Seniman Bali Menerima Penghargaan Pemerintah RI

Seniman Bali Menerima Penghargaan Pemerintah RI

Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha SSn., Alumni ISI Denpasar

Pada tanggal 5-7 Juli 2011, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, mengadakan sebuah acara penghargaan tahunan yang diberikan kepada mereka yang tekun dan sungguh-sungguh mengabdi di dunia seni budaya.  Ada empat kategori yang disediakan oleh Kemenbudpar RI kali ini yauti : 1. Bidang Maestro Seni Budaya, 2. Bidang Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya, 3. Anugerah Seni dan 4. Anak/Remaja/Pelajar yang Berprestasi di Bidang Seni Budaya.

Masyarakat Bali saat ini pantas berbangga diri, karena salah satu putra-putri terbaiknya di bidang seni tari kembali mendapat penghargaan bergengsi tingkat nasional oleh pemerintah pusat di Jakarta. Acara bertajuk “Penghargaan Maestro Seni Tradisi dan Anugerah Kebudayaan Tahun 2011” ini diberikan kepada mereka yang telah berjasa dan mendedikasikan dirinya di bidang seni budaya. Setelah tahun lalu (2010) seniman Bali I Made Sija menerima penghargaan dari pemerintah pusat, kali ini adalah (alm.) Jero Puspawati, seniwati dramatari Arja, dari Geriya Bongkasa, Abiansemal, Kab. Badung, Bali. Beliau mendapat penghargaan di bidang Maestro Seni Tradisi. Penghargaan Kali ini diserahkan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono yang diwakili oleh Wakil Presiden Boediono beserta Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Ir. Jero Wacik kepada perwakilan (alm.) Jero Puspawati yaitu Ida Ayu Wimba Ruspawati selaku putri sulung beliau.

Jero Puspawati adalah seorang seniman yang bergelut khusus di bidang seni tradisi Dramatari Arja. Dilahirkan sekitar 77 tahun yang lalu di Desa Pejeng, Kab. Gianyar, beliau terlahir dengan nama Ni Wayan Sembo. Sejak umur 7 tahun, beliau memulai karir berkesenian secara otodidak. Hal ini dipelajari langsung dari ayahnya yang bernama I Raos yang pada jamannya dikenal sebagai pemeran tokoh Pandung dalam dramatari Calonarang yang cukup populer karena penguasaan teknik serta penjiwaannya. Beliau sangat rajin mengikuti kiprah ayahnya pentas kesana-kemari demi sebuah pengalaman sekaligus menjalankan kegemarannya menyaksikan orang menari. Dari berbagai pengalaman-pengalaman menonton tersebutlah, secara tidak disadari ketajaman intuisinya akan seni tradisi menjadi terasah. Tak heran, ia pun dengan mudah menghafal urutan pementasan karakter-karakter yang terdapat dalam dramatari Arja.

Bakat emas ini ternyata cepat disadari oleh ayahnya kala itu. I Raos kemudian mengajarinya tembang-tembang Sekar Alit sebagai modal utama dalam memerankan tokoh dalam opera tradisional tersebut. Karena memang sudah memiliki potensi unggul, Ni Sembo tak membutuhkan waktu lama untuk menguasai berbagai pupuh yang diajarkan ayahnya. Selanjutnya, perjalanan karir keseniannya di dramatari Arja pun dimulai. Pelatihannya dimulai dari belajar tari Condong, lalu beralih ke Mantri Manis, Mantri Buduh, lalu berakhir di tokoh Limbur. Seiring dengan meningkatnya jam terbang pementasan beliau, maka semakin matanglah pengalaman di bidangnya. Pun demikian dengan kematangan penokohan karakter yang mulai mengarah secara spesifik. Setelah demikian lama berlatih dan pentas, akhirnya beliau dikenal cocok membawakan tokoh Mantri Buduh dan Limbur. Identitas pun disematkan oleh masyarakat kepada beliau sebagai Mantri Buduh Pejeng atau Limbur Pejeng, karena memang berasal dari Pejeng, Gianyar.

Karena kemampuan serta pengalamannya itulah, beliau sempat tergabung dengan berbagai seniman dramatari Arja yang terkenal dan pentas di seluruh Bali. Beliau sempat bergabung dalam grup Arja Singapadu yang disesaki oleh seniman-seniman besar seperti (alm.) Tjokorda Oka Tublen, (alm.) I Wayan Geria, (alm.) I Made Keredek, serta sering pentas bersama seniman besar (alm.) I Ketut Rindha dari Blahbatuh, Gianyar, (alm.) Jero Suli dari Denpasar serta pasangan punakawan (alm.) I Sadru dan (alm.) I Monjong dari Keramas, Gianyar. Dengan seniman-seniman tersebutlah, Ni Sembo sering bertukar pikiran, berdialog dan tanpa sungkan-sungkan menggali ilmu pada siapapun. Oleh karenanya, interaksi yang intensif dengan seniman berbagai karakter di luar desanya membuat Ni Sembo semakin diperhitungkan di jagat dramatari Arja pada jamannya.

