petegak adalah gending-gending yang disajikan pada awal pertunjukan Gambuh, yang berfungsi untuk memanggil penonton dan memberikan tanda bahwa pertunjukan Gambuh akan segera di mulai. Tabuh petegak atau pembuka merupakan tabuh yang dapat memberikan cerminan terhadap pertunjukan selanjutnya. Pada tabuh pembuka ini penonton akan menilai kemampuan penabuh di dalam menyajikan gendinggending.

Menurut  I Wayan Dibia dalam tulisan I Ketut Partha yang berjudul “Perkembangan Fungsi, Musikalitas dan Tata Penyajian Gamelan Angklung Banjar Kutuh Sayan”, mengatakan bahwa tabuh pembukaan cukup penting artinya bagi suatu sekaa, yang dalam pertunjukan tertentu perlu disiapkan sematang-matangnya, agar jangan sampai dicemooh oleh penonton. Sehingga apabila penampilan pembuka sudah bisa menarik perhatian penonton, maka selanjutnya penonton akan penasaran dan ingin menyaksikan pertunjukan selanjutnya.

Pada sekaa Gambuh Kedisan  masih terdapat dua gending petegak, yang dipergunakan menabuh sebelum pertunjukan Gambuh dimulai, antara lain:

  1. Tabuh Gari  menggunakan kupaan lebeng
  2. Batel dan Bapang menggunakan kupaan lebeng

Menurut I Gusti Ngurah Lawa (72 tahun) mengatakan, bahwa keberadaan Gambuh di Desa Kedisan sekarang ini sudah tidak seperti jaman dahulu. Kini keberadaanya banyak mengalami perubahan dari aspek pertunjukan dan musikalitas, contohnya gending-gending yang dipergunakan. Sekarang ini gending Gambuh yang masih tersisa dan dipergunakan dalam pementasan  hanya  tiga belas (13) gending, yang terdiri dari dua gending petegak dan 11 gending untuk iringan tari Gambuh. Menurutnya tabuh untuk iringan tari juga terkadang dipergunkan untuk petegak, apa bila dalam sebuah pertunjukan Gambuh penarinya belum siap dengan peralatannya, maka untuk mengisi waktu dimainkan gending lengker yang merupakan gending untuk iringan tari Kadean-kadean.

Begitu juga dengan gending-gending yang dipergunakan untuk mengiri tari Gambuh. Menurut narasumber gending-gending Gambuh yang sekarang sedikit mengalami perubahan, karena sempat mengalami pemotongan gending ketika melakukan pementasan ke luar negeri. Perubahan tersebut dilakukan untuk memenuhi durasi waktu yang ditentukan. Akan tetapi masih menggunakan pakem-pakem gending tradisi, seperti kawitan, penglembar dan ngecet atau pengecet. Adapun gending-gending yang dipakai mengiringi tarian Gambuh di Desa Kedisan, antara lain:

  1. Gending Condong untuk iringan tari Condong (di Kedisan dikenal dengan nama gending condong).
    1. Sumambang untuk iringan tari putri (Galuh).
    2. Bapang untuk iringan tari Demang Tumenggung. ( menurut narasumber I Wayan Rai, sempat mengatakan gending bapang untuk iringan tari Demang dan Tumenggung, di sebut juga dengan nama Bapang Gede)
      1. Sekar Gadung untuk iringan tari Arya.
      2. Kunyur untuk iringan tari Rangga dan Patih
      3. Godeg Miring untuk iringan tari Prabu.
      4. Batel untuk adegan Pesiat
      5. Subandar untuk iringan tari Bayan Sangit
      6. Lengker untuk iringan tari Kadean-kadean
      7. Semuradas untuk iringan tari Panji.
      8. Jaran Sirig untuk iringan tari Potet (raja buduh)

Berikut notasi gending Batel Petegak,Tabuh Gari dan Gending Condong yang terdapat pada Gambuh Desa Kedisan.

