Resensi Buku: Babad Arya, Kisah Perjalanan Para Arya

Resensi Buku: Babad Arya, Kisah Perjalanan Para Arya

Kiriman: I Made Dwi Andika Putra, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Oleh : Drs.K.M. Suhardana

Penerbit : “ PARAMITA”

Cetakan Pertama : Tahun 2006

Kata “Arya” menurut P.J. Zoetmulder dan S.O. Robson dalam “Kamus Jawa Kuno Indonesia” diartikan sebagai “terhormat, terpandang, mulia atau ningrat,” sedangkan kata “Nararya” diartikan sebagai “yang mulia diantara orang-orang keturunan ningrat. Sementara itu kata Nararya sering kali dicantumkan di depan nama diri. Dengan demikian menjadi jelas bahwa Nararya di depan nama seseorang menunjukkan bahwa orang tersebut adalah keturunan raja, keturunan ningrat atau orang yang terhormat, mulia atau terpandang. Pemakaian gelar Arya sebenarnya sudah berjalan sejak jaman Bali Kuno ketika Raja Ugrasena Berkuasa (tahun 882 M), demikian juga pada waktu Raja Kesari Warmadewa memerintah (tahun 913 M).  Jayakaton  yang pada tahun 907 menjadi Patih Raja menurunkan Arya Rigih, kemudian Arya Rigih melahirkan Arya Rigis yang selanjutnya menurunkan Arya Kedi. Berikutnya Arya Kedi menurunkan Arya Karangbuncing. Kemudian pada jaman Airlangga (tahun 1019 M) pun gelar Arya juga sudah dipergunakan. Sri Airlangga sendiri dari isterinya seorang putri gunung menamakan putranya Arya Buru atau Arya Pangalasan atau Arya Timbul.

Dalam sejarahnya memang penggunaan gelar Arya itu menjadi semakin meluas setelah jatuhnya Kerajaan Kadiri ke tangan pasukan Majapahit. Sejak jatuhnya Kerajaan Kadiri, keturunan Sri Jayakatwang dan orang-orang Kerajaan Kadiri tidak lagi memperoleh kepercayaan. Semua pejabat yang semula dipegang orang-orang Kadiri diganti dengan orang-orang Majapahit. Raja Kadiri Sri Sastrajaya (tahun 1258-1271M) yang kedudukannya diganti oleh Jayakatwang turut menerima kekalahan itu dan mendapatkan gelar baru sebagai Arya Kadiri dan lazim disebut Ksatriyeng Kadiri atau Ariyeng Kadiri. Semua keturunan dan sanak saudaranya juga memperoleh gelar atau julukan yang sama. Gelar Arya atau Ksatria itu tidak saja diberlakukan bagi keturunan Raja Kadiri, tetapi juga bagi keturunan bekas Kerajaan Kahuripan. Karena itu disamping Arya Kadiri ada pula Arya Kahuripan. Ada Kesatiyeng Kadiri ada Kesatriyeng Kahuripan. Tidak itu saja, mantan Raja-raja dan keturunannya dari kerajaan-kerajaan kecil bekas daerah kekuasaan Kerajaan Kadiri maupun Kahuripan pun memperoleh gelar atau julukan yang sama. Gelar Arya diberikan juga kepada mereka yang kawin nyeburin (nyentana) dengan keturunan Kesatriyeng Kahuripan yang sudah menyandang gelar Arya. Misalnya Ida Bang Banyak Wide (wangsa Brahmana) yang kawin nyentana dengan Ni Gusti Ayu Pinatih putra Arya Beleteng (wangsa Arya) beralih kewangsaannya dari Brahmana menjadi Arya. Itulah sebabnya mengapa Ida Bang Banyak Wide menurunkan wangsa Arya Wang Bang Pinatih atau I Gusti Pinatih.

Di Bali, kata Arya yang berarti juga ksatria ini diterjemahkan menjadi Gusti. Bahkan keturunan para Arya sendiri semisal Pangeran, Kiyai dan lain-lain diberi julukan yang sama yaitu Gusti. Tidak jelas kapan julukan Gusti termaksud diberlakukan, namun dapat diduga ada keterkaitannya dengan gelar para Raja Bali yang oleh pemerintah colonial Belanda diatur berdasarkan Staatblad No. 226 tanggal 1juli 1929. ketika itu Raja-raja Bali diberi gelar Cokorda, anak Agung atau I Dewa Agung. Dari sinilah rupanya gelar atau sebutan Gusti itu menunjukkan jati dirinya sebagai pengganti kata Arya, Kiyai atau Pangeran.