Pada tahun 1952, Ni Sembo sempat mengadakan pentas tari Arja ke Lombok bersama grup ayahnya. Beliau kesana atas undangan komunitas Bali yang rindu akan seni tradisional di tanah leluhurnya. Di tempat inilah beliau bertemu dengan Ida Bagus Made Raka, seniman besar Bali yang berasal dari desa Bongkasa, kec. Abiansemal, Kab Badung. Mereka pun saling jatuh hati dan tak lama kemudian melangsungkan proses pernikahan. Ni Sembo resmi menikah ke Geriya Gede Bongkasa dan berganti nama menjadi Jero Puspawati. Karir keseniannya di bidang dramatari Arja bukannya terganjal karena menikah dan mengurusi rumah tangga, namun sebaliknya, justru semakin berkibar berkat dukungan sang suami. Ida Bagus Made Raka yang tak hanya dikenal tangguh sebagai Baris atau Jauk Bongkasa, juga dikenal sebagai juru kendang tari Arja yang sangat mahir. Atas prakarsa mereka berdua bersama Ida Pedanda Gede Putra Singarsa (alm.) yang juga dikenal sebagai Dalang Bongkasa pada masa lalu, terbentuklah grup kesenian Parwa Agung yang berbasis di desa Blahkiuh, Kec. Abiansemal, Kab. Badung. Grup ini sangat terkenal pada masanya dan hingga kini masih tetap eksis. Selain itu, mereka pun secara berpasangan mengabdikan diri memenuhi permintaan masyarakat di berbagai desa di Bali untuk mengajar dramatari Arja. Berdua, mereka merasakan indahnya kebersamaan tak hanya sebagai pasangan hidup, namun juga sebagai pasangan seniman yang sangat serasi dan bermental pengabdian yang sangat tulus.

Pada tahun 2002, sang suami yaitu Ida Bagus Made Raka berpulang menghadap Sang Pencipta karena sakit yang dideritanya. Tentu, kesedihan yang mendalam menghinggapi Jero Puspawati selaku pasangannya. Namun hal ini tak menyurutkan niat beliau untuk terus mengabdi di bidangnya secara professional. Hidup harus terus berlanjut dan tiada henti mengabdi. Setidaknya prinsip itulah yang menguatkan mental Jero Puspawati dalam melanjutkan sisa hidupnya. Terbukti, beliau didaulat oleh para anggota sekaa santi Gita Keheningan Banjar Kehen Kesiman untuk membina pesantian ini di bidang Sekar Alit. Senyum girang kembali menghiasi bibir beliau ketika mengingat sisa hidupnya yang masih memiliki guna dan manfaat bagi masyarakat sekitarnya.

Kepercayaan masyarakat di desa Kesiman (tempat domisili sementara beliau sepeninggal sang suami) kepada beliau semakin tebal ketika beliau didaulat menjadi duta Br. Kehen sebagai penari Joged Bumbung dalam parade pentas tari Joged Lansia yang digelar oleh Pemerintah Desa Kesiman Petilan pada tanggal 6 Februari 2011 yang lalu. Keceriaan beliau nampak jelas menghiasi hari tuanya. Menari seolah sebagai terapi kesehatan bagi beliau. Sesakit apapun tubuhnya, dapat dilupakan sejenak bilamana beliau mendengarkan lantunan pupuh Sekar Alit yang dikumandangkan oleh orang di sekitarnya maupun lewat siaran radio. Pun demikian ketika suatu waktu ada beberapa orang datang ke tempat beliau mendiskusikan masalah pakem tari Arja.

Akhirnya, Sabtu, 21 Mei 2011 beliau menghembuskan nafas terakhirnya karena sakit lever yang dideritanya dan sekaligus sebagai pertanda perpisahan beliau pada pengabdiannya di jagat seni tradisi Bali. Beliau meninggalkan dua orang putri yaitu Ida Ayu Wimba Ruspawati (51 th) dan Ida Ayu Mas Yuniari (47), serta enam orang cucu. Dua di antaranya merupakan tunas muda yang diharapkan dapat meneruskan pengabdian beliau di jagat seni, sesuai bidangnya masing-masing. Mereka adalah Ida Bagus Gede Surya Peradantha S.Sn., serta Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti. Ida Ayu Wimba Ruspawati selaku putri almarhum mengucapkan terima kasih kepada perhatian pemerintah pusat kepada seniman-seniman di Bali khususnya yang telah berjasa di bidangnya masing-masing. Ia berharap agar pemerintah tak henti-hentinya membangun usaha untuk memperhatikan keberadaan para seniman yang telah mengharumkan nama daerah dan bahkan negara di dunia internasional. Tak hanya TKI yang merupakan pahlawan devisa, namun seniman melakukan hal yang lebih sebagai media promosi potensi seni dan budaya seuatu negara.

Seniman Bali Menerima Penghargaan Pemerintah RI, selengkapnya

Komodifikasi Obyek Wisata Puri Saren Agung Ubud, bagian II

Komodifikasi Obyek Wisata Puri Saren Agung Ubud, bagian II

Kiriman Dr. Ni Made Ruastiti, SST. MSi., Dosen PS Seni Tari ISI Denpasar

4.  Puri Sebagai Komoditas Pariwisata

Pesatnya perkembangan pariwisata di Ubud tentunya tidak terlepas dari potensi yang ada di daerah ini, baik potensi alam, budaya maupun potensi sumber daya manusianya. Potensi yang dimiliki inilah yang dikembangkan masyarakatnya untuk meningkatkan industri pariwisata daerah ini. Sebagai sebuah obyek wisata, Ubud yang penuh dengan hasil karya seni maupun keindahan alam ini telah mampu membuat kesan tersendiri bagi wisatawan yang datang berkunjung ke daerah ini (Damardjati, 1981: 79).

Melihat potensi ini, Puri Saren Agung pun terdorong untuk mempergunakan purinya sebagai komoditas pariwisata. Hal ini tentu didasari oleh berbagai pertmbangan. Puri sebagai obyek wisata atau destination tentu harus dilengkapi berbagai sarana pendukungnya, antara lain meliputi attractions yaitu hal-hal yang menarik perhatian, jasa pengangkutan dan keramah-tamahan untuk menerima wisatawan (Spilane, 1994 : 63).

