Awal Mula Munculnya Tari Legong Sambeh Bintang

Awal Mula Munculnya Tari Legong Sambeh Bintang

Kiriman Ni Wayan Ekaliani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar

Untuk menjelaskan awal mula munculnya tari Legong Sambeh Bintang ini digunakan teori Religi. Taylor mengungkapkan bahwa religi adalah suatu keper-cayaan atau keyakinan yang dimiliki oleh seseorang yang membuat mereka wajib melakukan sesuatu untuk persembahan baik dalam bentuk perilaku, sesaji  untuk upacara ritual, maupun tarian untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Sang Maha Pencipta Alam Semesta/Tuhan Yang Maha Esa karena mereka meyakini adanya kekuatan gaib di lingkungan sekitar kehidupannya.

Suatu ritus atau upacara religi umumnya terdiri dari kombinasi yang merang-kaikan satu-dua kegiatan. Sebagaimana masyarakat Hindu-Bali ketika mereka melakukan upacara ritual keagamaan, mereka umumnya melakukan upacara ritual keagamaan dengan  mempersembahkan sesaji yang disertai persembahan seni pertunjukan. Mereka akan merasa upacara persembahan yang dilakukannya itu kurang lengkap jika tidak dilengkapi unsur bunyi-bunyian dan tari-tarian. Hal itu juga dilakukan  masyarakat Desa Bangle.  Untuk mensyukuri berkah dan memohon agar pertaniannya tidak diserang hama penyakit, mereka melakukan upacara persembahan kepada para dewata,  setiap enam bulan sekali pada upacara piodalan Ngusaba Desa di Pura Desa yang jatuh pada hari Umanis Kuningan. Sebagaimana diungkapkan I Nengah Wati (70 th), pada wawancara tgl 21 Desember 2010 sebagai berikut.

…penduduk desa ini miskin. Sebagian besar dari kami menghidupi keluarga dari hasil bertani, dan melaut sebagai nelayan. Dari dua mata pencaharian penduduk di desa ini, yang paling sering mendapat cobaan adalah kami yang menggantungkan hidup ini dari hasil bertani. Tanaman kami dulu sering terserang hama penyakit, sehingga kami sering kebingungan karena gagal  panen. Keluarga kami sering kelaparan dan sakit-sakitan. Pada suatu hari, saya mendapat pewisik agar warga di sini menghaturkan sesaji di Pura Desa ini. Saya heran, setelah melakukan upacara di pura itu perlahan-lahan hasil pertanian warga di sini mengalami peningkatan. Sejak itu kami selalu mempersembahkan sesaji di pura itu agar Beliau melindungi kami.

            Dari pernyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Bangle yakin akan adanya kekuatan gaib yang dapat memberi mereka perlindungan dari serangan wabah penyakit.

Semula, masyarakat Desa Bangle hanya memiliki Gamelan Terompong Beruk sebagai pelengkap persembahan mereka di pura. Seiring berjalannya waktu, mereka pun berkeinginan untuk menampilkan pependetan (tari-tarian) pada saat upacara piodalan di Pura Desa tersebut. Sebagaimana diungkapkan I Nengah Wati (70 th), ketika wawancara dilakukan pada tgl 21 Desember 2010, sebagai berikut.

… dulu pada saat upacara piodalan di Pura Desa kami hanya mem-persembahkan tetabuhan (lagu) dari menabuh gamelan Terompong Beruk. Gamelan ini sudah ada sejak zaman kakek saya. Kami tidak tahu secara pasti tahunnya. Tetapi ketika zaman Belanda gamelan ini sudah ada, dan kami hanya meneruskan saja. Kami belajar menabuh gamelan ini secara tradisi, turun-temurun. Semua warga desa, khususnya yang laki-laki, harus bisa memainkan gamelan ini karena kami harus ngayah megamel (menabuh) di setiap upacara piodalan di pura ini.

Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa gamelan Terompong Beruk telah muncul dan berkembang ketika zaman penjajahan Belanda. Karena dibutuhkan untuk digunakan sebagai persembahan di setiap upacara piodalan di Pura Desa, maka warga masyarakat setempat belajar dan mampu memainkan alat musik tradisional tersebut.  Dari penuturan informan tersebut juga dapat diketahui, bahwa walaupun mereka berada dalam kondisi serba terbatas baik dalam pengetahuan  maupun  sarana yang dimimilikinya, namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk hidup berkesenian.

Penyajian bunyi-bunyian berupa gamelan ini berlangsung cukup lama. Sampai suatu ketika tetua pura yang bernama I Nyoman Karang (75 tahun) mem-punyai gagasan untuk meramaikan upacara Usaba Desa tersebut dengan memper-sembahkan tari-tarian. Desa tersebut tidak mempunyai gamelan lain selain Terom-pong Beruk maka tarian yang ditampilkan oleh para pemedek (warga yang bersembahyang) di pura tersebut menari diiringi Gamelan Terompong Beruk. Sebagaimana diungkapkan oleh informan I Nyoman Kaler pada sebuah wawancara yang dilakukan di rumahnya tgl 21 Desember 2010, pukul 10.00 wita menuturkan sebagai  berikut:

“… ketika upacara piodalan sedang berlangsung, saya lupa tahunnya, ada petunjuk dari Beliau agar kami mempersembahkan tari-tarian untuk persembahan kepada para dewata. Saya bingung pada waktu itu. Ketika itu seketika ada inisiatif, agar para warga (para gadis) yang datang sembahyang di pura ini menari di hadapan pelinggih ini.  Maklum anak-anak itu bukan penari, jadi mereka melakukan secara seadanya, sebagaimana yang ditampilkan itu”.

Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa tari Legong Sambeh Bintang ini memang diciptakan untuk tari persembahan kepada para dewata, yang dipentaskan masyarakat setempat di setiap upacara piodalan Ngusaba Desa, di Desa Bangle, Abang, Karangasem.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat penyungsung pura itupun merasa perlu mempersembahkan tari-tarian selain tetabuhan pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa itu dilaksanakan. Mereka berkeyakinan bahwa dengan mempersem-bahkan sesaji dilengkapi tetabuhan dan tari-tarian para dewata penguasa alam di desa tersebut akan  merasa lebih senang, dan berkenan mengabulkan permohonannya yakni diberi perlindungan agar pertanian mereka tidak diserang hama penyakit. Untuk itu, mereka pun berupaya menampilkan tari-tarian seadanya diiringi Gamelan Terompong Beruk pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa yang jatuh tiap enam bulan sekali tepatnya pada hari Umanis Kuningan.

