The Mandara Mountain also Erupted Tremendously

The Mandara Mountain also Erupted Tremendously

Translated by Ni Putu Tisna Andayani SS., Lecturer at Performing Arts Faculty, Karawitan Department ISI Denpasar

A side from Mount Merapi, Mount Bromo and Anak krakatau erupted just the latter. Last Saturday (27/11), the Mandara Mountain also erupted tremendous. Horribly, spit out “wedhus gembel” contain with halahala which is a deadly poison. The toxins that spewed from the top of the mountain threaten all living things. But the people of Central Java, who witnessed the eruption of Mount Mandara seemed calm and even enjoy it. Mandaragiri eruption was a ballet performance that was held in Pendhapa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Central Java.

Ballet entitled “Siwa Wisaya“performed by the students of ISI Denpasar, which served as the ultimate performance on Gong Kebyar Mebarung in Java and Bali area, held by ISI Surakarta. Gong Kebyar duel that lasted two nights, on the 26th -27th last November, presents four different groups namely: Gong Kebyar ISI Surakarta, ISI Yogyakarta, Puspa Giri Semarang, and ISI Denpasar. The story of Mandara Mountains are served by 60 students of ISI Denpasar, it was contextual with the eruption of natural disasters that are now happening in Indonesia. 

Mandaragiri is very familiar in Java community whose leather puppet lovers. Therefore, the turn of Mandaragiri in the early part of the Mahabharata epic was applied to be communicative in a ballet performance which lasts for 25 minutes. The audiences who attend the Pendhapa listened with enthusiasm and keen of the artistic display with a message which is underlined verbally by the mastermind or narrator in Old Javanese and Indonesian. Once in Satyayuga age, the gods and giants are agree to work together to find Tirta Amrita or the water of eternal life. To get the holy water they should stirring the sea of ​​milk “Ksiarnawa”, with a mountain. On the appointed day, the Mandara mountain at the Island of Sangka which carried by Hyang Antaboga is thrown into the middle of the ocean. To keep the mountain floating, Kurma the tortoise rested on the seabed and occupied on the top of the mountain is God IndraNaga Basuki is twisted on the mountain, his head held by the giants and his tail pulled by the gods. Mandaragiri is turned on. The Ocean was boiling and typhoons blustering.

The habitats of the mountain are bounced out and the ocean habitats are scattered. Suddenly from the top of the Mandara mountain sprit a solid black blob. The gods and the giants cheered excitedly, scrambling and about to drink the melting lump. Lord Shiva is watching carefully of gods and giants action he was swiftly captured and immediately drank it. Lord Shiva’s neck turned into dark blue because the one it was drunk by Lord Shiva is the killer toxin halahala. The gods and the giants get more curios and re-play the turn of Mandara Mountains which then disburse a clear liquid fragrance, Tirta Amrita. The giants fiercely controlled and run. Luckily, God Vishnu wins while pretended to be an angel and seduce them. Tirta Amrita was then spread by God Vishnu to all the human being in the earth and also to bring happiness and world peace.

The cultivation of “Shiva Wizard” ISI Denpasar ballet was pretty neat. I Wayan Sutirtha, S. Sn, M. Sn, one of the choreographers say that he quite satisfied with the artwork of the performance and the dancer’s magnificence accordance with the concept of artistic and aesthetic which had planned. The same opinion is also conveyed by a composer Ida Bagus Nyoman Mas, SSKar he impressed and salutes with the drummer’s team confidence and concentration that appear so neat. The coach at puppetry, I Ketut Kodi, SSP, M. Si and I Nyoman Sukerta, S. Sn, M. Si, also revealed his goal against the appearance of liking the narrator and puppeteer by one of the students at puppetry department ISI Denpasar, Bagus Bharatanatya. Apart to aesthetic visual communication through dance and gamelan musical audio system, Balinese dance-dramas that are performed in front of the community of Central Java interweave a verbal communication within the Indonesian National language.

Narration in the Indonesian language was deeply touched when thrown the moral expressions. The scene of Lord Shiva drank the poison of Mandara Mountains which caused his neck on fire, given the word of Lord Shiva narrative: “Hai para dewa dan para asura, cairan yang kalian perebutkan itu adalah halahala, racun. Aku tak ingin kalian mati binasa karena minum racun gunung itu. Sebagai penguasa semesta, aku rela mengorbankan diriku. Sebagai pemimpin, aku rela jadi tumbal kehidupan demi keselamatan hidup dan keberlangsungan kehidupan“ means : Dear gods and the giants, the liquid that you guys fighting for is halahala poison. Lord Shiva does not want them to drink poison and perish because of the mountains poison. As the possessors of the universe, I’m willing to sacrifice myself. As a leader, I’m willing to be a sacrificial life for the sake of safety of life and sustainability of life. The audiences were satisfied with it. Art is the vehicle for a flexible and powerful communication. When natural disasters came in a row and whack this nation, then the art breakthrough to give an amusement, reflection, and a vessel for introspection.  Just try to be reviewed on the last part of the “Shiva Wizard” ballet of ISI Denpasar. As he splashed Tirta Amrita, God Vishnu said: “O gods, giants, and all mankind. Birth, life, and death are the destiny. Sangkan paraning dumadi is the power of Hyang Widhi. Pray for the Lord. Maintain harmony together and ……, save the earth with loving & harmony.