Sebagai sebuah obyek wisata, daya tarik Puri Saren Agung ini tidak dapat dilepaskan dari faktor yang melatar-belakanginya, khususnya yang berkaitan dengan produk wisata yang ditawarkan kepada wisatawan sehingga mereka ingin mengunjungi puri ini kembali.  Menurut Kayam ( 1981) salah satu faktor yang dapat mendorong wisatawan datang ke suatu daerah adalah kesan yang mereka peroleh ketika datang ke daerah tersebut. Sebagaimana wisatawan yang datang berjunjung ke Puri Saren Agung ini, yang tidak terlepas dari keunikan puri yang terletak di pusat kawasan wisata Ubud ini. Selain itu, keindahan panorama alam daerah  ini juga tidak kalah menariknya. Wisatawan yang datang ke puri ini biasanya berjalan-jalan mengelilingi lingkungan puri melalui jalan setapak sambil memotret bangunan dan aktivitas budaya yang sedang berlangsung.

Panorama alam desa Ubud yang indah mampu memberikan nilai tambah bagi daya tarik wisata Puri Saren Agung.  Sebagai sebuah obyek wisata, Puri Saren Agung ini dibangun berdasarkan tata-nilai budaya masyarakatnya. Hal itu dapat dilihat dari adanya tinggalan budayanya yakni berbentuk pura dan puri (Wahab, Crampon, dan Rothfield, 1989 : 41).  Tata-ruang puri yang terdiri dari jaba sisi, jaba tengah dan jeroan ini mempunyai fungsi tersendiri, dimana di jaba sisi (halaman luar) wisatawan dapat menyaksikan keindahan puri karena itu setiap ada wisatawan berkunjung di puri ini, mereka tidak akan melintasi pamerajan puri dan merajan agung yang disakralkan masyarakat setempat.

Sebagai sebuah obyek wisata, Puri Saren Agung ini dilengkapi berbagai fasilitas pariwisata, misalnya sanitasi umum, tempat parkir, restaurant dan art shop, warung tempat wisatawan membeli makanan dan minuman serta aneka barang cendramata yang semuanya terletak di jaba sisi. Dengan dilengkapi fasilitas-fasilitas penunjang pariwisata ini tentu dapat membuat wisatawan merasa lebih mudah dan nyaman. Berkaitan dengan sarana transportasi, obyek wisata ini sangat mudah dijangkau. Dengan biaya yang memadai, aman, dan nikmat selama dalam perjalanan, wisatawan tidak merasa beban menuju Puri Saren Agung ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Kayam ( 1981) bahwa pariwisata berkembang karena adanya keinginan wisatawan untuk melihat sesuatu sebanyak mungkin, dengan biaya rendah, dan dalam waktu pendek.Untuk memenuhi tuntutan itu, maka ketersediaan prasarana dan sarana transportasi menjadi sangat penting. Dalam kaitan ini, jalan yang menghubungkan antara Puri Saren Agung Ubud dengan kota Denpasar pun dibuat beraspal (hotmik) sehingga dapat ditempuh mempergunakan mobil atau sepeda motor dengan lancar.

Dengan pesatnya perkembangan pariwisata di Ubud, wisatawan yang berkunjung ke Puri Saren Agung inipun dikunjungi wisatawan mancanegara yang tinggal di puri ini sekurang-kurangnya 24 jam dengan tujuan : a). Pesiar, yaitu hubungan dagang, sanak keluarga, konferensi-konfrensi dan misi (Pendit; 1976 : 11). Tipologi wisatawan yang datangpun ada bermacam-macam, tergantung jenis kriteria yang dipakai untuk merumuskan tipologi tersebut. Atas dasar kriteria kenegaraan pada umumnya dibedakan antar wisatawan domestik dan wisatawan asing. Perbedaan ini pun diajukan menurut kriteria tujuan wisatawan dan lain-lain. Wisatawan yang datang ke Puri Saren Agung ini disebut tamu sehingga pihak puri merasa berkewajiban untuk menerima dan melayaninya dengan baik. Pada umumnya wisatawan Amerika, Eropa dan Jepang yang datang berkunjung ke puri ini untuk melihat-lihat bangunan fisik puri maupun untuk menginap. Keterbukaan keluarga Puri Saren Agung dalam menerima kunjungan wisatawan disebabkan dari pengalaman mereka dalam bidang kepariwisataan.

Secara konseptual pariwisata budaya bertumpu pada potensi budaya. Budaya adalah sumber yang sangat potensial bagi kehidupan  masyarakat. Dalam konsep budaya itu, budaya sebagai modal dasar mempunyai pengertian dan fungsi normatif dan operasional (Mantra, 1991 : 4 ). Sebagai konsep normatif aturan budaya diharapkan dapat mempunyai potensi dalam memberikan identitas aturan prinsipil dan memiliki pola kontrol yang secara operasional diharapkan dapat menjadi daya tarik wisatawan.

Konsep pariwisata budaya diharapkan antara budaya dan ekonomi pariwisata dapat  saling mengisi dan menikmati keuntungan. Industri pariwisata tidak hanya diartikan dari sisi ekonomi saja, namun memiliki implikasi yang lebih luas dan mencakup keuntungan sosial budaya. Sejalan dengan itu, Mantra ( 1991) mengatakan bahwa dalam memuat program pengembangan kepariwisataan diharapkan mampu meningkatkan keseimbangan karakter dan budaya. Terkait dengan ini, puri diangap memiliki fungsi sosial yakni setiap orang bisa menikmati keindahan maupun untuk memanfaatkan sebagai tempat penelitian.

Sehubungan dengan keterbukaan puri dan proses komodifikasi yang berlangsung di puri sebagai obyek wisata, beberapa jenis-jenis komoditas Puri Saren Agung tampak tetap dipertahankan, antara lain : a). Puri sebagai pusat kebudayaan dan agama. b). Image puri tetap dipertahankan sebagai warisan budaya. Untuk itu pihak Puri Saren Agung ini tidak memasang papan penunjuk hotel dan tidak mengenakan biaya masuk bagi wisatawan dengan tujuan menghindari komersialisasi. Bangunan fisik dan arsitekturnya tetap dipertahankan berdasarkan konsep Sanga Mandala dan ditata tanpa menghilangkan identitas Puri Saren Agung sebagai pusat budaya dan keagamaan masyarakat setempat.

