by admin | Jun 19, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, S.Sn., Alumni ISI Denpasar
Interpretasi adalah seni yang menggambarkan komunikasi secara tidak langsung, namun dapat dipahami. Interpretasi berhubungan dengan jangkauan yang harus dicapai oleh subjek dan pada saat itu pula diungkapkan kembali sebagai identitas struktur yang terdapat dalam kehidupan, sejarah, dan objektivitas (Kaelan 1998 :224). Dengan kata lain, interpretasi tergantung pada hubungan timbal balik antara pemahaman atas bagian-bagian yang merupakan keseluruhan atas campuran bermacam-macam hal yang telah diketahui sebelumnya dan koreksi terhadap apa saja yang kemudian hari dirasakan tidak sesuai lagi. Jelas, interpretasi adalah salah satu hal yang tersaji dalam proses komunikasi yang terjadi antara pelaku dengan penikmat. Pada kasus ini, interpretasi bisa berdiri di mana saja, tergantung sudut pandang kita dalam memahaminya.
Dari segi penikmat seni, interpretasi timbul dari hasil pengamatannya terhadap apa yang tertampil dalam karya seni. Seorang interpreter, harus menanggalkan keinginannya untuk mendukung atau menolak pesan yang berusaha dikomunikasikan oleh penampil, karena akan mempengaruhi sisi subjektivitas interpretasi yang dihasilkan. Interpretasi yang baik adalah interpretasi yang berhasil meminimalisasikan sifat subjektivitas dirinya, sehingga apa yang tertuang dari hasil interpretasinya menjadi objektif, sesuai apa yang diamati dan tidak diliputi susupan-susupan tertentu. Jadi, interpretasi dari sisi penikmat merupakan kelanjutan dari lontaran ekspresi simbol-simbol teks yang tersaji pada indera. Pada sisi ini, interpretasi akan menghasilkan sebuah kritik, esai atau masukan (evaluasi) dari penikmat kepada seniman.
Kita bersama tahu bahwa karya seni, tidak hanya seni tari, merupakan sesuatu yang bersifat ekspresif dan penuh makna. Makna-makna tersebut berusaha dikomunikasikan melalui berbagai media (dalam hal ini tari, dengan media ungkap utama gerak), dengan menempatkan simbol-simbol tertentu yang bersifat estetis. Dalam tari, yang tertuang tidak hanya sekedar kekuatan otot semata, namun lebih dari itu, ada sebuah kekuatan misteri yang diperuntukkan bagi persepsi penikmat sehingga mereka dibuat berpikir dan menggunakan nalar untuk mengungkap kekuatan misteri itu. Artinya, sebagai timbal balik dari ekspresi yang tertampil, dituntut adanya interpretasi atau penalaran untuk menghidupkan komunikasi antara seniman dan penikmat ataupun kritikus.
Karya seni yang ditangani dengan kesungguhan pastilah mengandung interpretasi si seniman terhadap kehidupan atau terhadap segi tertentu kehidupan, setidaknya terhadap tema yang ditampilkannya dalam karya yang bersangkutan. Di sini ditunjukkan bahwa, interpretasi juga terlibat dalam proses penciptaan karya seni. Tari adalah bentuk yang dapat dimengerti yang mengungkapkan perasaan insan di mana kekayaan kehidupan batiniah termasuk di dalamnya. Kehidupan batiniah adalah gambaran cerita dan riwayat hidup diri pribadi orang yang bersangkutan. Singkatnya, pengalaman batiniah yang dialami oleh seorang seniman, yang ketika diterjemahkan ke dalam kesenian, ia menjadi sebuah pengalaman estetis. Namun, lebih jauh lagi, tari bukanlah gejala perasaan penarinya, namun sebuah ekspresi dari pengetahuan penyusunnya tentang berbagai perasaan. Disini kita tidak dituntut untuk mengalami segala cobaan atau pengalaman inderawi sebelum menterjemahkannya ke dalam bentuk tari.
Sebagai ilustrasi, lukisan fenomenal seniman Leonardo da Vinci yang bertajuk “Monalisa”, merupakan suatu mahakarya seni yang hingga kini masih mengundang misteri yang terkandung dalam senyuman dan juga sosok gadis yang dilukisnya. Senyum Monalisa yang demikian indah membuka ruang interpretasi yang sangat luas bagi para penikmatnya. Ada yang menangkap senyuman itu mengandung unsur kesedihan, kepasrahan dan juga kegembiraan. Begitu luas, sehingga kadang kala benturan pendapat atau sudut pandang menjadi tak terelakkan. Inilah indahnya interpretasi penikmat dalam menghayati seni. Dari satu objek dapat menimbulkan berbagai sudut pandang yang memungkinkan terjadinya diskusi ilmiah yang terarah.