Translated from Wedhus Gembel Halahala Mandaragiri,

Article By. Kadek Suartaya, Lecturer at Performing Arts Faculty, Karawitan Department ISI Denpasar


Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Aerophone

Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Aerophone

Kiriman: Wardizal Ssen., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Saluang Darek

Merupakan jenis instrumen musik tiup yang sangat popoler di Minangkabau. Dinamakan saluang darek, karena tempat tumbuh dan berkembangnya instrumen ini terutama di daerah darek (daratan) Minangkabau yang lebih dikenal juga dengan sebutan Luhan Nan Tigo (luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan luhak Lima Puluh Kota). Saluang Darek terbuat dari bambu talang (sejenis bambu tipis) yang mempunyai ruas yang panjang. Talang yang baik untuk dijadikan saluang adalah talang yang agak tebal. Besar dan panjang saluang darek tergantung pada keinginan orang yang membuat atau si peniup saluang itu sendiri. Walaupun ukuranya tidak pasti, pada umumnya orang membuat saluang darek mempunyai garis tengah lebih kurang 3 s/d 3.5 centimeter. Saluang darek mempunyai 4 (empat) buah lobang nada dengan keadaan ujung dan pangkal saluang tetap bolong. Bunyi dihasilkan melalui tiupan pada salah satu sisi yang bolong tersebut.

Dilihat dari segi bentuknya, instrumen musik saluang darek termasuk jenis end blown flute (tidak mempunyai lidah). Fungsi yang utama dari saluang darek adalah sebagai alat untuk mengiringi dendang (musik vokal Minangkabau). Di damping itu, juga difungsikan sebagai hiburan pribadi bagi anggota masyarakat yang dimainkan secara tunggal, sebagai ungkapan perasaan yang tak mungkin disampaikan pada orang lain.

Saluang Pauah

Jenis instrumen musik keluarga aerophone dan mempunyai lidah (wistle flute) yang sangat dikenal di daerah Pauah IX (Pauh sembilan) dan Pauah V (Pauh lima) Kota Madya Padang. Saluang ini mempunyai enam buah lobang nada dengan teknik meniup hampir sama dengan recorder. Saluang pauah biasanya digunakan untuk mengiringi dendang kaba dalam acara adat di daerah Pauah dan sekitarnya yang pelaksanaanya dilakukan pada malam hari sampai menjelang subuh. Pertunjukan Saluang Pauah dalam konteks upacara adat lebih bersifat hiburan untuk memeriahkan upacara.

Saluang Sirompak

Bentuk lain dari instrumen musik keluarga aerophone yang berkembang di Minangkabau jenis end blown fulte (tidak mempunyai lidah). Saluang Sirompak tumbuh dan berkembang terutama di daerah Taeh Barueh Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Saluang Sirompak mempunyai lima buah lobang nada dengan ketentuan empat buah lobang nada terdapat pada bagian atas, dan satu buah lobang nada terdapat pada bagian belakang (sejajar atau tepat di bawah lobang nada keempat).

Pada masa dahulu, fungsi yang utama dari saluang sirompak adalah sebagai alat untuk mengiringi dendang yang lebih dikenal dengan dendang sirompak. Dendang dan saluang sirompak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pertunjukan musik sirompak, suatu pertunjukan yang bersifat ritual magi. Tradisi pertunjukan sirompak biasanya difungsikan untuk mempengaruhi orang lain melalui kekuatan magi yang dihimpun dari unsur-unsur pertunjukan. Pertunjukan sirompak menurut tradisi kuno terdiri dari musik dan tari. Biasanya dimainkan oleh 3 s/d 5 orang; satu atau dua orang bertindak sebagai peniup saluang; satu atau dua orang lagi bertindak sebagai pendendang dan satu orang sebagai penari, yang kesemuanya adalah laki-laki. Peranan penari dalam pertunjukan sirompak sangat penting. Kehadiranya tidak hanya semata-mata sebagai penari, akan tetapi lebih dari itu adalah sebagai pawang atau pemimpin pertunjukan (Yuniarti, 1990:35).

Oleh karena ada salah penggunaan terhadap saluang sirompak di masa lalu, sampai sekarang saluang sirompak tidak mengalami perkembangan yang berarti. Namun demikian, sisa-sisa kesenian ini masih bisa ditemui, akan tetepi penggunaanya sangat terbatas. Kadang-kadang masih dilakukan ditempat terpencil yang jauh dari lingkungan masyarakat banyak. Kecuali kalau digunakan sebagai kesenian saja, seperti yang dipelajari di STSI Padang Panjang.

