Musik Tradisi Pulau Nusa Tenggara Timur

Musik Tradisi Pulau Nusa Tenggara Timur

Kiriman: I Gde Made Indra Sadguna, Alumni ISI Denpasar

Pengantar

            Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia menyimpan berbagai macam kekayaan kesenian. Tiap pulau dari Sabang hingga Merauke memiliki keunikannya tersendiri. Salah satu pulau di bagian timur Indonesia yang memiliki alat musik yang khas terdapat di Pulau Nusa Tenggara Timur. Jenis alat musik yang cukup dikenal di daerah tersebut adalah alat musik Sasando. Perangkat musik ini tergolong dalam perangkat dawai petik. Hal ini disebabkan karena perangkat ini mempergunakan dawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Walaupun dalam permainan musik ini menggunakan vokal, akan tetapi tetap digolongkan dalam perangkat dawai petik sebab kategori vokal nanti akan menjelaskan musik-musik yang memang khusus suara manusia saja tanpa melibatkan instrumen dan jenis-jenis instrumen yang mengiringi dan menjadi bingkai dari lagu vokal itu.

Perangkat Musik Sasando

            Perangkat musik Sasando merupakan salah satu jenis alat musik yang cukup dikenal di Pulau Nusa Tenggara Timur. Setidaknya ada dua jenis Sasando, yaitu yang berasal dari daerah Rote dan Sabu. Kedua daerah tersebut merupakan daerah yang kering dan gersang. Hanya bisa ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan saja, salah satunya adalah pohon lontar. Oleh masyarakat setempat, pohon lontar banyak dimanfaatkan. Buahnya dibuat gula dan minuman, daunnya dapat dibuat sebagai atap, tempayan, ember, dan juga salah satu yang menarik adalah dibuat sebagai resonator dari Sasando itu sendiri.

            Daun lontar yang telah cukup berumur akan dimasak untuk membuat resonator Sasando. Daun akan diikatkan satu sama lainnya. Rangkaian dari daun-daun tersebut akan menghasilkan bentuk menyerupai separo bejana yang tengahnya menggembung seperti periuk. Di tengah rangkaian daun tersebut akan dipasangkan sebuah bambu atau kayu yang panjangnya sekitar 40cm, dengan diameter selitar 11cm, dan dipasangkan dengan sepuluh hingga 12 dawai. Agar dapat berbunyi, setiap dawai diberikan senda yang terbuat dari kayu atau bambu dan berfungsi untuk menegangkan dan mengangkat dawai.

            Secara harafiah, Sasando menurut asal katanya dalam Bahasa Rote (sasandu), berarti bergetar atau berbunyi. Mengenai awal kemunculan alat musik Sasando belum dapat diketahui secara pasti, akan tetapi ada sebuah legenda yang menceritakan mengenai kemunculan alat musik Sasando tersebut. Konon ada seorang pemuda bernama Sangguana di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Suatu hari ia menggembala di Padang Sabana. Ketika merasa lelah dan mengantuk, ia pun tertidur di bawah pohon lontar. Dalam tidurnya, ia bermimpi memainkan sebuah alat musik misterius. Ketika terbangun ia masih mengingat nada-nada yang dimainkannya. Akhirnya berdasarkan mimpi tersebut, Sangguana memutuskan untuk membuat sebuah alat musik dari daun lontar dengan senar-senar di tengahnya.

            Secara umum, Sasando berfungsi sebagai sarana hiburan masyarakat. Musik merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas harian, serta sebagai sarana rekreasi dan ajang pertemuan dengan warga lainnya. Umumnya masyarakat Indonesia sangat antusias dalam menonton pagelaran musik. Jika ada perunjukan musik di daerah mereka, mereka akan berbondong- bondong mendatangi tempat pertunjukan untuk menonton.

Unsur Musikal

            Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada dua jenis Sasando yang berkembang yaitu di daerah Rote dan Sabu. Ada beberapa perbedaan dan persamaan yang dapat ditemui pada alat musik Sasando di kedua daerah tersebut. Adapun persamaannya adalah sama-sama mempergunakan instrumen Sasando dan dalam pementasannya diiringi oleh vokal.

            Perbedaannya mencakup beberapa hal seperti Sasando Rote mempergunakan sebuah tambur kecil sedangkan pada Sasando Sabu tidak mempergunakan tambur. Tambur dimainkan dengan menggunakan alat pemukul kecil. Petikan dari Sasando Rote mempunyai pola yang sama secara terus – menerus, dengan iringan vokal dari penyanyi akan tetapi tidak terikat dengan melodi Sasando.

            Pada Sasando Sabu yang tidak menggunakan tambur, petikan dawainya mempunyai variasi yang lebih kompleks dari Sasando Rote. Selain itu, petikan Sasando mengikuti vokal dari penyanyi. Sehingga antara petikan Sasando dengan vokal sangat terkait.

Musik Tradisi Pulau Nusa Tenggara Timur, selengkapnya

T-Shirt Dan Daftar Menu Sebagai Sarana Promosi Aromas Café Di Legian Kuta Bali

T-Shirt Dan Daftar Menu Sebagai Sarana Promosi Aromas Café Di Legian Kuta Bali

Kiriman: I Ketut Baskara Program Studi Desain Komunikasi Visual Jurusan Desain ISI Denpasar

I.                   T-Shirt

Pada sub ini mahasiswa akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media promosi T-Shirt yang digunakan sebagai salah satu media komunikasi visual sebagai sarana promosi Aromas Café di Jalan Legian Kuta-Bali.

Unsur Visual Desain

1. Bentuk Fisik

Bentuk fisik dari media t-shirt ini adalah menyerupai huruf T.

2. Ilustrasi

Dalam desain media t-shirt ini, ilustrasi yang dipergunakan adalah ilustrasi sayur-sayuran dan logo Aromas Cafe yang dimaksudkan untuk memberi kesan simple. Diharapkan nantinya pesan dan kesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat dapat tersampaikan.