Resensi Buku Babad Arya, Kisah Perjalanan Para Arya, Selengkapnya

Tedung Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali

Tedung Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali

Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar

Tedung sebagai salah satu jenis perangkat upacara ritual keagamaan  khususnya di Bali, memiliki beberapa bentuk, ukuran, warna, fungsi  dan istilah yang beragam. Bentuk atau form dalam dunia seni rupa harus dilihat secara  keseluruhan atau sebagai satu kesatuan yang utuh. Kesatuan bentuk tersebut dapat terbentuk lewat teknik pengerjaan, material yang digunakan, proporsi ukuran maupun komposisi yang tersusun. Sesuai data lapangan dan dokumen yang ada, bentuk, tinggi dan lebar ukuran tedung yang ada maupun dibuat para perajin/undagi dibeberapa pura  tempat/daerah  yang masih bervariasi, baik tedung agung  maupun tedung robrob. Untuk dipahami, pengertian atau penyebutan istilah tedung agung dan robrob dibedakan atas lenter/ider-ider yang dikenakan pada sisi  penggir tukub/atap tedung dengan posisi berjuntai. Kalau Tedung robrob, pada sisi pinggirnya diisi atau dihiasi dengan anyaman atau sulaman dari benang. Sulaman atau rajutan yang menghiasi pinggiran tedung robrob menggunakan benang wol yang berwarna, seperti hitam, putih, kuning merah maupun hijau. Sedangkan tedung agung, pada hiasan tepi pinggir dijuntai dengan kain warna atau prada yang lazim disebut dengan ider-ider. Kain yang berjuntai tersebut terdiri dari dua lapis/warna dengan ukuran kain atas/depan lebih pendek dari pada  yang dibagian bawah/tengahnya.

Secara visual, posisi lingkaran pinggiran yang dibentuk oleh ruas  iga-iga dari lima bentuk  tedung  ini, mempunyai lengkungan bentuk yang berbeda. Jenis tedung robrob yang ada di pura Besakih, memiliki bentuk melingkar yang datar, di  pura pasekan payangan yang merupakan buatan perajin dari bangli mempunyai lingkaran bentuk yang “ngampid lawah”  (sayap kelelawar) tidak terlalu melengkung atau datar, dan yang terdapat di Kusuma Yasa (perajin), mempunyai lingkaran bentuk ngojong atau menyerupai kerucut. Dalam arsitektur Bali disebut atap jongjong. Bebeda dengan lingkaran bentuk tedung yang berangka tahun 1910 dan  1947 foto koleksi Tropenmuseum Royal Tropical Institute mempunyai bentuk datar atau nayah.  Dilihat dari proporsi antara lebar lingkaran dan tingginya tiang tedung, khususnya gambar/foto tedung yang berangka tahun 1910 dan  1947 nampak mempunyai ukuran lebih tinggi  kalau dibandingkan dengan ukuran tinggi tiang tedung yang ada sekarang.

Disadari pula, untuk mendapatkan validitas data terkait dengan jenis, bentuk ukuran tedung, kober, dan umbul-umbul yang tepat dan ideal, terlebih untuk yang  kategori sakral, tidaklah pekerjaan mudah yang harus diupayakan untuk ditemukan. Data berupa dokumentasi foto-foto yang ada relevansinya dengan obyek  penelitian belum atau tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang ketinggian, kelebaran, dan bentuk yang bisa diukur. Namun demikian, komporasi  sampel dengan populasi berbeda menjadi sulusi untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Tindakan  identivikasi secaran  langsung dengan  melakukan pengukuran dan menghitung  ketinggian dan lebar jenis-jenis  tedung (tedung agung dan robrob) karya para perajin yang telah ditetapkan. Langkah ini dapat memberi gambaran terhadap ukuran, dan bentuk tedung yang digunakan sebagai sarana ritual keagamaan ataupun sebagai dekorasi.

Penelitian tahap awal atau tahun pertama dari dua tahun yang kami rencanakan ini belum dilakukan penelusuran dan mengungkap  data secara tuntas. Kendala utama yang ada ketika untuk mendapatkan tentang ukuran tinggi dan lebarnya  tedung, umbul-umbul, kober maupun jenis Pengawin/uparengga yang tersimpan maupun yang digunakan  di beberapa   pura. Secara ritual, tedung, umbul-umbul, dan kober yang ada di pura telah disakralkan dan secara etika pula  peneliti merasa enggan untuk melakukan  pengukuran, walaupun hal tersebut sangat mungkin dilakukan atau diijinkan sesuai dengan tatacara yang berlaku. Untuk mendapatkan validasi data dalam kondisi seperti ini, peneliti mengambil nisiatif memohon informasi dari prejuru atau pemuka adat  tentang asal-usul  dimana tedung, umbul-umbul, kober maupun jenis Pengawin/uparengga lainnya dibuat/didapatkan.  Informasi ini adalah petunjuk yang sangat efektif untuk menemukan tempat pembuat/perajin   tedung, umbul-umbul, kober  dengan jenis, bentuk, maupun ukuran  yang sama dengan yang ada di pura. Lewat penelusuran ke sumber obyek  yang relevan, validasi data dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan.