Saluang Panjang

Intrumen musik keluarga aerophone jenis wistle flute (tidak mempunyai lidah) berkembang terutama di daerah Sungai Pagu, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Oleh karena itu, jenis instrumen saluang ini sering juga disebut dengan saluang sungai pagu. Instrumen saluang panjang mempunyai 3 (tiga) buah lobang nada dengan ketentuan: 2 (dua) buah lobang nada terletak pada bagian atas dan satu buah lobang nada terletak pada bagian bawah. Saluang panjang biasanya difungsikan untuk mengiringi dendang, khusunya dendang-dendang yang berkembang di daerah Sunagi Pagu. Pertunjukannya dilaksanakan dalam rangka memeriahkan upacara adat.

Sampelong

Jenis instrumen keluarga aerophone, berkembang terutama di daerah Mungka, Kecamatan Guguk, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Instrumen Sampelong mempunyai 4 (empat) buah lobang nada yang terletak pada bagian atas. Kehadiran sampelong pada masa dahulunya sangat erat dengan kepercayaan gaib, karena sampelong ini harus dilengkapi dengan syarat-syarat tertentu untuk mengunakannya. Tempat memainkannya harus jauh dari keramaian. Sama halnya dengan saluang sirompak, pada masa dahulu sampelong digunakan sebagai kekuatan magi untuk menggilakan anak gadis orang karena menolah cinta seorang pemuda. Syarat-syarat untuk memainkan sampelong antara lain: kemeyan, tulang tengkorak manusia dan limau purut (Erizal, 1990:55). Pada masa sekarang sudah terjadi pergeseran fungsi pertunjukan sampelong, kehadiranya tidak lagi sebagai kekuatan magi dan dimainkan ditempat sunyi. Akan tetapi lebih berfungsi sebagai seni hiburan .

Instrumen Musik Minangkabau Kelompok Aerophone, selengkapnya

Tari Asal Bali Utara Berduel Mesra Di Bali Selatan

Tari Asal Bali Utara Berduel Mesra Di Bali Selatan

Kiriman: Kadek Suartaya, S.Skar., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Pada tahun 1950-an, di Bali Utara menguak dua karya seni pentas yaitu tari Tarunajaya dan tari Wiranjaya. Kedua ungkapan cipta seni tari ini bersaing sengit merengkuh kedigjayaannya. Tari Tarunajaya merupakan kebanggaan masyarakat Dangin Enjung (Buleleng Timur) sedangkan tari Wiranjaya adalah maskot seni pentas kebyar masyarakat Dauh Enjung (Buleleng Barat). Dalam gelanggang gamelan mebarung Gong Kebyar yang gencar digelar saat itu, khususnya saat pertemuan antara para seniman Dangin Enjung versus Dauh Enjung, Tarunajaya dan Wiranjaya ditampilkan dengan sarat euforia, heboh, dan bergengsi.

Namun setelah lebih dari setengah abad rivalitas dua karya tari seniman Bali Utara itu senyap, Sabtu (19/2) malam lalu, tari Wiranjaya dan Tarunajaya berduel di Jaba Pura Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar. Adalah ISI Denpasar dalam kesempatan ngayah melakukan pengabdian masyarakat di Sukawati–berkaitan dengan sebuah piodalan–menyajikan gamelan serta aneka tari klasik dan kreasi. Di antara puspa ragam tari yang disuguhkan adalah tari Tarunajaya dan tari Wiranjaya. Penonton yang penuh sesak menyimak dengan antusias seluruh pementasan. Penampilan Wiranjaya dan Tarunajaya diapresiasi penuh gairah.

Pada awal pemunculannya dulu, Tarunajaya dan Wiranjaya memang sempat bersanding dan bersaing ketat. Tetapi dalam perjalanannya kemudian, masyarakat Buleleng dan Bali pada umumnya lebih mengenal tari Tarunajaya sementara tari Wiranjaya sendiri redup dan tenggelam. Kukuhnya eksistensi tari Tarunajaya di tengah masyarakat pecinta seni tak lain dari peran sekolah kesenian Konservatori Karawitan (Kokar) Bali dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar. Masyarakat penonton masa kini umumnya hanya mengenal tari Tarunajaya style Kokar/ASTI  tersebut.

Sejatinya, tari Tarunajaya dan Wiranjaya lahir dari rahim yang sama yaitu tari Kebyar Legong, sebuah seni pentas gaya bulelengan ciptaan Pan Wandres dari Desa Jagaraga. Disebut Kebyar Legong karena tari yang menggabungkan elemen-eleman tari klasik Bali ini, dikagumi sebagai seni pentas tari yang luwes-dinamis bak Legong yang diiringi Gong Kebyar. Ada pula dugaan ia disebut Kebyar Legong karena pada sebuah koreografinya memasukkan secara kental penggalan tari Legong Keraton, tari klasik yang berkembang di Bali Selatan. Namun yang pasti, Kebyar Legong yang di  masa lalu selalu ditampilkan dalam tradisi gamelan mebarung di Bali Utara tersebut, menjadi stimulasi kegairahan berkesenian dan sumber inspirasi utama lahirnya tari Tarunajaya di Dangin Enjung dan Wiranjaya di Dauh Enjung.

