Perkembangan Kerajinan Patung Batu Padas Di Desa Silakarang

Perkembangan Kerajinan Patung Batu Padas Di Desa Silakarang

Kiriman: I Wayan Werdianta, Mahasiswa PS. Kriya Seni ISI Denpasar.

Kondisi Desa Silakarang

Desa Silakarang termasuk wilayah Singapadu Kaler, Kecamatan Sukawati, kabupaten

Gianyar, Propinsi Bali, terletak di sebelah barat kabupaten Gianyar dengan batas-batas: di sebelah penghujung utara Desa Singakerta (kecamatan Ubud), di sebelah barat Desa Mambal (kecamatan Abiansemal, Badung), sebelah selatan Desa Singapadu Tengah (kecamatan Sukawati Gianyar), sebelah timur Desa Lodtunduh (kecamatan Ubud, kabupaten Gianyar). Secara geografis, desaSilakarang; merupakan dataran rendah dengan ketinggian 250 sampai 300 meter di atas permukaan air laut dan panas suhu 24 sampai 33 derajat celcius. Luas wilayah 3.000 meter persegi (monografi desa Silakarang 1998). Berdasarkan data statistik tahun 1998 penduduk desa Silakarang adalah 331 KK dengan jumlah penduduk 1.324 yang mata pencahariannya sangat beragam.

Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Silakarang

1 Bertani 10

2 Pematung ukir 662

3 PNS/ABRI 52

4 Dagang 101

5 Buruh 489

Jumlah 1324

Sumber Data: Catatan kependudukan Banjar adat Silakarang

Berdasarkan atas uraian tersebut, Desa Silakarang berpotensi untuk dikembangkan sebagai salah satu sentra industri yang bergerak dalam sektor seni dan kerajinan. Sebagian besar penduduknya memilih mata pencaharian mematung/ukir sehingga untuk kedepannya dapat

dijadikan andalan untuk menopang kehidupan masyarakat. Industri ini juga dapat dijadikan suatu pembinaan dalam menyongsong pasar bebas yang banyak dikunjungi pembeli dunia karena sebagai rekanan bisnis (manca negara) yang memiliki disain diproduksi di Silakarang sehingga terjadi akulturasi pemikiran seni antara pemahaman terhadap seniman lokal dengan karya seni tradisinya dengan orang asing tentang kebebasan berekpresi.

Pemasaran Karya Seni Patung

Produksi Patung Tradisional dan Patung Modern Tahun 2005

1 Patung Brahma Patung Ikan 400 1.460

2 Patung Wisnu Patung Kura kura 440 1.456

3 Patung Hanoman Patung Kodok 400 2.904

4 Patung Ganesia Patung Gajah 588 732

5 Patung Twalen Patung Torso 208 312

6 Patung Wredah Dewi Tara 216 396

7 Patung Singa Patung Buda 448 1.448

8 Patung Dedari Patung abstrak 204 150

9 P Buta nawasari Patung Mengantuk 424 2.896

10 P Naniswara Patung Melamun 456_ 2.908

J u m l a h 3.784 14.662

Komposisi ( %) 20,51 79,49

Sumber data: Pengusaha Patung di Silakarang

Pemasaran karya seni patung yang tejadi di Desa Silakarang tidak sepenuhnya dibeli olehwisatawan, namun banyak pembeli domestik, bahkan ada orang Bali. Patung yang dibeli oleh para wisatawan kebanyakan adalah patung modern, namun ada juga yang membeli patung tradisional. Penjualan patung yang terjadi sangat mempengaruhi besarnya tingkat produksi yang dihasilkan oleh para pematung dari banjar Silakarang. Untuk itu di sini akan disajikan produksi antara patung tradisional dengan patung modern yang dihasilkan oleh para pengusaha patung di banjar Silakarang. Besarnya perbandingan jumlah patung tradisonal dengan patung modern dapat dilihat dari bagaimana posisi produksi patung tradisional dengan patung modern dengan adanya perkembangan pariwisata. Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa produksi patung tradisional hanya sebesar 20,51% dari produksi total patung dan produksi patung modern sebesar 79,49%. Ini berarti produksi patung modern lebih besar dari produksi patung tradisional, namun produksi patung tradisional masih cukup besar peluang pasarannya.