Komodifikasi Obyek Wisata Puri Saren Agung Ubud, bagian II, selengkapnya

Kisah Cinta Bali Kuno Dalam Pentas Wisata Bali

Kisah Cinta Bali Kuno Dalam Pentas Wisata Bali

Kiriman: Kadek Suartaya, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Dari Pulau Dewata, sebuah garapan seni pentas megah kini menantang penonton mancanegara untuk mengaguminya. Seni pentas yang bertajuk “Bali Agung–The Legend of Balinese Goddesses” itu, dibingkai dengan sahibul hikayat Bali Kuno yang dikemas secara spektakuler di atas panggung besar ultra modern dengan tata lampu dan suara nan canggih. Disajikan secara kolosal, selain oleh lebih dari 150 orang pelaku seni, juga oleh puluhan aneka satwa, dari bebek hingga gajah. Berdurasi satu jam, penonton seakan diajak bersafari melongok sepotong kejayaan peradaban masa lampau Bali, dalam sebuah presentasi artistik masa kini, untuk diapresiasi masyarakat dunia dari beragam budaya dan bangsa.

Disuguhkan rata-rata tiga kali seminggu, “Bali Agung“ yang digarap oleh para profesional seni pertunjukan Bali dan Barat, telah menggelinding selama sembilan bulan. Bali Theatre, sebuah panggung besar berukuran 60×40 meter yang berlokasi di Bali Safari dan Marine Park Gianyar, menjadi arena pengejewantahan kemasan seni pertunjukan yang dirajut dari beragam elemen kesenian Bali menjadi karya kreatif sarat pesona, sejak menit pertama hingga detik puncak. Minggu (1/4) siang yang lalu misalnya, ratusan penonton mancanegara yang menyimak pementasannya, tampak berdecak-decak diayun oleh keapikan visualisasi artistiknya dan kesejukan gurat-gurat pesan persahabatan dan kasih sayangnya.

“Bali Agung“ merupakan karya bersama seniman teater dan koreografer Bali I Made Sidia dengan sutradara kreatif kaliber internasional Peter Wilson. Selain Peter dan Sidia, totalitas garapan seni pentas ini didukung musik sugestif besutan Chong Lim, komposer  upacara pembukaan Olimpiade Sydney 2006. Tak kalah pentingnya menjadikan garapan seni ini begitu terasa menggugah adalah juga desain kostum yang ditangani oleh Richard Jeziorny, seorang penata busana kelas dunia, yang memerlukan riset khusus untuk mendandani seluruh pemain sesuai dengan keadaan dan kultur masyarakat Bali ratusan tahun yang lalu.

Sebuah cerita romantis-tragis yang konon terjadi pada abad ke-12, dijadikan pijakan kreatif-inovatif pentas seni kolosal “Bali Agung“. Tersebutlah Sri Jaya Pangus (Dalem Balingkang), seorang raja zaman Bali Kuno yang mendirikan keratonnya di kaki Gunung Batur. Suatu hari datang saudagar dari negeri Tiongkok yang disertai putrinya Kang Ching Wie. Kecantikan Wie menggedor asmara Jaya Pangus. Kendati mendapat tentangan dari para penasihat istana, Jaya Pangus nekat memperistri Kang Ching Wie. Hanya, perkawinan Bali-Cina itu tak dikarunai keturunan. Jaya Pangus meninggalkan istrinya berkelana dan bertemu dan jatuh cinta dengan Dewi Danu. Dari pertemuan asmara dengan Dewi Danu lahir seorang anak laki-laki bernama Mayadanawa. Pada akhir cerita, Jaya Pangus dan Kang Ching Wie yang kembali bersatu, dikutuk oleh Dewi Danu menjadi patung.

Perkawinan antar bangsa yang dikaitkan dengan keberadaan Barong Landung itu, digarap dengan memadukan seni teater, tari, dan musik. Keseluruhan adegan diuntai dengan narasi (bahasa Inggris)  Jro Dalang  yang berkisah kepada seorang bocah. Diawali dengan penggambaran kehidupan rakyat Bali yang aman dan makmur. Segerombolan bebek yang berenang dituntun pengembalanya di bibir depan panggung, menggarisbawahi harmoni kehidupan yang nyaman dan damai. Jaya Pangus (muncul naik gajah) dilukiskan sebagai seorang raja yang arif bijaksana. Adegan berikutnya adalah kehadiran saudagar Tiongkok dengan kapal besar penuh muatan barang untuk dibarter dengan hasil bumi tanah Bali. Sang Saudagar menawarkan kain sutra, keramik, dan juga uang kepeng. Dari atas kapal juga diturunkan binatang macan, ular, burung elang dan jerapah.

Adegan perkawinan Raja Jaya Pangus dengan Kang Ching Wie dimeriahkan dengan penampilan secara bergantian dan atau bersamaan kesenian Bali dan Tiongkok. Barong Ket dan Barong Sai, ditampilkan bersamaan saling berjingkrak riang merayakan kebahagiaan perkawinan dua budaya. Dari kegembiraan, penonton kemudian disajikan adegan nestapa Jaya Pangus berkelana. Tata lampu yang dominan ungu dan biru mengantar tampilan mahluk-mahluk aneh dan monster-monster yang menyeringai seram, mengernyitkan fantasi alam gaib. Dalam buaian alam gaib inilah Jaya Pangus bercinta dengan Dewi Danu dan melahirkan Mayadanawa. Lepas dari alam gaib, Jaya Pangus dan Kang Ching Wie, dikutuk Dewi Danu, menjadi patung laki dan perempuan. Sepasang patung tinggi besar, muncul tiba-tiba di tengah arena pentas diantar dengan kepulan asap. Di latar belakang juga hadir gunung menjulang diapit candi bentar. Mayadanawa menjadi penerus dinasti raja Bali. Selesai. Penonton bertepuk. Terpukau.