            Berawal dari mempersembahkan Gamelan Terompong beruk yang mereka buat dari batok kelapa, masyarakat setempat mulai berkreasi menciptakan sebuah tarian yang walaupun dilakukan dengan ragam gerak bebas dan seadanya, mereka bangga akan kesenian yang mereka miliki itu. Hal itu tampak dari ekspresi dan sikap masyarakat setempat ketika mereka mempersembahkan tarian tersebut di setiap upacara piodalan Ngusaba Desa, di Pura Desa, desa setempat. Hal itu diperkuat oleh pernyataan salah seorang informan bernama I Nyoman Kaler (75 tahun) pada wawancara tgl 21 Desember 2010, pukul 10.00 wita yang menuturkan sebagai berikut.

“untuk melengkapi persembahan sesaji yang kami haturkan kami selalu mempersembahkan Tari Legong Sambeh Bintang diiringi Gamelan Terompong Beruk pada upacara piodalan di Pura Desa”.

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat di Desa Bangle, Karangasem sejak dahulu telah hidup berkesenian untuk persembahan kepada para dewata.  Hal senada juga dikemukakan oleh salah seorang seniman tua yang ada di Desa Bangle, bernama Ni Luh Rongket (80 tahun), pada wawancara yang dilakukan di rumahnya tanggal 10 Desember 2010, pukul 14.00 wita menuturkan sebagai berikut.

“tari Legong Sambeh Bintang ini sudah ada sejak saya lahir.  Menurut Ibu saya, penari pertama tarian ini adalah nenek saya ketika beliau masih gadis. Katanya beliau didapuk menarikan tarian ini di depan pelinggih pura ketika upacara piodalan berlangsung. Kira-kira hal itu terjadi pada zaman penjajahan Belanda”.

Dari pernyataan tersebut dapat di ketahui bahwa awal mula munculnya tari Legong Sambeh Bintang ini kira-kira ketika zaman penjajahan Belanda, yakni pada tahun 1920-an.  Sejak awal muncul dan berkembangnya tari Legong Sambeh Bintang yang hingga kini tetap disakralkan masyarakatnya ini ditarikan oleh para gadis (daha) yang belum mengalami akil balik. Sebagaimana diungkapkan oleh informan bernama I Ketut Puger, salah seorang seniman Desa Bangle pada sebuah wawancara yang dilakukan tanggal 5 Desember 2010, yang menuturkan antara lain sebagai berikut.

“Tari Legong Sambeh Bintang ditarikan oleh 50 orang gadis yang belum mengalami akil balik dan belum potong gigi. Kira-kira umur mereka 10-13 tahun.  Namun walaupun penari yang diperbolehkan menarikan tarian ini belum mengalami akil balik, tetapi jika mereka masih terlalu kecil (tangan mereka belum dapat menyentuh apit-apit Bale Agung) yang ada di Pura Puseh, desa setempat, merekapun tidak diperkenankan menarikan tarian ini”.

Awal Mula Munculnya Tari Legong Sambeh Bintang selengkapnya

Seni Tradisi: Modal Budaya Membangun Karakter Bangsa Melalui  Rekonstruksi  Kreatif  Dan  Dekonstruksi  Kritis (Bagian II)

Seni Tradisi: Modal Budaya Membangun Karakter Bangsa Melalui Rekonstruksi Kreatif Dan Dekonstruksi Kritis (Bagian II)

Kiriman: Kadek Suartaya, S,S.Kar, M.Si., Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar.

Disampaikan pada seminar dalam rangka kegiatan dies natalis dan wisuda tahun 2011

III. Rekonstruksi-Dekonstruksi

Sejatinya, khasanah seni tradisi adalah mata air yang mengalirkan dahaga berkreasi. Kontinuitas pelestarian dan pengembangan kesenian di Bali lazimnya berorientasi pada nilai-nilai estetika dan konsep-konsep artistik dari kesenian tradisi yang telah teruji zaman tersebut. Gambuh misalnya, bertransformasi menjadi Arja dan Legong. Konsep klasik Legong kini dielaborasi menjadi beragam tari palegongan. Begitu pula dalam seni karawitan. Konsep dan pola-pola musikal dalam gamelan Gambuh mengejawantah dalam gamelan Semarapagulingan. Repertoar yang dimiliki Gong Gede disajikan lebih segar dan kreatif dalam gamelan Gong Kebyar. Kini di tengah dinamisnya perkembangan Gong Kebyar, tak sedikit yang mengeksplorasi elemen-elemen yang terdapat dalam gamelan tua seperti Gambang, Slonding, atau Gender Wayang.    Kesenian tradisi-klasik yang menyimpan nilai estetik nan luhur,  lebih-lebih yang telah terpuruk langka, patut digali, direkonstruksi, direvitalisasi dan dibanggakan di tengah lingkungan komunitasnya serta dalam publik lebih luas seperti PKB.  Uluran tangan Pemda Bali dalam konteks PKB merekontruksi dan merevitalisasi bentuk-bentuk seni tradisi tentu patut dihargai. Ini merupakan tonikum yang  diharapkan menggeliatkan kesenian yang tergolek merana itu untuk beringsut menyapa fenomena kehidupan. Sayangnya yang terjadi selama ini di lapangan, sering wajah kusut dan aroma masainya hanya segar dan wangi  sekelebat saja. Hasil rekontruksi sebuah kesenian langka  yang diuji coba dipentaskan, seusai dipertontonankan, umumnya kembali lunglai. Kontekstualisasi hasil rekontruksi sebuah kesenian dengan komunitas pendukungnya tak terjalin.