Tedung Sebagai Sarana Upacara Agama Hindu Di Bali, selengkapnya

Sejarah Tari Legong di Bali

Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, SSn., Alumni ISI Denpasar

Tari Legong dalam khasanah budaya Bali termasuk ke dalam jenis tari klasik karena awal mula perkembangannya bermula dari istana kerajaan di Bali. Tarian ini dahulu hanya dapat dinikmati oleh keluarga bangsawan di lingkungan tempat tinggal mereka yaitu di dalam istana sebagai sebuah tari hiburan. Para penari yang telah didaulat menarikan tarian ini di hadapan seorang raja tentu akan merasakan suatu kesenangan yang luar biasa, karena tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam istana.

Mengenai tentang awal mula diciptakannya tari Legong di Bali adalah melalui proses yang sangat panjang. Menurut Babad Dalem Sukawati, tari Legong tercipta berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, Raja Sukawati yang bertahta tahun 1775-1825 M. Ketika beliau melakukan tapa di Pura Jogan Agung desa Ketewel ( wilayah Sukawati ), beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di surga. Mereka menari dengan menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari emas.

Ketika beliau sadar dari semedinya, segeralah beliau menitahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng yang wajahnya tampak dalam mimpi beliau ketika melakukan semedi di Pura Jogan Agung dan memerintahkan pula agar membuatkan tarian yang mirip dengan mimpinya. Akhirnya Bendesa Ketewel pun mampu menyelesaikan sembilan buah topeng sakral sesuai permintaan I Dewa Agung Made Karna. Pertunjukan tari Sang Hyang Legong pun dapat dipentaskan di Pura Jogan Agung oleh dua orang penari perempuan.

Tak lama setelah tari Sang Hyang Legong tercipta, sebuah grup pertunjukan tari Nandir dari Blahbatuh yang dipimpin I Gusti Ngurah Jelantik melakukan sebuah pementasan yang disaksikan Raja I Dewa Agung Manggis, Raja Gianyar kala itu. Beliau sangat tertarik dengan tarian yang memiliki gaya yang mirip dengan tari Sang Hyang Legong ini, seraya menitahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata kembali dengan mempergunakan dua orang penari wanita sebagai penarinya. Sejak itulah tercipta tari Legong klasik yang kita saksikan sekarang ini.

Bila ditinjau dari akar katanya, Legong berasal dari kata “ leg “ yang berarti luwes atau elastis dan kata “gong” yang berarti gamelan. Kedua akar kata tersebut bila digabungkan akan berarti gerakan yang sangat diikat ( terutama aksentuasinya ) oleh gamelan yang mengiringinya (Dibia, 1999:37).

Sebagai sebuah tari klasik, tari Legong sangat mengedepankan unsur artistik yang tinggi, gerakan yang sangat dinamis, simetris dan teratur. Penarinya pun adalah orang-orang yang berasal dari luar istana yang merupakan penari pilihan oleh raja ketika itu. Maka, tidaklah mengherankan jika para penari merasakan kebanggaan yang luar biasa jika menarikan tari Legong di istana. Begitu pula sang pencipta tari. Akan menjadi suatu kehormatan besar apabila dipercaya untuk menciptakan suatu tarian oleh seorang pengusa jaman itu. Walaupun nama mereka tidak pernah disebutkan mencipta suatu tarian kepada khalayak ramai, mereka tidak mempersoalkan itu asalkan didaulat mencipta berdasarkan hati yang tulus dan penuh rasa persembahan kepada sang raja. Ini dapat dilihat dari hampir seluruh tari-tari klasik maupun tari tradisi lain yang berkembang di luar istana seperti tari Legong, Baris, Jauk dan Topeng.

Kini di jaman yang tidak lagi menganut paham feodalisme, keseian Legong telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari segi kuantitas maupun kualitas. Disebutkan bahwa tari Legong Keraton ( karena berkembang di istana ) keluar dari lingkungan istana pada awal abad ke-19. Para penari wanita yang dahulunya berlatih dan menari Legong di istana kini kembali ke desa masing-masing untuk mengajarkan jenis tarian ini kepada masyarakat. Sebagaimana diketahui, orang Bali adalah orang yang sangat kreatif sehingga gaya tari masing-masing pun sedikit berbeda sesuai dengan kemampuan membawakannya. Oleh karena itu, timbul style-style Palegongan yang tersebar di berbagai daerah seperti di desa Saba, Peliatan, Bedulu, Binoh, Kelandis dan beberapa tempat lainnya. Dari sekian daerah perkembangan tari Legong, hanya desa Saba dan Peliatan yang masih kuat mempertahankan ciri khasnya dan mampu melahirkan jenis-jenis tari Palegongan dengan berbagai nama.