Dampak Pariwisata Terhadap Karya Seni Patung

Pariwisata membawa perubahan yang sangat besar terhadap perkembangan karya seni

patung di Desa Silakarang, serta memiliki dampak yang sangat luas terhadap tatanan dan nilaidalam berkarya seni. Perubahan tersebut dapat sebagai pendorong ke arah perkembangan,pemeliharaan, pelestarian bahkan resiko terhadap lingkungan sosial maupun lingkungan alam.Adaptasi masyarakat lokal dengan wisatawan selain memiliki latar belakang ketertarikanterhadap, pandangan hidup (Agama Hindu), adat istiadat, kepercayaan, dan juga dilatar belakangioleh ketertarikan atas produksi seni dan kerajinan (seni patung). Para seniman sangat adaptipterhadap ide-ide yang dibawa wisatawan dalam usaha menciptakan disain patung baru.Wisatawan juga sangat menghargai karya seni patung tradisional sebagai identitas warna lokalyang harus dijaga dan dikembangkan, dengan memasukan inovasi-inovasi baru. Dari akulturasipemahaman terhadap ide dengan kultur berbeda berbeda, muncullah ide-ide kreatif, selain untukmemenuhi kebutuhan lokal juga untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.Dari aspek sosial budaya; Dengan tidak mengurangi makna positif dari pariwisata, harusdiakui pariwisata menimbulkan konflikkepentingan antara pelestarian dan pengembanganterhadap produk lokal. Melihat perkembangan patung di Silakarang dari generasi ke generasiterus meningkat, disain dan produk semakin bertambah besar dengan kualitas mutu meningkat.Sehingga komoditas para seniman dengan karya seni patungnya berkembang menjadi suatubagian dari industri pariwisata yang memberikan kepuasan atas barang dan jasa. Untuk menjagaeksistensi dan mencermati dampak yang mempengaruhi seniman dalam berkreatifitas lebih maju,dapat bersaing, hak cipta para seniman harus mendapat perlindungan dari pemerintah. Sumbersumberyang menyebabkan persaingan itu yaitu: a) perebutan sumber daya; dengan menguasaisumber daya baik itu merupakan sumber daya alam, manusia maupun teknologi secara tidaklangsung sudah dapat memenangkan persaingan, b) perluasan batas-batas sosial budaya,persaingan bisa muncul dalam kehidupan majemuk karena perbedaan tradisi, bahasa, hukum, danidentitas sosial dapat menyatu dalam kepentingan politik, c) benturan kepentingan politik,idiologi dan agama.Aspek ekonomi, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan psikologis berupa: sandang,pangan, papan, dan kebutuhan mewah serta berkaitan dengan kebutuhan yang bersifat intrinsikyaitu: kepuasan, kesenangan, kedamaian. Dengan adanya kedua kebutuhan tersebut, dalam idustripariwisata yang memiliki kekuatan ekonomi mampu mengendalikan para seniman dan parapemilik kios-kios seni, untuk membuat disain-disain baru sesuai dengan kebutuhan pasar. Disatusisi pesanan/orderan wisatawan sangat dibutuhkan karena memiliki potensi menghasilkanpendapatan untuk menopang kebutuhan hidup. Dalam posisi tidak berdaya para pematungmenjadi sangat bergantung pada wisatawan dan mau mengerjakan apa saja yang menjadikebutuhan pasar yang dikehendaki wisatawan. Sehingga terjadilah provanisasi untuk dijadikanmodel dalam industri, sehingga lahirlah produksi masal sebagai cerminan budaya populer.Sedangkan dari aspek lingkungan; berkaitan dengan kebersihan, keselamatan lingkungan, danpembangunan berkelanjutan.

Dampak Pariwisata terhadap seni patung di Silakarang

Perkembangan Kerajinan Patung Batu Padas Di Desa Silakarang, selengkapnya

Denyut Kesenian Bali Di Tengah Geliat Globalisasi

Denyut Kesenian Bali Di Tengah Geliat Globalisasi

Kiriman: Kadek Suartaya, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Dunia cipta seni mengalir dan membuncah di Pulau Dewata. Ekspresi keindahan manusia Bali bertumbuh sejak dulu hingga kini. Bunga-bunga karya cipta para kreator seni masa lampu, kini menyemarakkan khasanah kesenian Bali. Seni pertunjukan dengan beragam bentuk, fungsi, dan maknanya hadir dan menyatu dengan sosio-kultural masyarakatnya. Sekarang, di tengah era globalisasi, jagat seni pentas tetap menggeliat. Simaklah pada 24-27 Mei lalu di ISI Denpasar. Puluhan seniman muda menguak menyajikan karya ciptanya yang sarat gereget, dinikmati penonton penuh antusias.

Antusiasisme penonton dan apresiasi para pemerhati seni menyaksikan seni pentas besutan 53 orang seniman muda itu kiranya wajar. Sebab sajian pertunjukan dalam ungkapan seni tari, seni karawitan, dan seni pedalangan itu sejatinya memang dikonstruksi dengan mengerahkan segenap kemampuan masing-masing penggarap. Maklum, garapan seni pentas itu adalah karya tugas akhir–merupakan bagian dari pertanggungjawaban akademik–bagi para mahasiswa yang akan menamatkan pendidikan kesarjanaannya (S-1) di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar. Generasi muda yang menekuni bidang penciptaan, dalam kesempatan itu, menunjukkan karyanya di depan para penguji dan masyarakat penonton.

Masyarakat penonton dapat menikmati beraneka ragam ekspresi karya seni pentas. Para seniman muda itu diberikan ruang yang sangat terbuka untuk mengimplementasikan gagasan artistiknya. Mereka juga mendapatkan kemerdekaan untuk mengolah elemen-elemen estetik, baik yang berakar dari seni tradisi maupun yang menjelajah area seni kontemporer. Tema cerita yang dipetik dari beragam sumber juga begitu variatif. Begitu pula pesan-pesan yang dilontarkan menjamah bermacam fenomena, konteks, dan nilai-nilai moral kehidupan.