Sungguh memesona. “Bali Agung“ yang sarat dengan trik dan spectacle kiranya memang dirancang sebagai sebuah tontonan megah dan menggugah namun ringan dan menghibur. Tepatnya, “Bali Agung“ berangkat dari konsep seni pertunjukan wisata yaitu sarat variasi, padat, dan disajikan secara menarik. Berbeda dengan seni pentas turistik seperti Barong dan Kecak misalnya, sebagai art by metamorphosis yang kental dengan nuansa magis, simbolis dan sakral–merupakan peniruan aslinya, “Bali Agung“ tampaknya adalah sebuah konstruksi selera estetik profan global dalam bingkai berukir ornamentik lokal Bali. Dalam konteks ini, idealisme dan gagasan progresif para senimannya diberi ruang luas, tetapi hasrat-hasrat dan orientasi ekonomi (pariwisata) juga dikalkulasi dengan cermat. Namun tak dipungkiri, “Bali Agung“ adalah “gebrakan agung“ dunia seni kita dan mudah-mudahan jua memuliakan martabat para senimannya.

Kisah Cinta Bali Kuno Dalam Pentas Wisata Bali, selengkapnya

Resensi Buku: Kebudayaan Dan Waktu Senggang

Resensi Buku: Kebudayaan Dan Waktu Senggang

Penulis: Fransiskus Simon.  Penerbit: Jalasutra. Yogyakarta, 2008. 5 Bab, 134 Halaman.

Kiriman: Dr. Ni Made Ruastiti, SST. MSi., Dosen PS. Seni Tari ISI Denpasar.

Manusia dan Kebudayaannya merupakan wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Hal ini tidak terlepas dari korelasi keduanya yang begitu erat dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Bagi manusia, kebudayaan merupakan mode of being dan mode of doing atas realitas kehidupan yang membuat manusia dalam budaya kolektif tertentu memiliki makna panutan baku untuk mencapai kesejahteraan yang berkesinambungan.

Manusia adalah makhluk kritis dan kreatif.  Dengan potensi  kognitifnya manusia mampu mengubah segala sesuatu yang ada di sekitarnya menjadi lebih berarti dan sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Manusia sesungguhnya telah memiliki masalah dengan kebudayaannya sejak lahir ke dunia ini. Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan manusia untuk memahami kebudayaannya baik secara empiris, genealogis, metaforis dengan melakukan kajian-kajian bidang kebudayaan dan telah menghasilkan pengertian-pengertian baru, yang bukan saja saling menyempurnakan namun adapula mendekonstruksi pengertian sebelumnya sehingga wacana kebudayaan seolah tidak kunjung tuntas. Manusia dan kebudayaannya memang merupakan salah satu permasalahan hidup yang kompleks, baik secara empiris maupun teoritis. Dari berbagai persoalan, wacana kebudayaan yang muncul tentunya menuntut strategi baru, konsekuensi atas proyek-proyek imaji manusia yang cenderung liar tidak terbendung. Persoalan inipun telah melahirkan hal-hal baru sebagai identitas budaya di zamannya masing-masing.

Menarik untuk disimak karena Fransiskus Simon melalui bukunya yang berjudul “Kebudayaan dan Waktu Senggang”, mewacanakan perihal hubungan kebudayaan dengan waktu senggang. Arah pemikiran Fransiskus Simon dalam bukunya ini mencoba menarik kebudayaan dari pergumulan konseptualitasnya, kemudian mengajak para pembaca untuk memetakan, memahami dan memberi makna atas kebudayaan itu kembali. Dengan kata lain, arah dari penjabaran yang disampaikan dalam bukunya itu tidak bermaksud menumpas kebudayaan dalam konteks konseptualitas, melainkan untuk memperkaya perbendaharaan ide dan usul yang lebih representatif.

Fransiskus Simon di awal bukunya secara struktural mengawali perbincangannya dengan membahas persoalan tentang pengertian kebudayaan sampai pada substansi pembahasan mengenai pemahaman baru kebudayaan. Dalam kaitan ini, beragam pemahaman kebudayaan yang diungkapkan dilihat dari ide-ide para pemikir di Indonesia maupun luar Indonesia yang dijabarkan sedemikian rupa dari berbagai konteks di zaman yang berbeda. Dari sejumlah pemahaman yang majemuk tersebut, Fransiskus Simon mengajak para pembaca menengok pemahaman kebudayaan yang telah ada.

Pada zaman pra-modern, manusia memiliki pengalaman eksistensial pada makna kehidupan spiritualitas. Kekuatan alam semesta yang indah sekaligus menakutkan telah mengkonstruksikan budaya pemujaan manusia. Diri dihayati sebagai bagian dari kesemestaan, demikian pula sebaliknya. Sehingga refleksi dialog batin antara semesta dan dirinya termanifestasi dalam ritual. Sementara, makna hidup berbudaya pada manusia modern terletak pada pemikiran, analisis dan spekulatif. Keberadaan imaji audiovisual elektronik di zaman ini melahirkan keterpesonaan terhadap kecerdasan dan kekuasaan elektronik. Oleh karenanya, segala energi terserap oleh pesona eksisteorisitas hasrat dan imaji (kerja, belanja, mengonsumsi, dan traveling) sehingga ruang reflektivitas kurang menjangkau substansi budaya, melainkan bergeser menjadi dialog rasional tentang kemungkinan-kemungkinan pemahaman diskursif dan kesimpulannya. Walaupun identitas kebudayaan masing-masing zaman berbeda-beda, baik ketika zaman pra-modern maupun zaman modern, namun penekanan reflektivitas manusia berbudaya tetap tergantung pada ruang potensial yang disebut sebagai “waktu senggang”.