Gending Pegambuhan di Desa Kedisan, selengkapnya

Dilema Penerapan Haki Dalam Kehidupan Berkesenian Di Bali

Dilema Penerapan Haki Dalam Kehidupan Berkesenian Di Bali

Kiriman Ida Bagus Surya Peradantha, S.Sn

Melihat potensinya, Bali memiliki kekayaan yang luar biasa di bidang kesenian khususnya di bidang seni tari. Bila ditinjau dari karakternya, tari Bali dapat dibedakan menjadi tari putra dan tari putri. Sedangkan bila dilihat dari sisi koreografi, tari Bali dapat dipilah menjadi tari tunggal, duet, trio dan kelompok. Dibedakan dari sejarahnya, tari Bali dapat dibagi menjadi tari klasik atau tradisional serta tari kreasi baru.

Khusus mengenai tari klasik, tari-tarian yang termasuk kategori ini telah berkembang sejak jaman kerajaan. Adapun jenis tarian yang dapat dimasukkan dalam kelompok ini antara lain yaitu Gambuh, Topeng, Arja dan Legong. Semua tarian tersebut merupakan masterpiece yang telah membawa nama Bali ke dunia internasional dikarenakan nilai artistiknya yang tinggi dan membutuhkan teknik tari Bali yang baik untuk membawakannya.

Di Bali, terdapat banyak pusat-pusat pengembangan tari klasik yang masih bertahan hingga kini. Di desa  Pedungan dan desa Batuan misalnya, semenjak dulu telah berkembang kesenian Gambuh. Di desa Peliatan dan Saba, berkembang tari Legong Keraton dengan pengembangan gaya masing-masing. Serta banyak lagi desa-desa lainnya yang merupakan tempat-tempat pengembangan tari-tari klasik yang masih tetap kuat mempertahankan tradisinya.

Seni tari klasik ini tumbuh dan berkembang pertama kali di lingkungan istana yang diperuntukkan demi kepentingan istana, baik itu untuk hiburan sang raja, demi kepentingan upacara maupun yang lainnya. Lalu sebenarnya siapakah yang menciptakan tari-tarian tersebut ? Kita tidak pernah tahu siapa yang menciptakan tari Gambuh, Arja, Pendet maupun Legong. Belakangan ini, khususnya setelah marak terjadi klaim beberapa jenis kesenian kita oleh Malaysia, pemerintah Indonesia seolah kebakaran jenggot dengan menyerukan kepada setiap insan seni di tanah air untuk sesegera mungkin mematenkan karyanya. Dari sini kembali muncul persoalan ; bagaimanakah jadinya kesenian tradisional seperti di Bali yang sebagian besar anonym atau tidak diketahui siapa penciptanya kemudian “dipayungi” oleh produk hukum yang dinamakan Undang-Undang Hak Cipta? Akan menguntungkan atau malah akan memenjarakan kesenian itu sendiri?

Seperti yang telah disampaikan di atas, seorang pencipta tari pada jaman kerajaan akan merasa senang dan bangga bilamana hasil karyanya disukai dan dipentaskan di lingkungan istana. Para pencipta tersebut menganggap popularitas dan keuntungan komersial bukanlah menjadi tujuan utama. Sebab, prinsip utama  berkesenian orang Bali dahulu ( mungkin pula berlaku hingga sekarang ) adalah untuk kepentingan ngayah ( persembahan ) baik itu kepada sang pencipta maupun kepada sang penguasa. Ini sangat otentik sekali dengan sikap atau pola pikir adat ketimuran yang mengedepankan unsur kolektivitas. Maka dari itu, seni klasik yang juga termasuk salah satu kearifan lokal di Bali kebanyakan anonymous dan juga menjadi public domain. Namun justru dengan keadaan itulah, Bali menjadi terkenal tidak hanya di dalam negeri tetapi telah merambah ke seluruh mancanegara.