Moral dari sebuah kesetiaan ditampilkan oleh Ni Nyoman Wahyu Adi Gotama dengan cipta tari bertajuk “Satyaning Amba“. Tari kreasi yang dibawakan lima penari putri ini bertutur tentang seorang putri raja, Dewi Amba, yang cinta dan harga dirinya merasa dihina oleh Bhisma, seorang ksatria brahmacari. Amba menyimpan dendam dan bertekad membalasnya. Selain moral kesetiaan dari epos Mahabharata, filosofi rwa bhineda dari sumber mitologi, juga digarap dalam sebuah koreografi karya Putu Ryma Febriana. Lewat judul “Siwa Swabhawa“, Ryma berungkap tari mengisahkan wujud ganda dari Dewa Siwa yaitu penuh kasih dan garang menakutkan. Berbeda dengan Wahyu dan Ryma, Ni Made Liza Anggara Dewi terimajinasi oleh kehidupan sehari-hari wanita Bali. Liza menstranformasikan ketulusan wanita Bali dalam aktivitas sosial keagamaannya melalui sebuah karya tari bertajuk “Retna Pradana“.

Sumber inspirasi pijakan karya dapat pula dari “penyakit“. I Gusti Putu Adi Putra yang sejak kecil gehgean (latah), menggarap komposisi karawitan berjudul “Gehgean”. Melalui media Gong Kebyar, Adi Putra berungkap musikal mengelaborasi kelatahannya dalam nuansa musik yang terkaget-kaget, terbata-bata, tergelak riang dalam ramuan ritme, melodi, tempo, dinamika yang tertata apik dibawakan 30 orang penabuh. Sementara itu, I Gusti Ngurah Jaya Kesuma, dalam garapan musiknya, “Kori Agung”, menggebrak dengan konsep estetik nan eksploratif. Tiga ansambel gamelan, Gong Kebyar, Semarapagulingan, Semarandana, dicampuradukannya. Berbagai kemungkinan musikal digali, dibenturkan, dan diharmonisasikannya. Bahkan musik petik gitar dan drum Afrika, jembe, juga dikolaborasikannya. Hasilnya, sebuah eksperimentasi bunyi yang unik.

Dari mahasiswa Jurusan Pedalangan ISI, juga muncul letupan garapan seni eksperimental. I Made Sukarsa yang menyuguhkan lakon “Aji Amertha Sanjiwani“ hadir dengan konvensi klasik seni pedalangan Bali namun juga bereksperimen pada aspek tata lampunya. Dalam tuturan cerita tentang ilmu menghidupkan orang mati dengan tokoh Begawan Sukra dan Sang Kaca, Sukarsa menyegarkan mata penonton dengan bayangan latar realistis yang dikendalikan komputer lewat semburan proyektor. Semangat mendekonstruksi wayang kulit Bali juga hadir pada garapan pakeliran I Putu Candra Wijaya. Lewat judul “Tri Samaya“  yang bersumber dari mitologi Bhatara Guru, berbagai kemungkinan estetik dan ungkap artistik disinkronisasikan. Dalam sebuah bentangan layar lebar vertikal, kekentalan wayang kulit tradisi dipadukan dengan pemeranan figur-figur penari lewat pencahayaan dinamis sinar belencong, lampu listrik, dan LCD.

Kreativitas adalah denyut nadi dari kesenian. Denyut cipta seni para seniman muda itu telah mengisi ruang kebudayaan kontemporer. Karya cipta seni pertunjukan buah karya generasi muda godokan ISI, beberapa tahun terakhir ini merupakan dinamika berkesenian yang patut diapresiasi tinggi oleh semua kalangan. Masyarakat Bali yang akrab dengan jagat seni perlu menyimaknya. Tetapi ratusan cipta seni tari, karawitan, dan pedalangan karya seniman akademis itu umumnya belum dicerap masyarakat. Karena tak tersosialisasi, tak sedikit masyarakat awam memandang dunia cipta seni pentas Bali telah macet. Untuk membuka pandangan yang menyepelekan itu, para kreator (koreografer, komposer, dalang), perlu memperkenalkan karyanya ke tengah masyarakat, baik dalam lingkungan komunal maupun dalam forum berskala besar. ISI dan Pemda Bali, dapat menjalin komitmen menyajikan garapan para seniman sumber insani masa depan kesenian bangsa ini di arena PKB misalnya, untuk diapresiasi dan dimaknai penonton.

Denyut Kesenian Bali Di Tengah Geliat Globalisasi, selengkapnya

Organisasi Gambuh di Desa Kedisan

Organisasi Gambuh di Desa Kedisan

Kiriman I Wayan Sucipta, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

Masyarakat pelestari Kesenian Gambuh di Desa Kedisan terkumpul dalam sebuah organisasi (sekaa) yang bernama Sekaa Gambuh Kaga Wana Giri. Kaga Wana Giri merupakan sebuah nama yang diambil dari sejarah dan letak geografis Desa Kedisan. Nama tersebut memiliki sebuah arti sebagai brikut; Kaga = Kedis (nama burung yang  merupakan nama dari Desa Kedisan), Wana =  alas (hutan), dan Giri = gunung. Jadi Kaga Wana Giri memiliki arti burung yang terdapat di sebuah gunung yang berhutan. Gambuh ini merupakan organisasi atau sekaa yang keberadaanya tidak dimiliki oleh Desa Adat Kedisan. Melainkan sebuah organisasi independen yang terbentuk atas orang-orang yang suka dan menggemari kesenian Gambuh. Akan tetapi kesenian ini berada dan bernaung dibawah Desa Adat Kedisan.