Contoh di atas merupakan sudut pandang lain dari interpretasi. Hal tersebut pula menunjukkan bahwa dalam proses penciptaan karya seni, interpretasi sang seniman akan fenomena di sekitarnya mutlak diperlukan. Sebab, kreativitas yang menjadi pokok utama dalam karya seni timbul dari pencarian seniman akan kemungkinan-kemungkinan baru yang ada meskipun dalam objek yang sama. Pada sisi ini, interpretasi timbul berdasarkan intuisi dan akan melahirkan sebuah ekspresi serta simbol-simbol tertentu yang disajikan melalui medianya masing-masing, dalam hal ini tari di atas panggung.
Interpretasi Dalam Dunia Seni Pertunjukan, Selengkapnya
by admin | Jun 18, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Ketika Adi Merdangga berderap, itu artinya perhelatan akbar Pesta Kesenian Bali (PKB) dimulai. Degub drumband tradisional ini menjadi penanda pesta seni tahunan kebanggaan masyarakat Bali. Musik prosesi yang didominasi oleh puluhan instrumen kendang ini lahir dari kandungan PKB pada tahun 1984. Sejak lahir dan hingga PKB ke-33 tahun 2011 ini, Adi Merdangga yang digarap dan disuguhkan ASTI (kini ISI Denpasar), menjadi ujung tombak pawai PKB. Dibawakan oleh ratusan penabuh dan penari, Adi Merdangga membuncah dengan nuansa modern namun sangat kental dengan identitas seni tradisi lokal Bali. Penampilannya sepanjang rute pawai selalu dielu-elukan penonton seperti terlihat pada pawai PKB, Sabtu (11/6) lalu.
Nama Adi Merdangga diambil dari bahasa sansekerta yaitu adi berarti utama dan merdangga adalah kendang, Jadi Adi Merdangga berarti sebuah ansambel yang didominasi oleh instrumen membranophone (alat musik yang sumber bunyinya dari kulit yang dicencang), terdiri dari beberapa jenis kendang Bali berukuran besar, sedang, dan kecil. Ketika menguak pertama kali pada PKB tahun 1984, Adi Merdangga tampil murni sebagai sajian musik. Tetapi dalam perjalanannya kemudian, komposisi musiknya dipadukan dengan pragmen tari. Sepuluh tahun terakhir, olahan musiknya disertai dengan penampilan figur Siwanataraja, lambang PKB. Dalam pawai PKB Sabtu siang lalu, Adi Merdangga berkisah tentang keperkasaan dan kepahlawan Burung Garuda.
Adalah pencetus PKB, Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Mantra yang menstimulasi kelahiran Adi Merdangga. Ketika PKB menginjak usia ke-5 pada tahun 1983, Mantra berangan-angan adanya musik prosesi besar yang berkarakter kesenian Bali. Lontaran orang nomor satu Bali itu direspon kreatif para seniman ASTI Denpasar. Berangkat dari musik ritual Balaganjur, dalam tempo tak begitu lama terwujudlah ekspresi artistik musik baru. Konsep musikalnya dikembangkan dari Balaganjur dengan melipatgandakan instrumen kendang dan cengceng. Disertai semangat berkesenian, Adi Merdangga hadir kreatif, baik dari tata musikalnya maupun tampilan inovatif dari atraksi bermain musiknya nan apik.
Dalam perkembangannya, Adi Merdangga kemudian menggebrak tampil sebagai marchingband yang dalam penampilannya dilengkapi dengan penari dan peraga properti seperti tombak, payung, kipas, dan umbul-umbul. Ketika meragakan demontrasi penampilan atau display di depan tamu-tamu kehormatan dengan koreografi yang dibingkai oleh komposisi musik, sering memanen aplaus penonton, terutama ketika para penari membentuk sebuah figurasi tari dan para penabuh bermain musik sembari melakukan gerak-gerik atraktif, meragakan aksen-aksen tari.
Pamor Adi Merdangga membumbung. Pada tahun 1987, tak kurang dari 300 orang mahasiswa ASTI/STSI Denpasar pernah diundang menyuguhkan Adi Merdangga di Istora Bung Karno Senayan, Jakarta pada pembukaan Sea Games ke-14. Pada tahun 1995, saat perayaan emas kemerdekaan RI, kembali pasukan drumband tradisional perguruan tinggi seni di Bali ini didaulat datang ke Jakarta menyuguhkan kebolehannya saat upacara penurunan bendera pusaka di Istana Merdeka. Kini di ISI Denpasar sendiri, Adi Merdangga terus dipoles. Setiap tampil menjadi pengawal pawai PKB, insan-insan seni perguruan tinggi seni tersebut selalu berusaha menampilkan nuansa baru.
