by admin | Aug 9, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Suartaya, S,S.Kar, M.Si., Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar.
Disampaikan pada seminar dalam rangka kegiatan dies natalis dan wisuda tahun 2011
I. Optimisme-Pesimisme Jagat Seni
Segumpal kegundahan yang dilontarkan oleh seorang gadis belia dalam sebuah lomba pidato berbahasa Bali di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011 yang baru lalu membuat penonton tertegun. Dalam pidatonya yang berjudul “Ngewangun Karakter Wangsa Melarapan Pesta Kesenian Bali”, dara belia duta Kabupaten Gianyar itu dengan intonasi galau mengungkapkan tergerusnya seni tradisi oleh hegemoni globalisasi. “Indayang cingak, aduh dewa ratu, akehan mangkin kula wargane sane ngengebin selebriti ring tivi-ne. Jegegne Dewi Sita miwah Dewi Subadra sampun kalah baan I Luna Maya miwah Cut Tari. Bagusne Sang Arjuna taler doh kasub antuk Ariel Peterpan. Wayang kulit, sane dumun dados balih-balihan sane akeh micayang piteket lan suluh agama, mangkin sayan-sayan rered kakutang penonton. Sekulerisasi lan komersialsisasi ngancan ngicalang taksu seni budaya druwene. Riantukan punika, ngiring mangkin lestariang lan limbakang seni budaya sami, angge ngewangun karakter wangsane“.
Seni tradisi, karakter bangsa, dan globalisasi adalah ide, konsep, fenomena yang akan dipertautkan dalam paper kecil ini. Ketiganya dipertautkan untuk mengartikulasikan tentang peranan dan pentingnya seni tradisi sebagai alternatif pondasi karakter bangsa ketika kini berhadapan dengan keniscayaan gelombang globalisasi. Ada beberapa argumentasi, kenapa seni dipandang berkontribusi penting membangun karakter bangsa dan kenapa seni diketengahkan sebagai benteng jati diri bangsa di tengah era globalisasi ini. Sebab, seni adalah gudang penyimpanan makna-makna kebudayaan. Budaya dan seni tradisi merupakan bagian integral dari kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat. Tradisi merupakan akar perkembangan kebudayaan yang memberi ciri khas identitas atau keperibadian suatu bangsa … seni tradisi menyediakan bahan baku yang melimpah. Di Bali dan di Indonesia pada umumnya para seniman tidak membiarkan kesenian tradisi menjadi beku, dan untuk itu setiap generasi terus berusaha untuk melakukan inovasi terhadap kesenian tradisi milik mereka.
Sebagai bagian dari kebudayaan, kesenian adalah salah satu perlengkapan manusia dalam memenuhi kehidupannnya. Adalah kehidupan akan menjadi gersang tanpa kehadiran kesenian. Akan tetapi arti seni bagi nilai kehidupan tentulah lebih multidimensional. Sepanjang sejarahnya seni memang mengabdikan diri untuk kemanusiaan. Jika kebudayaan dirumuskan sebagai gejala apa yang dipikirkan, menurut Mochtar Lubis, maka seni merupakan unsur yang amat penting yang memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, irama, harmoni, proporsi dan sublimasi pengalaman manusia, pada kebudayaan. Tanpa nilai-nilai maka manusia akan jatuh menjadi binatang ekonomi atau kekuasaan belaka.
Seni sebagai gudang penyimpan makna-makna kebudayaan berarti di dalamnya mengkristalisasikan pencapaian peradaban manusia pelaku utama kebudayaan itu yang terimplementasi dalam karakter bangsanya. Karakter bangsa dalam antropologi dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut. Karakter bangsa adalah kualitas jati diri bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain. Karakter bangsa Indonesia bersumber pada nilai-nilai kebangsaan yang kita miliki Karena itu, dalam konteks kehidupan kekinian, karakter sebuah bangsa dapat dieksplorasi dari nilai-nilai seni kebudayaannya. Konstruksi karakter bangsa itu kini kita sadari sebagai sebuah pondasi signifikan dalam kehidupan berbangsa di era kesejagatan ini. Carut-marutnya kehidupan berbangsa ditengarai disebabkan kelalaian membangun karakater bangsa. Soekarno dan Ki Hajar Dewantara telah jauh-jauh hari mengingatkan bangsa Indonesia tentang pentingnya karakter bangsa Urgensi perlunya pembangunan karakter bangsa itu, salah satunya dapat digali dan ditimba dari jagat seni. Seni tradisi sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkarakter.
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk kesenian yang merupakan subsistem dari kebudayaan. Meneropong jagat seni dalam konteks globalisasi dewasa ini menghadapkan kita pada berbagai panorama masa depan yang menjanjikan berbagai optimisme, akan tetapi sekaligus pesimisme. Sebagai bagian dari peradaban global, masyarakat Indonesia pun kiranya sulit melepaskan diri dari arus transformasi budaya. Konsekuensinya adalah terjadi pergeseran-pergeseran nilai yang membawa dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan penghuni jagat ini, termasuk pada ekspresi artistik.
Bagaimana dunia seni, seni tradisi khususnya sebagai representasi karakater bangsa mengaktualisasikan diri di tengah hegemoni globalisasi tersebut yang akan didiskusikan dalam kesempatan ini. Pertama, dilema kultural seni tradisi di tengah tranformasi budaya yang dibawa gelombang globalisasi. Kedua, rekonstruksi dan dekonstruksi seni tradisi sebagai proses kreativitas seni membangun karakter bangsa. Kedua masalah tersebut, bahasannya akan mengacu pada suasana berkesenian, seni pertunjukan, di Bali.