Beragam masalah kebudayaan baik secara intern maupun ekstern dibahas pada Bab 2.  Secara intern meliputi persoalan identitas, kebingungan dalam proses sejarah dan tradisi, ketidak-sadaran akan karakter fiktif, kesadaran diri dan kesenjangan antara visi ideal normatif tentang diri dengan realitas yang sulit, penyikapan paranoia ketika mendarat pada wilayah-wilayah pengalaman “perubahan”, ketegangan-ketegangan internal yang terjadi ketika menampilkan “diri” di hadapan “interlokutor-diri” pada perangkat pemahaman. Sedangkan secara ekstern, wacana kebudayaan mencangkup masalah : politik representasi multifaset, kemungkinan-kemungkinan dalam melakukan transaksi-transaksi kultural, identitas yang berkelanjutan, kebudayaan pada proses yang nomadik masa lampau, sebagai unsur-unsur pembentuk kesadaran, akar ketidak-sadaran nilai-nilai dan perilaku kolektif, kebudayaan sebagai sistem simbol yang telah menyingkapkan makna kehidupan dalam ruang dan waktu, serta kebudayaan sebagai rasionalitas khas yang telah membuat hidup manusia menjadi lebih dapat dipahami.

Berdasarkan problematik, Fransiskus Simon membahas dan memahami kebudayaan dengan meminjam kerangka pikir Van Peursen sebagaimana dipaparkan pada bab 3. Sebelum  menjelaskan waktu senggang, sebagai strategi kebudayaan Fransiskus Simon memperkenalkan pemahaman teknis terminologi strategi. Pokok-pokok gagasan Peursen ini oleh dipaparkannya kemudian ditransmisikan untuk memperoleh pemahaman baru tentang kebudayaan.

Pada Bab 4, Fransiskus Simon mewacanakan waktu senggang sebagai unsur dasar dari kebudayaan. Pembahasan ini diawali dengan memperkenalkan Josef Pieper, kemudian melanjutkan dengan penjelasan reposisi waktu senggang sebagai unsur dasar dalam perspektif Josef Peiper. Setelah itu, Fransiskus Simon sang Penulis melanjutkan dengan menjabarkan dan menguraikan pengertian dasar “interlokutor waktu senggang”. Di tengah ruang waktu senggang menurutnya terdapat dimensi perayaan dan pembebasan dalam rangkaian “permainan” dan kreativitas imajinasi. Hal ini diperkuat oleh gagasan Gadamer tentang permainan sebagai mode of being. Berbeda halnya dengan waktu senggang yang berdimensi pembebasan, bagi Fransiskus Simon hal ini dianggap telah memberi ruang pada gagasan  “pekerjaan intelektual”, yakni kontemplasi dan relevansinya bagi kebudayaan. Pada akhir Bab ini, Fransiskus Simon membahas peranan waktu senggang bagi kebudayaan. Fransiskus Simon yang terinspirasi pemikiran Pieper membicarakan fungsi waktu senggang sejalan dengan paradigma tindakan, yakni artes liberales, kritik kebudayaan, proses belajar, dan pemberadaban. Dengan pemahaman ini, Fransiskus Simon mengajak pembaca memandang kebudayaan sebagai proses rehumanisasi.

Menarik untuk disimak karena peranan waktu senggang pada kebudayaan dianggap sangat penting. Pemikiran yang dipaparkan Simon pada Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 merupakan acuan inspiratif, pokok pemikiran utama dari buku ini. Fransiskus Simon sebagai penulis buku ini menegaskan berbagai hal-hal khas pada kebudayaan dan persoalan terkait dengan waktu senggang.

Waktu senggang di sini merujuk pada ranah yang mengandung beragam tantangan bagi pemilik intelektual, sehingga waktu senggang juga dipahami sebagai medan radikalisasi dan penajaman semua hal yang terpahami maupun sebaliknya. Dengan berwaktu senggang dan membiarkan diri tenggelam dalam samudra imajinatif sangat berpotensi menumbuhkan gagasan-gagasan baru yang menakjubkan, sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar para koreografer dalam proses melahirkan suatu karya seni baru ketika ujian tahap akhir (TA).

Resensi Buku: Kebudayaan Dan Waktu Senggang selengkapnya

Sendratari Bali Menyatukan Bangsa Indonesia

Sendratari Bali Menyatukan Bangsa Indonesia

Kiriman: Kadek Suartaya, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Sendratari merupakan nama seni pertunjukan yang sangat familiar di tengah masyarakat Bali. Adalah di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) pamor seni drama tari ini melejit. Sejak awal PKB, 1978, sendratari menjadi pagelaran bergengsi, membuka dan menutup pesta seni, hingga kini. Demikian pula pada PKB ke-33 tahun 2011 ini, pementasan sendratari kembali akan dapat disimak penonton. Tengoklah persiapannya di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sejak sebulan terakhir ini, lembaga yang dulu bernama ASTI dan STSI tersebut, telah melakukan latihan-latihan sendratari untuk ditampilkan pada pembukaan PKB tanggal 11 Juni nanti. Para seniman–mahasiswa dan dosen–lembaga seni ini akan menyuguhkan sendratari kolosal bertajuk “Bhisma Dewabharata“.