            Rekontruksi dan revitalisasi bentuk-bentuk seni tradisi, selain dengan penguatan estetik-konseptualnya, kiranya sanggaan penguatan sosial-kultural dan psikis-mental yang berkorelasi dengan kesenian tersebut semestinya juga dibangun. Secara sosial-kultural, kepada para pelaku seni dan komunitasnya ditumbuhkan semangat kebersamaan memaknai nilai-nilai estetik dan etik yang dilandasi kasih damai. Secara psikis-mental, di kalangan pegiat seni dan masyarakat pendukungnya disemai kembali psiko-estetik dan psiko-relegi yang dapat meneguhkan mentalitas penyayang terhadap keagungan budaya tradisi, seni tradisi yang unggul.

            Adalah drama tari Gambuh, teater tua yang diakui sebagai mata air seni pertunjukan Bali, masih mampu bertahan dari kepunahannya di Desa Batuan, Sukawati, dalam sanggaan karakteristik para pelaku seni dan masyarakat pelestari budaya. Di Batuan, seni pentas kehormatan pada era kejayaan kerajaan Bali itu kini digeluti sebagai persembahan seni dan juga dipertahankan sebagai seni persembahan ritual keagamaan.

Era baru semestinya tak melumpuhkan karakter bangsa. Beruntung, semangat untuk memperkuat karakter diri, masyarakat, dan bangsa itu masih terasa cukup membuncah di Pulau Dewata. Gairah berasyik masyuk dengan seni tradisi masih menyala-nyala di tengah masyarakat Bali. Kekhusukan ritual keagamaan masih dimeriahkan oleh persembahan seni ngayah. Para seniman Bali masih jengah mengawal dan mengembangkan warisan seni leluhurnya. Pemerintah Bali pun masih bergairah menyokong Pesta Kesenian Bali (PKB) yang direspons riuh masyarakat. Suara gamelan masih mengalun dan lenggok tari masih mengumbar senyum di Pulau  Kesenian ini.

Penulis buku Island of Bali (1937), Miguel Covarrubias, mengagumi masyarakat Bali sebagai orang-orang yang berbakat seni. Menurut peneliti asal Meksiko tersebut, stimulasi estetis itu terekspresi dalam segala aspek kehidupan. Emosi berkesenian tersebut biasanya membumbung dalam ritus keagamaannya. Hampir dalam setiap upacara agama Hindu di Bali disertai persembahan seni. Tak berlebihan bila dikatakan pasang surut dan bahkan hidup mati kesenian Bali disangga oleh psiko-relegi dalam implementasi upacara-upacara agama. Beragam jenis kesenian seperti sastra, teater, musik, tari hingga seni rupa menyembul, mengkristal, dan menggeliat di tengah atmosfir relegiusitas seperti itu.

Kesenian  Bali merupakan  bagian  penting dari kehidupan masyarakat Bali  yang sudah  diwarisi  sejak  zaman  lampau. Hampir  semua jenis kesenian Bali mengandung tendensi  untuk menunjang   dan  mengabdikan kehidupan  agama  Hindu. Di tengah masyarakat Bali pada umumnya, hasrat berkesenian dan menyimak kesenian tampak tumbuh dan berkembang sejak masa bocah. Ini berarti pendidikan karakter tunas-tunas bangsa itu sudah bersemi sejak dini. Oleh karena itu, berkesenian dalam konteks ritual keagamaan dan berkesenian dalam presentasi estetik festival, parade atau lomba patut terus digelorakan, semuanya memiliki andil membentuk karakter manusia Bali.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang  terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan  yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan  karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan.

Bertakwa, bertanggung jawab, berdisiplin, jujur, sopan, peduli, kerja keras, sikap baik, toleransi, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, menghargai, bersahabat, dan cinta damai, adalah karakter postif sebuah bangsa. Agama dan budaya merupakan dua pondasi karakter bangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. Selain dari agama, bahwasannya tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Menggali akar kebudayaan dan kesenian dari dialektika imajinasi dan pemikiran kreatif suatu bangsa, menjadi proses yang bisa diarahkan bagi ikhtiar pembentukan karakter bangsa sebab kesenian berkembang tak lepas dari proses perjalanan sebuah bangsa. Seni dalam segala perwujudannya merupakan salah satu ekspresi proses kebudayaan manusia, sekaligus pencerminan dari peradaban suatu masyarakat atau bangsa pada suatu kurun waktu tertentu. Karena seni, bagaimanapun, merupakan bagian langsung dari kehidupan manusia yang sama penting dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Jejak peradaban suatu bangsa berkembang selaras dengan perkembangan kebudayaannya. Di dalamnya perkembangan seni tradisi, sains, dan teknologi. Seni tradisi dalam banyak hal dipengaruhi oleh orientasi nilai hidup manusia dalam proses interaksinya dengan alam, manusia sesama, dan Tuhan. Itulah sebabnya pada seni tradisi, kita temukan begitu banyak aspek. Antara lain spiritualitas, magis, dan kebiasaan-kebiasaan alamiah.

Di tengah terjangan budaya global sekarang ini, pemberdayaan dan penguatan terhadap keberadaan seni tradisi rupanya perlu segera diupayakan. Kesenian Bali pada umumnya, seni tradisi khususnya, harus melakukan reposisi kultural yaitu mencari posisi politik di tengah masyarakat lokal, benteng pertama dan terakhir yang mengawal legitimasinya. Nilai-nilai tradisi yang selama ini dianggap tidak berubah, orisinil, abadi, langgeng, dan a-historis kini dituntut untuk menemukan posisi dan maknanya yang baru. Karena itu disamping langkah rekonstruksi, upaya dekonstruksi juga mesti dilakukan. Dekonstruksi dilakukan pada seni tradisi bukan dalam pengertian ekstrim pembongkaran dan penghancuran melainkan melalui reinterpretasi dan inovasi. Pemikiran ini dilandasi bahwa kesenian adalah murupakan proses kebudayaan yang selalu dinamis dan akan berpeluang  eksis dalam sanggaan kreativitasnya.

Kreativitas merupakan proses mental dimana pengalaman masa lampau dikombinasikan kembali, sering dalam bentuk yang diubah sedemikian rupa sehingga timbul pola-pola baru, bentuk-bentuk baru yang lebih baik untuk mengatasi kebutuhan tertentu. Proses kreatif dimulai dari dalam diri manusia berupa pikiran, perasaan atau imajinasi kreatif manusia kemudian dituangkan menggunakan media dan teknik tertentu, sehingga melahirkan karya-karya kreatif Secara luas kreativitas bisa berarti sebagai potensi kreatif, proses kreatif dan produk kreatif. Proses kreativitas melalui kegiatan seni adalah jalan sebaik-baiknya yang dapat dilakukan sebab melakukan kegiatan seni berarti terjadi suatu proses kreatif.