II. Dilema Kultural Seni Tradisi
Seni tradisi yang pada hakikatnya merupakan representasi dari kebudayaan luhur, sejak dulu telah menjadi media pendidikan yang ampuh dalam membentuk karakter masyarakatnya. Di Bali, hampir dalam semua seni pertunjukan tradisi, selain berfungsi sebagai persembahan, juga berkontribusi penting mencerahkan karakter masyarakatnya. Saat menonton teater Topeng atau dramatari Gambuh di pura, penonton memperoleh spirit keagamaan dan siraman rohani. Ketika menonton Arja atau Drama Gong di Bale Banjar, masyarakat penonton menyerap nilai-nilai moral dan sosial yang berguna. Lebih-lebih bila menyimak pementasan Wayang Kulit, penonton akan dihidangkan ensiklopedi kehidupan yang semuanya patut dijadikan pegangan diri.
Tetapi, masyarakat modern masa kini telah kehilangan orientasi hidup, terombang-ambing oleh centang perenang kusutnya zaman. Pergeseran budaya dan nilai-nilai mendistorsi pola pikir dan prilaku masyarakat kita. Guncangan budaya itu juga berimbas pada keberadaan lokal jenius yang terurai dalam ekspresi seni tradisi bangsa. Wayang Kulit yang dulu sangat karismatik di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, kini terpojok lunglai. Di tengah masyarakat Bali tempo dulu, wayang merupakan tontonan favorit yang begitu deras mengisi alam pikiran dan dunia nyata masyarakatnya. Pesan-pesan ceritanya diresapi cermat dan tokoh-tokoh idolanya dijadikan teladan serta identifikasi diri. Namun kini, pendidikan karakter yang diberikan oleh teater wayang dan seni tradisi kita itu telah rapuh dan mandul. Seni tradisi kita tergilas laju era kekinian.
Tak kenal tak sayang. Kira-kira seperti itulah nestapa sebagian seni tradisi Bali di tengah masyarakat masa kini. Karena semakin tak dipedulikan, tidak sedikit kemudian bentuk-bentuk kesenian itu teronggok di pojok, hidup payah matipun pasrah. Komunitas pendukungnya pun tak lagi memiliki ikatan batin dengan nilai keindahan yang mungkin dulu pernah disanjung-sanjung dan dibanggakan. Kini, bentuk-bentuk kesenian yang telah mengisi dinamika kehidupan masyarakat tersebut kian marginal dan langka. Pencapaian estetik yang pernah diraihnya tergerus tak terurus. Fungsi-fungsi sosial dan religius yang sempat diisinya terkikis. Makna-makna kultural dan filosofis yang dulu mengawalnya terpental entah kemana. Tragisnya, kesenjangan bentuk-bentuk kesenian itu dengan generasi muda, semakin lebar. Orientasi masyarakat kita di tengah gelombang globalisasi yang cenderung materialis-kapitalistik, sungguh membuat butir-butir budaya itu tergelincir.
Harapan untuk menyelamatkannya kembali memang belum sirna. Pesta Kesenian Bali (PKB) masih gigih menghadirkan kesenian tradisi, termasuk yang dikatagorikan tua dan langka. Bagi masyarakat umum, mungkin bentuk-bentuk kesenian langka tersebut terdengar asing, lebih-lebih di kalangan generasi muda masa kini. Gamelan Gambang misalnya yang dentang bilah-bilah bambunya kian sayup di tengah euforia ritual keagamaan, tak begitu banyak dikenali masyarakat karena ensambel tua itu sendiri memang hampir punah. Begitu pula mata air seni pertunjukan Bali, Gambuh, mungkin hanya dikenal oleh komunitas yang terbatas. Demikian pula halnya dengan Wayang Gambuh, lebih-lebih pernah menonton, bagi masyarakat masa kini, mungkin mendengar namanya pun agaknya baru kali ini.
Sekaratul maut memang sedang mengintai bahkan telah merenggut sebagian nilai-nilai tradisi, tersemasuk warisan kesenian tradisional Bali. Dialektika budaya global dan lokal sekarang ini cenderung menggiring masyarakat hanyut mengorbankan jati dirinya terdistorsi oleh dinamika budaya semu yang sedang menghegemoni. Seni-seni tradisi yang merupakan bagian integral dengan sosio-kultural-religius masyarakat, kini berona gamang, sebagian tertidur lelap.
Dis-apresiasi bukan hanya mendera kesenian yang telah tua dan kuyu, bahkan seni-seni tradisi primadona di tahun 1970-an pun telah semakin tak mendapat perhatian. Arja dan Drama Gong misalnya, telah kehilangan pamor. Pementasannya kian sulit dicari. Arena panggung pertunjukan di bale banjar pun semakin lengang dari pentas kedua teater itu. Ekspresi seni tradisi pada umumnya tampak kikuk berinteraksi dengan dinamika zaman. Masyarakat kekinian dimanjakan oleh beragam pilihan seni dan hiburan modern, salah satunya lewat presentasi televisi.
Komunalitas yang menjadi identitas masyarakat Bali dalam menghayati kehidupan lewat teks yang disajikan oleh kesenian tradisionalnya, ke depan, jika tak segera dibenahi, agaknya akan merenggang. Muatan nilai-nilai keindahan yang disuguhkan seni tradisi tak akan mampu lagi menularkan kebeningan nurani. Pesan-pesan moral yang diungkapkan seni tradisi tak kuasa lagi menerbitkan fajar budi masyarakat. Keberadaaan seni tradisi hanya dipandang sebagai seonggok hidangan basi. Seni tradisi hanya sekali-sekali dilirik sebagai ekspresi budaya yang kusut masai.