3. Teks

Desain media spanduk ini menggunakan teks berupa slogan “healthy vegetarian cuisine“, dimana memberikan informasi kepada masyarakat bahwa di Aromas Café menyediakan masakann vegetarian yang menyehatkan.

4. Huruf / Typografi

Desain media promosi ini menggunakan dua jenis huruf atau typografi, yaitu: Vivaldi, serta Arial. Jenis tipografi tersebut diatas dikomposisikan menurut ukuran dan keseimbangan guna mendapatkan kesatuan serta ritme yang tepat dimana nantinya dapat memberikan keseimbangan informasi yang dinamis.

5. Warna

Dalam desain t-shirt ini menggunakan warna kuning kehijauan. Warna ini dipilih berdasarkan salah satu konsep dari perancangan media ini karena merupakan salah satu warna yang menggambarkan alam dan sayuran.

6. Bahan

Desain media t-shirt ini menggunakan bahan kain cotton.

7. Teknik Cetak

Untuk mewujudkan media t-shirt ini menggunakan teknik cetak sablon.

Kreatif Desain

Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilain desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif  desain t-shirt ini, dibuat 3 alternatif desain.

Desain t-shirt ini dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dan ilustrasi dalam desain ini dianggap lebih simple  sehingga informasi yang disampaikan lebih cepat tersampaikan, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “natural”. Teks yang digunakan dalam desain ini berupa slogan promosi yang singkat, jelas dan informatif. (untuk lebih jelasnya lihat lampiran)

Tampilan Desain

Dari hasil alternatif desain, dapat ditampilkan desain terpilih sebagai berikut:

Nama Media   : T-Shirt

Ukuran                        : S (small), M (medium), L (large), XL(Xtra Large)

Bahan              : Kain Cotton Combed 20 S

Huruf              : Vivaldi, Arial

Teknik             : Cetak sablon

Dalam desain media promosi t-shirt ini, ilustrasi yang dipergunakan adalah sayuran dan logo Aromas Cafe yang dimaksudkan untuk memberi kesan simple. Diharapkan nantinya pesan dan kesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat dapat tersampaikan.

T-Shirt dan  Daftar Menu sebagai Sarana Promosi Aromas Café Di Legian Kuta Bali Selengkapnya

Topeng Menyingkap Karakter Manusia Dan Sejarah Masyarakat

Topeng Menyingkap Karakter Manusia Dan Sejarah Masyarakat

Kiriman: Kadek Suartaya, SSKar., Msi, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar.

Pertunjukan dengan mengenakan topeng merupakan seni pentas tertua di jagat ini. Hampir setiap bangsa di berbagai pelosok dunia mempunyai  benda seni penutup wajah dalam berbagai wujud dan watak. Kiranya hingga kini pun topeng-topeng itu masih menjadi bagian tradisi atau ekpresi estetik masyarakat manusia. Bahkan pada masyarakat yang masih lekat dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, topeng bukan hanya dipandang sebagai sekedar penutup wajah namun dianggap memiliki kekuatan magis. Sedangkan keberadaan topeng pada masyarakat modern selain tetap diusung sebagai benda seni juga dikembangkan sebagai bentuk seni pertunjukan tari atau teater.

Masyarakat bhineka Indonesia memiliki beragam seni tari dan teater yang dalam penampilannya mengenakan topeng. Masyarakat suku Dayak di Kalimantan mewarisi topeng Hudoq yang biasanya hadir sebagai seni sakral dalam ritual keagamaan mohon kesuburan atau syukuran atas panen yang melimpah. Masyarakat desa Trunyan di tepi danau Batur, Bangli, hingga kini juga mengeramatkan pantomime bertopeng yang disebut Barong Berutuk. Teater menggunakan topeng berwajah primitip yang terbuat dari batok kelapa ini merupakan ritual mohon kesuburan. Selain tari topeng untuk mohon kesuburan, topeng di tengah masyarakat Nusantara umumnya dipakai sebagai perantara berhubungan dengan arwah nenek moyang seperti masih terlihat jejak-jejaknya kini pada suku Batak (Sumatera Utara), masyarakat Tolage-Alfur (Sulawesi Tengah), dan suku-suku di pedalaman Papua.

Topeng sebagai seni pertunjukan berkembang subur di Jawa dan Bali. Di pulau Jawa, tari dengan mengenakan topeng sudah dikenal sejak jaman Majapahit. Raja Brawijaya masyur sebagai penari topeng yang piawai. Demikian pula di Bali, tari atau teater dengan mengenakan topeng sudah berkembang pada abad ke-16-17, zaman kejayaan kerajaan Bali. Catatan-catatan tua berupa prasasti atau lontar juga telah menyinggung tentang adanya tari topeng atau kelompok pemain topeng. Batu bertulis Jaha yang ditemukan di pulau Jawa pada tahun 840 Masehi menyebutkan tentang atapukan yang artinya topeng. Di Bali, prasasti Bebetin 896 Masehi juga menyebutkan adanya partapukan yang artinya perkumpulan penari topeng.

Jawa dan Bali adalah dua wilayah budaya di Indonesia yang kaya dengan ekspresi seni tari dan teater yang menggunakan topeng. Di pulau Jawa, wilayah budaya Parahyangan memiliki seni tari dan teater bertopeng yang sangat khas. Masyarakat Sunda di Cirebon dikenal sebagai pewaris seni pertunjukan topeng yang tetap eksis hingga kini. Keberadaan topeng Cirebon patut diketengahkan sebab, menurut pakar tari Jawa, Edi Sedyawati, topeng Cirebon adalah mata air pertumbuhan dari tari-tarian Sunda yang kita kenal sekarang. Di Cirebon dan sekitarnya, tari topeng masih dapat disimak dalam upacara syukuran yang berkaitan dengan budaya pertanian dan perayaaan kebahagiaan perkawinan.