Tari-tari legong yang ada di Bali pada awalnya diiringi oleh gamelan yang disebut Gamelan Pelegongan. Perangkat gamelan ini terdiri dari dua pasang gender rambat, gangsa jongkok, sebuah gong, kemong, kempluk, klenang, sepasang kendang krumpungan, suling, rebab, jublag, jegog, gentorang. Sebagai tambahan, terdapat seorang juru tandak untuk mempertegas karakter maupun sebagai narrator cerita melalui tembang. Namun, seiring populernya gamelan gong kebyar di Bali, akhirnya tari-tari palegongan ini pun bisa diiringi oleh gamelan Gong Kebyar, karena tingkat fleksibilitasnya.

Spanduk sebagai Sarana Promosi Aromas Café Di Legian Kuta Bali

Spanduk sebagai Sarana Promosi Aromas Café Di Legian Kuta Bali

Kiriman: I Ketut Baskara Program Studi Desain Komunikasi Visual Jurusan Desain ISI Denpasar

Spanduk

Pada sub ini mahasiswa akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media promosi spanduk yang digunakan sebagai salah satu media komunikasi visual sebagai sarana promosi Aromas Café di Jalan Legian Kuta-Bali.

Unsur Visual Desain

1. Bentuk Fisik

Bentuk fisik dari spanduk ini persegi panjang dan mempunyai ukuran 300 x 80 cm agar telihat jelas bila dilihat dari jarak jauh.

2. Ilustrasi

Dalam desain media spanduk ini, ilustrasi yang dipergunakan adalah gambar brokoli sebagai background, gambar dari salah satu menu di Aromas Café, serta logo dari Aromas Café itu sendiri.

Menggunakan background brokoli agar memberi kesan hijau yang merupakan cirri khas warna sayuran. Gambar salah satu menu di Aromas Café yaitu Aromas Pizza karena merupakan salah satu menu andalan di Aromas Café. Menggunakan gambar logo Aromas Café agar masyarakat mengetahui identitas dari Aromas Café itu sendiri.

3. Teks

Desain media spanduk ini menggunakan teks berupa slogan “healthy vegetarian cuisine“, dimana memberikan informasi kepada masyarakat bahwa di Aromas Café menyediakan masakann vegetarian yang menyehatkan. Sedangkan copy text menampilkan sedikit informasi tentang Aromas Cafe.

4. Huruf / Typografi

Desain media promosi ini menggunakan dua jenis huruf atau typografi, yaitu: Vivaldi, serta Arial. Jenis typografi tersebut diatas dikomposisikan menurut ukuran dan keseimbangan guna mendapatkan kesatuan serta ritme yang tepat dimana nantinya dapat memberikan keseimbangan informasi yang dinamis.

5. Warna

Dalam desain media poster ini menggunakan warna sebagai berikut :

–  Untuk background menggunakan warna hijau kekuningan.

Penggunaan warna hijau kekuningan pada background disesuaikan dengan tema yang diangkat, yaitu tentang vegetarian yang sangat terkait dengan sayuran.

–  Untuk kotak tempat tulisan memakai warna orange dari wortel dan juga agar lebih atraktif

Logo Aromas Café menggunakan warna kuning serta biru.

Warna kuning merupakan warna yang menarik mata dibanding dengan warna lainnya serta membangkitkan nafsu makan, kemudian warna biru lebih berhubungan dengan ketenangan dan meditasi yang selalu dikaitkan dengan iman dimana yang menjadi salah satu alasan seseorang untuk menjadi seorang vegetarian adalah untuk melatih kesabaran iman. Sehingga kedua warna tersebut diharapkan mampu menunjukan bahwa Aromas Café adalah sebuah restoran vegetarian.

– Tulisan menggunakan warna putih dan coklat tua.

Warna putih pada tulisan ini digunakan karena merupakan warna netral sehingga tidak terpengaruh oleh warna lain. Begitu juga warna coklat yang merupakan salah satu warna tanah. Merupakan salah satu warna alam selain warna hijau.

6. Bahan

Desain media spanduk ini menggunakan bahan vinyl dipilih karena memiliki kualitas dan ketebalan yang bagus serta tidak mudah robek, sehingga spanduk lebih tahan lama.