Kehidupan kesenian ini pada waktu dahulu sangat bertolak belakang dengan yang sekarang. Penggenerasian kesenian Gambuh di Desa Kedisan telah dilakukan semenjak dulu. Sekaa Gambuh Kedisan yang sekarang merupakan organisasi dari generasi yang ke tiga. Ketika tahun 1950-an Gambuh ini masih memiliki anggota yang cukup lengkap, baik dari penari maupun penabuh. Ketika itu masih terdapat penari-penari putri yang memerankan tokoh kakan-kakan, condong dan sebagainya dalam pertunjukan Gambuh di Desa Kedisan.

Menurut I Gusti Ngurah Widiantara, ketika itu penari Gambuh keseluruhan berjumlah 30 orang, belum pemain gamelan yang mengiringi tarian tersebut. Jadi menurutnya anggota dari Sekaa Gambuh Kedisan ketika itu sekitar 50-an, yang anggotanya masih dari Desa Kedisan. Sejalan dengan perkembangan jaman banyak anggota sekaa yang mulai tidak aktif karena faktor usia dan transmigarasi. Banyaknya angota Gambuh yang sudah tua dan tidak memungkinkan untuk menari mengakibatkan berkurangnya penari Gambuh Kedisan. Ditambah dengan sulitnya mencari penggati (generasi muda) untuk penari dan penabuh ketika itu, mengakibatkan sulit untuk mengembangan Gambuh tersebut. Faktor yang paling banyak mempengaruhi organisasi ini adalah transmigrasi. Pada tahun 1970-an banyak anggota sekaa Gambuh ini yang ikut program pemerataan penduduk oleh pemerintah yaitu transmigrasi, yang mengakibatkan banyaknya anggota yang berkurang. Banyak yang ketika itu para anggota sekaa Gambuh yang meninggalakan Kedisan dan bertransmigrasi ke Sulawesi dan ke Lampung, dengan tujuan mencari lahan pertanian dan kehidupan yang lebih baik.

Organisasi Gambuh ini memiliki sebuah sistem yang berdasarkan atas kepengurusan atau yang dikenal dengan kelihan (ketua kampung atau organisasi) dan anggota. Kelihan mempunyai wewenang di dalam pengorganisasian dan melaksanakan keputusan sekaa yang diambil dari sangkep ( rapat anggota baik banjar maupun organisasi adat). Untuk melakukan rapat, organisasi Gambuh di Desa Kedisan masih  menggunakan sistem tradisional, yaitu kelihan atau pengurus sekaa tersebut mengutus salah satu anggota yang telah ditentukan untuk memberi tahu masing-masing anggota tentang rapat yang akan dilaksanakan. Utusan tersebut disebut dengan istilah juru arah atau kesinoma (petugas yang membantu kelihan). Kesinoman ditentukan oleh pengurus berdasarkan urutan yang telah disepakati oleh anggota. Baik berdasarkan urutan rumah maupun yang lainnya. Tugas seorang kesinoman biasanya berlangsung dalam kurun waktu satu bulan Bali (35 hari). Kemudian dilanjutkan dengan giliran anggota lain yang telah ditentukan urutannya. Berakhirnya giliran sebagai juru arah atau kesinoman, juru arah biasanya membawa sesajen (banten penyangkepan) yang disebut dengan cane (sirih yang digunakan pada rapat desa). Banten tersebut memiliki makna dan permohonan kepada Tuhan, agar sebuah rapat yang dilaksanakan bisa berjalan baik dan lancar.

Penggenerasian Gambuh di Desa Kedisan diambil berdasarkan keturunan, seperti anak dan cucu dari anggota sekaa. Apa bila keturunan tersebut tidak memungkinkan dijadikan anggota sekaa Gambuh, maka masing-masing anggota berhak menjadikan salah satu keluarga atau orang lain untuk menggantikannya, dengan catatan  generasi pengganti tersebut menjadi anggota sekaa berdasarkan rekomendasi dari anggota yang akan diganti.

Organisasi Gambuh di Desa Kedisan, selengkapnya

Taman Ujung Yang Dibangun Oleh Seorang Seniman

Taman Ujung Yang Dibangun Oleh Seorang Seniman

Kiriman: A.A.Ayu Kusuma Arini, SST.,MSi., Dosen PS. Seni Tari ISI Denpasar

Setelah kerajaan Cakranegara dan Mataram Lombok dikalahkan Belanda tahun 1894 hingga seorang raja tua diasingkan ke Batavia maka secara otomatis kerajaan Karangasem dengan Stedehauder I A.A.Gede Djelantik yang dilantik tahun 1896, di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Karena beliau tidak berputra, sebagai penggantinya telah dipersiapkan seorang keponakannya yakni A.A.Bagus Djelantik yang sejak kecil telah memperlihatkan bakat dan kecakapannya. Selanjutnya A.A.Bagus Djelantik yang lahir tahun 1890 dilantik menjadi Stedehauder II tahun 1908, adalah seorang seniman dan sekaligus pembina kesenian. Jabatan yang pernah dipangku adalah Zelbestur der Karangasem atau Regent Karangsem (1929-1942) dengan gelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem atas persetujuan Residen Caron, Sijuco Karangasem (1942-1945) dan raja Karangasem (1945-1950). Sebagai pemimpin daerah, walaupun kondisi Karangasem tandus, tetapi kesenian tidak dibiarkan mengering. Beliau memiliki wawasan yang luas serta pengamatan yang tajam terhadap berbagai cabang seni. Dalam seni ukir dan arsitektur, beliau mendisain berbagai ukiran semen untuk hiasan tembok maupun pot bunga di taman-taman yang dibangunnya dengan corak campuran tradisional Bali, Belanda dan Cina. Kegemaran membuat kolam ini, nampak juga di Puri Maskerdam di area kompleks Puri Agung yang di tengah-tengahnya dibangun Bale Gili sebagai tempat parum (rapat) dan menjamu para tamu.