Proses berkesenian dekonstrukstif dalam seni pertunjukan Bali telah dikobarkan oleh I Ketut Marya pada tahun 1920-an. Ingatlah kembali bagaimana proses kreatif Marya menciptakan tari Kebyar Duduk. Sebagai seniman berbasis seni tradisi klasik, ia menginterpretasikan tabuh-tabuh instrumental gamelan Gong Kebyar yang kemudian mengkristal menjadi tari baru yang dikenal sebagai Kebyar Duduk. Tatanan tari tradisi diterobosnya namun identitas estetik tari Bali lebih diberi artikulasi artistik. Tari Kebyar Duduk dan atau kemudian jadi tari Terompong menjadi tonggak pembaharuan tari jenis kebyar. Demikian pula apa yang dilakukan I Wayan Limbak di Bedulu pada tahun 1930-an terhadap tari yang kini disebut Cak. Didorong oleh Walter Spies, ia mendekonstruksi koor cak dalam ritual penolak bala Sanghyang menjadi tari Cak turistik. Bahkan reinterpretasi pada Cak kembali dilakukan oleh Sardono W. Kusumo  tahun 1972  di Banjar Teges Kanginan, Ubud,  dalam pertunjukan yang disebut Cak Rina.

Di masa kini, ada beberapa dekonstruksi pada seni pertunjukan tradisional Bali yang berhasil diterima masyarakat. Sendratari PKB dibangun dari semangat dekonstruktif. Elemen-elemen utama yang menjadi konstruksi sendratari yang baru muncul di Bali pada tahun 1962 itu ditunjang oleh seni tradisi. Penampilan sendratari dipanggung yang lebar dengan disaksikan ribuan penonton mengharuskan seni pertunjukan ini mendekonstruksi dirinya menjadi seni pentas dalam sajian estetik global-kolosal. Adi Merdangga yang muncul tahun 1984 dan hingga kini menjadi ujung tombak pawai PKB adalah kreativitas seni yang merupakan dekonstruksi dari seni tradisi gamelan Balaganjur. Seni tradisi wayang kulit pun tak luput dari adanya semangat dekonstrukstif seperti munculnya garapan wayang inovasi di ISI Denpasar yang kini tampak berhasil ditata apik-komunikatif oleh salah satu alumnusnya, I Wayan Nardayana yang populer dengan sebutan dalang Cenkblonk (baca: cengblong).

IV. Kreatif-Kritis

            Seni tradisi adalah gudang penyimpanan makna-makna kebudayaan masyarakat pendukungnya, memiliki kontribusi penting membangun karakter bangsa di tengah era globalisasi. Secara bentuk dan isi, seni tradisi merupakan media komunikasi spesifik yang  mengandung nilai-nilai estetik dan moral yang merefleksikan kebeningan nurani dan pencerahan budhi, dua pondasi utama dari kualitas konstruksi karakter bangsa. Untuk tampil sebagai budaya tanding globalisasi, seni tradisi sudah seharusnya mencari posisi strategis atau reposisi kultural yang merepresentasikan dirinya sebagai modal budaya jati diri bangsa. Aktualisasi seni tradisi dalam konteks membangun karakter bangsa dalam pengejawantahan jati diri bangsa di tengah transformasi budaya dan hegemoni budaya massa itu memerlukan idealisme berkesenian yang konstrukstif-prospektif. Ekspresi artistik dalam seni tradisi harus direkonstruksi secara kreatif. Nilai-nilai estetik yang mengendap pada seni tradisi tak ditabukan didekonstruksi secara kritis.

DAFTAR  PUSTAKA

Bastomi, Suwaji, 1992. Wawasan Seni. IKIP Semarang Press, Semarang.

Dibia, I Wayan, 1999. Seni Diantara Tradisi dan Modernisasi, STSI Denpasar,

         Denpasar,

Lubis, Mochtar. 1992. Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia. Yayasan Obor

         Indonesia, Jakarta.

Murgiyanto, Sal, 2004. Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia,

         Wedatama Widya Sastra, Jakarta.

Piliang Yasraf Amir, 2000. Global/Lokal: Memperhitungkan Masa Depan (dalam Jurnal

         MSPI Th X 2000), Bandung.

———————–, 2005. Penguatan Seni Pertunjukan Tradisi dalam Era

        Merkantilisme Budaya (dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pedekatan

        Emik), STSI Surakarta, Surakarta.

Wolff, Janet (dalam Joost Smiers), 2009. Art Under Pressure: Memperjuangkan

        Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi (terj. Umi Haryati), INSISPress,

       Yogyakarta.

                                                 *Paper ini disajikan pada dies natalis ISI Denpasar tahun 2011, Senin, 25 Juli 2011.

Seni Tradisi: Modal Budaya Membangun Karakter Bangsa Melalui  Rekonstruksi  Kreatif  Dan  Dekonstruksi  Kritis, selengkapnya

Revitalisasi Seni Tradisional  Dalam Kreativitas Seni Rupa Dan Desain  (Bagian II)

Revitalisasi Seni Tradisional Dalam Kreativitas Seni Rupa Dan Desain (Bagian II)

Revitalisasi Seni Tradisional  Dalam Kreativitas Seni Rupa Dan Desain  Sebagai Upaya Membangun Karakter Bangsa Di Era Global (Bagian II)

Kiriman I Made Gede Arimbawa, Dosen PS. Kriya Seni, ISI Denpasar

Kreativitas Seni Rupa dalam Konteks Membangun Karakter Bangsa

Sebagai anggota masyarakat dunia, Indonesia pasti tidak dapat hidup dengan mengisolasi diri dari pergaulan internasional. Andaikata isolasi diri itu terjadi, sudah dapat dipastikan Indonesia tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Oleh sebab itu, dalam proses globalisasi dibutuhkan kemampuan untuk menerima perubahan yang mutlak akan terjadi. Tanpa hal tersebut, masyarakat Indonesia dan kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah. Laju perubahan yang terjadi saat ini berlangsung relatif cepat. Hanya dalam jangka waktu satu generasi masyarakat di Indonesia telah banyak mengalami perubahan kebudayaan, padahal di negara-negara maju perubahan tersebut berlangsung selama dalam beberapa generasi.