7. Teknik Cetak

Untuk mewujudkan spanduk, cetak digital dipilih karena lebih menghemat waktu dan biaya.

 Kreatif Desain

Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilain desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif desain spanduk ini, dibuat 3 alternatif desain.

Desain spanduk ini dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dalam desain spanduk ini dianggap lebih menarik, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “natural”. Teks yang digunakan dalam desain ini berupa slogan promosi yang singkat, jelas dan informatif. (untuk lebih jelasnya lihat lampiran).

Spanduk sebagai Sarana Promosi Aromas Café Di Legian Kuta Bali, selengkapnya

Resensi Buku: Pragina

Resensi Buku: Pragina

Penulis I Wayan Dibia, Tahun 2004, Sava Media, XIX., 152 halaman

Kiriman: I Gede Suwidya, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.

I Wayan Dibia adalah seorang penari, aktor, dan pelaku Seni Pertunjukan Bali yang aktif melestarikan,mengembangkan, serta memperkenalkan seni pertunjukan Bali ke berbagai belahan dunia. Beliau juga merupakan salah seorang dosen di Institut Seni Indonesia Denpasar. Dalam buku ini disebutkan bahwa, seni pertunjukan pada dasarnya adalah suatu kesenian yang lahir dari interaksi dan kerjasama sejumlah orang. Mereka yang terlibat dalam sebuah pagelaran seni dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu : penyaji atau pelaksana dan penikmat atau penonton. Kelompok pertama, yaitu : penonton atau penikmat, yaitu orang yang menyaksikan pertunjukan dari luar arena pementasan. Mereka terdiri atas sejumlah orang yang berasal dari berbagai status sosial, kepentingan, dan tingkat apresiasi seni yang berbeda beda. Kelompok ke dua mencakup penyelenggara, perancang atau penata, dan para pemain yang melakukan peragaan serta yang mengaktualisasikan kesenian itu diatas pentas. Salah satu elemen penting dari pemain adalah penari atau aktor yang di kalangan masyarakat Bali secara kolektif disebut pragina.

Di mata masyarakat umum, pregina cenderung dilihat hanya pemain yang secara langsung beraksi diatas pentas. Sesungguhnya di luar pentas, pregina juga menjadi penentu terhadap keberlangsungan hidup sebuah seni pertunjukan. Di beberapa daerah di Bali ada sejumlah kesenian yang hingga kini belum bisa diaktifkan karena krisis pragina walaupun perlengkapan perangkat dan perlengkapan pertunjukannya seperti topeng-topeng (tapel) hiasan kepala (gelungan), dan lain-lainnya masih tersimpan dengan baik dan dikeramatkan atau disakralkan oleh masyarakat pemiliknya.

Seni Pertunjukan dan Senimannya

Seni pertunjukan pada dasarnya adalah presentasi ide, gagasan atau pesan kepada penonton oleh pelakunyamelalui peragaan. Kesenian pada umumnya memadukan tiga substansi utama, yaitu : gerak, suara, dan drama. Seni pertunjukan adalah sebuah karya seni yang memadukan hampir semua unsur seni. Seni rupa sangat dominan dalam tata rias, busana, dan dekorasi. Seni sastra yang menghasilkan lakon-lakon yang dipentaskan termasuk unsur narasi lainnya, baik yang diucapkan antar wacana maupun yang dilagukan. Seni gerak diwujudkan melalui tari-tarian  yang dibawakan oleh para penari atau yang disajikan dengan menggerak-gerakkan boneka seperti wayang. Seni suaranya mencakup iringan musik baik yang berupa vokal maupun instrumental. Seni pertunjukan (musik,tari,teater) adalah kesenian yang sangat tergantung kepada kehadiran seniman-seniwati pelakunya. Kesenian ini tidak akan pernah ada jika tidak ada pelakunya, yaitu : penari, pemusik, dan aktor yang secara langsung memperagakan dan menyajikan pertunjukan kepada penonton. Meminjam ungkapan seorang ahli teater Barat, Oscar Brockett, pemain (penari/aktor) inilah yang dilihat secara langsung oleh penonton diatas pentas.