Pada awalnya, topeng Cirebon adalah media untuk menghormati arwah nenek moyang. Dalam perkembangannya, topeng ritual ini mendapat mengayoman kaum bangsawan. Pada masa Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam, Sultan Cirebon Sunan  Gunung Jati bekerja sama dengan Sunan Kalijaga memanfaatkan tari topeng sebagai media komunikasi dalam penyebaran agama. Begitu kuat dan luasnya pengaruh tari topeng sebagai alat siar agama Islam di tanah Pasundan pada masa lalu, hingga memitoskan Sunan Kalijaga sebagai pencipta tari topeng Cirebon. Hingga kini, penghormatan pada Sunan Kalijaga sebagai pencipta tari topeng masih dianut takzim oleh seniman topeng Cirebon.

Topeng Cirebon berorientasi dari cerita Panji, kisah kepahlawan raja-raja Jawa yang banyak dijadikan tema dalam seni pertunjukan tradisi, bukan hanya di Jawa dan Bali tapi juga di beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand. Di Negeri Gajah Putih, tokoh protagonis cerita Panji yaitu Inu Kertapati disebut dengan Inao. Di Bali, cerita Panji menjadi tema utama dari drama tari Gambuh, teater klasik sumber tari Bali. Opera Arja yang kini kian sayup tembangnya juga mengacu pada cerita Panji. Teater rakyat Drama Gong  pada masa kejayaaan tahun 1970-1980-an juga mengharubiru penonton dengan kisah romantis dan heriok Raden Inu Kertapati dengan kekasihnya Putri Candrakirana. Dalam topeng Cirebon, cerita Panji itu dituangkan dalam bentuk penonjolan seni tari seperti yang terlihat dalam Topeng Babakan dan secara naratif dalam Topeng Dalang atau Wayang Topeng.

Topeng Babakan yang hanya menyajikan potongan-potongan dari cerita Panji, lebih merupakan penampilan simbol-simbol kehidupan manusia lewat karakter 5-8 topeng. Diawali dengan penampilan Topeng Panji menggambarkan watak manusia yang arif, bijaksana dan rendah hati. Kemudian, Topeng Samba menggambarkan watak manusia yang suka hura-hura dan penuh canda. Topeng Tumenggung menggambarkan watak ksatria yang gagah berani dan percaya diri. Topeng Kalana menggambarkan sifat manusia yang tamak dan Topeng Rumyang melambangkan sifat ketakwaaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain kelima tokoh itu ada pula tokoh Aki-aki dan Kedok Cina. Seluruh topeng-topeng itu dibawakan oleh seorang penari seperti Topeng Pajegan di Bali. Dulu masyarakat pecinta tari topeng di Jawa Barat mengenal dua maestro seni pertunjukan ini, yakni Mimi Sawitri dan Mimi Rasinah kini telah tiada.

Masyarakat Bali memiliki beberapa bentuk seni pertunjukan bertopeng. Namun yang lazim disebut topeng adalah adalah seni pentas ritual Topeng Pajegan. Pertunjukan topeng yang umumnya dibawakan secara solo oleh seorang penari ini tidak hanya hadir dalam prosesi keagamaan di halaman utama pura namun juga  berfungsi dalam upacara perkawinan, potong gigi, hingga ritus ngaben. Tema-tema kisah yang dibawakan bersumber dari babad, cerita semi sejarah, dengan puncak penampilan figur topeng berkarakter angker yang disebut Sidakarya.

            Seni pertunjukan Wayang Wong,  Barong Kedingkling, dan Barong Berutuk misalnya, juga memakai tapel tapi tak pernah disebut sebagai topeng. Wayang Wong yang berangkat dari sumber epos Ramayana seluruh pemerannya memakai tapel atau topeng. Barong Kedingkling yang biasanya hadir dalam tradisi ngelawang mempergunakan tapel figur-figur penting Ramayana. Begitu juga Barong Berutuk yang disakralkan di Desa Trunyan, Bangli, semua perannya menggunakan topeng bernuansa primitif. Namun ketiganya tak disebut seni pertunjukan topeng.  Rangda dan tari Jauk juga tidak digolongkan genre topeng.

            Seni pertunjukan bertopeng tergolong sangat tua dan hampir dapat dijumpai di seluruh dunia. Di Bali, kesenian yang diduga berkaitan dengan topeng termuat dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun 869 Masehi. Dalam prasasti itu disinggung istilah partapukan yang artinya perkumpulan topeng. Sedangkan bagaimana bentuk dan apa lakonnya tidak jelas. Pertunjukan topeng diduga merupakan kreativitas seniman Bali yang bukan pengaruh kesenian Majapahit. Pada mulanya kesenian ini muncul pada era kejayaan Gelgel,  akhir abad ke-17. Konon I Gusti Pering Jelantik membawakan drama tari seorang diri dengan memakai topeng rampasan leluhurnya, Patih Jelantik, ketika Gelgel menaklukkan  Blambangan. Saat konflik politik mengguncang Gelgel, topeng-topeng itu diboyong ke Desa Blahbatuh sekitar tahun 1879 yang hinggi kini dikeramatkan di Pura Penataran Topeng.

            Pada tahun-tahun berikutnya, setelah pementasan di puri Gelgel tersebut, penampilan Topeng Pajegan itu kemudian menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat Bali, terutama ditradisikan saat prosesi keagamaan, odalan misalnya. Perkembangannya kemudian muncul Topeng Panca, drama tari topeng yang dibawakan oleh lima orang penari yang lebih mengarah sebagai seni pentas tontonan non ritual. Perkembangan ini bukannya membuat Topeng Pajegan surut, justru seni pentas ini kian multifungsi dalam beragam tingkatan dan hirarki upacara agama dan ritus kehidupan masyarakatnya.

            Pementasan Topeng Pajegan dimulai dengan penampilan tokoh yang berkarakter keras. Warna tapel-nya gelap kemerah-merahan, mata mendelik dan disertai sepasang kumis hitam tebal. Gerakannnya tangkas, gagah dengan ayunan langkah berwibawa. Sehabis tokoh ini, biasanya disambung dengan kemunculan topeng yang berkarakter tua renta. Rambut, alis, dan kumisnya memutih. Gerakannya lambat terbata-bata namun menampilkan sorot mata yang arif. Kedua figur ini disebut dengan topeng pengelembar, tari lepas, arena tempat pemain mempertontonkan kepiawaannya menari.