Penyelamatan dan aktualisasi terhadap bentuk-bentuk seni tradisi sudah sepatutnya diapresiasi. Sebab dalam seni tradisi tidak hanya merupakan kristalisasi estetik suatu rentangan zaman namun juga sarat dengan makna kultural. Kini, ditengah laju trasformasi budaya, keberadaan seni tradisi sebagai formulasi artistik kian redup dan sebagai pencatat makna budaya kurang dipedulikan. Perubahan budaya sebagai imbas dinamika kehidupan, berkontribusi besar pada cara pandang, pola berpikir, sikap hidup masyarakat, termasuk pada sikap masyarakat Bali masa kini dalam berinteraksi dengan keseniannya.
Bersambung
by admin | Aug 9, 2011 | Artikel, Berita
Post By. I Wayan Sudirana, Ph.D Candidate, ISI Denpasar Alumni
Introduction
The following paper is a brief biography of the Canadian composer and pianist, Colin McPhee, focusing mainly on his work as an ethnomusicologist. As a Balinese musician and composer, I am primarily interested in his works as they relate to Balinese culture. I will also introduce some of his western music compositions that were inspired by the gamelan music of Bali. I hope that by doing this project, I will gain a better understanding and insight into what Colin McPhee has done for my music as well as for the field of ethnomusicology in general.
When I was studying at ISI, the Institute of Arts in Bali, my teacher introduced me to a name of composer, Colin McPhee, who spent his time studying Balinese culture in Sayan, a small village outside of Ubud in central Bali. I wanted to study more about him and what he did to promote my culture among scholars in the world. As a Balinese person and on behalf of the Balinese community, I want to give my respect to Colin McPhee for all his works on behalf of Balinese culture, especially his masterpiece “Music in Bali”. In addition, I want to know more about his life as well as his research in other kinds of music or cultures in the world, and possibly to define the influence of Balinese music on his compositions.
Colin McPhee’s Life, Carrier, and Journey in Exploring Balinese Culture
Colin McPhee was a composer, pianist, and pioneer researcher on the gamelan music of Bali. He was born in Montreal on March 15, 1900 and raised in Toronto. His family and teachers recognized his talent in music when he was a child. Therefore, his family sent him to study at the Peabody Conservatory in Baltimore, Maryland in 1918. Later, in 1924, he continued to study piano with Isidore Philip and studied composition with Paul Le Flem in Paris. While he studied in Baltimore and Paris, he became a well-known musician in western music and returned to New York to establish himself as an important member of the musical avant-garde. He worked as a composer under the direction of his teacher, Arthur Friedheim who was a pupil of Franz Liszt. During that time, he was also busy performing, touring with the singer Eva Gauthier, playing for contemporary music concerts as well as giving solo recitals. Arthur Friedheim (1859-1932), an eminent pianist, wrote in his autobiography:
And the day has dealt kindly with me too, for I have received from far-off Java a letter from a former Toronto pupil, Colin McPhee, perhaps the most gifted pupil I ever had. His innate musical sense, his sturdy application and a striking personality marked him out for a brilliant career on the concert platform. I felt a personal sense of loss when, after I left Canada, he gave up the piano altogether and applied himself entirely to composition. Now he is in Java and other distant lands seeking new inspiration in the relatively unfamiliar native music. Yet I must not criticize him because he has neglected my favorite instrument. Did I not do the same thing when I was his age? (Friedheim 1961: 256)
Around the late 1920s, while Colin McPhee exploring his talents as a member of the New York Polyhymnia symphony, he became interested in the study and performance of music from different cultures outside of European music. When he discovered newly released recordings of the exotic music of Bali, it ignited an instant desire to perceive what kinds of instruments made such beautiful and intricately textured sounds. The vibrant timbres and complex rhythms of Balinese gamelan completely changed his life. In his book House in Bali, he wrote:
I was a young composer, recently back in New York after student days in Paris, and the past two years had been filled with composing and the business of getting performances. It was quite by accident that I had heard the few gramophone records that were to change my life completely, bringing me out here in search of something quite indefinable – music or experience, I could not at this moment say. (McPhee 1946:9)
As a composer, McPhee saw the instruments of the Balinese gamelan as a new resource for creating music, a “crystal, vibrant sound” (Oja 1984: 3) he had looked for since he was a child, but was ultimately unable to find in the world of western music. To understand this music became an obsession for him. McPhee described clearly the complex sound of gamelan in his letter to Dr. William Mayer after his Bali years (Oja 1984 : 3). In that letter McPhee explained that when he was 12 years old, he composed a piece for a children’s percussion band which he had various ideas for sound effects, but the effects were not satisfying his expectations. However, ten years later, he tried again incorporating glass wind chimes into a piano concerto, but it was not able to produce the exact sound he wanted. Surprisingly, at the moment he heard Balinese and Javanese music, the sounds that those instruments produced instantly achieved for him that elusive sonority he had looked for. Like others who sought to explore the island, such as the critic and novelist Carl Van Vechten, the Mexican artist Miguel Covarrubias, the painter George Biddle, and Jane Bello (who later become his wife), he sailed to Bali for the first time in 1930.