Inovasi musik dan tata kreativitas Adi Merdangga yang selalu ditampilkan pada pawai PKB, mengusik dan menyadarkan Balaganjur akan potensi dirinya. Menjamurlah kemudian gelar Balaganjur di desa-desa, sekolah-sekolah hingga kampus-kampus. Penyelenggaraan Porseni (Pekan Olah Raga dan Seni) di Bali biasanya selalu menyertakan lomba Balaganjur sebagai sebuah mata acara yang sangat diminati. Yang menarik, kehadiran Adi Merdangga mendongkrak gengsi gamelan Balaganjur di kalangan generasi muda Bali. Musik tradisi yang sebelumnya hanya menjadi pelengkap ritual adat dan keagamaan itu serta merta menggeliat bergairah. Inovasi olah musik yang ditawarkan dalam Adi Merdangga dikembangkan dan dijadikan model orientasi kreativitas musik Balaganjur. Rekaman komersial, CD dan VCD Balaganjur, banyak diminati masyarakat Bali.
Perkembangannya belakangan, kini Balaganjur menggeliat dan menggebrak menjadi seni pertunjukan yang layak disimak. Karena itu, sejak empat tahun terakhir ini, PKB memberikan ruang khusus pada seni pentas ini. Dalam PKB ke-33 ini ditampilkan sembilan grup Balaganjur persembahan kabupaten/kota se-Bali. Sajian seni yang disebut Parade Balaganjur Pragmentari tersebut dapat disimak penonton di panggung terbuka Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Senin (20/6) besok malam akan unjuk kebolehan duta Kabupaten Gianyar, Karangasem, dan Badung.
Lahir dari rahim PKB, Adi Merdangga menjadi inspirator pembaharuan signifikan kebangkitan Balaganjur. Dibawah pangkuan masyarakat Bali yang kasih akan nilai seni, Balaganjur kini menjadi kesayangan segenap lapisan masyarakat, khususnya menjadi kebanggaan insan-insan muda Bali, sumber insani penyangga kejayaan seni budaya bangsa. Bukahkah penjelajahan jati diri di era globalisasi ini, sari patinya ada dalam asuhan nilai-nilai lokal? Kemesraan generasi muda Bali dengan seni pertunjukan Balaganjur-nya patut disyukuri dan dijadikan wahana pembentukan karakter.
Adi Merdangga, Inspirator Gengsi Balaganjur selengkapnya
by admin | Jun 17, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Gede Yudarta, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Fenomena umum menandakan bahwa masyarakat Bali baik secara individu maupun berkelompok, dimanapun mereka berada dan bertemu akan berinteraksi, berkomunikasi atau berhubungan secara intens. Apalagi keberadaan mereka dalam kelompok yang besar kebersamaan, sifat gotong royong dan kerja sama, menjadi bagian dari kehidupan sosial mereka. Salah satu dari berbagai media komunikasi yang dipergunakan dalam kehidupan sosial adalah melalui kesenian Sebagaimana dikatakan Sumandyo Hadi (2000:332) seni menyandang fungsi sosial yaitu yang bersifat manusiawi, karena hakekat seni adalah untuk dikomunikasikan, berarti untuk dinikmati, ditonton, didengar,atau diresapkan. Kehadiran seni mencakup tiga faktor yang saling berhubungan yakni si pencipta, karya seni, dan pengamat atau penonton. Ketiga faktor itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Terkait dengan penjelasan tersebut, masyarakat selaku penikmat seni merupakan salah satu faktor yang juga penting dalam menjaga kelestarian dan perkembangan seni itu sendiri. Dalam konteks ini, masyarakat dapat memanfaatkan seni dalam berbagai aktivitas sosialnya. Kesenian sering dipergunakan sebagai sarana untuk penggalian dana-dana untuk pembangunan, sebagai sarana hiburan, serta memeriahkan berbagai acara seperti pernikahan, bayar kaul, syukuran dan acara lain yang lebih bersifat non religius.
Dalam kehidupan sosial kesenian sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempererat hubungan individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok baik dalam lingkup yang kecil hingga ruang lingkup yang lebih luas. Di Mataram kesenian Bali ternyata memiliki fungsi yang sangat penting dalam mempererat hubungan antara masyarakat Bali dengan masyarakat Sasak. Pelaksanaan upacara Perang Topat di Pura Lingsar dapat dijadikan indikator eratnya hubungan kekerabatan antara masyarakat Bali dengan masyarakat Sasak. Bahkan di kalangan masyarakat Sasak kesenian Bali mendapat tempat tersendiri dimana hal ini dapat dibuktikan adanya sekaa-sekaa Gong Kebyar seperti sekaa Gong Mekar Jaya di dusun Dasan Montor dan Sekaa Gong Kebon Ayu di Desa Kebon Ayu yang anggotanya dari kalangan masyarakat Sasak. Demikian pula sebaliknya, I Komang Kantun dari dusun Rendang Bajur salah seorang seniman yang nota bene orang Bali sangat menguasai budaya dan kesenian Sasak sehingga dalam beberapa karyanya sangat kental dengan budaya Sasak bahkan kini beliau adalah seorang dalang dari wayang sasak.