Tersebutlah  seniman tabuh dan tari I Gede Manik, penari pertama dari tari Kebyar Legong. Pada suatu saat, Gede Manik menunjukkan jati dirinya sebagai seorang kreator tari. Berorientasi dari tari Kebyar Legong yang sering dibawakannya, ia menggagas karya tari Kebyar Legong versi lain, lebih pendek durasinya namun tetap menunjukkan karakteristik tari yang dinamis. Tari yang bernuansa gelora taruna nan heroik ini tidak mempunyai nama, hanya dikenal sebagai tari kebyar Dangin Enjung. Pada suatu hari, tahun 1950, ketika ditampilkan di depan Bung Karno dan tamu-tamunya di sebuah hotel di Denpasar, presiden yang dikenal sebagai penyayang seni itu tak menyembunyikan ekspresi takjubnya terhadap pentas tari yang begitu energik dengan dukungan tatabuhan gamelan yang gegap membuncah. Soekarno kemudian memberi nama karya tari tersebut Tarunajaya, taruna yang digjaya.

Tari Tarunajaya memesona penonton hingga kini. Ekspresi estetik yang disajikan dan gelora optimistik yang dipancarkan masih menggugah,  berhasil menembus selera estetik masyarakat Bali secara lintas zaman. Simaklah, betapa dinamisnya ungkapan estetik pada tari yang dibalut dengan busana ornamentik ini. Betapa berbinarnya semangat pantang menyerah yang terasa dalam tampilan gerak, mimik dan ayunan lincah iringan gamelannya. Demikian juga penampilan tari Tarunajaya di Wantilan Pura Desa Sukawati, malam itu, mengundang decak kagum penonton. Dosen ISI, I Wayan Suweca, yang dikenal sebagai maestro kendang tampil virtuoso mengomandoi iringan tari ini. Ayu Larasari, Juara I Tari Tarunajaya Se-Bali 2011, bersama tiga rekannya menggebrak dengan daya pukau nan menyengat.

Keperkasaan Tarunajaya di tengah masyarakat Bali masa kini rupanya menggedor rasa jengah Wiranajaya. Dibawakan oleh enam orang mahasiswi ISI, malam itu, Wiranjaya  tak kalah membuncah. Tari yang diciptakan tahun 1958 oleh Ketut Merdana dan Putu Sumiasa dari Desa Kedis, Busungbiu, Buleleng ini bertutur tentang para kesatria Pandawa yang sedang berlatih memanah. Kendati tata busananya bernuansa pewayangan, tetapi struktur dan konstruksi koreografi serta iringannya tampak dan terasa mirip dengan Tarunajaya. Walau terasa mirip dengan “kompetitor“nya—karena memang keduanya bersumber dari embrio Kebyar Legong–daya pesona Wiranajaya tak kalah menggigit. Penonton dibuat terkagum-kagum.

Tari Asal Bali Utara Berduel Mesra Di Bali Selatan, selengkapnya

Fungsi Hiburan Gambuh Kedisan

Fungsi Hiburan Gambuh Kedisan

Kiriman I Wayan Sucipta, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

Seni pertunjukn klasik yang ada di Bali keberadaannya perlu mendapatkan sebuah perhatian yang lebih. Terlebih seni pertunjukan yang kental dengan aturan-aturan yang mengikat dalam sebuah bentuk tarian maupun pertunjukannya, misalkan saja pertunjukan Gambuh. Kesenian yang merupakan sumber tari dan gamelan Bali ini jaman sekarang kurang diminati oleh generasi muda. Mereka cenderung menyukai kesenian yang lebih menunjukan humoris dari pada pakem-pakem tarian. Sehingga pertunjukan jaman sekarang lebih banyak didominasi oleh penari bondres (lawak) untuk menarik perhatian penonton, di mana dapat mengulas realita kehipun pada jaman sekarang, serta lelucon yang bisa menarik tawa penonton. Melihat pertunjukan Gambuh Kedisan, hal tersebut sangat sulit untuk diwujudkan karena tidak adanya peran parekan yang dapat memberikan nuansa humor pada sela-sela adegan. Menurut Jro Mangku Made Manggih Kesenian Gambuh Kedisan, kehidupannya sekarang tidak mungkin difungsikan sebagai tontonan. Karena di lihat dari segi penari kebanyakan sudah berumur tua, dan Gambuh tersebut dalam pertunjukannya masih menggunakan bentuk-bentuk pertunjukan yang klasik tanpa diselingi dengan suasana humoris, yang mengakibatkan pertunjukan ini kurang diminati oleh penonton. Masyarakat umum kini menyukai seni pertunjukan yang lebih menonjolkan sisi humornya ketimbang bentuk-bentuk pertunjukan yang klasik. Meskipun secara kontekstual Gambuh ini tidak difungsikan untuk balih-balihan pada upacara, akan tetapi ketika melakukan pertunjukan dalam kontek bebali secara tidak langsung juga berfungsi sebagai Bali-balihan.