After staying in a special hotel for foreign guests for a time, Colin McPhee ventured out away from the other visitors and stayed in village of Kedaton, south of Denpasar (capital city of Bali). Balinese musical activity there was unbelievable to him, and people seemed to be very creatively free in their cultural life. In that era, there was a shifting of tradition or artistic centers from the palaces to the village banjar (Tenzer 1998 : 16). It was changing the way that Balinese people develop their traditions from the community’s perspective, though they still paid respect to the courts. Colin McPhee become fascinated with the unique culture of Bali as he started to explore the music had dreamed about. Because the Balinese are mostly a friendly people, he quickly found master Balinese musicians to study and transcribe the music, met friends in a Balinese friendship style and gathered information from everyone he met. One of them was I Nyoman Kaler, a Balinese musician deeply knowledgeable about the more ancient traditions. Kaler said that 20 years earlier, each palace would have had two orchestras. Outside of the palace would stand one gamelan with great gongs, which was used for ceremonies and to welcome the guest and inside the palace, and there was a little gongs and keyed instruments of delicate tone to play more romantic music. This Gamelan was called gamelan Semara Pegulingan, the gamelan of Semara, God of Love, (Young 1984 :15).
Biography of Colin McPhee (Part I) more
by admin | Aug 8, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Made Agus Wardana, S.Sn., alumni PS. Seni Karawitan, STSI/ISI Denpasar
Disampaikan pada seminar dalam rangka diesnatalis dan wisuda tahun 2011
Kesenian Bali
KESENIAN adalah bahasa universal yang memiliki kemampuan menembus suatu batasan-batasan nyata dari perbedaan golongan, ras, agama, etnik dan sebagainya. Seni sebagai media komunikasi dapat mempererat tali persahabatan di antara perbedaan-perbedaan tersebut. Makna universal yang terkandung dalam kesenian ini, menggugah perasaan hati seniman untuk berkreasi menebar pesona kesenian dimanapun berada. Salah satu primadona kesenian Indonesia yang menjadi ujung tombak pencitraan positif tentang Indonesia di Eropa adalah gamelan dan tari Bali.
Gamelan dan tari Bali yang dikenal sangat dinamis, fleksibel dan adaptif diyakini secara arti luas memiliki daya tarik tersendiri dalam upaya memperkenalkan kebudayaan Indonesia di luar negeri. Daya tarik tersebut meliputi ekspresi kebyar gerak tari yang lincah, luwes, agresif dan dinamisnya suara gamelan serta kekhasan ekspresi mata ‘seledet’ yang selalu mengundang apresiasi positif penonton.
Gamelan Bali Di Belgia
Sejak dihibahkannya Gamelan Gong Kebyar oleh Pemda Bali kepada KBRI Brussel, yang dilanjutkan dengan pengiriman tenaga pengajar Sdr. I Made Agus Wardana (Alumni ISI Denpasar), bulan Pebruari 1996 menjadi langkah awal penyebaran seni Bali di Belgia. Belgia sebagai jantung Uni Eropa sangat strategis dijadikan sebagai sentra kebudayaaan Bali, Indonesia untuk wilayah Eropa.
Pada awalnya menebar seni gamelan dan tari Bali, bukan sesuatu yang mudah. Berbagai cara dilakukan untuk menarik minat masyarakat Belgia agar mencintai budaya Bali. Walaupun demikian, dengan pendekatan ke berbagai pihak serta menguatnya semangat jengah, akhirnya terbentuk berbagai ragam organisasi gamelan dan tarian. Adapun beberapa grup kesenian tersebut antara lain : Saling Asah, Kembang Nusantara, Sekolah Musik Konservatorium, Muzieklabyrint, Arjuna, PPI (Pelajar Indonesia), Iswara, Anak-Anak Indonesia, dan Dharma Wanita KBRI.
Grup tersebut terdiri dari masyarakat Belgia dan masyarakat Indonesia. Bagi mereka, menebar seni Gamelan dan tari Bali adalah sebuah kebanggaan, karena disamping kepiawaian memainkan gamelan dan menari, mereka secara langsung memperkenalkan budaya Indonesia kepada dunia internasional. Maka dari itu, serangkaian kegiatan seni budaya diagendakan secara rutin dan teratur. Partisipasi dalam aneka festival, pameran budaya, karnaval, konser, program televisi dan radio, workshop budaya di sekolah-sekolah dilakukan secara berkelanjutan.
Menebar Seni Melalui Media Massa
Media massa baik itu cetak ataupun elektronik mempunyai peranan dan kekuatan yang sangat besar dalam kaitannya dengan usaha mencapai keberhasilan menebar seni Bali di Eropa. Media cetak seperti koran, majalah, brosur, buletin dan media televisi dan radio dijadikan mitra khusus bahwa menebarkan seni itu memerlukan media untuk mempublikasikan semua informasi seni tsb. Disamping itu pemanfaatan situs youtube.com sebagai situs web video sharing terbesar di dunia, dimana segala video seni dapat diupload secara gratis dan di sharing kepada pengguna internet di seluruh dunia. Sebanyak 120 video seni Bali telah diupload di youtube.com, dengan jumlah pengunjung/views diatas 266,520 (sumber : data youtube.com ). Begitupula dengan situs jejaring sosial facebook dan twitter yang begitu dahsyat digemari, akan sangat berguna jika bisa dimanfaatkan sebagai media promosi secara baik. Adapun links yang digunakan sebagai media promosi tersebut adalah : www.youtube.com/agusbelgique, www.salingasah.be, facebook : Made Agus Wardana dan twitter Made Agus Wardana.