            Aspek dramatik sebuah pementasan Topeng Pajegan baru bergulir ketika muncul tokoh penasar yang lazim memakai tapel setengah terbuka, terutama pada mulut dan matanya. Penasar bertindak selaku narator, komentator, penterjemah, dan pelawak. Tokoh inilah yang mengendalikan alur cerita. Ketika ia kemudian berganti topeng berwatak tampan dengan tata gerakan alus penuh perhitungan, tokoh rajalah yang dibawakannya yang sering disebut topeng dalem atau arsawijaya. Kehadiran topeng dengan ekspresi karismatis ini memberikan perintah sesuatu, mungkin perang dan mungkin perdamaian.

Topeng Menyingkap Karakter Manusia Dan Sejarah Masyarakat, selengkapnya

Keluarga Besar ISI Denpasar Adakan Tirtayatra

Keluarga Besar ISI Denpasar Adakan Tirtayatra

Kiriman Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS. Kriya Seni ISI Denpasar

Rabu 19 Juli 2011 keluarga besar ISI Denpasar mengadakan tirtayatra diikuti dosen, pegawai, dan mahasiswa dari FSP dan FSRD.  Acara tersebut merupakan salah satu acara rutin yang diselenggarakan lembaga ISI Denpasar dalam menyambut  pelaksanaan dies setiap tahunnya. Tempat yang menjadi tujuan tirtayatra tahun ini adalah Bali Utara yaitu Pura Puseh Penegil Dharma di Desa Kubu Tambahan Kecamatan Kubu Tambahan dan Pura Ponjok Batu di Desa Julah  Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Kedua tempat suci tersebut merupakan Penyungsungan Jagat atau Pura Dang Khayangan. Kegiatan yang menyita waktu satu hari penuh tersebut berjalan lancar. Pada akhir pesembahyangan di Pura Ponjok Batu salah satu pemangku memberikan penjelasan kepada semua pemedek yang melakukan persembahyangan pada waktu itu tentang keberadaan pura mulai dari sejarah pura, pelinggih, pengempon pura, hari piodalan pura serta kaitannya dengan Danghyang Nirarta. Penjelasan-penjelasan yang disampaikan pemangku tersebut merupakan penjelesan yang didapat dari pendahulunya, mereka tidak menemukan sumber-sumber tertulis yang dapat menjelaskan keberadaan pura tersebut dengan pasti.