Terbukti bahwa melalui kesenian hubungan kemasyarakatan menjadi lebih erat dan terkadang berfungsi untuk meminimalisir konflik yang bernuansa RAS. Melalui seni, kerukunan, toleransi, kebersamaan di kalangan masyarakat Sasak dan Bali sudah mampu diwujudkan di bumi Lombok khususnya di Kota Mataram. Sebagaimana diuraikan Soedarsono dan The Liang Gie, di samping berfungsi dalam ritual keagamaan, kesenian juga berfungsi sebagai pengikat solidaritas, pembangkit rasa solidaritas serta media komunikasi. Terbukti dari fenomena yang ada di lapangan, di representasikannya kesenian Bali oleh sekelompok masyarakat (sekaa Gong) Sasak di wilayah Montor dan Gerung hal ini mencerminkan terjadinya komunikasi yang intens dan harmonis antara masyarakat Bali dan masayarakat suku Sasak dalam berbagai aspek kehidupan khususnya dalam berkesenian.
Seni Sebagai Representasi Estetik
Pembicaraan tentang kesenian tidak akan terlepas dari nuansa estetik karena keindahan (estetika) di samping bersifat alamiah seperti keindahan alam, gunung ,laut, karya seni atau benda-benda seni ciptaan manusia juga yang disebut dengan kesenian juga mengandung nilai keindahan tersendiri. Mengacu pada pandangan Jakob Sumarjo (2000:76), representasi estetik dapat dimaknai sebagai upaya mengungkap dan menikmati nilai-nilai keindahan yang terdapat pada objek seni. Pada umumnya membicarakan masalah objek seni pikiran kita akan menyasar pada karya seni yang dihasilkan oleh seniman. Diciptakannya karya seni tersebut merupakan representasi dari rasa indah yang selanjutnya melalui proses kreatif dituangkan melalui berbagai media.
Nilai-nilai keindahan atau estetika sangat penting karena hal itu akan memberi bobot yang tinggi terhadap sebuah karya seni. Pentingnya keindahan tersebut karena terkadang ada objek seni atau karya seni yang sama sekali tidak mengandung nilai-nilai keindahan. Sebagaimana karya-karya teaterikal jalanan yang disajikan oleh para demonstran yang lazim dipertontonkan beberapa tahun belakangan ini. Karya-karya tersebut lebih distimulasi oleh perasaan emosional sehingga sering dianggap mengganggu ketertiban dan stabilitas moral. Di sini nilai-nilai keindahan dikesam-pingkan dan dikalahkan oleh nilai yang syarat dengan pesan-pesan yang ingin disampaikan secara emosional. Sebagaimana dikatakan Cassier (1956), seni dalam proses kreatif bukan untuk merangsang emosi sehingga mengganggu stabilitas moral. Efek estetis tidak semata-mata dalam kaitannya dengan keindahan secara langsung, tetapi bagaimana karya seni dapat berperanan dalam menopang masyarakat menuju kemajuan. Ukuran karya seni dengan demikian bukan pada derajat penularannya melainkan intensifikasi dan pencerahan terhadap budi manusia (Kutha Ratna, 2007:15). Searah dengan itu Langer (dalam Kutha Ratna, 2007:16) mengatakan, ekspresi seni bukan ekspresi diri sebab apabila karya seni merupakan ekspresi diri berarti karya seni mengundang pembaca (penonton) untuk marah. Sebaliknya karya seni justru menjadikan komunikasi lebih bermakna, sehingga karya seni bersifat edukatif.
Kembali pada persoalan keindahan sebuah benda atau objek seni, hal ini akan dirasakan berbeda antara seniman dengan masyarakat. Walaupun secara bersama-sama mencari kenikmatan pada objek seni yang dipresentasikan, seniman lebih banyak berfungsi sebagai pencipta sekaligus penikmat keindahan, sedangkan pada sisi yang lain masyarakat lebih berfungsi sebagai penikmat saja atau menikmati nilai-nilai keindahan yang terdapat dalam seni itu sendiri. Jika pada satu sisi seniman berkarya dan menyajikan sebuah objek seni untuk merepresentasikan rasa indahnya, pada sisi yang lain masyarakat sebagai penikmat turut serta berapresiasi sesuai dengan pengalaman estetis yang diterima.