Dalam jaman yang serba praktis ini, para seniman dituntut untuk mampu bersaing dan memanfaatkan tekhnologi informasi. Seniman tidak saja mampu berkreasi dan berinovasi didalam seni, tetapi mampu menguasai dan memanfaatkan kecanggihan masa kini dalam upaya mengembangkan dan menebarkan seni Bali kepada dunia internasional.
Kolaborasi Seni
Sebagai upaya untuk mengembangkan kreatifitas seni gamelan dan tarian, cara mudah untuk mendekatkan diri dengan seniman di Eropa adalah dengan cara berkolaborasi. Kolaborasi yang berarti perpaduan dua/lebih kesenian yang berbeda latar belakang, dapat disatukan ke dalam sebuah bingkai harmonisasi. Dalam seni musik misalnya, gamelan yang terdiri dari gangsa, suling, kendang, cengceng dll, dapat menjadi penghubung melodi, aksentuasi, dinamika dari setiap perpaduan musik. Diantara alat musik yang paling menarik digunakan untuk berkolaborasi adalah Suling. Suling dapat dimainkan dalam berbagai nada, baik itu pentatonis maupun diatonis. Adanya tekhnik ngunyal angkihan dengan suara gregel yang unik ternyata mendapat sambutan luar biasa dalam setiap pertunjukan.
Kolaborasi seni musik atau tari yang dilakukan selama ini, mengindikasikan bahwa kesenian Bali dengan segala keunikannya dapat memberikan pengaruh besar dalam proses penciptaan karya seni yang baru. Untuk itulah apapun bentuk kolaborasi itu, bentuk musik ataupun tarian, tradisi atau kontemporer semakin sering dilakukan, semakin besar pula pengaruh seni yang disebarkan. Pada akhirnnya kesenian Bali itu dijadikan sumber inspirasi oleh seniman-seniman di Eropa didalam proses penciptaan sebuah karya seni.
Banjar Shanti Dharma, Belgia-Luksemburg
Kegiatan menebar seni Bali di Eropa ini, tidak terlepas dari dukungan perkumpulan komunitas nyame Bali yaitu Banjar Shanti Dharma. Banjar ini berjumlah 50 orang anggota. Mereka secara aktif melakukan kegiatan keagamaan dan belajar berkesenian seperti mekidung, menabuh dan menari. Kegiatan tersebut merupakan bagian penting penunjang ritual keagamaan. Apalagi dengan diplaspasnya sebuah Pura yang berdiri megah di tengah sebuah taman wisata burung Parc Paradisio/Pairi Daiza, Belgia yaitu Pura Agung Santi Bhuwana. Tepatnya Senin Umanis Medangkungan tanggal 18 Mei 2009, berlangsung upacara suci pemelaspasan yang dipuput oleh Ida Pedanda Putra Telabah dan Ida Pedanda Panji Sogata. Pemelaspasan itu juga dihadiri oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI, Jero Wacik didampingi Duta Besar RI Nadjib Riphat Kesoema, Menteri Ekonomi wilayah Walonia, Belgia dan Eric Domb, CEO Parc Paradisio/Pairi Daiza.
Keberadaan Pura ini menguatkan hati masyarakat Bali di Belgia akan pentingnya menjaga identitas diri. Mengajegkan budaya Bali dan tidak melupakan tanah leluhur Bali. Banjar Shanti Dharma adalah tempat berkumpulnya Komunitas Bali untuk mendukung kegiatan menebar seni Bali di Belgia khususnya dan Eropa pada umumnya.
Bersambung
by admin | Aug 8, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar.
Arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011 lalu, dimeriahkan oleh penampilan puluhan Barong utusan kabupaten/kota se-Bali.. Barong Bangkal, Barong Macan, Barong Ket atau Ketet, Barong Landung, Barong Kedingkling atau Blasblasan dan beberapa jenis Barong lainnya, disamping dipentaskan di atas panggung juga menyusuri ruang dan lorong-lorong yang ramai pengunjung. Ngelawang, demikian seni pentas nomaden ini disebut yang lazim dihadirkan saat ritus dan perayaan hari besar keagamaan seperti Galungan dan Kuningan. Masih eksiskah tradisi itu kini?
Ngelawang telah tergerus. Ketika tradisi ngelawang masih bergulir harmonis, betapa terkesan tenteram dan damainya pulau Bali ini. Perayaan Galungan dan Kuningan yang dimaknai sebagai hari kemenangan dharma atas adharma, rasanya kurang afdol tanpa dimeriahkan oleh sajian puspa ragam seni yang membuncah dalam pentas ngelawang itu. Gairah berkesenian dan perhatian terhadap jagat seni tersebut mengesankan betapa sejuknya hati sanubari masyarakatnya.
Ada yang menafsirkan filosofi ngelawang sebagai ruwatan bumi demi terawatnya kemanusiaan. Tradisi pentas seni nomaden ini diduga berakar pada psiko-relegi dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang. Bumi gonjang ganjing, gunung meletus, laut mengamuk, hutan terbakar, dan banjir menerjang. Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menemteramkan kembali seisi alam. Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai.
Persembahan ngelawang pada Galungan juga disangga konsepsi alam pikiran menolak bala yang berangkat dari legenda kemenangan kebajikan melawan kezaliman. Konon, dulu di Bali berkuasa seorang raja zalim yang bernama Mayadanawa. Raja berwujud raksasa ini dengan sewenang-wenang melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Turunlah kemudian Dewa Indra dari kahyangan untuk memerangi Mayadanawa. Melalui sebuah pertempuran yang dahyat Dewa Indra berhasil membinasakan si angkara murka Mayadanawa. Sejak itu rakyat Bali kembali tenteram yang kemudian mensyukurinya sebagai hari Galungan. Seni pentas ngelawang dalam konteks ini dimaknai untuk menjaga kesucian jagat dan melindungi manusia dari gangguan roh-roh jahat.