Dalam hal seni tari, beliau sering mengunjungi dan membina seka-seka kesenian. Putra-putra beliau yang tertarik akan seni tari, dipanggilkan guru tari yang tenar seperti I Nyoman Kakul dan yang lainnya. Adapun pengalaman yang mengesankan adalah ketika beliau melakukan muhibah dua kali ke keraton-keraton Paku Buwono X, Mangku Negara VII dan Sri Paku Alam VIII di Solo, dengan membawa rombongan kesenian. Pada tahun 1928 beliau membawa kesenian Legong dari Kuta-Badung bersama I Wayan Lotering. Muhibah kedua dilakukan tahun 1935 pada waktu pembukaan Museum Sono Budoyo, membawa kesenian Topeng dan Legong dari Karangasem. Setelah kunjungan tersebut hubungan kekerabatan dengan keraton Solo semakin akrab. Salah seorang penari Legong yang ikut dalam rombongan tersebut Jero Intaran menuturkan bahwa tarian Legong yang dibawa adalah Legong Lasem dan Jobog. Guru tari Legong  terkenal I Gusti Gede Raka dari Saba – Gianyar menuturkan, bahwa setelah rombongan kembali dari Solo penyebutan tari Legong lalu menjadi Legong Keraton hingga kini karena tari Legong pernah dipentaskan di Keraton Solo.

Sebagai sastrawan, beliau menggubah sebuah gaguritan “Melayar ke Surabaya” yang ditulis ketika berobat ke Surabaya. Jauh dari sanak keluarga dan operasi berat yang dijalani, rupanya mengusik jiwa seni beliau untuk menulis tentang nasehat nilai-nilai kebenaran. Ketika gaguritan tersebut dibaca dalam tembang yang mengharukan, para pendengar tertegun haru dan menitikkan air mata. Selain itu, naskah gaguritan Membangun Sekolah Putri ditemukan di Istana Mangkunegara Surakarta, kiranya dibuat menjelang pembukaan Sekolah Keputrian di Denpasar yang kini dikenal sebagai SKKA.

Dalam dunia pendidikan, beliau menggagas menghimpun dana untuk pendirian sebuah sekolah yang mengutamakan pendidikan kebudayaan. Hal ini disambut baik oleh raja-raja Klungkung, Bangli dan Gianyar. Maka berdirilah sebuah Yayasan yang bertujuan memajukan pendidikan putra-putra Bali yakni Holland Indlansche School (H.I.S-Siladarma) di Klungkung, tahun 1920. Pada jaman kolonial, kemahiran membaca, menulis dan pemahaman bahasa Belanda menjadi syarat utama bagi pribumi yang akan melamar pekerjaan. Beliau amat memperhatikan pendidikan putra-putrinya maka setelah berdiri sekolah-sekolah pada jaman Belanda itu, beberapa putra-putri beliau disekolahkan ke Klungkung, Denpasar (H.I.S), Singaraja (E.L.S – Europisesche Lagere School), bahkan sampai ke Jawa dan salah seorang putra beliau A.A.Made Djelantik melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Belanda pada tahun 1938.

Selain Taman Ujung, taman Tirta Gangga yang dibangun oleh raja Karangasem terakhir itu pada tahun 1946, juga dijadikan tempat shooting film tersebut. Pada mulanya taman ini disebut Embukan adalah tempat untuk memohon air suci bagi desa-desa disekitarnya untuk melaksanakan upacara Melasti dalam rangkaian Piodalan karena memiliki mata air yang dipandang keramat dan suci, terletak di bawah pohon beringin. Letak geografis taman ini tidak kalah menariknya dengan Taman Ujung, di kaki sebuah bukit yang dikitari sawah bertingkat dan berjarak enam kilometer ke arah Utara kota Amlapura. Udaranya sangat sejuk dan cocok untuk tempat beristirahat. Mata air yang bening mengalir sepanjang tahun, memberikan ide penciptanya untuk membangun sebuah taman, Tirta Gangga. Beberapa kolam besar, Bale Kambang dan menara air mancur (Jalatunda) menjadi ciri taman ini, dan tidak mengalami kerusakan yang berarti dari guncangan gempa Gunung Agung.

Berkat jasa-jasa beliau dalam bidang seni, maka Gubernur Kepala Daerah Tk.I Propinsi Bali tahun 1980, menganugerahkan penghargaan Seni “Dharma Kusuma”.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, kiranya makna pepatah itu tepat untuk Anglurah Ketut Karangasem Walaupun sudah wafat pada tanggal 6 Nopember 1986 dan di Palebon dengan Naga Banda tanggal 1 Januari 1987, namun tetap dikenang sebagai seniman genius yang telah memadukan unsur-unsur seni Eropa dengan seni tradisional Bali pada taman air di ujung Timur pulau Bali.