Penulis menelusuri beberapa sumber terkait dengan Pura Ponjok Batu tersebut belum ditemukan artikel atau tulisan yang dapat menjelaskan dengan data yang pasti. Analisis lebih banyak berdasarkan ceritra rakyat dan tattwa yang ada. Seperti halnya yang dimuat ILoveBlue, bahwa Pura Ponjok Batu merupakan sebuah tanjung yang terdiri dari batu dari celah-celah batu tersebut tumbuh pohon kamboja dan semak yang sangat indah. Dalam bahasa Bali “Ponjok Batu” berarti Tanjung Batu. Pura Ponjok Batu terletak lebih kurang 24 km di sebelah Timur Singaraja.
Lebih jauh didijelaskan ILoveBlue.com, asal muasal berdirinya Pura atau Kahyangan ini erat hubungannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha yang juga dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra, di dalam Dwijendra Tattwa antara lain dikisahkan sebagai berikut : Pada zaman pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong, sekitar tahun Isaka 1411 atau tahun 1489 M datanglah ke Bali Danghyang Nirartha kemudian dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra. Setelah beberapa lama tinggal di Gelgel, pada suatu hari Danghyang Nirartha ingin meninjau daerah Bali di sebelah Utara Gunung (Den Bukit) yaitu Buleleng, yang seterusnya kalau tidak ada aral melintang beliau berniat akan terus menyeberang ke Sasak (Lombok). Sesudah beliau berjalan beberapa hari lamanya kemudian Danghyang Nirartha sampai pada suatu tempat di Pantai Utara Pulau Bali yang letaknya di sebelah barat laut Gunung Agung. Tempat itu berupa sebuah Tanjung yang terdiri dari batu batu, dan dari celah-celah batu tersebut tumbuh kayu-kayuan sehingga Tanjung Batu tersebut menjadi semak-semak. Di sana Danghyang Nirartha berhenti dan duduk di atas batu pada tempat yang agak tinggi untuk menikmati pemandangan laut Jawa yang terhampar luas yang sangat mengasyikkan dan menumbuhkan inspirasi baginya. Tidak dikisahkan entah sudah berapa lama Danghyang Nirartha berada di tempat itu, pada suatu hari tidak jauh dari tempat beliau duduk arah sebelah Timur terdampar sebuah perahu. Timbul keinginan beliau untuk mengetahui apa gerangan yang menyebabkan perahu tersebut terdampar, lalu tempat perahu itu terdampar didekatinya. Setelah diperiksa ternyata perahu itu mendapat kerusakan yaitu tiang layarnya patah dan layarnya robek-robek, sedang tali temalinya terputus. Anak buah dan nahkoda perahu tersebut terlempar ke pantai dalam keadaan mabuk laut dengan kondisi fisiknya sangat lemah dan tergeletak di atas pasir seakan-akan tidak berjiwa lagi. Danghyang Nirartha menyaksikan kondisi mereka yang sangat mengerikan dan menyedihkan itu menjadi iba hati, lalu segera memberikan pertolongan. Dengan kekuatan bathinnya, anak buah dan nahkoda perahu itu oleh Danghyang Nirartha diberikan babayon (tenaga) secara gaib, sehingga anak buah dan nahkoda perahu tersebut menjadi siuman dan sadarkan diri, dan tiada lama mereka sudah dapat duduk di atas pasir. Menyadari dirinya ditolong, lalu mereka menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Danghyang Nirartha, karena mereka yakin bahwa tanpa pertolongan beliau ini mereka pasti menemui ajalnya. Kemudian Danghyang Nirartha bertanya kepada anak buah dan nahkoda perahu tersebut demikian,”Darimana saudara sekalian ini?”, dan segera dijawab oleh nahkoda perahu itu,:”Ya Paduka Pandita, kami ini bertujuh (7 orang adalah berasal dari Sasak (Lombok), dan di dalam pelayaran ini kami mendapat bahaya yaitu sekitar kurang lebih 1 bulan perahu kami terombang-ambing oleh ombak dan gelombang laut serta kami sampai kehabisan bekal.” Seterusnya nahkoda perahu itu melanjutkan ceriteranya: “Entah sudah berapa lama kami tidak makan dan minum ditambah lagi mabuk laut, sehingga kami tidak sadarkan diri. Dalam siatuasi dan kondisi yang demikian, kami sudah tidak ada harapan hidup, dan nasib kami serahkan atas kehendak Yang Maha Kuasa, yang akhirnya kami terdampar dan terlempar di pantai ini. Kami menghaturkan banyak terima kasih yang keluar dari hati nurani kami yang paling dalam atas belas kasihan dan pertolongan Paduka Pandita, yang berkenan menghidupkan kami kembali. Kami yakin tanpa belas kasihan dan pertolongan Paduka Pandita kami tidak akan mungkin hidup seperti sekarang,” demikian jawaban dan ceritera nahkoda perahu tersebut. Oleh karena ketujuh orang itu tampaknya sudah agak pulih kesehatannya, lalu Danghyang Nirartha memberitahu kepada mereka itu untuk membersihkan diri masing-masing dan minum air pada sebuah mata air yang baru saja timbul. Kemudian mereka disarankan mencari buah-buahan di dalam semak-semak untuk dimakan, dan setelah itu mereka lakukan , kemudian mereka beristirahat dan bermalam bersama Danghyang Nirartha disana. Di sana Danghyang Nirartha menyarankan, andaikata mereka akan kembali berlayar ke Sasak (lombok) sebaiknya esok harinya saja dan Danghyang Nirartha akan ikut ke Sasak (Lombok). Semua saran dan nasehat Danghyang Nirartha itu diturut dan ditaati oleh anak buah bersama nahkoda perahu tersebut, dan pada malam harinya mereka bermalam di sana. Tidak dikisahkan bagaimana gembira hatinya anak buah bersama nahkoda perahu tersebut, besoknya pagi-pagi mereka sudah bangun dalam keadaan fisik yang segar bugar sebagaimana keadaan sebelumnya. Menurut mereka hal ini terjadi tidak lain adalah berkat kekuatan bathin dan ketinggian ilmu gaibnya Danghyang Nirartha. Hari itu keadaan laut tenang karena tidak ada gelombang besar seperti hari kemarinnya, serta menurut hemat Danghyang Nirartha saat itu adalah waktu yang baik untuk berlayar ke Sasak (Lombok). Mereka lalu bersama-sama dengan mempergunakan perahu itu berlayar menuju ke Sasak (Lombok) dalam keadaan selamat dan sampai ke tempat tujuan, walaupun perahu itu tanpa layar. Sesudah tanjung Batu itu ditinggalkan oleh Danghyang Nirartha terjadilah keajaiban yang membuat orang-orang di sekitarnya terheran-heran, karena setiap malam hari di bekas tempat Danghyang Nirartha berhenti dan duduk itu batu-batunya menyala. Orang-orang itu ingin melihat dan membuktikan apa gerangan yang telah terjadi di atas batu-batu tersebut, sehingga setiap hari Tanjung Batu itu ramai dikunjungi orang. Mereka itu bukan saja ingin mengetahui mengenai keajaiban yang terjadi di sana, melainkan ingin mendapatkan keselamatan, lalu mereka melakukan persembahyangan di sana. Akhirnya di sana dibangun sebuah Pura atau kahyangan dengan bangunan sucinya berbentuk sebuah “Sanggar Agung” dan Pura atau Kahyangan itu diberi nama “Pura Ponjok Batu” sesuai dengan tempat itu yang merupakan tanjung batu. Kata “tanjung” sama dengan “ponjol” dalam bahasa Bali, sehingga kata “ponjok batu” berati “tanjung batu”, dan sekarang pura atau Kahyangan itu menjadi tempat persembahyangan umum, untuk memohon keselamatan. Tidak mustahil bahwa sampai sekarang sudah terjadi perubahan-perubahan dari aslinya pura atau kahyangan tersebut, baik mengenai arealnya maupun mengenai palinggih (banguna sucinya). Tentu saja perubahan-perubahan itu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan penyungsungnya, namun yang jelas dilihat dari segi status dan fungsi dari Pura Ponjok Batu ini masih tetap sebagaimana semula. Dari uraian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Pura Ponjok Batu ini tidak dapat dipisahkan dengan kisah perjalanannya Danghyang Nirartha.

Lain halnya dengan Babad Bali.com memuat  bahwa Pura ini memiliki rekaman sejarah yang panjang dan unik. Hal tersebut ditelusuri lewat temuan arkeologi, efigrafi dan folklore (cerita rakyat) yang hidup di tengah masyarakat Julah dan sekitarnya.

Berdasarkan kajian arkeologis, saat penggalian di lokasi perbaikan pura tahun 1995 ditemukan sarkopah/sarkopagus. Kini sarkopah itu disimpan bersama sarkopah lainnya di halaman depan Pura Duhur Desa Kayuputih, Banjar. Sarkopah (peti mayat) terbuat dari batu cadas, banyak ditemukan di beberapa daerah di Bali.