Penonton tak hanya dapat mengapresiasi sendratari garapan ISI. Selain akan ditutup dengan sendratari besutan SMK Negeri 3 Sukawati (dulu Kokar-SMKI), duta kabupten/kota se-Bali juga telah mempersiapkan garapan sendratarinya. Sendratari masing-masing daerah tingkat II itu ditampilkan sebagai suguhan pamungkas Parade Gong Kebyar. Sendratari pendek dan padat yang disebut fragmen tari itu biasanya digarap dengan gereget sarat rivalitas karena dihadirkan dalam bentuk pentas bersanding alias mabarung. Karenanya, penggarapan dan pementasan sendratari kabupaten/kota itu menjanjikan kreativitas seni yang sangat diminati penonton pesta seni.

Di arena PKB, sendratari adalah primadona penonton. Bahkan PKB itu sendiri identik dengan sendratari. Sebab, dulu ketika PKB yang dirintis gubernur Bali Ida Bagus Mantra digelinding di tengah masyarakat, gaungnya belum segemuruh sekarang. Pagelaran sendratarilah yang menggiring penonton ke tempat penyelenggaraan PKB, Taman Budaya Bali. Mengambil tempat pentas di panggung terbuka Ardha Candra, sendratari yang disajikan oleh para seniman Kokar dan ASTI tersebut berhasil memesona penonton. Dalam bentuk pementasan sendratari kolosal yang dibawakan ratusan pelaku seni pertunjukan, PKB semakin menor pamornya. Tokoh Bima dan Sakuni dalam sendratari Mahabarata menjadi idola penonton yang datang dari penjuru Bali.

Sendratari menguak di tengah khasanah kesenian Bali pada tahun 1960-an. Konsep artistiknya sudah muncul sebelumnya di Jawa. Tetapi sendratari Bali memilih langkah perjalanannya sendiri. Jika di Jawa Tengah sendratari diciptakan untuk kepentingan wisatawan mancanegara, sendratari Bali berkembang sebagai seni pentas tontonan masyarakat lokal. Sebelum melambung di arena PKB, genre sendratari yang disosialisasikan Kokar dan ASTI, menjadi seni tontonan favorit masyarakat di pelosok desa yang dihadirkan serangkaian dengan ritual keagamaan. Pada tahun 1970-an, masyarakat Bali sering menggelar sendratari, selain juga wayang kulit, Drama Gong dan Arja.

Konsep artistik sendratari Jawa adalah drama tari tanpa dialog langsung. Konsep ini pada awalnya juga diterapkan di Bali, dimana narasi cerita hanya dikisahkan secara abstrak lewat alunan tukang tandak seperti halnya yang sudah ditradisikan dalam tari klasik legong. Tetapi konsep dramatik non verbal ini kemudian bergeser. Di panggung Ardha Candra  PKB, peranan dalang sebagai pengkisah menjadi cukup dominan. Penonjolan peran dalang ini sebagai konsekuensi dari panggung yang luas, tata garap kolosal, dan lebarnya jarak pandang dan dengar penonton. Di panggung terbesar di Bali itu, ramuan estetika koreogarafi seni pentas ini disiasati, dari yang bersifat detail individual ke global massal. Dengan jumlah penonton yang relatif banyak, visualisasi artistik yang dipaparkan di atas panggung, dikomunikasikan secara verbal oleh dalang.

Sebagai sebuah genre seni pentas masa kini, sendratari rupanya terbuka dengan segala pembaharuan artistik, selain  berkembang secara kompromistis dengan dinamika atmosfer masyarakat. Secara kodrati, seni sebagai ekspresi budaya memang akan mereprersentasikan nilai-nilai kehidupan manusia pelaku kebudayaan. Sendratari telah menjadi bagian dinamika masyarakat Bali modern, dari masyarakat di pelosok desa hingga dikagumi masyarakat penonton PKB, forum penikmat seni seluruh Bali. Kini, telah lebih dari 30 tahun, sendratari  dinikmati penonton di arena PKB. Dari tahun ke tahun, para seniman pertunjukan sendratari tak pernah berhenti berproses dan bereksplorasi menggali berbagai kemungkinan artistik, membinarkan sendratari.

Binar sendratari agaknya akan masih berkemilau. Pada awal paruh tahun 2000-an, memang dirasakan antusiasisme penonton PKB menyaksikan sendratari agak menurun. Tetapi karena semangat para kreator dan seniman pelakunya tetap konsisten, penggarapan dan pementasan sendratari kolosal PKB belum pernah sepi penonton. Disaksikan ribuan penonton, ketika pembukaan atau penutupan PKB, Pemda Bali dengan bangga menyuguhkan sendratari kepada para pejabat tinggi negara. Dalam konteks ini, sendratari  berkontribusi mengawal reputasi dan prestise budaya Bali di tataran nasional. Sendratari Bali sebagai sebuah ekspresi seni budaya bangsa hadir luwes dan elegan. Seni sebagai media komunikasi spesifik dipadukan dengan seni sebagai media komunikasi verbal. Keindahan dan keapikan aspek astistiknya disangga oleh tata narasi, selain dalam rajutan bahasa Bali namun juga dalam bahasa Indonesia. Seni, sendratari menyatukan kita.

Sendratari Bali Menyatukan Bangsa Indonesia, selengkapnya

Dari Kukuh Memperkokoh Tari Bali

Dari Kukuh Memperkokoh Tari Bali

Kiriman: Kadek Suartaya, SSKar., M.Si., Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Gemerincing suara gamelan terdengar renyah dari sebuah rumah di Banjar Kukuh, Desa Marga, Tabanan. Bunyi gamelan tari Bali pada pertengahan Desember lalu itu keluar dari rekaman kaset mengiringi sebuah latihan tari Bali. Tampak seorang pelatih tari, Luh Kade Pebria Satyani (18 tahun) mengajar beberapa orang gadis belia membawakan tari Condong (bagian dari Legong Keraton) dan tari Tenun. Luh Satyani tampak sibuk mengarahkan sembari melontarkan istilah dalam tari Bali seperti seledet, agem, ngegol dan sebagainya. Anak asuhnya penuh semangat mengolah tubuh dan berolah rasa mengikuti arahan sang pelatih.