Akar mitologi dan sanggaan legenda yang mengusung keberadaan ngelawang itu kini, setidaknya sejak 20 tahun terakhir, rupanya mulai rapuh. Padahal dalam konteks berkesenian, tradisi ngelawang adalah wahana pelestarian dan pengembangan nilai-nilai estetis nan alamiah. Dan interaksi yang terjadi dalam ngelawang adalah hasrat sukmawi masyarakat dalam arti luas untuk berkomunikasi, menjalin solidaritas, merajut ketenteraman hidup bersama. Ketenteraman hidup itu tak hanya yang bersifat lahiriah namun juga yang transendental, keduanya harus dirawat. Ketika kedamaian dharma hari suci Galungan-Kuningan sedang berdesir, tradisi ngelawang berperan serta untuk merawat kehidupan, merawat kerukunan sesama, merawat alam lingkungan, dan merawat harmoni dengan yang menciptakan kehidupan ini.
Namun pergeseran nilai rupanya harus mencabik energi budaya yang memiliki aspek spiritual, seni dan hiburan ini. Ngelawang kini kian menepi. Fenomana kehidupan transformatif ini tak bisa dipungkiri memang membawa konsekuensi multidimensional dalam berbagai aspek. Atmosfir masyarakat agraris tradisional dengan kekentalan psiko-religiusnya mungkin memang kontekstual dengan persemaian yang kondusif bagi eksisnya tradisi ngelawang pada masa lalu. Sementara kini di tengah dinamika dan konfrontasi nilai-nilai, pola pikir rasional dan pola laku pragmatis-sekuler, membumbung naik daun.
Pamor tradisi ngelawang dalam esensi seni dan terutama subtansi makna ritual magis yang dikandungnya bisa jadi telah terkikis, kehilangan konteks. Masyarakat pendukungnya sedang bimbang di persimpangan zaman dalam guncangan dahsyat modernisasi. Reaktualisasi dan kontektualisasi ngelawang yang digaungkan setiap tahun dalam PKB, belum mampu menggugah bangkitnya kembali pentas seni itu di tengah masyarakat Bali. Jika pun ada, tampak terkesan sebuah pertunjukan emosional romantis sesaat bagi generasi yang pernah mengenal tradisi ini. Justru saat Galungan-Kuningan ini, dengan hasrat komoditifikasi, ngelawang dikemas industri pariwisata di hotel-hotel dan objek-objek wisata komersial.
Ada kecenderungan makna-makna sakral-magis-simbolik sedang tereduksi. Sebaliknya materialisme hedonistis sedang berhembus kencang mengoyak tatanan kehidupan. Karena itu, masuk akal bila seni pentas ngelawang tergusur, kehilangan fungsi dan makna, linglung di persimpangan jalan dalam kegalauan masyarakat pendukungnya yang sedang bimbang di persimpangan zaman. Apa boleh buat, pada tahun-tahun belakangan ini jagat seni pertunjukan Bali pada umumnya memang sedang berkeluh kesah. Oleh karena itu, dapat dipahami bila belakangan para pegiat seni pertunjukan tradisional Bali didera kegamangan dan kian ciut nyalinya melakoni kehidupan ini. Termasuk gamang meneruskan dan mewarisi pentas seni ngelawang.
Jika kegamangan itu semakin akut mendera kehidupan berkesenian secara umum, tentu ini adalah alamat buruk bagi eksistensi nilai-nilai kasih tenteram yang dipancarkan oleh spiritualitas, kejujuran serta kebenaran, dan keindahan jagat seni. Fenomena ini bisa jadi merupakan prolog dari krisis kemanusiaan dan kebersamaan sosial. Mudah-mudahan para seniman sebagai insani terdepan mengawal damainya dunia seni masih tegar dan tak kehilangan gairah menghadapi guncangan dan godaan kehidupan ini. Namun jika para pegiat seni sendiri sudah tidak arif memformulasikan pesan-pesan moral dalam ekspresi keseniannya, niscaya akan kian menjauhkan masyarakat dari indahnya kedamaian itu.
Ngelawang Tergusur, Industri Pariwisata Tergiur, selengkapnya
by admin | Aug 7, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Made Sumantra, SSn., Dosen PS. Kriya Seni ISI Denpasar.
Kreatif, inovatif, dan selalu menjaga keseimbangan alam adalah apa yang menjadi dasar pertimbangan di dalam menghasilkan karyanya. Bila kita melihat karya I Ketut Geledih, terlihat pendeformasian sangat kental mewarnai karya apa saja yang diciptakannya. Ini mungkin karena adanya pengaruh dari pendahulunya Ide Bagus Nyana, karya I Ketut Geledih yang berjudul gadis mandi, 1996 menggambarkan figur seorang gadis yang sedang mandi. Liukan aliran air serta uraian rambut basah karena habis keramas dibuat halus dan licin. Di sini terlihat dalam menggabungkan antara bentuk-bentuk yang langsing dan memanjang dengan bentuk-bentuk yang menggelembung elastis.