Sistem penguburan menggunakan sarkopah berlangsung sejak zaman perundagian di Bali tahun 2500-3000 SM, atau sekitar 5.000 tahun lalu. Berarti di sekitar kawasan Pura Ponjok Batu pernah dihuni masyarakat yang mendukung budaya sarkopah. Sarkopah merupakan tempat disemayamkannya jasad orang yang dihormati masyarakat

Sementara menurut kajian efigrafi atau prasasti, Desa Julah sebagai pemukiman sangat ramai. Ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan raja-raja dari Dinasti Warmadewa, masing-masing masa pemerintahan Raja Sang Sri Aji Ugrasena (tahun 923 M), Raja Sri Aji Tabanendra Warmadewa (955 M), Raja Sri Janasadhu Warmadewa (975 M), Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa (1011 M), Raja Putri Sang Adnyadewi, Prabu Marakatta (1022-1026 M), Raja Sri Paduka Anak Wungsu dan Raja Sri Prabu Jayapangus (1181 M).

Raja-raja yang pernah berkuasa itu hampir semuanya pernah mengeluarkan prasasti tentang keberadaan Desa Julah. Di sana disebutkan pula bahwa tugasnya menjaga sebaik-baiknya semua pura yang ada di wilayah Desa Julah. Kendati tidak disebutkan dengan jelas tentang Pura Ponjok Batu, tetapi dipastikan Pura Ponjok Batu merupakan salah satu pura yang ikut dirawat. Di pura itu juga ditemukan beberapa patung, di antaranya patung Dewa Siwa, Nandini dan Ganesa. Ini merupakan petunjuk bahwa perhatian raja Dinasti Warmadewa terhadap Pura Ponjok Batu sangat besar.

Masa kekuasaan Warmadewa berlangsung sampai 1343, ditandai dengan jatuhnya Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit. Selanjutnya pemerintahan di Bali dipegang Dinasti Kepakisan yang berpusat di Samprangan, lalu pindah ke Gelgel. Sampai kekuasaan Dalem Waturenggong, mulai ada perhatian terhadap Pura-pura di Bali Utara/ Denbukit. Diawali dengan kedatangan Danghyang Nirartha. Saat itu Pura-pura yang ada di Bali Utara mendapat kunjungan kembali dalam bentuk dharma yatra, mulai dari Pura Pulaki dan pura lainnya, termasuk Ponjok Batu.

Sejak kedatangan Danghyang Nirartha, nilai spiritual tempat suci kembali bangkit. Pura Ponjok Batu mulai memancarkan sinar secara terus-menerus, walaupun Danghyang Nirartha telah meninggalkan tempat itu menuju ke Lombok, seperti terungkap dalam lontar Dwijendra Tattwa.

Sementara berdasarkan folklore, Pura Ponjok Batu berasal dari cerita Ida Batara di Bali yang menimbang beratnya Bali Utara dari Pura Penimbangan di Desa Panji. Ternyata Bali Utara bagian timur lebih ringan. Maka Ida Batara menambah tumpukan batu di bagian timur Bali Utara sehingga timbangan itu menjadi seimbang.

Pura Ponjok Batu telah beberapa kali dipugar. Pemugaran terakhir dimulai 1994 hingga dilakukannya upacara Ngenteg Linggih pada Saniscara Wayang Karo, 8 Agustus 1998. Pura ini terbuat dari batu hitam yang didesain sedemikian rupa agar keberadaannya tetap kuat. Saat ini, pelinggih yang ada di Pura Ponjok Batu meliputi:
1. Padmasana
2. Pelinggih Dang Hyang Nirartha
3. Pelinggih Ciwa
4. Pelinggih Ganesa
5. Pelinggih Batara Baruna
6. Pelinggih Seluang
7. Pelinggih Ratu Ayu Pangenter
8. Pelinggih Taksu (Dewa Gede Ngurah)
9. Pelinggih Ratu Bagus Mas Pengukiran
10. Pelinggih Ratu Bagus Mas Subandar
11. Pelinggih Taksu (Ratu Bagus Penyarikan)
12. Bale Pesandekan
13. Bale Paselang
14. Bale Ongkara
15. Bale Gegitaan
16. Bale Reringgitan
17. Bale Kulkul
18. Bale Pegat
19. Bale Paninjoan

Piodalan di Pura ini dilaksanakan dua kali setahun masing-masing saat Purnama Desta dan Sasih Kasa Purnama Kasa, Pangelong Ping Tiga (sasih gemuh). Saat odalan atau Purnama Tilem, banyak warga pedek tangkil ke pura ini untuk mohon keselamatan. Pura ini memiliki hubungan dengan Pura Bukit Sinunggal di Desa Tajun, Kubutambahan. Setiap ada upacara melasti Ida Batara di Pura Bukit Sinunggal dan Pura-pura lain di Tajun, upacara pemelastian selalu diselenggarkan di Pura Ponjok Batu karena di sana terdapat sumber air tawar yang memiliki kesucian dan dikatakan sebagai air campuhan antara air darat dan laut.

Keluarga Besar ISI Denpasar Adakan Tirtayatra, Selengkapnya

Resensi Buku: Gamelan Digul

Resensi Buku: Gamelan Digul

Kiriman Bayu Suyasa, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Judul buku      : GAMELAN DIGUL  di balik sosok seorang pejuang (hubunga antara Australia dan revolusi Indonesia)

Penulis             : Margaret J. Kartomi

Penerjemah      : hersri setiawan

Penerbit           : yayasan obor Indonesia

Edisi pertama  : juni 2005

YOI                 : 488.23.8.2005

Desain cover   : adjie Soeroso

Tebal halaman : 221 halaman

 Buku ini mengisahkan tentang nasib seperangkat gamelan Jawa yang merupakan satu-satunya jenis dari perangkat ini karena dibuat di kamp tahanan, dahulu Niugini barat, atau yang sekarang dikenal sebagai irian atau papua barat. Perangkat gamelan ini juga merupakan perangkat  gamelan pertama yang diketahui di bawa ke Australia, dan sekarang dirawat dengan baik di Archive of the scool of music konservatorium di monash university. Gamelan  ini dibuat tahun 1927 oleh seorang pengerawit atau pemusik jawa “ahli” dari Surakarta, juga seorang tokoh aktivis poltik yang menjadi tawanan di kamp para tapol pemerintah belanda di tanah merah digul atas, di wilayah hindia belanda dahulu. Gamelan-gamelan ini sama sekali dibuat dari bahan-bahan seketemunya saja.