Minggu sore itu, sanggar tari Ratna Mekar yang berlokasi di Desa Marga Tabanan memang sedang melakukan latihan terakhir menjelang mengikuti Lomba Tari Anak-anak Se-Bali 2010 di Denpasar, 24-26 Desember. Dari enam materi yang dipertandingkan, sanggar tari pimpinan Ni Komang Ratni, S.Pd itu hanya mengikuti tari Condong dan Tenun saja. “Ini adalah untuk pertama kalinya kami ikut lomba tari yang paling bergengsi di Bali itu,” ujar Satyani. Menurut Satya, juara bukan menjadi tujuan melainkan memberikan pengalaman dan menumbuhkembangkan kecintaan pada diri murid-muridnya terhadap kesenian luhur bangsa. Sebab, tambahnya, kesenian berkontribusi penting terhadap pembentukan karakter generasi penerus.

Geliat anak-anak Bali bermesraan dengan jagat seni, khususnya seni pertunjukan, belakangan, cukup membanggakan. Suasana yang menggairahkan itu dapat dengan mudah  disimak di tengah-tengah masyarakat, baik yang hadir dalam konteks ritual keagamaan maupun yang teramati lewat peristiwa seni di arena profan. Pesta Kesenian Bali (PKB) yang sudah menggelindang lebih dari seperempat abad, ikut berkontribusi menggiring generasi muda Bali mencintai keseniannya. Festival Gong Kebyar Anak-anak se-Bali, misalnya, adalah forum dan momentum bergengsi anak-anak Bali unjuk kiprah dan keterampilan dalam bidang seni tabuh dan tari, yang, mendapat perhatian antusias masyarakat luas.

Bersanding dan bersaing secara elegan memang semestinya tersemai dalam dunia seni, termasuk di kalangan anak-anak. Tradisi mabarung dalam seni pertunjukan Bali, adalah histeria berkesenian secara bersanding yang menstimulasi pendakian keterampilan dan penampilan seni. Proses latihan-latihan menyongsong pentas bersifat kompetitif itu, misalnya, menampakkan kemajuan skil yang siginifikan. Pentas dalam konteks lomba memunculkan  penampilan yang sarat gairah. Begitu pula proses berkesenian untuk merebut prestasi sekaligus prestise seperti yang terjadi dalam Lomba Tari Anak-anak Se-Bali 2010, sudah pasti menstimulasi gelora jengah nan berkobar-kobar yang berimplikasi pada rasa bangga dengan dunia seni tari.

Semangat bersaing dan bersanding telah menunjukkan fenomena menggembirakan terhadap pewarisan nilai-nilai estetik bangsa. Di kalangan anak-anak Bali, seperti yang mencuat dalam Festival Gong Kebyar, menabuh atau menari dengan dorongan lomba menggedor motivasi mereka untuk berprestasi seni yang biasnya bukan hanya sebatas hasrat berprestasi dalam jagat seni semata namun bisa jadi pula dalam kehidupan yang lebih luas. Lewat kancah seni, anak-anak Bali yang sejak dini berasyik masyuk dengan nilai-nilai keindahan seni tumbuh menjadi generasi kontributif bagi masa depan yang lebih cerah dalam kehidupan berbangsa.

Seni adalah nilai keindahan yang hidup dan berkembang seturut dengan peradaban kebudayaan manusia. Dipercaya, binar lahiriah keindahan seni menyemburkan kedamaian nurani dan aura terdalam dari jagat seni memiliki dimensi spiritual yang berkontribusi kuat pada moralitas  subjek kemanusiaan. Idealnya, seni malahan dianggap mampu memanusiakan manusia. Untuk mengawal moralitas setiap individu–dengan keyakinan seni sebagai penyejuk moral—jagat kesenian sangat fungsional dijadikan sebagai media pendidikan moralitas bangsa. Kebhinekaan Indonesia yang memiliki puspa warna ekspresi seni, dengan demikian, sangat memungkinkan menjadi bangsa yang menjunjung moral dengan penuh takzim.

Akan tetapi, di tengah gelombang kesejagatan ini, peranan seni sebagai media pendidikan moral telah mulai tergerus. Di tengah masyarakat Bali yang sangat kental dengan kehidupan seninya, tak terkecuali, juga terdegradasi oleh kehidupan modern kekinian. Dulu, kesenian merupakan wahana komunikasi spesifik yang karismatik dalam memberikan pengetahuan dan tuntunan moral pada masyarakatnya. Pementasan Wayang Kulit misalnya, di masa lalu, tak hanya menyajikan tontonan namun juga tuntunan hidup positif pada komunitasnya. Demikian pula Topeng saat ritual keagamaan, Arja di bale banjar sebagai seni balih-balihan sarat dengan muatan moral yang diteladani masyarakat. Akan tetapi kini tidak lagi. Wayang, Topeng, Arja, dan seni tradisional lainnya ditekuk oleh televisi dan hiburan modern lain yang melenakan.

Beruntung di pulau Bali, seni masih kokoh bersemi integral dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Dalam peristiwa keagamaan misalnya, seni selalu hadir menyediakan ruang olah rasa bagi setiap orang. Sebagai bagian dari penempaan olah rasa, budaya ngayah dalam ritual keagamaan masih dilestarikan. “Para penari  anak asuh sanggar kami juga sering ngayah dalam upacara adat dan agama yang berlangsung di lingkungannya,“ ungkap Luh Kade Pebria Satyani saat menghias salah satu muridnya menjelang tampil dalam Lomba Tari Anak-anak Se-Bali 2010 di Denpasar itu.

Dari Kukuh Memperkokoh Tari Bali selengkapnya

Loading...