Taman Ujung Yang Dibangun Oleh Seorang Seniman, selengkapnya

Bhisma Dewabharata, Ksatria Unggul Berbudi Luhur

Bhisma Dewabharata, Ksatria Unggul Berbudi Luhur

Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 tahun 2011 ini, mengangkat tema “Desa, Kala, Patra: Adaptasi Diri dalam Multikultur“. Desa, kala, patra adalah kearifan lokal masyarakat Bali yang menjunjung realitas keragaman budaya yang luwes yaitu senantiasa menyesuaikan diri terhadap tempat, waktu, dan situasi yang sedang berkembang. Berdasarkan bingkai tema tersebut, seluruh aktivitas dan kreativitas seni yang digelar dalam PKB 2011 wajib mengacu pada nilai-nilai multikulturalisme dimaksud. Sendratari “Bhisma Dewabharata“ garapan ISI Denpasar yang disuguhkan pada pembukaan PKB tanggal 10 Juni juga berorientasi kreatif dari tema itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Gubernur Bali Mangku  Pastika, undangan kehormatan dan para penonton yang memadati panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali, menyimak dengan tekun sendratari yang berdurasi hampir satu jam itu.

Lakon “Bhisma Dewabharata“ diangkat dari epos Mahabharata episode Adi Parwa. Secara etimologis, bhisma berarti sumpah suci, dewa adalah manifestasi Tuhan, dan bharata adalah kebenaran. Sebagai sebuah judul, “Bhisma Dewabharata“ bermakna “seorang kesatria keturunan  dewa,  tulus ikhlas mewujudkan  sumpah sucinya yang diabdikan untuk menegakkan kebenaran“. Dewabharata adalah putra raja Sentanu dari negeri Hastina. Nama Dewabharata diberikan oleh wanita yang melahirkannya, Dewi Gangga, penjelmaan bidadari. Dewabharata kemudian masyur sebagai Bhisma setelah mengucapkan ikrar sakral maha berat.

Alkisah, Dewabharata, seorang ksatria yaang cerdas dan gagah berani. Sebagai putra mahkota, ia diharapkan menjadi pemimpin agung Hastinapura. Suatu hari, ayahnya, Raja Sentanu jatuh cinta dengan seorang gadis jelita yang bernama Satyawati, anak seorang nelayan sungai Yamuna. Raja Sentanu ingin menjadikannya permaisuri. Tetapi karena syarat yang diajukan Satyawati terlalu berat menyebabkan sang raja sakit. Demi rasa kasih pada ayah tercinta, Dewabharata memboyong Satyawati ke istana, dihaturkan kepada rajanya. Kendati bersuka cita, Raja Sentanu  merasa gamang mengingat akan syarat yang pernah diajukan Dewi Satyawati. Benar saja, menjelang pernikhan agung akan digelar, Dasabala, ayah Satyawati, menuntut agar anak yang dilahirkan Satyawati harus menjadi raja pengganti Raja Sentanu, dan keturunan Dewabharta tidak menuntut haknya untuk menjadi raja Hastina. Tuntutan yang menggugat singgasana dan hak Dewabharata menggemparkan seluruh negeri Hastina. Akan tetapi dengan mantap dan meyakinkan Dewabharata mengumandangkan sumpah suci “tidak akan menjadi raja dan tidak akan kawin seumur hidupnya“ yang disambut koor haru para dewata: bhisma, bhisma, bhisma.

Babak pertama diawali dengan prolog yang merupakan visualisasi jati diri Dewabharata yang lahir dari buah cinta antara Maharaja Sentanu dengan wanita penjelmaan bidadari, Dewi Gangga. Adegan selanjutnya dilukiskan bagaimana Dewabharata yang tampan dan perkasa diharapkan menjadi pemimpin agung yang akan menurunkan sumber insani masa depan bangsa Bharata. Setelah dinobatkan menjadi yowanaraja, Dewabharata memperoleh mandat menunaikan tugas dan kewajibannya sebagai raja muda, sedangkan ayahnya, Sentanu, bertindak selaku pendamping dan penasihat.

Suatu ketika, Dewabharata begitu masgul dengan keberadaan ayahnya yang senantiasa bermuram durja. Melalui kusir kerajaan, Dewabharata mengetahui bahwa sumber kemurungan Raja Sentanu adalah Satyawati, gadis cantik putri seorang nelayan di tepi sungai Yamuna. Dikisahkan si kusir kereta, perjumpaan  Sentanu dengan gadis molek beraroma harum semerbak itu, membuat sang raja jatuh cinta dan berhasrat menjadikannya permaisuri tetapi sangat terpukul dengan persyaratan yang diajukan oleh Dewi Satyawati. Persyaratan yang mahaberat itu adalah: anak yang dilahirkan Satyawati harus menjadi raja pengganti Maharaja Sentanu.