Berkaitan dengan kisah gamelan ini dikaitkan juga dengan dua kisah yang bersifat sebagai pelengkap, dan sementara itu juga merupakan kisah-kisah yang berpadanan. Yang pertama tentang riwayat hidup sang pengrawit, bapak pontjopangrawit; yang kedua mengisahkan tentang peranan gamelan itu sebagai lambabg persahabatan Australia-indonesia semasa dasawarsa pergolakan tahun 1940-an.

Hubungan Australia dengan Indonesia 1943 hingga sekarang. Marilah kita kembali ke digul atas sekitar tahun 1940-an. Ketika perang dunia II mulai perang di asia pun menyusul pecah, kisah gamelan digul memasuki babak baru. Kekuasaan belanda memasuki saat-saaat terakhir kekuasaannya. Sesudah kegiatan periode ekonomi di hindiaa belanda dalam tahun 1930-an dilewati secara damai, jepang menyerang pearl harbor, hongkong, dan Malaya pada tanggal 7/8 desember 1941. Menggabungkan diri dengan kekuatan sekutu, belanda menyatakan perang terhadap jepang. Invasi jepang  terhadap hindia dimulai pada tanggal 10 januari 1942. Dengan cepat dihancurkannya armada gabungan belanda, inggris, amerika dan Australia pada pertempuran di laut jawa. Dengan kapitulasi belanda pada tanggal 8 maret 1942 pemerintah colonial di hindia tamat rawayatnya, dan suatu badan resmi hindia belanda mengungsi ke Australia, dengan Charles O. van der plas sebagai kepala perwakilan badan ini. Tapi pada akhir tahun 1943 pemerintah belanda di pengasingan (Inggris) menujuk menteri jajahan, yaitu Dr. H.K. Van Mook, sebagai letnan gubernur jendral  dan mengepalai permerintahan sementara hidia belanda di Australia itu (O’Hare dan Reid 1995:6).

            Kira-kira akhir tahun 1942 jepang hampir menaklukkan ham[ir seluruh wilayah hindia belanda, walaupun idak seluruhnya pernah berhasil menduduki nuigini belanda (papua). Dan evakuasi pun dilakukan dimulai pada 9 maret dan selesai pada 10 juni 1943. Serdadu-serdadu Australia diterbangkan ke tanah merah dengan pesawat terbang air (flying boat; gambar 24), yang mendarat di sungai digul, dan menerbangkan para tawanan bergelombang 15 sampai 20 kelompok, ke pemukiman karantina Australia di pulau Horn, dekat pulau Thursday di selat torres (Bondan 1992:183-184). Selain itu kira-kira 120 orang Indonesia, termasuk 70 tawanan, diangkut dengan kapal dari merauke ke pulau horn dengan kapal tangker milik belanda, “minyak’. Gamelan digul dikemas dengan sebaik-baiknya dan diangkut bersama dengan barang-barang milik para tahanan menuju pulau horn itu (bondan 1992:185-186).

Disana mereka dibagikan baru yang hangat (warna merah celupan , yaitu warna dari penduduk dari negeri musuh), sebagai ganti pakaian mereka yang suda compang-camping. Dengan kereta api khusus kemudian mereka diangkut ke Cowra, New south Wales. Atas anjuran belanda mereka diperlakukan seperti tawanan dari negeri yang sedang berperang denagan Australia. Seperti yang mereka lakukan di tanah merah, disini juga merekapun bermain gamelan, sehingga karena itulah mereka mempunyai kekuatan untuk bertahan terhadap cobaan-cobaan hidup yang lebih berat(ibu Dahlan, komonikasi pribadi). Sesudah mata dunia mengetahui bahwa orang-orang Indonesia ini merupakan benar-benar tapol belanda yang tak tahu menahu tentang urusan perang dunia, apalagi pembantu orang jepang seperti bagaimana yang dituduhkan oleh belanda, pemerintah Australia menyadari telah menawan mereka secara tidak sah.

Jadi, orang-orang eks-digulis itu menggunakan sebagian waktu mereka untuk memperdalam pengatauan mereka untuk memperdalam pengetahuan mereka sendiri tentang kebudayaan Indonesia di Melbourne. serta mempergelarkannya di hadapan penduduk public Australia. Pertunjukan-pertunjukan ini membuka mata orang-orang Australia untuk pertama kalinya tentang indah dan rumitnya seni pertunjukan Indonesia, sehingga memperkuat perhatian terhadap kegiatan politik Pro-republik Indonesia. Darisanlah berawal hubungan baik antara Indonesia dengan Australia yang sepintas diperkuat oleh gamelan digul jawa yang dibawa ke Australia.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh semua orang yang senang akan sejarah tentang kuatnya kebudayaan Indonesia untuk masyarakat Indonesia sendiri, Karena cerita dari buku ini sendiri sangat menarik sehingga tentunya tidak akan membosankan untuk dibaca. Berikut juga dilengkapi dengan foto-foto arsip terdahulu.