Pendeformasian bentuk yang dilakukan, maupun bentuk kayu aslinya sebagai respon pembuatan karya tersebut. Karya ini dalam pencapaian bentuk figurnya sangat kental dengan pendeformasian bentuknya yang mengelembung elastis, tetapi dalam karya ini terlihat adanya usaha untuk memanfaatkan materialnya dengan menonjolkan tekstur yang tidak seluruhnya licin. Dengan demikian karya tersebut kalau dilihat keseluruhan tampak adanya kesan kelembutan dan tidak membosankan bila dipandang. Di sini tampak adanya suatu keberanian dalam menonjolkan ekspresi dari figur tersebut disertai dengan ketepatan dalam pengaturan komposisi maupun kematangan dalam penguasaan teknis, baik dalam melakukan pendeformasian maupun dalam menampilkan ekspresi wajah figur tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya kesan suasana sedang mandi yang digambarkan dalam karya ini tampak sangat mengena. Terlihat tampak jelas sekali dalam pembuatan bentuknya mengikuti bentuk kayu. Karena kepandaian komposisinya secara menyeluruh, maka karya tersebut dengan kejelasan tentang melukiskan seorang yang sedang mandi. Karya ini, sudah menonjolkan adanya usah untuk membuat kesan gerak dari figur yang ditampilkan. Hal ini, terlihat dari cara penggambaran posisi dari figur tersebut dengan sikap menukik yang kedua tangannya dibuat seakan-akan sedang melakukan keramas. Maka, kalau diperhatikan secara keseluruhan tampak adanya kesan dinamis.
Pendek kata, bahan yang dipakai dari kayu-kayu yang biasanya dianggap sudah tidak berguna lagi. Karena idenya untuk memanfaatkan barang-barang yang sudah tidak berguna itu, maka dalam proses pembuatannya selalu mengikuti bentuk bahan tersebut, dideformasi menurut cita rasanya. Bentuk akar dan sisa-sisa kayu itu pada umumnya bentuknya meliuk-liuk aneh, seringkali karyanya juga rumit dan unik. Tekstur selalu dibikin halus mengkilat seperti halnya karya-karya Ide Bagus Nyana. Dari bahan yang tak terpakai ternyata dapat menjadi barang yang indah dan tinggi nilainya.
Teknik penggarapan karya Geledih sama dengan pemahat-pemahat Bali lainnya, yaitu menggunakan permukaan yang halus dan licin. Hanya dalam gaya, Geledih punya ciri khas yaitu tidak pernah meninggalkan kesan materialnya yang asli. Bentuk kayu semula masih kelihatan, objeknya hanya dideformasi dengan mengikuti lekuk-lekuk serta sifat kayu yang ada. Bagian-bagian tekstur kayu yang menarik dimanfaatkan untuk pencapaian artistik.
Pemahat kreatif ini yang sejak sebelumnya telah menciptakan bentuk patung yang sederhana, tetapi berjiwa dan asli menurut bentuk/ potongan kayu asalnya. Patung ini memiliki bentuk dan susunan yang amat sederhana, tetapi cukup menampilkan bentuk baru dewasa ini. Bentuknya sering mengikuti bentuk/ potongan bahan kayunya yang besar pendek ataupun yang orisinil.
Gaya karya-karya Geledih menjelmakan suatu bentuk watak atau ide yang sederhana. Menonjolkan apa-apa yang murni (esensial), penting dan mengesampingkan atau meninggalkan hal-hal yang berarti. Bentuk patung sederhana, akan dapat memancarkan kekuatan-kekuatan spiritual dan jiwa kebatinan yang kuat. Kalau kita menghadapi serta menikmati patung-patung karya Geledih benar-benar kita merasakan keindahan garis, bentuk, susunan sepotong kayu memiliki jiwa dan nafas.
Mula-mulanya bentuk ini dipandang aneh dan tidak mendapat perhatian di masyarakat pemahat tetapi kemudian yang terjadi adalah yang sebaliknya. Banyak tamu asing (Barat) banyak yang menanyakan dan mencari siapa penciptanya. Patung ini banyak dibicarakan dan sangat digemari oleh tamu-tamu Barat kerena bentuk sederhana itu, menyerupai corak perwujudan patung modern di dunia Barat.
Dalam menciptakan bentuk itu Geledih tidak berdasarkan suatu pertimbangan yang rasionil atau berdasarkan suatu teori. Benar-benar perwujudan patung tersebut merupakan cetusan jiwa yang terpendam. Mulai saat itulah nama pemahat yang kreatif ini mulai menanjak dan akhirnya banyak pemahat Bali yang membuat patung-patung yang diilhami karya I Ketut Geledih.
Di dunia kesenian Barat baru sekali terjadi pengakuan atas mutu seni dari suatu corak perwujudan (style) dalam seni rupa yang halus, yang dengan tegas mengesampingkan hal-hal yang kurang berarti, yang kurang esensial untuk perwujudan watak atau ide dan mempergunakan bentuk yang sederhana untuk menciptakan karya-karyanya. Kalau di dunia kesenian Barat corak Kubisme ini dengan sengaja menjadi dasar pikiran dan titik tolak dari suatu perwujudan seni yang bermaksud berekspresi atau menyatakan sesuatu, patung ini mencapai corak yang menyerupai corak Kubisme itu dari segi dan dasar yang sangat berlainan.
Perwujudan lain dari pada perwujudan Kubisme Barat tidak berdasarkan pertimbangan yang rasional atau suatu teori yan menggunakan pikiran, akan tetapi merupakan suatu letusan dari api yang sudah beberapa waktu sebelumnya berkobar di dalam jiwanya. Letusan yang terjadi dari jiwa seorang manusia yang terpilih oleh suatu kekuatan yang ada dalam alam semesta.