Berdasarkan elemen-elemen seni yang dominan, seni pertunjukan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : seni pertunjukan tari, seni pertunjukan musik, dan seni pertunjukan drama (teater). Secara umum dapat dikatakan bahwa seni pertunjukan tari atau drama tari adalah sajian seni pentas yang lebih menonjolkan sajian seni gerak. Sedangkan, seni pertunjukan musik adalah yang sajian seni pentas yang lebih mengutamakan sajian seni suara, baik suara vokal maupun instrumental, dan seni pertunjukan drama (teater) adalah sajian yang lebih mengutamakan penyajian kisah dramatik melalui akting dan dialog verbal. Adanya perpadun berbagai elemen seni seperti itu juga menunjukkan bahwa seni pertunjukan adalah kesenian yang lahir dari kolaborasi sejumlah seniman dan pelaku seperti : penyusun naskah atau lakon, sutradara pemain musik, penari, aktor dan aktris. Dalam menghasilkan sebuah pementasan dan menata muatan-muatan artistik sebuah pertunjukan, mereka ini bekerjasama sesuai bakat dan keterampilan seni yang dimiliki oleh masing-masing individu. Di antara semua pekerja dan pelaku seni pertunjukan ini, pragina dan pemain musik inilah yang menjadi pelaku langsung diatas pentas. Pregina mempersonifikasikan ruang pentas di hadapan para penonton.

Seniman dan Kreativitasnya

Seniman dan karya seninya adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling menentukan dan saling membutuhkan. Seniman, dalam batas-batas tertentu, dapat dikatakan sebagai manusia biasa yang memiliki kemampuan “luar biasa”. Dalam kehidupan sehari-hari seniman adalah bagian dan anggota masyarakat. Dengan bakat, kemampuan, dan keterampilan yang dimilikinya, seniman menciptakan karya seni dengan menggunakan berbagai media, yang dapat menggugah rasa estetis, membangkitkan rasa ulangun bagi dirinya dan penikmat karyanya. Manusia menciptakan seni bukan secara kebetulan, melainkan dengan tujuan-tujuan tertentu. Ini berarti bahwa seni diciptakan bukan karna kebetulan melainkan secara sengaja melalui perenungan, perencanaan, dan olah rasa yang panjang. Pada tujuan terakhir para seniman menciptakan karya seni dengan maksud untuk memperoleh kenikmatan sepiritual atau sebagai ibadah dewa keindahan, Sang Pencipta, Sang Kawi. Para seniman Bali sering menyebutkan aktivitas berkeseniannya dengan ngayah yang dapat diartikan sebagai suatu pengabdian kepada manusia, masyarakat, dan Tuhan.

Dalam mewujudkan karya-karya mereka banyak seniman yang ingin menyentuh hati penikmat karyanya dengan keindahan ragawi melalui fisik dan tidak sedikit berkomunikasi dengan kedalaman maknawi. Berbicara masalah karya seni, Virgil Aldrich mengatakan bahwa seni itu adalah suatu tertium kuid ; yang tidak bersifat fisikal dan tidak juga bersifat mental, melainkan diantaranya. Terkesan oleh kehidupan berkesenian masyarakat Bali yang dilihatnya di tahun 1930-an, dalam buku Island of Bali, Miguel Covarrubias antara lain mengatakan bahwa tampaknya, setiap orang Bali adalah seniman. Buruh-buruh dan bangsawan, pendeta dan petani, laki dan wanita, bisa menari, bermain alat musik, melukis atau memahat kayu atau batu. Ungkapan ini mengisyaratkan dua hal mendasar bagi aktivitas seni dan budaya di bali : pertama, memasyarakatnya aktivitas berkesenian di kalangan masyarakat, dan kedua, adanya keterlibatan dari berbagai lapisan sosial yang ada.

Pengertian Pragina

Secara umum dapat dikatakan bahwa pragina adalah sebuah “gelar” profesional kesenimanan yang diberikan oleh masyarakat Bali kepada seniman panggung, khususnya kepada penari dan aktor (actor-dancer). Namun, menurut pendapat beberapa ahli kesenian Bali, sebutan ini hanya tepat diberikan kepada penari-penari dan aktor yang masih aktif dan yang memang benar-benar telah menjadikan seni pentas sebagai geginaan (profesi) dan gagunan (alat daya tarik). Ada dua pengertian pragina yang selama ini berkembang di kalangan masyarakat Bali pertama, pragina adalah seniman/seniwati pelaku seni pentas (penari/aktor). Di dalam Kamus Bali-Indonesia yang disusun oleh Panitia Penyusun Kamus Bali-Indonesia disebutkan bahwa pragina berasal dari kata gina yang berarti indah atau baik. Dalam bahasa Bali awalan pra atau kadang-kadang per, antara lain dipakai untuk menyatakan suatu jabatan atau suatu golongan. Sesuai dengan hal ini, istilah pragina dipakai untuk menyebutkan seniman tari. Kedua, sebagaimana yang dituturkn oleh I Made Sija, seorang seniman asal Bona/Gianyar, pragina berasal dari kata “para” yang berarti banyak dan “gina” yang berarti profesi. Paragina yang kemudian menjadi pragina berarti orang yang memiliki berbagai macam keahlian seni. Kedua pengertian ini tampaknya memang saling mendukung dan bisa terjadi pada seorang pragina.