Dalam kondisi tersebut, tanpa disadari banyak seni tradisional nusantara  kehilangan fungsi. Dieksplorasi dengan tanpa kendali untuk kebutuhan lain. Pada hal banyak diantara karya seni tradisional Indonesia mengandung nilai adhiluhung yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral dan merupakan salah satu agen penularan dan penanaman nilai-nilai karakter bangsa. Karya-karya seni rupa tradisional banyak mengalami komodifikasi, yakni suatu proses yang biasanya dikaitkan dengan kapitalisme di mana objek-objek, kualitas-kualitas dan tanda-tanda dimanipulasi dan diubah menjadi komoditas dengan tujuan untuk diperjual belikan (Sutrisno, 2007). Hal tersebut merupakan ancaman bagi kesenian tradisional, sebab berdasarkan kajian semiotis, pada sikulasi pasar budaya global, karya seni yang keluar dari komunitas bukan lagi sebagai petanda, tetapi sebagai penanda dari seni tersebut, misalnya: hasil karya seni dari Jepara, Kasongan, Bali dan sebagainya. Tanda tidak lagi berisi secara esensial apa yang disebut sebagai nilai atau makna dalam konteks seni tradisi sebagai simbol. Masyarakat konsumen tidak perlu memikirkan tentang seluk-beluk konvensi dari tanda yang buat komunitas asalnya, tidak peduli “mau dipakai untuk apa tidak ada hubungannya dengan bagaimana seharusnya dipakai”. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Baudrillard (1981), bahwa dalam kondisi se­perti tersebut justru nilai guna sering kali tidak lebih dari semacam jaminan praktis (alibi). Konsumer terkadang bukan lagi mencari konteks makna, sehingga menyebabkan terjadi ketidakstabilan penanda dan petanda yang telah mapan.  Oleh sebab itu, maka antara kreativitas seni rupa dan desain dalam konteks “komodifikasi” yang berimplikasi moneter dengan usaha mempertahankan  kembali nilai seni tradisional dibutuhkan suatu stategi agar kedua hal yang dikotomis dapat berlangsung secara harmonis.

Sehubungan dengan upaya membangun karakter bangsa, maka dalam kreativitas seni dan desain perlu dilakukan sikap dan tindakan misalnya sebagai berikut:

  1. Preservasi atau usaha melestarikan atau melindungi bentuk dan nilai-nilai yang dikandung dalam seni tradisional secara utuh atau paripurna, Khususnya seni rupa yang terkait dengan adat-kepercayaan masyarakat di setiap etnik nusantara. Merupakan ha­sil kebudayaan unggul (height culture) hendaknya di­posisikan sebagai spirit atau basis kreativitas seni yang kaya inspirasi, kokoh identitas, kuat modal budaya yang meng­konstruksi, mengintegrasi dan menyeimbangkan, se­hingga tidak tergerus oleh mekanisme komersialisasi semata, seperti: karya seni rupa yang dikeramatkan sebagai sarana ritual berupa simbol-simbol yang dibuat dengan dilandasi filosofi keagamaan atau kepercayaan masyarakat setempat. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan esensialisasi, karena dalam karya-karya seni tradisional tersebut ada kebenaran yang stabil dan masih mapan atau eksis dalam masyarakat pengusungnya dan tidak bertentangan dengan idiologi Pancasila, sehingga perlu re-interpretasi atau digali kembali melalui penelitian yang mendalam.
  2. Revitaslisasi: suatu proses, cara menghidupkan atau menggiatkan kembali (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994). Dalam kaitan ini dimaksudkan menghidupkan berbagai seni rupa tradisional dengan memberi “energi” baru, khususnya terkait dengan penciptaan karya seni atau desain yang dikomodifikasi. Dalam proses tersebut ada kemungkinan akan tercipta karya yang mengarah postmoderndan kontemporer yang dilakukan dengan:
    1. Dekonstruksi, yakni suatu strategi untuk membongkar menjadi elemen-elemen seni tradisional dan kemudian menyusun kembali untuk tujuan menciptakan karya seni rupa dengan bentuk dan makna baru (Derrida dalam Donnell, 2003).

b. Stilisasi  proses penggayaan karya seni rupa tradisi untuk menemukan bentuk-bentuk baru,

  1. Eklektik: dalam bahasa Yunani disebut eklek­tikos, Perancis eklegein berarti:(1) memilih yang di­pandang terbaik dari berbagai doktrin, metode, sistem, atau gaya. (2) mengkomposisikan beberapa elemen yang diambil dari berbagai sumber (Webster, 1983). Dalam hal ini dilakukan dengan memilih elemen-elemen seni rupa tradisional dan diterapkan pada seni atau desain yang diciptakan dewasa ini.
  2. d.  Bricolage proses pemaknaan ulang (re-significantion) dari tanda-tanda budaya dengan makna yang sudah mapan diorganisasikan kembali memnjadi kode-kode makna yang baru dalam konteks yang lebih segar. Dalam kreativitas seni rupa dan desain memanfaatkan elemen-elemen seni tradisional diorganisir menjadi karya baru. Dalam proses tersebut tidak menutup kemungkinan memfusikan elemen seni rupa dari luar etnis.

Dalam proses kreativitas seni rupa dan desain yang dilakukan dengan cara tersebut, jika tanpa kendali, jelas akan terjadi interaksi ironi antara tindakan ‘preservasi’ dengan ‘revitalaisasi’. Oleh sebab itu, maka dalam mengimplementasikan dibutuhkan filtrasi agar tidak terjadi benturan dengan norma-norma yang berlaku pada masyarakat setempat berupa kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Kearifan (wisdom) secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007).