Didorong oleh rasa hormat dan kasih sayangnya pada sang ayah, menuntun Dewabharata menjumpai Dasabala, ayah Satyawati. Dewabharata berjanji tidak akan menjadi raja Hastina dan akan memberikan kepada putra yang dilahirkan Satyawati. Dewabharata memboyong Satyawati ke istana dan menghaturkan kepada ayahnya. Setibanya di istana, sebuah persyaratan diajukan lagi oleh Dasabala: agar kelak keturunan Dewabharta tidak menuntut haknya untuk menjadi raja Hastina. Demi kebahagian sang ayah, Dewabharata bersumpah akan hidup membujang selama hayatnya. Ikrar Dewabharata disambut hujan bunga dari angkasa dan gaung suara bhisma…..bhisma…..bhisma! (Bhisma berarti kesatria sejati yang menepati sumpah suci). Maharaja Sentanu sangat terharu dengan ketulusan, jiwa besar, pengorbanan putra kebanggaannya, Bhisma Dewabharata.

Pesan yang terlontar dari sendratari kolosal ISI Denpasar ini yakni   tentang dedikasi dan pengorbanan tulus suci seorang putra bangsa terhadap negaranya. Pesan ini terasa kontekstual dengan tema PKB 2011 bahwasannya putra bangsa yang berkarakter dan berbudi luhur adalah sumber insani unggul yang mampu beradaptasi dengan tantangan kehidupan (desa), perubahan zaman (kala), dinamika budaya (patra) di tengah era globalisasi ini. Putra bangsa seperti Dewabharata yang cerdas, gagah berani, santun dan berakhlak patut dijadikan teladan oleh segenap masyarakat bhineka tunggal ika (multikultural) Indonesia menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat dan berkeadaban, sejahtera, harmonis, humanis dan damai.

Bhisma Dewabharata, Ksatria Unggul Berbudi Luhur, Selengkapnya

Mengenang Kejayaan Taman Ujung Karangasem Yang Menyimpan Kenangan Seni

Mengenang Kejayaan Taman Ujung Karangasem Yang Menyimpan Kenangan Seni

Kiriman: A.A.Ayu Kusuma Arini, SST.,MSi., Dosen PS. Seni Tari ISI Denpasar

Identitas dan jatidiri arsitektur merupakan instrumen yang sangat penting sebagai daya tarik wisatawan. Sejak dahulu kebudayaan Nusantara telah bersinggungan dengan budaya luar, namun pengaruh budaya luar tersebut selalu dapat diterima untuk mewarnai tradisi lokal, bahkan kehadirannya semakin memantapkan dominasi dan keunggulan kebudayaan lokal itu sendiri. Demikianlah yang terlihat pada sebuah taman, terletak di ujung Timur pulau Bali dengan panorama yang indah, dibangun tahun 1919 oleh raja Karangasem terakhir Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem yang semula bernama A.A.Bagus Djelantik..

Taman-taman yang menarik di Karangasem sebagian besar adalah hasil karya dari raja-raja Karangasem. Dua taman air nan luas masih marak dikunjungi pelancong dan wisatawan. Konsep istana taman kiranya menurun dari para leluhur raja-raja terdahulu yang pernah memerintah Lombok setelah mengalahkan kerajaan Selaparang dan Pejanggik tahun 1692. Hal ini dapat dilihat pada taman-taman yang ada di Pulau Lombok, seperti Taman Mayura, Narmada dan Suranadi, setelah terjadi migrasi dari Puri Karangasem sejak tahun 1722 sampai terbentuk kerajaan Cakranegara dan Mataram. Konon taman-taman itu dibangun tidak berdasarkan konsep gambar, tetapi berdasarkan Asta Kosala Kosali. Demikian pula kepekaan dalam memilih lokasi, baik ditinjau dari segi strategis maupun estetis, benar-benar memberikan daya tarik yang luar biasa..

Di Karangasem pernah dibangun Taman Sata Srengga yang terletak di desa Padang Kerta, dalam bentuk sebuah kolam besar yang dikitari pohon manggis dan leci, ditengah-tengahnya didirikan bangunan pemujaan. Sayang sekali peninggalan taman tersebut tertimbun lahar Gunung Agung lewat sungai di sebelah Timur-nya. Kini setelah tertimbun 40 tahun lebih, dicoba untuk digali dan dibangun kembali oleh pewarisnya. Demikian pula di tengah-tengah kota Amlapura terdapat Taman Sekuta yang berlokasi di Banjar Rata (masuk ke arah Barat) dan kini sudah berubah menjadi persawahan. Situs taman masih tampak berupa sisa-sisa reruntuhan tembok. Sampai kini sumber airnya masih dimanfaatkan oleh keluarga Puri sebagai Toya Ening untuk upacara Pitra Yadnya.

Taman Soekasada Ujung yang telah dipugar dengan bantuan Bank Dunia, sudah sangat dikenal oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara sebelum hancur diguncang gempa beberapa kali. Lokasi taman benar-benar amat strategis. Nun jauh di seberang Selat Lombok sayup-sayup nampak Gunung Rinjani. Apabila pandangan diarahkan ke sebelah Timur Laut, tampak berdiri tegak Gunung Seraya yang kembar, dan bila menoleh ke Barat Laut akan terlihat kekokohan tiga buah patung besar dari semen dengan lokasi bertingkat, yakni patung badak, singa bersayap dan sapi, yang memuntahkan air. Konon patung-patung tersebut sebagai peringatan Karya Maligia keluarga Puri Karangasem pada tahun 1937. Sisa bangunan paling atas yang dekat dengan jalan raya dari arah Amlapura menuju taman, sengaja tidak direnovasi, dibiarkan sebagai monumen untuk mengenang saat kejayaannya dahulu, mirip dengan monumen kantor Walikota Hiroshima – Jepang yang hancur karena bom atom Amerika Serikat.