Fungsi Balih-balihan

Secara khusus dalam konteks upacara yadnya kesenian Gambuh Kedisan tidak difungsikan untuk hiburan, yang semata-mata memberikan kesenangan/hiburan terhadap masyarakat. Akan tetapi difungsikan dan dimaknai sebagai pelengkap (bebali) di setiap tahapan-tahapan upacara. Ketika kesenian Gambuh Kedisan  pentas di setiap tahapan upacara, secara tidak langsung pementasan Gambuh tersebut menjadi tontonan atau hiburan terhadap masyarakat yang berada di lingkungan upacara atau pementasan tersebut. Pertunjukkan tersebut menjadi hiburan tersendiri terhadap para pelakunya, baik pemain gamelan maupun penari Gambuh yang melakukan pertunjukan. Jadi secara tidak langsung kesenian Gambuh ini berfungsi sebagai hiburan ketika melakukan pertunjukan dalam konteks upacara. Gambuh Kedisan difungsikan untuk hiburan hanya dalam konteks pariwisata. Sebagai hiburan para wisatawan yang ingin menyaksikan pertunjukan Gambuh Kedisan.

Fungsi Priwisata

Pariwisata merupakan sebuah industri yang sangat berkembang khususnya di Bali. Perkembangan pariwisata di Bali sangat banyak memberikan perkembangan terhadap perekonomian masyarakat Bali. Banyak masyarakat yang memanfaatkan pariwasata sebagai peluang kerja, baik kerjaan utama maupun sampingan. Hal tersebut dapat memberikan penghasilan yang cukup menjanjikan dalam persefektif dan material ekonomi, seperti membuat art shop untuk sufenir dan pernak-pernik yang mencirikan pulau Bali. Di samping itu pariwisata dapat memberikan kontribusi yang kuat terhadap perekonomian masyarakat Bali, juga dapat mengancam sebuah sisi kebudayaan  tradisi masyarakat Bali. Sejalan dengan perkembangan pariwisata, juga akan berpengaruh pada masyarakat Bali tentang pola hidup modern, yang sedikit demi sedikit mengikis kebudayaan yang merupakan identitas dari pulau Bali. Mengutip pendapatnya  Koentjaraningrat  ketika diskusi kebangkitan nasional tahun 1979, pada buku “Komersialisasi Seni Budaya dalam Pariwisata”. Mengatakan “bahwa paling penting adalah sifat khas dari kebudayaan yang kita miliki, dengan demikian identitas bangsa indonesia akan kelihatan”.

Wisatawan secara tidak langsung memberikan pengaruh modern terhadap budaya dan seni pertunjukan Bali, juga di lain hal dapat memberikan perkembangan terhadap kehidupan seni pertunjukan. Seperti dikatakan oleh I Gusti Bagus Ngurah Panji dalam seminar perkembangan teknologi dan seni pertunjukan tradisional: Sisi merugikan dari pariwisata di Bali sejauh ini masih bisa dikecilkan. Pariwisata tidak harus merugikan perkembangan seni pertunjukan dan kesenian tradisional pada umumnya. Dengan pengolahan yang baik dan terarah pariwisata dapat menguntungkan kesenian tradisional di samping melancarkan usaha sendiri…

Seni dan budaya dapat mengambil peran yang cukup positif dalam perkembangan pariwisata di Bali. Sebut saja seni pertunjukan Bali mampu meraih peluang dalam perkembangan pariwisata, dengan jalan mengemas sebuah seni pertunjukan baik yang sifatnya klasik maupun modern, dan difungsikan untuk sajian hiburan bagi wisatawan. Gambuh Kedisan sempat melakukan pertunjukan untuk para wisatawan pada tahun 1983. Menurut I Gusti Ngurah Puja dan anaknya I Gusti Ngurah Widiantara kesenian Gambuh yang terdapat di Desa Kedisan dipertunjukkan satu sampai dua kali dalam satu minggu, sesuai dengan wisatawan yang ingin menonton pertunjukan Gambuh. Pementasan tersebut mengambil tempat di ancak saji Puri Kedisan. Ketika itu perogram pementasan Gambuh untuk wisatawan ini diprakarsai oleh I Ngusti Ngurah Berata.

Fungsi Hiburan Gambuh Kedisan, selengkapnya

Pembuatan dan Pelarasan Trompong Gong Kebyar

Pembuatan dan Pelarasan Trompong Gong Kebyar

Kiriman I Putu Juliartha, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Membuat trompong merupakan suatu pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan keahlian yang khusus dan biasanya dimiliki oleh pande gamelan, dan dalam prosesnya mempergunakan cara-cara dan alat-alat yang masih bersifat tradisional. Meskipun teknologi telah mengalami perkembangan yang tidak bisa dipungkiri mampu mempengaruhi cara kerja pande gamelan yaitu dengan dipakainya alat-alat yang merupakan hasil teknologi modern, namun teknologi tersebut hanya mampu mempengaruhi sebagian kecil dalam pekerjaan membuat gamelan  di Desa Tihingan.