Di samping kedua proses tersebut, dalam kreativitas penciptaan seni rupa dan desain di era global juga perlu memberi ruang untuk berkembangnya karya-karya seni rupa dan desain yang “inovasi”. Dalam hal ini dimaksudkan penciptaan karya seni atau desain yang tidak bersumber dari seni tradisional. Betul-betul merupakan hasil imajinasi para seniman atau desainer masa kini. Dari paparan tersebut secara keseluruhan dapat digambarkan seperti bagan berikut.

III Penutup

Dalam proses kreativitas seni rupa dan desain dalam era global terkait dengan membangun karakter bangsa, di satu sisi perlu usaha untuk memperkokoh dan memelihara struktur nilai-nilai  yang dikandung pada seni tradisi. Khususnya seni tradisi yang berupa simbol-simbol atau sarana terkait kepercayaan masyarakat setempat. Salah satunya dilakukan dengan tindakan preservasi seni tradisional. Di sisi lain agar tidak dieliminasi oleh budaya asing pelu dilakukan revitalisasi dengan menghidupkan seni tradisi dan memberi “energi” baru.  Dari tindakan tersebut diharapkan dapat tercipta karya seni dan desain yang mencerminkan karakter bangsa. Selain itu juga perlu memberikan ruang untuk berkembangan karya-karya inovasi baru, dalam artian karya-karya  yang tidak bersumber dari seni tradisional. Betul-betul merupakan hasil imajinasi para seniman atau desainer masa kini.

Daftar Pustaka

Barker, C. 2003. Cultural Studies: Theory and Practice. New Delhi: Sage Publisher.

Baudrillard, J. 1981. For Critique of The Political of Economy of The Sign, USA: Telor Press.

Bridging World History, 2004. Global Popular Culture [site: 26th Maret 2011] Available At:URL: http://www.Learner.Org/Courses/Worldhistory/Unit_Sources_25.Html

Budiyanto. 1997. Dasar-Dasar Tata Negara. LAN

Donnell, K. 2003. Postmodernism (terjemahan) Oxford: Lion Publihing.

Geertz, C. 1992.  Kebudayaan dan Agama, (terjemahan), Yogyakarta:  Kanisius Press

Hamid,  H.S. 2010.  Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum

Hartiti, R.T, 2010. Membangun Karakter Siswa Melalui Pembelajaran Batik Di Sekolah. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Dalam rangka Dies Natalis Ke 46 Universitas Negeri Yogyakarta 2010

Held, D, at. al, 1999. Global Transformations, Cambridge:Polity Press.

Kamus Besar Bahasa Indonesia 1994. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.

Kusuma, D.A. 2007, Pendidikan Karakter. Jakarta: Gramedia Widisarana Indonesia.

Moumier. E. 1956. The Character of  Man. New York: Haiper dan Brothers.

Nafi, M., 2004, Indonesia Perlu Siap Hadapi Globalisasi Ketiga, [site: 17th Maret 2011] Available from:URL:http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/12/ 13/brk,20041213-29,id.html.

Ridwan, N. A. 2007. ‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, Jurnal IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.

Robertson, R. 1991. “The Globalization Paradigm: Thinking Globally”  in Religion and Social Order. Greenwich: JAI Press.

Sutrisno, M. 2007.Cultural Studies, Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan. Jakarta: Koekoesan.

Webster, M. 1983. Webster,s  E-Collegiate Dictionary, USA

Yasraf Amir, P., 2005. Menciptakan Keunggulan Lokal untuk Merebut Peluang Global, Sebuah Pendekatan Kultural. Disampaikan dalam Seminar:“Membedah Keunggulan Lokal dalam Konteks Global”.Tanggal: 26 Juli 2005. Diselenggarakan oleh Institut Seni Indonesia Denpasar.

[email protected]

Revitalisasi Seni Tradisional  Dalam Kreativitas Seni Rupa Dan Desain  Sebagai Upaya Membangun Karakter Bangsa Di Era Global, selengkapnya

Rangkain Sesaji Dan Flora Bali

Rangkain Sesaji Dan Flora Bali

Kiriman: I Made Sumantra, SSn., Dosen PS. Kriya Seni ISI Denpasar.

Sejak dulu apa yang dikerjakan orang Bali itu serba indah bahkan memukau, tetapi baru pada sekitar dasawarsa 1930-an dikenal sebagai karya seni. Selama berabad-abad sebelumnya, orang Bali tidak menyadari bahwa kegiatan mereka dalam memahat, mengukir, melukis, menari, olah kerawitan, merangkai sesaji dan sebagainya, itu merupakan kegiatan-kegiatan berkesenian yang menghasilkan karya-karya seni. berlandaskan ajaran agama Hindu dan falsafah Bali, mereka hanya merasa wajib untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan tersebut sebagai penunjang perwujudan persembahan kepada para dewa. Oleh karena itu segalanya dibuat seindah dan sesempurna mungkin untuk menyenangkan dewa-dewa itu.

Kehidupan berkesenian orang Bali bertumpu kepada keyakinan Hindu-Bali, sehingga dalam bentuk perwujudannya yang mana tersirat tema-tema maupun penyimbolan keyakinan itu. Dengan demikian seni rupa, seni tari dan seni kerawitan, seni sastra dan lain-lain secara umum bercorak pemujaan. Satu di antara karya dalam kesenirupaan yang sangat populer ialah pembuatan penjor. Dalam bentuk yang sekecil apapun kreativitas ini menyiratkan nilai-nilai artistik-estetik yang menarik, yang menurut pengistilahan  barat  sangat layak untuk dikatagorikan sebagai seni tersendiri yaitu seni sesaji (the art of offering arrangement). Penjor dinilai sebagai ”rangkaian sesaji” yang tidak saja indah tetapi juga sangat baik dengan nilai-nilai keagamaan maupun falsafah hidup, dan berciri khas Bali. Karena itu lebih dikatagorikan sebagai desain floral (floral design).

Sebagai rangkaian sesaji sudah tentu punya pakem yang baku, baik dalam konsep maupun tekniknya. Pakem ini sudah dipatuhi turun-temurun secara luas, sehingga sampai kini hampir tidak mengalami sentuhan perubahan yang signifikan. Karena itu kemudian disebut sebagai rangkaian tradisional Bali, berwujud rangkaian sesaji (Penjor).