Setelah berakhirnya jaman kerajaan dan beralih ke bentuk pemerintahan republik, konsentarasi pengembangan seni klasik kini tidak lagi berada di istana, melainkan berpencar ke desa-desa dan selanjutnya berkembang disana. Misalkan, Gambuh yang pada awalnya merupakan tarian istana, kemudian dikembangkan di desa Pedungan dan Batuan sehingga kini disebut Gambuh Pedungan dan Gambuh Batuan. Demikian pula halnya dengan Tari Legong. Oleh karena sering dipentaskan di istana, maka Tari Legong akhirnya disebut Tari Legong Keraton. Setelah tidak lagi berkembang di istana, dimana sekarang berkembang di desa Peliatan dan Saba, maka tari Legong Keraton disebut Legong Keraton Peliatan atau Legong Keraton Saba. Pemberian legitimasi seperti itu jelas merupakan suatu usaha untuk mempertahankan dan melestarikan kesenian tersebut agar tidak lekang oleh jaman dan menghindarinya dari segala kemungkinan buruk tentang hak cipta. Di tempat-tempat itulah, para penari yang dulunya merupakan penari istana membina penari-penari setempat untuk dijadikan penerus berlangsungnya tari-tari klasik ini.

Setelah melakukan proses sedemikian rupa dan berlangsung dalam waktu lama, maka perkembangan tari-tari klasik ini menjadilah seperti sekarang. Di Pedungan misalnya, seni Gambuh dipertahankan dan dipelihara keberlangsungannya dengan cara menjadikan pementasan tari Gambuh menjadi sesuatu yang wajib dipentaskan dalam upacara keagamaan di pura setempat.

Dengan melihat perkembangan seni klasik di Bali seperti yang telah disinggung di atas dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat Bali memiliki local genius yang sangat kaya. Itu pun baru di bidang seni pertunjukan. Namun, perlindungan yang diberikan pada kekayaan yang tak ternilai harganya tersebut masih terlalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan yang buruk, termasuk pembajakan dan pengakuan secara illegal dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Pengesahan terhadap suatu produk local genius-nya masih sebatas pengakuan bersama  oleh masyarakat yang kurang memiliki kekuatan hukum secara tertulis. Apalagi dalam kondisi sekarang ini Bali telah menghadapi era globalisasi dengan pendekatan pembangunan ekonomi pada sektor industri pariwisata.

Di jaman global seperti sekarang dimana segala aktivitas manusia berjalan begitu dinamis, memberi kesempatan yang sangat luas bagi setiap wisatawan baik lokal maupun asing untuk menikmati berbagai keindahan alam dan kekayaan Bali secara langsung. Hal ini memang pada awalnnya merupakan sebuah keuntungan bagi masyarakat Bali yang pada umumnya mendapat kesempatan secara langsung untuk terlibat dalam berbagai kegiatan termasuk melakukan promosi terhadap segala kekayaan alam dan seni pulau Bali. Namun di sisi lain, kita juga dituntut untuk selalu waspada terhadap segala keuntungan yang ditawarkan di atas. Jika keuntungan tersebut gagal kita kelola dengan baik, maka keuntungan tersebut juga akan memberikan kerugian.

Dilema Penerapan Haki Dalam Kehidupan Berkesenian Di Bali, selengkapanya

Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Chardophone

Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Chardophone

Kiriman: Wardizal Ssen., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Jenis instrumen musik keluarga chardophone yang berkembang di Minangkabau adalah Rabab (rebab). Pertunjukannya sendiri disebut barabab yang berarti bercerita atau berkaba dengan iringan lagu dan bunyi rebab yang digesek oleh pencerita (Syamsudin, 1993:6). Pertunjukan rebab biasanya dilakukan disebuah ruangan tempat orang banyak dapat duduk berkumpul menyaksikan pertunjukan. Sering juga dilakukan di ruang tamu rumah orang yang mengadakan pesta keramaian. Ada tiga bentuk/jenis rebab yang berkembang di Minangkabau, yaitu:

Rebab Darek

Jenis instrumen musik berdawai (pakai snar) yang tumbuh dan berkembang terutama di daerah daratan Minangkabau (luhak nan tigo). Pemberian nama darek pada intrumen ini untuk membedakan dengan jenis musik berdawai lainnya yang juga berkembang di Minangkabau. Jika ditinjau dari sudut fisik serta bahannya, intrumen rebab darek terdiri atas tiga bagian.  Pertama bagian badan yang berfungsi sebagai ronga resonansi yang terbuat dari kayu nangka yang dibentuk sedemikian rupa dan dilapisi dengan kulit kambing atau kulit sapi. Kedua, bagian leher yang terbuat dari bambu atau talang. Biasanya dipilih talang yang sudah tua agar tidak mudah pecah. Ketiga, bagian kepala berupa kayu yang diukir. Di samping kiri dan kanan kepala rebab dipasang alat pemitar tali rebab yang berjumlah 2 (dua) buah. Sebagai penimbul bunyi, dipasang dua buah tali yang terbuat dari benang. Penggesek rebab terbuat dari kayu dan bubat (ekor kuda) atau nilon.

Fungsi dari instrumen rebab darek ini adalah sebagai alat untuk mengiringi dendang, khususnya dendang-dendang yang berkembang di daerah darek Minangkabau. Pertunjukan rebab darek herat kaitanya dengan upacara adat seperti: pengangkatan penghulu, mantenan, dan acara-acara yang bersifat sosial kemasyarakatan.

Rebab Pariaman

Jenis insrumen musik berdawai yang tumbuh dan berkembang khususnya di daerah Pesisir Barat Minangkabau, tepatnya di daera Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Instrumen rabab Pariaman hampir sama bentuknya dengan rabab darek, hanya bahan pembuatannya yang berbeda. Badan rabab Pariaman terbuat dari tempurung kelapa; tangkai rabab terbuat dari bambu; mempunyai 3 (tiga) buah senar terbuat dari benang, serta penggesek rebab terbuat dari rotan dan sebagai talinya dipakai bulu ekor kuda (bubat).

Fungsi rebab Pariaman adalah sebagai alat untuk mengiringi dendang, terutama jenis dendang kaba yang berkembang di daerah Pariaman sekitarnya. Pertunjukan rebab Pariaman dilaksanakan dalam berbagai bentuk upacara dan keramaian anak nagari, seperti upacara pengangkatan penghulu, helat kawin, malam dana, sunatan dan lain sebagainya.

Rebab Pesisir

Bentuk lain dari intrumen berdawai yang berkembang di Minangkabau, khususnya di daerah Pesisir Selatan (Painan). Pada awalnya bentuk rabab pasisia ini sama dengan jenis rabab yang berkembang di Pariaman. Keterbukaan masyarakat Pesisir menerima pembaharuan tampak pada perubahan bentuk instrumen rebab. Dalam keadaannya sekarang bentuk instrumen rebab adalah seperti biola. Badan biola terbuat dari kayu nangka; mempunyai 4 (empat) buah snar (tali) (2 helai terbuat dari benang dan 2 helai dipakai dawai atau snar biola). Ada juga yang memakai 1 helai dari benang dan 3 snar biola.

Seperti halnya rebab darek dan rebab pariaman, fungsi rebab pesisir adalah sebagai alat untuk mengiringi dendang, khususnya jenis dendang kaba yang berkembang di daerah Pesisir Selatan. Dalam pertunjukan rebab pesisir, biasanya diiringi dengan sebuah instrumen musik yang dinamakan indang; fungsinya adalah untuk mengiringi dendang yang sifatnya gembira dan untuk menghilangkan rasa jenuh dalam mendengarkan kaba. Pertunjukan rebab pesisir herat kaitanya dengan upacara adat seperti: pengangkatan penghulu, mantenan, dan acara-acara yang bersifat sosial kemasyarakatan.

Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Chardophone, Selengkapnya

Loading...