Jiwa seniman yang demikianlah yang kita sebutkan genius terpilih oleh Tuhan untuk menghantarkan umat manusia kearah yang belum terduga. Tidaklah mengherankan bahwa karena perkembangan jiwa beliau sejak dulu sudah menuju ke arah yang sangat kreatif, imajinasi pikiran yang beliau miliki sudah mulai berkembang atau dikembangkan dengan ikut sertanya dalam seni tari, drama wayang yang merupakan suatu bidang kesenian yang dari turun temurun , di mana dengan sendirinya jiwa dari para seniman menikmati keluhuran falsafah-falsafah klasik. Perkembangan itu hanya bercorak klasik pewayangan seperti Dewi Ratih yang di telan Kalarau, Dewi Sita dengan kijang, Rama sedang memanah, Ganesa dan sebagainya.
Sisa Kayu Di Tangan Geledih, Unik Dan Bernilai Tinggi, selengkapnya
by admin | Aug 6, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Gde Made Indra Sadguna, SSn., MSn., Alumni ISI Denpasar
Pengantar
Gambang Kromong merupakan salah satu jenis perangkat musik yang berasal dari DKI Jakarta. Perangkat musik ini dapat digolongkan ke dalam perangkat gamelan. Sebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan Gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu, atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Perangkat musik ini merupakan sebuah produk hasil akulturasi dari budaya Tionghoa dengan pribumi. Hal ini bisa dilihat pada instrumen-instrumen yang digunakan pada perangkat musik Gambang Kromong.
Secara umum, Gambang Kromong disajikan pada pesta-pesta rakyat, perkawinan, pesta tahun baru Cina, serta pada acara Tapekong (tempat peribadatan Cina). Jumlah pemain Gambang Kromong terdiri dari 8 sampai 12 orang pemusik ditambah beberapa penyanyi, penari, bahkan pemain lenong. Gambang Kromong telah mengalami banyak perkembangan pada repertoar lagunya. Hingga sekarang terdapat tiga jenis lagu yang disajikan pada musik Gambang Kromong, yakni lagu Pobin, lagu Dalem, dan lagu sayur.
Lagu-lagu yang dibawakan oleh Gambang Kromong pada awalnya hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu Pobin. Lagu-lagu Pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu tradisional Tionghoa di bagian barat propinsi Hokkian (Fujian) di Cina Selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu tertua dalam repertoar Gambang Kromong. Di antara lagu-lagu Pobin yang kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun sudah sangat langka, adalah Pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng Kiok, serta beberapa Pobin lain yang khusus dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.
Setelah lagu-lagu Pobin, mulai diciptakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu ini disebut lagu Dalem. Lagu-lagu Dalem ini dinyanyikan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Di antara lagu-lagu Dalem yang ada, tinggal Masnah dan Ating (sebagian) yang masih mampu menyanyikannya antara lain: Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, dan Tanjung Burung. Setelah generasi lagu Dalem yang kini telah menjadi lagu klasik Gambang Kromong, generasi selanjutnya adalah lagu-lagu yang disebut lagu sayur. Berbeda dengan lagu Dalem, lagu sayur memang diciptakan untuk ngibing (menari). Beberapa contoh lagu sayur di antaranya adalah: Kramat Karem (Pantun dan Biasa), Ondé-ondé, Glatik Ngunguk, Surilang, Jali-jali (dalam berbagai versi: Ujung Mèntèng, Kembang Siantan, Pasar Malem, Kacang Buncis, Cengkarèng, dan Jago), Stambul (Satu, Dua, Serè Wangi, Rusak, dan Jalan), Pèrsi (Rusak, Jalan, dan Kocok), Centè Manis, Kodèhèl, Balo-balo, Rènggong Manis, Kakang Haji, Rènggong Buyut, Jeprèt Payung, Lènggang Kangkung, Kicir-kicir, dan Siri Kuning.
Laras Gambang Kromong
Pelarasan perangkat gamelan Gambang Kromong menggunakan lima nada (pentatonis) dan bukan tujuh nada (diatonis). Dalam permainannya juga terdengar adanya dua gembyangan. Hal ini juga bisa dibuktikan dengan jumlah pencon pada instrumen Kromong yang berjumlah 10 buah. Jika dalam satu gembyangan terdapat lima nada, maka secara jelas instrumen Kromong memiliki dua gembyangan.
Lima nada pada Gambang Kromong semuanya mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa yaitu: sol (liuh), la (u), do (siang), re (che) dan mi (kong). Tidak ada nada fa dan si seperti dalam musik diatonis. Sedangkan larasnya adalah slèndro yang khas Tionghoa yang disebut Slèndro Cina atau ada pula yang menyebutnya Slèndro Mandalungan. Dengan demikian semua instrumen dalam orkestra Gambang Kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras Slèndro Cina tadi.
Instrumen-instrumen pada Perangkat Musik Gambang Kromong
Seperti dijelaskan sebelumnya, Gambang Kromong merupakan perpaduan antara budaya Tionghoa dengan pribumi. Hal itu dapat dilihat juga pada jenis-jenis instrumen pada perangkat Gambang Kromong. Instrumen Gambang dan Kromong merupakan instrumen yang utama. Instrumen lainnya yang mewakili budaya Tionghoa dapat dilihat pada beberapa alat gesek yaitu Khong Ah Yan, The Yun, sedangkan budaya pribumi diwakili oleh instrumen lokal seperti gong, gendang, kecrek, suling, dan kempul.
Sekilas Tentang Gamelan Gambang Kromong selengkapnya
[IS]