Seni Dalam Kehidupan Sosial di Kota Mataram, selengkapnya
by admin | Jun 17, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Gde Made Indra Sadguna, Alumni ISI Denpasar
Istilah kendang telah disebut-sebut dalam piagam Jawa Kuno yang berangka tahun 821 dan 850 masehi dengan istilah padahi dan muraba. Dalam Prasasti Bebetin, sebuah prasasti Bali yang berasal dari abad ke-9, kendang disebut dengan istilah papadaha. Berbicara mengenai kendang dalam karawitan Bali, Asnawa dalam master tesisnya mengemukakan ada enam jenis kendang, yaitu kendang mebarung, kendang cedugan, kendang gupekan, kendang krumpungan, kendang nyalah dan kendang angklung. Sedangkan Sukerta juga mengemukakan adanya enam jenis kendang yaitu kendang bedug, kendang cedugan, kendang centungan, kendang gupekan, kendang krumpungan dan kendang penyalah. Namun, berdasarkan penelitian yang penulis lakukan ternyata ditemukan adanya sembilan jenis kendang dalam karawitan Bali. Adapun kesembilan jenis kendang yang dimaksud adalah sebagai di bawah ini, diurut dari ukuran yang terbesar hingga terkecil.
- Kendang mebarung merupakan jenis kendang dengan ukuran yang terbesar dalam karawitan Bali. Ukuran kendang ini bisa mencapai panjang 185-200cm dengan diameter antara 74-80cm. Kendang mebarung merupakan salah satu instrumen dari barungan Gamelan Angklung (selendro empat nada). Jenis kendang ini hanya dapat ditemukan di satu daerah saja yakni di Kabupaten Jembrana.
- Kendang tambur merupakan jenis kendang dengan ukuran terbesar kedua. Kendang tambur dapat dijumpai di Kabupaten Karangasem dan dipergunakan untuk dua hal yaitu sebagai pelengkap dalam konteks upacara Dewa Yadnya dan juga untuk mengiringi prajurit kerajaan yang akan berangkat ke medan perang. Kendang tambur ini mempunyai ukuran panjang sekitar 72cm, diameter tebokan besar 54cm dan diameter tebokan kecil 44cm. Cara mempermainkan kendang ini dengan mempergunakan dua buah panggul dengan memukul kedua belah sisinya.
- Kendang bedug atau bebedug adalah salah satu jenis kendang yang mirip bentuk dan cara permainannya dengan kendang tambur, akan tetapi memiliki ukuran yang lebih kecil. Jenis kendang ini merupakan salah satu instrumen dari barungan gamelan Gong Beri. Jenis gamelan ini dipergunakan untuk musik tarian sakral Baris Cina. Perangkat barungan gamelan Gong Beri hanya dapat ditemukan di Desa Renon dan Banjar Semawang, Denpasar Selatan.
- Kendang cedugan adalah kendang yang dalam teknik permainannya menggunakan panggul. Oleh karena itu, kendang ini juga disebut dengan nama kendang pepanggulan. Kendang pepanggulan ini mempunyai ukuran panjang antara 69-72cm, garis tengah tebokan besar 29-32cm dan garis tengah tebokan kecil 22-26cm. Jenis kendang ini biasanya dipergunakan pada beberapa perangkat gamelan, misalnya Gong Kebyar, Baleganjur, dan Gong Gede. Kendang pepanggulan dimainkan secara berpasangan yang terdiri dari kendang lanang dan wadon.
- Kendang gupekan merupakan salah satu jenis kendang yang cara memainkannya adalah dengan memukul memakai tangan. Kendang ini digunakan untuk mengiringi gamelan Gong Kebyar. Kendang ini selain dapat disajikan dengan berpasangan dapat juga dimainkan secara mandiri atau kendang tunggal. Kendang wadon mempunyai ukuran panjang antara 67-72cm, diameter tebokan besar 27-32cm dan diameter tebokan kecil 21-25cm. Kendang lanang mempunyai ukuran serta suaranya lebih kecil dari kendang wadon. Ukuran panjangnya antara 65-70cm, diameter tebokan besar 26-29cm dan diameter tebokan kecil 19-22cm.
- Kendang bebarongan adalah kendang yang secara khusus terdapat dalam barungan gamelan Bebarongan. Jenis kendang ini mempunyai panjang sekitar 62-65cm, garis tengah tebokan besar 26-28cm dan garis tengah tebokan kecil sekitar 21,5-23cm. Kendang bebarongan ini termasuk dalam ukuran kendang yang tanggung (nyalah:Bahasa Bali), karena ukurannya yang tidak terlalu besar maupun tidak terlalu kecil. Ada dua cara untuk memainkan kendang bebarongan, yakni bisa dengan mempergunakan panggul dan bisa juga dimainkan tanpa menggunakan panggul.