Taman yang juga dikenal dengan sebutan “istana air” itu, bangunan pokoknya adalah  Bale Kambang, yang bercorak arsitektur campuran tradisional Bali dengan Belanda. Pengaruh Belanda ini kentara dari bangunan jembatan yang sudah berteknologi Barat, pada puncak-puncak tiangnya meniru “mahkota” Ratu Wilhelmina, raja Belanda saat itu. Di samping itu, pada tembok-tembok bangunannya terdapat panel hias yang memakai motif singa bersayap dengan crown di kepalanya, seperti simbol kerajaan Belanda. Bentuk ornamen lainnya dari cetakan semen untuk dinding dan pot-pot bunga, merupakan kreasi dari pendiri taman tersebut yang bermotif bunga dan wayang dengan senjata-senjatanya. Wujud tersebut dapat dikatakan sebagai pelopor ukiran cetak semen di Bali, yang kini banyak dijumpai di desa Kapal. Setelah direnovasi dengan bantuan Bank Dunia, tampak Bale Kambang cantik di kolam Selatan dan sebuah jembatan beton dengan dinding panel singa bermahkota, sebagai penghubung areal parkir Timur menuju taman. Demikian pula areal taman yang luasnya hampir 10 ha ini sudah dipagari tembok artistik hingga dekat dengan Pura Manikan. Di ujung Utara taman ini telah berdiri pula sebuah Bale Lantang, yang dahulu dipakai tempat Ma-Tirta Yatra bagi keluarga raja.

Kenangan seni film “Panji Semirang”.

Keindahan Taman Soekasada Ujung sebagai perpaduan yang harmonis antara panorama alam dan corak arsitektur yang unik, ternyata menyimpan kenangan seni cinematografi yakni inspirasi lokasi shooting film kolosal “Panji Semirang” yang dilakukan PFN tahun 1955. Tergugah oleh pemugaran taman yang bersejarah ini, menggelitik hasrat untuk membuka kembali album lama yang disusun oleh ayah penulis (salah seorang putra beliau). Penulis bersama keluarga turut menyaksikan pembuatan film kolosal tersebut, yang merupakan awal dari film kolosal yang belakangan ini baru marak, baik dalam layar lebar maupun sinetron, seperti Saur Sepuh dan lainnya.

Ceritra Panji merupakan kisah yang sangat populer di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali sebagai Culture Hero, hasil cipta asli budaya Nusantara dengan tokoh sentral Raden Panji Inu Kertapati merupakan tokoh yang memiliki karakter yang anggun, arif dan patriotik. Sebagai tokoh protogonis dalam ceritra ini, Panji selalu digambarkan dalam keadaan mengembara untuk menemukan kekasihnya yang menghilang dari istananya, serta mendapat berbagai rintangan. Memperhatikan foto-foto tersebut, terlihat bahwa tokoh Panji dan Candra Kirana diperankan oleh aktor Dedi Sutomo dan aktris Sofia Waldi, sedangkan raja diperankan oleh Wim Umboh. Yang menarik adalah beberapa pengiring dayang-dayang disertakan para Deha dari Tenganan /Asak. Adapun inti ceritranya mengisahkan pelamaran Panji (Mantri Kuripan) kepada Candra Kirana (Galuh Deha) yang mempunyai saudara tiri Galuh Ajeng (Liku) dengan mengirim dua buah togog emas dan perak. Panji sudah mengadakan perjanjian rahasia dengan Candra Kirana bahwa togog emas dibungkus dengan kain kumal, sedangkan togog perak dibungkus dengan kain sutra. Maka serta merta si Galuh Ajeng memilih bungkusan kain sutra dan setelah dibuka ternyata isinya togog perak. Salah pilih itu memicu pertengkaran dan perebutan togog emas antara kedua putri raja. Akhirnya sang ayah sangat marah, seraya memotong rambut Candra Kirana dan mengusirnya dari istana.

Patut diketahui, bahwa kesuksesan film Panji Semirang mendorong gagasan sutradara lainnya dari Jakarta setahun kemudian untuk mengabadikan ceritra rakyat Bali “Jayaprana” dalam layar lebar, dengan lokasi shooting di Puri Gede Karangasem.

Kini keadaan Taman Ujung yang telah kembali bangun dari tidur lelapnya setelah seperempat abad dalam kondisi terlantar, telah marak dikunjungi wisatawan, baik domestic maupun mancanegara. Pada bangunan utama dipajang foto-foto pendiri taman dan juga foto taman sebelum rusak, sehingga bisa diketahui oleh para wisatawan. Bali sebagai ujung tombak pariwisata Indonesia yang telah dikenal dengan adat budaya yang unik dan bangunan-bangunan taman nan indah, akan tetap menjadi tujuan wisatawan dari berbagai penjuru dunia.

Mengenang Kejayaan Taman Ujung Karangasem Yang Menyimpan Kenangan Seni, Selengkapnya

Loading...