Resensi Buku Gamelan Digul, selengkapnya

Budaya Bali

Budaya Bali

Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar

Agar dapat mengenal lebih dekat dan mendetail budaya Bali yang beragam , perlu juga mengetahui  budaya yang berlaku secara umum baik dari segi  tingkah laku (kelakuan) maupun benda-benda (tanda budaya) lainnya  untuk memperoleh gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga terjadi suatu perbedaaan. (T.O. Ihromi, 1996: xxiii). Konsep desa,kala,patra, dan kuna dresta, maupun desa/drsta mawa cara, adalah prinsip yang sampai saat ini masih berlaku bahkan  oleh komunitas maupun  lembaga-lembaga terkait cenderung untuk dipertahankan. Keragaman budaya yang ada/ dimiliki oleh masing-masing  komunitis desa pekraman telah memperkaya dan memberi keindahan tersendiri bagi masyarakat Bali. Bentukan  budaya “baru” dari keragaman komunitas terhadap  penggunaan sarana keagamaan seperti; umbul-umbul, kober, bandrangan,  tumbak, mamas, payung pagut, payung robrobPenawesange, dan  Dwaja

tidak terlepas dari adanya  interaksi dan internalisasi pendukungnya. Secara kultur keragaman budaya berada dalam ruang interaksi dan internalisasi nilai-nilai yang  memiliki pandangan berbeda, bahwa kolektivitas atau komunitas menentukan anggotanya, pandangan lainnya adalah anggota menentukan kebersamaan. (Mudji Sutrisno, 2009:140). Sejalan dengan pendapatnya Mudji Sutrisno, tentang timbulnya budaya baru dalam kehidupan masyarakat khususnya tentang keseragaman dalam keragaman sarana upacara keagamaan tidak lepas dari keinginan dan rasa tanggung jawab untuk melestarikan tradisi yang sesuai dengan jiwa jamannya.  Sudah tentu pula  dalam upaya pelestarian nilai-nilai sakral religius magis tersebut dibarengi dengan kondisi perkembangan jaman  yang ada.

Adanya kemajuan teknologi, dominasi budaya, serta dinamika terpadu telah membentuk  komunitas yang terwujud bukan oleh lingkungan tempat lingkungan itu berada. (David Kaplan dan Albert A. Manners, 1999: 241-242). Jadi budaya itu memang  tidaklah statis, dapat bertahan dan berkembang sesuai dengan jamannya. Bali yang sarat dengan prosesi ritual religius keagamaan sekaligus sebagai daerah tujuan wisata secara tidak langsung telah bersentuhan dengan  budaya baru sesuai  adat kebiasaan daerah/negaranya masing-masing. Atau atas kemauan masyarakat/komunitas pramuwisata yang dengan “sengaja” memanjakan para wisatawan dengan menyajikan seni budaya yang mengandung nilai sakral sebagai daya tariknya. Tidak jarang belakangan ini dijumpai sarana upacara keagamaan yang lengkap dengan atributnya berada di tempat-tempat umum.

Dalam transformasi kebudayaan Bali, I Wayan Geriya mengungkapkan, perubahan bentuk kebudayaan berimplikasikan dan mempunyai aspek yang sangat besar dan luas. Cakupan itu tidak saja berupa dimensi, cara, jaringan relasi fungsional, juga struktur yang terkait dengan pembesaran skala secara horizontal dan vertikal, tanpa meninggalkan esensi jati diri kebudayaan yang berkelanjutan. Lebih lanjut dianalogikan seperti kupu-kupu dengan proses transformasi biologisnya, dari perubahan telur menjadi ulat, kepompong hingga menjadi kupu-kupu yang dapat terbang bebas karena ada perubahan bentuk dan fungsi, namun tetap dalam esensi spesiesnya, tidak berubah ke spesies burung maupun yang lainnya. (I Wayan Geriya,  2000 : 109). Apa yang diungkapkan dalam tronspormasi budaya memang sulit dihindari, namun dalam penelitian ini adanya simbol-simbol/atribut keagamaan yang digunakan ditempat ibadah dan disakralkan digunakan ditempat lainnya/diluar pura.

Kronologis kebudayaan Bali, kalau ditinjau dari persepektif  historis, dapat dirunut menjadi tiga tradisi pokok, yaitu tradisi kecil, tradisi besar, dan modern. Tradisi kecil yang dimaksud adalah kebudayaan yang berorientasikan Bali lokal dengan ciri-ciri tertatanya sistem pengairan oleh kelompok-kelompok organisasi nonformal yang disebut subak dan berternak dengan tujuan untuk keperluan upacara maupun memenuhi kebutuhan keluarga serta membuat barang-barang/peralatan rumah dan sarana keagamaan. Dalam tradisi besar telah terjadinya akulturasi antara kebudayaan Bali lokal dengan kebudayaan Hindu Jawa yang melahirkan kebudayaan Bali tradisi. Ciri-cirinya adalah adanya kekuasaan terpusat lewat konsep Dewa Raja. Raja dianggap sebagai inkarnasi Dewa dengan segala kelebihannya dibandingkan rakyat kebanyakan. (I Wayan Geriya,  2000 : 2).

Terbentuknya Budaya Bali Tradisi diikuti pula terjadinya sistem penanggalan (kalender Hindu-Jawa) arsitek dan kesenian yang bermotif Hindu dan Budha. Kebudayaan Bali tradisi ini sebuah refleksi dari budaya ekpresif, dominannya nilai religius, nilai estetis dan solidaritas, sebagai inti kebudayaan Bali. Perbedaan antara bagian inti suatu kebudayaan dengan bagian perwujudan lahirnya, dapat dilihat dari beberapa ciri seperti yang ada pada inti kebudayaan misalnya: 1). Sistem nilai, 2). Keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, 3). Adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, 4).  Adat mempunyai fungsi yang terjaring dalam masyarakat, sedangkan bagian akhir dari suatu kebudayaan fisik, alat-alat, benda-benda yang berguna, ilmu pengetahuan, tata cara dengan segala tekniknya, untuk memberi kenyamanan. (Koentjaraningrat, 1990: 97). Bagian akhir dari terbentuknya kebudayaan  yaitu kebudayaan fisik, oleh masyarakat Bali masih terpelihara dan dirawat dengan baik. Kiat-kiat perawatan dan pelestarian warisan tersebut dilakukan dalam bentuk upacara ritual yang disebut dengan otonan atau odalan yang datangnya enam bulan sekali / 210 hari sekali. Khusus bagi masyarakat Hindu di Bali, selain diwariskan kebudayaan berbentuk fisik, yang lebih berharga dan bermanfaat adalah adanya suatu tatanan dan tuntunan “wajib” cara-cara atau alokasi waktu perawatan/pemeliharaan  secara berkelanjutan.

Budaya Bali selengkapnya

Loading...