- Kendang krumpungan, kata krumpungan berasal dari kata pung yaitu menirukan suara kendang tersebut (onomatopea atau peniruan bunyi). Jenis kendang ini dipukul hanya menggunakan tangan. Kendang ini biasanya dipergunakan untuk mengiringi gamelan Pegambuhan dan gamelan Palegongan. Kendang krumpungan ini selalu dimainkan berpasangan yaitu kendang lanang dan kendang wadon. Kendang wadon mempunyai diameter tebokan besar 24,5-25cm, panjang antara 55-57cm dan diameter tebokan kecil 20cm. Sedangkan kendang lanang mempunyai diameter tebokan besar 23,5-24cm, panjang antara 55-57cm, diameter tebokan kecil 19,5-20cm.
Jenis-Jenis Kendang Bali, selengkapnya
by admin | Jun 16, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Suartaya, S.Skar., Msi., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Teater Calonarang merupakan seni pertunjukan Bali yang hingga kini dipandang angker masyarakatnya. Salah satu peran terpenting dalam drama tari yang tak sembarang waktu dipentaskan ini adalah Matah Gede. Tokoh ini adalah sebutan untuk si janda sihir dari Dirah, Calonarang, sebagai manusia biasa sebelum berubah menjadi ratu leak dalam wujud yang dahsyat menyeramkan. Uniknya, pada teater tradisional Bali, penokohan Matah Gede hanya terlihat dalam seni pentas Calonarang. Tokoh ini memiliki karakter yang khas dan sekaligus menjadi identitas seni pertunjukan Calonarang, salah satu seni pentas Bali yang diduga sudah dikenal tahun 1825, era kejayaan kerajaan Klungkung.
Dalam drama tari Calonarang, Matah Gede hadir dengan jati diri perwatakan, tata busana, dan tata rias wajahnya. Pemberang adalah watak menonjol dari tokoh yang tak pernah lepas dari tongkatnya ini. Jika sedang naik pitam, sorot matanya yang menusuk tajam dilukiskan pantang dilawan jika tak ingin hangus terbakar. Memakai kain rembang dan kerudung putih serta tata polesan muka beraksen gurat-gurat keriput, penampilan tokoh ini menjadi lain dari yang lain, membangun struktur dramatik dan menghadirkan kekentalan tema utama teater ini yaitu sebagai drama of magic. Keangkeran Matah Gede juga dibangun oleh dominasi tata ucapannya dalam bahasa Kawi, bahasa Jawa Kuno.
Teater Calonarang dengan tokoh Matah Gede-nya sebagai ratu tenung banyak menarik minat para peneliti dan penulis. The drama of magic adalah sebutan yang diberikan oleh Beryl de Zoete & Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1973). Hooykaas dan Meulenhoff dalam bukunya Tjalon Arang Volksverhalen en Legenden uit Bali (1979) menekankan telaahnya pada sastra Calonarang sebagai sumber lakon seni pertunjukan Calonarang. I Made Bandem dan Frederik Eugene deBoer dalam Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981) mengkaji juga drama tari Calonarang sebagai magic dance of the street and graveyard. Begitu juga Miguel Cavarrubias dalam Island of Bali (1979) juga tak lupa membahas seni pentas Calonarang.
Seni pentas Calonarang yang hingga kini tak pernah kehilangan gereget itu berangkat dari sumber sastra—seperti halnya kesenian tradisonal Bali pada umumnya–yang diperkirakan muncul pada zaman pemerintahan raja Airlangga di Jawa Timur. Kiranya De Calon-arang (1926), adalah teks sastra Calonarang terpenting yang ditranskripsikan dalam bahasa Jawa Tengahan oleh Poerbacaraka dan telah diterjemahkan oleh Dr. Soewito Santoso dengan judul Calon arang Si Janda dari Girah (1975). Selain dari sumber sastra yang berbentuk prosa itu, Gaguritan Calonarang dalam tarikan puisi pun menjadi acuan signifikan yang mengilhami dan menggiring para seniman seni pertunjukan Calonarang.