Pembuatan Trompong Gong Kebyar di Desa Tihingan dilakukan dengan dua sistem yaitu: pembuatan trompong dengan menggunakan cara sangat tradisional atau istilahnya “gegarap dresta kuna” dan pembuatan Trompong Gong Kebyar dengan cara modern. Gegarap dresta kuna adalah pembuatan trompong yang dilakukan dengan tidak mempergunakan alat-alat modern atau yang berupa mesin praktis yang merupakan hasil teknologi, sedangkan pembuatan trompong yang mempergunakan cara modern adalah kebalikan cara di atas yaitu sudah dipakainya alat-alat hasil teknologi. Pembuatan trompong dilihat dari tempat pengerjaan dibagi menjadi dua yaitu: proses di dalam prapen dan proses di luar prapen. Proses yang dilakukan di dalam prapen meliputi tahap peleburan dan pembentukan, sedangkan di luar prapen meliputi tahap pembersihan, pelarasan dan finishing.

1.         Pembuatan Trompong Gong Kebyar dengan Cara Dresta Kuna

Pembuatan Trompong Gong Kebyar dengan cara dresta kuna pada dasarnya merupakan teknik pembuatan trompong dengan pengerjaan yang sangat apik dan hati-hati, karena dalam teknik ini lebih mementingkan hasil yaitu memperoleh trompong dengan kualitas yang bagus dari segi suara maupun dari segi kekuatan. Prosesnya yang pelan membutuhkan waktu yang lama, sehingga dalam satu hari hanya dapat menyelesaikan 1 buah trompong saja. Jumlah atau hasil tidak menjadi ukuran kesuksesan dalam sistem kerja ini melainkan kualitas trompong yang bagus merupakan tujuan utamanya.

Dresta kuna merupakan cara pembuatan trompong di Desa Tihingan yang merupakan sebuah warisan dari nenek moyang mereka dari abad ke 18 atau pada masa kejayaan Dalem Sweca Pura di Kabupaten Klungkung. Konon merupakan cara kerja hanya satu-satunya pada masa itu dan menjadi andalan dalam membuat gamelan, cara/teknik ini dipergunakan pada masa itu karena pesanan gamelan masih sedikit, sehingga dalam melakukan pekerjaan selalu mengutamakan kualitas, meskipun memakan waktu lama tidak menjadi masalah. Cara tersebut berkembang dan masih dipertahankan pada masa sekarang ini.

Membuat Trompong Gong Kebyar pertama kali yang dilakukan adalah melakukan persiapan. Hal ini penting dan wajib dilakukan demi mendapatkan kelancaran dalam melakukan pekerjaan. Persiapan yang dilakukan meliputi menyiapkan alat-alat yang akan dipakai dalam proses pekerjaan, berkoordinasi kepada semua pekerja atau karyawan karena satu pun pekerja yang absen maka pembuatan trompong tidak bisa dilakukan, menentukan hari yang baik atau dewasa ayu dan menghindari hari yang buruk dalam memulai pekerjaan. Mencari hari yang baik dalam membuat gamelan bertujuan untuk mendapatkan restu dan perlindungan atau keselamatan dari Yang Maha Kuasa, sehingga pekerjaan yang dilakukan bisa berjalan lancar dan memperoleh hasil yang baik, disamping hal ini berpengaruh pada suara dan kekuatan/ketahanan gamelan dari segi usia,  kita pun bisa bekerja dengan perasaan tenang. I Wayan Widya, seorang pande gamelan mengatakan “ yen ningehang munyin gamelan ane meduase luwung dugas ngae kanti mekelo nu pedingehang munyine dikupinge apin gambelane sube sing megedig” artinya jika mendengar suara gamelan yang dibuat berdasarkan hari baik maka sangat lama masih terdengar suaranya ditelinga, meskipun gamelan tersebut sudah tidak dimainkan. Seperti pula ungkapan I Made Nik juga seorang pande gamelan mengatakan “jering bine bulun kalonge ningehang gamelan ane meduasa dugase ngae,”artinya bulu kuduk terasa bangun bila mendengar suara gamelan yang dibuat berdasarkan hari baik. Kedua ungkapan ini sebenarnya memiliki makna bahwa gamelan yang dibuat berdasarkan hari baik akan memiliki kekuatan yang bersifat magis.

Pemilihan hari baik dalam membuat trompong dimulai dari proses awal yaitu proses pengeleburan yang disebut nuasen. Hari baik dalam memulai pembuatan gamelan adalah meliputi hari: ayu nulus, kale geger, karma sula dan dauh ayu. Sedangkan hari yang dihindari dalam nuasen atau membuat gamelan bertepatan dengan hari: sampar wangke, kale bancaran, kale beser. Hari-hari tersebut dihindari karena hari tersebut berpengaruh buruk terhadap pekerjaan, sering mengakibatkan hasil tidak bagus dan sering mengalami kegagalan dalam bekerja.

Dalam proses nuasen dilakukan kegiatan persembahyangan dengan mengaturkan sesaji berupa segehan brahma dan peras pejati pada pelinggih prapen yang terletak pada posisi Timur atau Timur Laut di dalam sebuah prapen. Jika pembuatan gamelan atau trompong sudah selesai dikerjakan biasanya dilakukan dengan mengaturkan upacara pemuput yaitu nunas tirta yang diperoleh dari pelinggih prapen dan air bekas sepuhan krawang, serta persembahan sesaji yang berupa: tebasan brahma, tebasan sidakarya, soroan suci, peras pejati, jauman, dan segehan. Upacara ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur karena pekerjaan sudah mencapai hasil yang diinginkan dan trompong yang sudah selesai dibuat dikaruniai umur yang panjang dan bermanfaat dikemudian hari.