Pragina Bali

Berikut adalah pragina yang pernah dan atau masih cukup dikenal oleh kalangan pencinta seni pertunjukan di Bali : Cokorda Oka Tublen, I Nyoman Kakul, I Wayan Geria, I Made Kredek, I Nyoman Pugra, I Gusti Gede Raka, Ni Nyoman Rindi, I Made Monog, Ida Bagus Made Raka, I Ketut Renteg, Ni Jero Puspawati, Ni Ketut Ribuwati, I Gusti Ngurah Windia, Ni Gusti Ayu Raka Rasmi, Ni Luh Menek, I Made Liges, Anak Agung Raka Payadnya, I Made Jimat, Ni Nyoman Candri, I Nyoman Catra, I Made Widastra, I Nyoman Durpa.

Pragina Luar Daerah

Apa yang dialami oleh pragina Bali, terutama dalam proses berkesenian, tampaknya tidak jauh beda dengan yang dialami oleh para “pragina” di daerah lain seperti : Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta.

Adapun tokoh-tokoh atau pragina tersebut seperti : Ibu Sawitri (Jawa Barat), Bagong Kussudiardja (Yogyakarta), K. R. T Sasmintadipura (Yogyakarta), Retno Maruti (Jakarta), Boi G. Sakti (Jakarta)

Menurut pendapat saya bahwa, buku yang berjudul “pragina” ini sangat bagus dijadikan sebagai media pembelajaran, khususnya dalam belajar berkesenian. Sehingga kita dapat mengetahui pengertian, bagian-bagian,serta keseluruhan yang mencakup tentang istilah pragina.

Resensi Buku: Pragina selengkapnya

Poleng Kesiman: Tari Keprajuritan Sakral Pada Upacara Ngerebong Di Desa Kesiman

Poleng Kesiman: Tari Keprajuritan Sakral Pada Upacara Ngerebong Di Desa Kesiman

Kiriman: Ida Bagus Gede Surya Peradantha, SSn., Alumni ISI Denpasar

Desa Kesiman merupakan sebuah desa yang terletak di bagian timur Kota Denpasar. Meskipun masih bernaung di wilayah perkotaan, namun desa ini ternyata memiliki khasanah seni budaya yang pantas untuk diteliti lebih lanjut. Contohnya adalah Upacara Ngerebong yang di dalamnya terdapat berbagai peristiwa budaya yang menarik dan khas. Salah satunya adalah keberadaan tari Poleng Kesiman.

Menurut buku “Sejarah Pura” hasil penelitian IHD (sekarang Unhi) tahun 2006, upacara Ngerebong termasuk ke dalam kategori Bhuta Yadnya atau pecaruan. Kata Caru berarti cantik atau harmonis. Jadi, prosesi ini bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk selalu menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam., serta manusia dengan Tuhan. Prosesi “Ngerebong” ini dilangsungkan setiap Redite Pon Medangsia atau 18 hari setelah hari raya Galungan.

Tari Poleng Kesiman ini merupakan suatu bentuk tari wali yang pada masa lalu dipercaya sebagai prajurit andalan Raja Kesiman. Tari ditarikan secara kelompok berjumlah 5 orang penari. Adapun properti yang dibawa oleh para penari yaitu berbagai jenis senjata seperti Gada, Tombak, Parang, Perisai dan Keris. Kondisi penari pada saat menari adalah dalam kondisi trance atau dikendalikan oleh kekuatan tertentu di luar nalar manusia. Uniknya, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak berteriak-teriak seecara histeris seperti trance pada umumnya, namun bergerak menari dengan penuh kharisma.

Dalam pementasannya, para penari Poleng Kesiman mengenakan baju lengan panjang berwarna hitam yang terbuat dari kain bludru, memakai kain putih, saput berwana poleng, dan selendang berwarna poleng yang dililitkan di badannya. Serta mengenakan destar ( sejenis hiasan kepala berupa lembaran kain yang dilipat-lipat sedemikian rupa )  berwarna poleng juga. Di telinganya diselipkan bunga kembang sepatu berwarna merah dan di pinggangnya diselipkan sebilah keris. Di sini kita dapat melihat adanya suatu kemiripan penggunaan dan jenis kostum dengan tari Baris pada umumnya yang sangat khas terutama pada hiasan kepalanya yang berbentuk kerucut dan dihiasi dengan kulit kerang. Salah satu dari 6 ciri-ciri seni pertunjukan ritual oleh Prof. Soedarsono adalah diperlukan busana yang khas (Soedarsono, 2002:135). Pada tari Baris Poleng Kesiman, hiasan kepalanya hanya berupa lembaran kain hitam-putih (poleng) yang dilipat-lipat sedemikian rupa hingga menyerupai destar ( hiasan kepala untuk bersembahyang umat Hindu pada umumnya ). Hal inilah yang menunjukkan salah satu kekhasan yang dimiliki tari Poleng Kesiman datri segi tata busananya.