Hampir dalam semua sumber, baik yang tertulis maupun lisan, Calonarang digambarkan sebagai seorang wanita penganut teluh yang jahat. Dikisahkan ia tersinggung berat hanya karana anak gadis satu-satuanya, Ratnamangali, yang sudah dewasa belum ada yang melamar. Karena itu, para laki-laki perjaka dilabrak-labrak dan dimusuhinya. Dalam lakon yang berjudul Katundung Ratnamangali, Calonarang meradang karana pelecehan dan penghinaan menantunya, Raja Airlangga. Ia marah bukan kepalang ketika putrinya diusir secara paksa oleh penguasa Daha itu dengan tuduhan menebar petaka santet. Padahal Calonarang sendiri sama sekali tak mengajarkan ilmu sesat tersebut pada anak semata wayangnya ini. Karena merasa harga dirinya diinjak-injak, dengan jantan ia menantang penguasa Airlangga. Dalam episode Perkawinan Mpu Bahula, Calonarang marah sangat begitu garang karena buku ilmu teluhnya dicuri oleh putra Mpu Bharadah, Bahula. Adegan api marah Calonarang ini sering mencuatkan ketegangan dalam pementasan teater Calonarang.
Lazimnya, tokoh Matah Gede atau Calonarang dimainkan oleh penari pria yang sudah berumur. Soal umur mungkin untuk memudahkan memasuki karakter tokoh janda Dirah itu yang diinterpretasikan sebagai seorang nenek-nenek yang telah memiliki anak gadis perawan tua. Sedangkan mengenai kebiasaan pemeranan tokoh sihir ini dibawakan oleh aktor pria sudah demikian adanya sejak dulu. Ada dugaan, tranvesti– memerankan karakter berlawanan jenis kelamin–karena Calonarang adalah tokoh wanita yang berkarakter keras yang mungkin lebih pas dibawakan penari pria. Di beberapa kantong seni pertunjukan Calonarang di Bali, selain harus pria juga ada syarat tambahan yaitu pemainnya seorang balian atau setidaknya orang yang paham dunia supranatural.
Para penari terdahulu yang dikenang oleh masyarakat Bali sangat piawai memerankan tokoh Mata Gede diantaranya adalah I Rinda (Blahbatuh) dan I Kengguh (Singapadu), keduanya dari Kabupten Gianyar, serta I Monog dari Kedaton, Denpasar. Rinda yang banyak menekuni bidang sastra Bali memukau dengan kedalaman dan kepasihan bahasa Kawi-nya. Kengguh mempesona penonton dengan keindahan tata tarinya, dan Monog menggugah lewat gemuruh suaranya yang menggetarkan. Bahasa Kawi, keterampilan estetik tari, dan warna vokal kiranya harus dimiliki oleh para seniman yang akan membawakan Si Calonarang ini.
Janda Jantan Ni Calonarang, Mengerang Garang Menantang Penguasa, selengkapnya
by admin | Jun 15, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ni Putu Yuda Jayanthi, Mahasiswa PS. Kriya Seni/Keramik, ISI Denpasar
Seni kerajinan keramik tradisional merupakan kerajinan yang sudah ada dari jaman pra-sejarah, dengan bukti adanya peninggalan-peninggalan benda-benda keramik yang ditemukan di Bali baik dalam keadaan utuh maupun pecahan-pecahan periuk. Tumbuhnya kerajinan keramik tradisional Bali didasari oleh suatu landasan kepercayaan bahwa kehidupan sebagai pengerajin keramik tradisional merupakan anugrah dari para Dewa yang selalu mereka hormati. Sistem kepercayaan seperti itu sangat membantu sekali kehidupan seni keramik tradisional yang berkembang dimasyarakat pengerajin Bali.
Disamping itu dalam kehidupan sehari-hari, mereka akan selalu memerlukan peralatan dari tanah liat seperti kendi, paso, dan lainnya. Dalam pembuatan keramik tradisional untuk alat-alat rumah tangga, dari masing-masing daerah mempunyai ciri khas atau kekhususan. Adanya kekhususan ini didasari atas pendapat bahwa pembuatan barang-barang tersebut semata-mata karena warisan dan ada pula yang bertitik tolak dari faktor ekonomi karena melayani pesanan. (Mulyawati, 1992: 37). Dalam hubungan kerja adat (masak-memasak), alat perlengkapan keramik tradisional seperti periuk, cobek, paso, dan lainnya, terdapat kecendrungan untuk tetap mempertahankan pemakaian alat ini yang dirasa sulit untuk diganti dengan barang-barang yang dibuat dengan bahan lain yang lebih modern karena ini menyangkut rasa masakan yang dihasilkan. Ini membuktikan jika keramik tradisional Bali masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat Bali yang idealis dengan makanan khas Bali.
Keberadaan keramik tradisional yang dihasilkan oleh masyarakat pengerajin merupakan dorongan yang kuat untuk mencipta suatu kerajinan yang bernilai dan berguna bagi masyarakat. Dilihat dari hasil-hasil kerajinan keramik yang sudah ada, keramik tradisional merupakan kerajinan yang masih berkualitas rendah karena dipengaruhi oleh bahan baku yang dipakai dan peralatannya serta faktor-faktor lain yang kurang mendukung, sehingga perkembangan keramik tradisional agak lambat dan berjalan secara kecil-kecilan. Begitu halnya dengan jumlah para pengerajin keramik tradisional semakin lama semakin berkurang karena generasi penerus mereka jarang yang mau berkecimpung dalam membuat kerajinan keramik tradisional, mereka kebanyakan mencari pekerjaan lain yang dirasa membawa keuntungan yang lebih besar.