Tahap Peleburan

Setelah nuasen dilakukan tahap selanjutnya adalah tahap peleburan yaitu melakukan pencampuran bahan, pencetakan atau membuat lempengan bundar/laklakan sebagai bentuk awal atau bakalan trompong. Membuat laklakan terlebih dahulu dengan mengukur berat dari masing-masing pecahan lempengan, dalam pembuatan trompong hanya dibuat sepuluh buah lempengan karena mengingat jumlah Trompong Gong Kebyar hanya sepuluh buah pencon.

Peleburan diawali dengan mempersiapkan alat-alat yang dipakai dalam proses peleburan seperti mempersiapkan tungku perapian. Tungku perapian biasanya mengalami kerusakan setelah dipakai, maka setelah pemakaian tungku harus kembali diperbaiki. Hal lain yang dipersiapkan juga adalah : landasan dua buah, sebuah palu besi dengan berat 1,5 kg, 2 buah sepit besar, 1 pasang pemuput atau pompa angin, 1 pasang pengulik besar, potongan kayu sebagai alas penghancur krawang dari gamelan bekas maupun yang berupa lempengan, 4-8 buah penyangkaan, 5 buah musa yang isinya 2,5-3,5 kg, arang secukupnya dan 1 liter minyak kelapa.

Pembuatan dan Pelarasan Trompong Gong Kebyar, Selengkapnya

Industrialisasi Karya Seni Lukis : Dari  Persefektif Bisnis  Antara Peluang Dan Tantangan Industri Budaya

Industrialisasi Karya Seni Lukis : Dari Persefektif Bisnis Antara Peluang Dan Tantangan Industri Budaya

Kiriman: Drs I Wayan Mudana, M.Par. Dosen Seni Murni FSRD. ISI Denpasar)

1. Pendahuluan

Terjadi pergeseran yang mengakibatkan munculnya totalitas social baru dengan berbagai pengorbanan dan prinsip-prinsip komodifikasi yang berlebihan dapat menyebabkna kaburnya kultur dengan menampilkan karya-karya yang bersifat tiruan. Setiap komoditas mempunyai nilai ganda. Disatu pihak mempunyai nilai pakai (use value) dan dilain pihak  mempunyai nilai tukar(exchange) yang memiliki keterkaitan terhadap tenaga kerja yang terlibat dalam suatu produksi komoditas. Setiap obyek terlepas apakah obyek tersebut komoditas atau bukan bisa memiliki nilai kalau tenaga manusia dikembangkan untuk memproduksinya, dan inilah yang disebut proses dalam teori tenaga kerja.

Merupakan suatu perkembangan yang yang relative mutahir sebagai sebuah fenomena empiris dan histories. Berbagai pandangan dari berbagai kalangan, dengan latar belakang dan disiplin ilmu berbeda  mencoba memberikan tapsir. Salah satu implikasi penting terhadap karya-karya seni yang dijadikan suatu produk industri (komoditi) yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat global yang memiliki pemahaman terhadap bentuk, fungsi dan makna berbeda. Hubungan antara supplier dan dimand yang menghasilkan barang dan jasa, sering kali menimbulkan  “sinkristissisme baru “ dalam usaha menciptakan produk-produk yang mencerminkan  (made to order ). Para pelaku seni dengan senang hati mengikuti keinginan para pembeli dan berusaha sedapat mungkin  untuk memberikan kepuasan pada pembeli, sambil mempromosikan produk-produk yang dihasilkan dengan harapan untuk mendapatkan imbalan berupa uang yang lebih banyak. Sering kali akibat komersialisasi yang berlebihan menghasilkan produk-produk yang terkesan melecehkan(dampak negatif). Latar belakang budaya, kemampuan ekonomi, kepercayaan, ilmu pengetahuan , pengalaman dan pangsa pasar seringkali dipakai sebagai kekuatan untuk menekan para pelaku seni untuk melakukan daya tawar yang serendah-rendahnya ( pawer ) sehingga seniman tidak berdaya untuk menerima tawarannya. Sedangkan “interest “merupakan bagian terhadap keterkaitan berhubungan dengan selera yang bias terjadi dari adanya kenangan, kesejarahan

Dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia, seni rupa dengan berbagai macam jenis dan sifatnya bagaikan seekor kumbang dengan sekuntum bunga. Dua jenis asal-usul yang berbeda spesies itu menjadi suatu pasangan yang sulit dipisahkan, saling tergantung, dan sama-sama diuntungkan (mutualisme). Rasa saling membutuhkan satu sama lainnya adalah sesuatu yang amat wajar dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagai industri budaya, karya seni yang diciptakan pada awalnya untuk memenuhi ekpresi jiwa untuk berkomunikasi melalui karya cipta seni sehingga para seniman akan merasa terangkat harkat dan martabatnya sebagai seniman. Karya-karya ciptaan dengan latar belakang ngayah mulai diekplorasi dengan menggunakan pendekatan ekonomi sebagai realita seniman memang sangat membutuhkan. Sebagai peluang, karya seni  mampu menapkahi untuk memenuhi kebutuhan seniman yang perlu hidup sarat dengan kebutuhan material berupa sandang , pangan, papan, dan mewah.  Sebagai tantangan, seniman sudah dicekoki pikiran komersial, sehingga pemikiran fundamental sebagaiseniman  lama-lama terkikis dan luntur oleh komersialisasi. Sebagai akibat dari komersialisasi uang menjadi penglima sehingga seniman memposisikan karya-karyanya dengan standar-standar tertentu, ada karya yang diciptakan khusus sebagai idealisme dengan standar lebih tinggi ada juga karya diperuntukan untuk dapur memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan kualitas lebih rendah. Sebagai akibat dari adanya pemikiran yang mendua tersebut memunculkan identitas semu. Terkadang tidak jarang pelukisnya tidak mengakui karya yang pernah dibuat karena dipasarkan pada kelas standar rendah.

Sebagai industri karya seni lukis sudah mengalami pasang surut semenjak abad ke-21 dimana seorang pebisnis  berkebangsaan Jerman bernama Neohaus yang sering disebut Tuan be” (Mister ikan) yang menetap di Br Sindu Sanur memiliki akuarium besar untuk memelihara ikan hias. Atas bujuk rayu Tuan Walter Spies dan Rudolf Bonnet untukmembuka  gallery yang bergerak dalam bidang seni untuk menampung , membeli dan memasarkan karya-karya yang diciptakan seniman Bali yang pada waktu itu sebagai hobi atau profesi sampingan. Karena Tuan Be, membeli karya dengan harga murah dengan kualitas karya yang sangat baik pada awalnya karyapun dipasarkan di Jerman(Eropa pada umumnya) dengan harga murah dengan harapan cepat laku memuaskan konsumen dan dapat membeli karya seniman Bali lebih banyak lagi. Ternyata karya susah dijual atau dipasarkan dengan catatan semua pengunjung atau yang melihat terkagum-kagum dengan keindahan karya orang Bali dengan tema-tema yang sangat unik. Lama tidak dapat menjual lukisan menjadikan dia stres, tidak memiliki harapan. Akhirnya, harga karya dinaikan 1000 % dicoba dipasarkan dengan pendekatan yang sudah prustasi. Diluar dugaan ternyata karya-karya yang pada awalnya  dipasarkan dengan harga rendah tidak terjual satupun, ketika dinaikkan  berlipat lipat ganda habis terjual tanpa sisa. Tuan Be bangkit, untuk cepat ke Bali mencari karya seni. Derajat seniman naik, hidup terjamin dan tuan Be memiliki koleksi terbanyak tentang lukisan tradisional Bali.

Komersialisasi seni lukis mengalami kemajuan semenjak dibukanya jalur penerbangan Ngurah Rai di Tuban, yang diiringi dengan semakin banyaknya wisatawan yang terbang langsung ke Bali disusul dengan semakin pesatnya pertumbuhan pembangunan  tempat penginapan, villa, cottages, hotel dll. Banyak wisatawan yang pada awalnya hanya berlibur sesaat setelah melihat aktifitas warna lokal dan budaya menjadi sangat tertarik dan akhirnya menetap di Bali.

Munculnya seni kreatif akibat dari adanya sinkritisisme baru antara orang lokal dengan orang asing yang mengagumi budaya Bali, orang Bali bahkan agama Hindu, menimbulkan trobosan-trobosan baru dibidang seni kreatif, karena kreatifitas dan inovasi merupakan ‘ruh’ dari seni itu sendiri, dan cara kerja utama dalam kreativitas seni sehingga potensi-potensi yang berkaitan dengan kebutuhan orang wisatawan dimaksimalkan tanpa menghilangkan identitasnya. Sebagai ‘motor’ kreatifitas dan inovasi ini hanya dapat di realisasikan bila sumber daya dan modal yang ada secara optimal. Sebagai industri kreatif harus mampu membangun sebuah lingkungan kerja yang sehat agar dapat mendorong tumbuhnya karya-karya kreatif dan produk- produk inovatif, untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Produk-produk  kreatif dapat dikelompokan menjadi: 1) Ide adalah produk kreativitas, berupa: a) ide baru, b) pengenalan ide baru, c) penemuan, d) pengenalan penemuan, e) ide yang berbeda dari bentuk-bentuk yang ada, f) pengenalan sebuah ide yang mengganggu kebiasaan umum. 2). Inovasi dapat berupa: a) inovasi bentuk, b) fungsi, c) tehnik, d) material, e) manajemen atau pasar. 3) Pribadi kreatif kadang- kadang tidk cukup, karena kreatifitas tertentu justru memerlukan kerja kelompok dan kemitraan yang sinergis. Originalitas dapat berarti kemampuan menghasilkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya atau modifikasi dari yang ada untuk memberi makna baru. Makna dan perubahannya dengan demikian sangat sentral dalam kreativitas.

Industrialisasi Karya Seni Lukis : Dari  Persefektif Bisnis  Antara Peluang Dan Tantangan Industri Budaya, selengkapnya

Loading...