Alur pementasannya dimulai ketika para pemangku perempuan yang disebut Sutri keluar dari pintu utama pura. Mereka menari dalam keadaan trance namun tidak  sehisteris prosesi pertama tadi. Dengan menggunakan busana serba putih dan dihiasi busana sejenis rompi berwarna hijau dan biru. Setelah itu, Dilanjutkan dengan mengusung benda sakral pusaka desa Kesiman berupa sabuk berwarna hitam putih (poleng) sepanjang 18 depa atau kurang lebih 15 meter. Sabuk ini diusung oleh beberapa orang pemangku perempuan yang mengenakan busana serba putih. Selanjutnya, diikuti oleh pemangku perempuan yang berjalan membawa genta sebanyak 4 orang. Di belakangnya lalu diikuti oleh para pemangku yang menari dengan mengenakan pakaian serba loreng dan membawa berbagai jenis senjata. Mereka inilah yang disebut rerencangan Poleng Kesiman. Terakhir, keluarlah Mangku Pura Dalem Kesiman, Mangku Gede Puri Kesiman, para Manca dan Prasanak menyaksikan jalannya prosesi yang mengitari wantilan sebanyak tiga kali berlawanan arah jarum jam. Setelah itu, para pemangku yang menari ini kembali ke jeroan pura.

Salah satu ciri daripada tari wali adalah tidak terlalu mementingkan estetika gerakan dan koreografi. Hal itu pun berlaku pada tarian Poleng Kesiman ini, dimana para penari kebanyakan menggunakan level rendah (ngaed). Dan, jenis gerakannya mirip seperti gerakan pencak silat. Hal ini dapat dilihat ketika penari begitu tangkas dalam memainkan properti senjata yang mereka bawa. Sesekali para penari harus memerlukan bantuan orang lain untuk menenangkan dirinya saat mereka tidak lagi bisa mengendalikan keadaan dirinya. Banyak gerakan maknawi yang terdapat pada tarian ini yang dilakukan oleh penari dalam keadaan trance, seperti mengacungkan senjata ke atas dan ke hadapan Pemangku Dalem ( yang mengawasi jalannya pementasan tarian dari pintu halaman utama mandala pura dan juga dalam keadaan trance ). Gerakan tersebut menandakan kesiapan para penari untuk berperang dan menjaga keamanan desa Kesiman secara niskala. Hal ini mirip dengan makna tari baris sakral yang terdapat di Bali pada umumnya.

Tradisi seni tari di Bali memiliki lebih dari 40 jenis tari Baris sakral Tari Baris. Tari berasal dari kata baris yang berarti deret atau leret yang menggambarkan kegagahan prajurit perang yang siap berangkat ke medan perang. Hal itu dilukiskan pada gerakannya yang tangkas nan enerjik serta penggunaan senjata sebagi properti pementasannya sekaligus menambah kesan gagah bagi penarinya. Tak jarang pula, setelah menunjukkan gerakan yang sangat tangkas dan energik, para penari baris sakral akan melakukan gerakan memendet yang lemah gemulai dan lebih bersifat kontemplatif. I Made Bandem dalam bukunya Kaja dan Kelod Tarian Bali Dalam Transisi mengungkapkan bahwa tarian memendet adalah tarian yang dilaksanakan oleh pria dewasa dari jemaah pura atau kadang-kadang oleh pemangku sendiri. Setelah selesai menghaturkan sesajen, para pemangku lalu memberi persembahan berupa arak berem kepada roh jahat. Selanjutnya, Soedarsono menyatakan bahwa Baris merupakan tari putra yang dibawakan oleh kelompok pria dewasa yang berfungsi sebagai tari penyambutan kepada para dewa yang diundang pada saat odalan.

Berpijak dari dua pernyataan tersebut, penulis berasumsi bahwa tari Poleng Kesiman ini termasuk kategori tari Bebarisan tepatnya tari Baris Pependetan. Sebab, jika dianalisa melalui aspek bentuk tari dan fungsinya, Tari Poleng Kesiman merupakan sebuah bentuk tari keprajuritan yang secara umum berfungsi sebagai pasukan atau para prajurit pengawal dewa yang turun dari kahyangan.

Poleng Kesiman: Tari Keprajuritan Sakral Pada Upacara Ngerebong Di Desa Kesiman, selengkapnya

Loading...