Hal ini juga terlihat pada kerajinan keramik tradisional di desa Benoh, namun dengan berkembangnya pariwisata Bali saat ini, seakan-akan membawa angin segar bagi masyarakat pengerajin keramik tradisional desa Benoh. Hal itu dapat terlihat dari hasil kerajinan yang dihasilkannya yang tidak lagi berkutat pada bentuk-bentuk tradisional yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan keagamaan semata, namun sudah berkembang jauh dengan terciptanya desain-desain dan bentuk-bentuk baru yang sesuai dengan selera pasar domestik dan internasional. Dilihat dari keanekaragaman bentuk yang dihasilkan memang sangat menarik wisatawan yang dating ke Bali. Kemajuan dalam bidang kreasi seni sejalan pula dengan kemajuan kebudayaan yang selalu mengikuti perkembangan jaman. Keadaan ini menimbulkan kreasi untuk mengubah fungsi dari beberapa jenis barang kerajinan rumah tangga menjadi alat hias, seperti pemakaian gentong yang lazim dipakai sebagai tempat air atau beras kini fungsinya diubah menjadi pot bunga dengan pengembangan suatu dekorasi atau hiasan. Akibat dari pemanfaatan hasil keramik tradisional yang bersifat multifungsi, menyebabkan produksi barang–barang kerajinan keramik tradisional di desa Benoh dapat memenuhi alat hias masyarakat pedesaan dan masyarakat kota.
Dalam pembuatan keramik gerabah di desa Benoh lebih banyak dilakoni oleh pengerajin kaum wanita dan yang paling aktif kebanyakan wanita yang sudah usia lanjut. Keadaan ini didukung karena, untuk melakukan pekerjaan lainnya yang lebih berat sudah tidak memungkinkan lagi dan di usia mereka yang seperti itu, mereka hanya memiliki skill sebagai pembuat gerabah saja. Ada berbagai karakter orang yang mau melakoni pekerjaan membuat keramik gerabah di desa Benoh. Ada yang melakoni pekerjaan tersebut hanya sebagai pengisi waktu luang disaat mereka tidak punya pekerjaan lain ada juga yang memang bener-bener fokus melakoni pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan sehari-hari mereka. Di samping itu ada juga yang melakoni pekerjaan ini sebagai usaha bisnis yang sangat menjanjikan mengingat perkembangan pariwisata dewasa ini yang mulai menggeliat.
Untuk kebutuhan bahan baku gerabah, para pengerajin keramik tradisional di desa Benoh mendatangkan dari desa Dharma Saba. Hal itu dikarenakan semakin sempitnya lahan yang tersedia sehingga semakin sedikitnya bahan yang bisa dimanfaatkan. Proses pembuatannya masih menggunakan alat-alat yang masih sederhana, namun dengan berkembangnya teknologi saat ini pengerajin disana sudah ada yang menggabungkannya dengan alat-alat yang modern. Namun alat-alat modern yang digunakan hanya sebatas dalam pengolahan bahannya saja, untuk proses pengerjaan benda gerabah masih menggunakan teknik dan alat-alat yang sangat sederhana yaitu menggunakan alat yang didapat langsung dari alam lingkungan sekitarnya. Pengerajin keramik tradisional Benoh memiliki beberapa teknik yang masih sangat sederhana yang dikenal dengan istilah cacalan. Ini dilakukan dengan cara tanah yang akan dibentuk dipilin dahulu lalu ditumpuk dan dipijit dengan tangan, ditekan-tekan hingga sesuai dengan keinginan. Selain cacalan, juga dikenal dengan teknik tatap batu, dengan pertolongan alat tatap yaitu kayu yang dibuat agak cembung serta batu yang digunakan untuk memukul-mukul dari kedua sisi. Dikenal juga teknik pengenyunan, pembentukan ini menggunakan alat putar yang disebut pengenyunan. Tanah yang sudah siap dipakai atau diulet dibentuk diatas pengenyunan yang dikendalikan dengan tangan dan yang terakhir adalah tehnik cetak, seperti dalam pembuatan bata dan genteng. Teknik ini dipakai jika membuat keramik tradisional dalam jumlah yang banyak atau diproduksi secara masal.
Perkembangan Kerajinan Keramik Tradisional Di Desa Binoh, selengkapnya