Pada sekitar tahun 1970-an, sebagai konsekuensi kontak kebudayaan dengan budaya dari luar Bali maupun mancanegara, muncul bentuk-bentuk rangkaian bunga yang sama sekali berbeda dengan rangkaian  tradisional itu. Rangkaian corak baru ini sama sekali tidak berdasarkan konsep apapun kecuali semata-mata hanya sebagai kreasi tata-indah bunga (flower arrangement) yang dibuat guna memuaskan kebutuhan bathiniah yang merindukan keindahan. Mula-mula hanya ibu-ibu rumah tangga dari kalangan ”menengah ke atas” sebagai pengisi waktu luang sambil menantikan suami pulang kantor. Kegiatan ”iseng” ini kemudian makin populer dan serius, sehingga sejak dasawarsa terakhir abad yang lalu bermunculan kursus-kursus merangkai bunga, disusul dengan seminar-seminar dan demo di hotel-hotel berbintang. Menjelang pergantian melinium yang baru lalu timbul usaha peningkatan derajat perangkai bunga, dari sekedar flower arragement menuju floral design, sebagai yang terlihat dalam acara-acara perkawinan sekarang.

Sebagai karya desain, desain floral dilandasi konsep yang jelas. Kerana desain floral bukan lagi sekedar tata-indah bunga melainkan merupakan suatu karya yang mengungkapkan tema atau makna tertentu. Dengan kata lain, merupakan karya yang mengekspresikan sesuatu, apakah keharuan estetis, ataukah makna agamawi/filsafati. Jadi, karya yang ”berbicara” seperti halnya karya cipta seni. bedanya dengan rangkaian sesaji ialah bahwa floral design yang baru ini cenderung merupakan bentuk ekspresi bebas dan begitu pula bentuk strukturnya tidak terkekang oleh pakem-pakem tertentu. Sekedar untuk membedakan penggolongannya, penulis menggunakan istilah ”rangkain sesaji” untuk yang tradisional, dan ”desain floral Bali” untuk kreasi-kreasi baru itu. Dalam hal ini, ”Bali ” tidak selalu mengacu kepengertian gaya (paling tidak untuk sementara ini). Maksudnya, ada karya yang dikemas dalam bentuk tradisional berversi baru, ada yang hanya semata-mata elemen-elemen floral Bali dan produk aksesoris Bali.

Rangkain Sesaji Dan Flora Bali, selengkapnya

Biography of Colin McPhee (Part II)

Biography of Colin McPhee (Part II)

Post By. I Wayan Sudirana, Ph.D Candidate, ISI Denpasar Alumni

            After McPhee’s year of composing Tabuh-Tabuhan in Mexico, he continued to write several articles about Indonesia as well as working as a jazz critic. Around 1937, he returned to Bali to continue his research on Balinese music and culture. He was eager to begin further study of the older music of the island, especially the music that is related to a ritual context. Together with I Made Lebah, he had a plan to form a group in sayan for the sole of purpose of reviving the gamelan Semara Pegulingan (McPhee 1979 : 187). This music was very rare in the island, because of the influence of kebyar style, a style that was becoming the most popular, causing villages to upgrade their old ensembles into kebyar instruments. It was McPhee’s desire to help encourage the Balinese to maintain the old styles of their own music that were in danger of extinction. The result of this idea was the formation of a children’s music association in Sayan village. He gathered all of talented children from sayan, and provides a teacher from outside of the village to teach them as a group, as well as facilitating them with a set of instruments to learn one particular old style of music that was rare in the island.

            By the time he went back to New York at the end of 1938, (because of the prediction of World War II), his “pocket” was already full with research data on music and culture of Bali. He met Benjamin Britten in New York in 1940, and after exposing him to Balinese music, McPhee’s transcription for two pianos of Balinese gamelan music have been published through Schirmer’s Library of Recorded Music. Under the title of Balinese ceremonial music, this album includes the music of shadow play, arja flute melodies, and the ceremonial music, which open the temple festival.  He also arranged Britten’s Variations on a Theme of Frank Bridge for two pianos. The particular aspect of Britten’s music under consideration is because of the effect of his exposure to the music and theater of Bali and Japan, the former thanks to McPhee.

            In 1947, “A House in Bali” was published, an autobiography of McPhee’s life during his time in Bali. This book told the story of how McPhee became interested in Balinese music for the first time by listening to a recordings, how he decided to sail to Bali, how he became fascinated with the culture, music, and the fresh and friendly environment of the village, and primarily what he was doing during five years in Bali. This book is mainly concern about giving the idea or the picture of the Balinese as well as their customs. In the explanation on that idea, he described how dancers, singers, and musicians were trained to be a performer, how they organized performances, how they should obligate to perform at the village temple and how the music related to the culture and religion.

            A year after “A House in Bali” was published, “A Club of Small Men”, McPhee’s other book, was published as well. In this book, McPhee described a group of Balinese children from the mountain village of sayan, five to eight years old, who wanted to make music as well as adults. They looked on when their fathers played gamelan and wished that later on they could also play like that (McPhee 1948: 11). By looking at this situation and how the children has a strong desire to have their own group, McPhee helped them to obtain an orchestra as well as find a master teacher, who knew a many repertoire, from other side of the island. They were to become very well known because they were often asked to play in the temple festival. McPhee also provides great photographs and drawings that illustrate the story.

            During the 1950s and until 1962, McPhee was busy composing many different pieces for western ensembles, such as Transition for Orchestra, first performed by the Vancouver Symphony Orchestra under the conductor of Irwin Hoffman in 1955, and three scores for documentary films commissioned by the United Nations. His Nocturne for Small Orchestra, premiered by Leopold Stokowski at the Metropolitan Museum of Art, New York in 1958 was a small and delicate work of great diversity, which showed that McPhee did indeed find his style of his own. This work was followed by the Concerto for Wind Orchestra, which was performed for the first time by The American Wind Symphony under the general direction of Robert Austin Boudreau. In this piece, McPhee used pentatonic scales that he learned about through Balinese music. It was a difficult task to adapt the characteristic sound of gamelan for western wind instruments, but Concerto for Wind Orchestra was widely held as a successful piece.

            In 1960, Colin McPhee became a professor at the University of California Los Angeles, specializing in composition, orchestration, Indonesian music, and Balinese compositional technique. He shared his great experience with Balinese music as well as his great knowledge in western music with his students at UCLA, until he resigned from in 1963 to complete work on his book on Balinese music.

            McPhee’s life ended in both triumph and tragedy in 1964, only a few weeks after finishing his magnum opus “Music in Bali” (Tenzer 1998 : 17). This book was an exhaustive attempt to explore all aspects of Balinese music. It was published two years after his death with the help of Dr. Mantle Hood, a professor of the University of California Los Angeles.  He had begun writing it in 1930, and had worked on it consistently since then. This is an important and useful book that provides a lot of great musical and pictorial illustrations of Balinese musicians and dancers, giving an obvious picture of the customs of Bali. The way that McPhee gives a description about many different types of ensemble that are appear in Bali is really clear and supplemented by transcriptions and photographs documentation. He also gives useful selective list of musical transcriptions of the music of Bali, made before 1930s until the time of its publication, available at the University of California Los Angeles. Generally, this book gives a better idea and insight about the scene of Balinese society, the music, dance, and religion as well as the custom of Bali.

            William P. Malm review McPhee’s book in The Journal of Ethnomusicology (Malm 1967 : 719-720). In his review, he said that this is a major result of McPhee’s effort. He worked with great diligence and talent at forming some permanent record of the traditions in order to preserve many different older forms of Balinese music, which he thought, soon would be extinct. Malm continued to say that this book also provides wide information with an impressive synthesis of the music of Bali, musical performance practice, and the place of music in Balinese life some thirty years ago. On the other hand, Richard A. Waterman said in his review for this book, that the remainder of the central portion of the book is musicology and perhaps too technical in spots for non-musicologist. It was hard for anyone to understand the explanation of the music by only looking at the musical scores provided in the book. However, Waterman was amazed at what McPhee had been done with his field technique in the days before recording equipment was available. This book also provide an old and new music of Bali, which are presented, described, and analyzed with all respect to Jaap Kunst’s 1925 pioneer study (Waterman 1967 : 766).

            As Mantle Hood says in his foreword to the book, “the achievement of such magnum opus did not come about casually” (McPhee 1966 : v). This work represents a great and strong desire of a young composer who wanted to find the source of the sound that he was dreamed of. The exotic sound of Balinese music becomes aesthetic sounds that attracted him and completely change his life. This book has an interesting subject matter, the physical of the book is large because it provides a lot of detail information about the subject that was arrange in a tasteful, impressive, and beautiful way.

            Colin McPhee was a talented pianist and composer who had a deep musicological interest in exploring another musical language. Only a few composers in the western world would have afforded themselves the chance to do exactly the same thing that McPhee did. His life was completely changed by the influence of Balinese music. He published books about music and culture of Bali as well as the aspect of human life in Balinese society. In fact, McPhee’s works engaging in and focusing on Balinese culture are a great contribution to the Balinese and a good way of introducing Balinese culture to the world. For the present and future generations of Balinese musicians, Mcphee’s works of Balinese music will be standing as an important piece of heritage.

Biography of Colin McPhee (Part II), and more

Katalog dan Pembatas Buku Sebagai Sarana Promosi SD Saraswati 2 Denpasar

Katalog dan Pembatas Buku Sebagai Sarana Promosi SD Saraswati 2 Denpasar

Kiriman: Gd Lingga Ananta Kusuma Putra, SSn., Alumni PS. DKV ISI Denpasar

Katalog

Penulis akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media katalog.

Unsur Visual Desain

1. Bentuk Fisik

Bentuk fisik dari katalog ini adalah berbentuk daun dengan ukuran 10.5 cm x 14.85 cm.

2. Ilustrasi

Dalam perancangan mediakatalog ini, untuk cover depan adalah  ilustrasi logo SD Saraswati 2 dan dua murid. Sedangkan pada halaman 1 berisi kata pengantar dari penulis, dan berikutnya berisi desain-desain beserta penjelasan perwujudan mulai ukuran, teknik cetak dan bahan. Desain-desain tersebut antara lain poster, animasi, CD Interaktif, stiker, X-banner, pin, brosur, papan nama, pembatas buku dan halaman terahkir ucapan terimakasih dari penulis.

3. Teks

Pada katalog ini, cover menggunakan teks diataranya nama: Gede Lingga Ananta Kusuma Putra, nim: 2006.06.015, program studi: DesainKomunikasi Visual yang merupakan identitas penulis. Serta teks judul tugas akhir yang diambil yaitu Perancangan Media Komunikasi Visual Sebagai Sarana Promosi SD Saraswati 2 Denpasar. Selain itu teks lembaga yakni jurusan desain fakultas seni rupa dan desain Institut Indonesia Denpasar 2011.

4. Huruf / Typografi

Perancangan media promosi ini menggunakan 2 jenis huruf atau typografi, yaitu:

–    Huruf jenis Times New Roman dihampir digunakan pada keseluruhan teks, huruf ini dipilih  karena bentuknya yang sederhana serta mudah dibaca.

–    Huruf Freestyle digunakan pada nama di cover katalog.

Keseluruhan jenis typografi tersebut diatas dikomposisikan menurut ukuran dan keseimbangan guna mendapatkan kesatuan serta ritme yang tepat dimana nantinya dapat memberikan keseimbangan informasi yang dinamis pada sebuah katalog.

5. Warna

Dalam perancangan katalog ini menggunakan warna sebagai berikut :

– Untuk background menggunakan warna hijau, kuning dan putih pada halaman pertama dan biru pada halaman berikutnya.

– Sedangkan warna teks menggunakan warna hijau tua.

Warna tersebut digunakan agar huruf/teks mudah dilihat dan dibaca, karena kontras dengan warna background lebih soft.

6. Bahan

Perancangan media katalog ini menggunakan bahan art paper 210 gsm yang finishingnya diberi lapisan doff agar lebih kuat dan tahan lama.Kertas art paper 210 gsm dipilih karena memiliki kualitas dan ketebalan yang bagus, sehingga lebih awet serta tidak mudah rusak.

7.Teknik Cetak.

Untuk mewujudkan media ini menggunakan teknik cetak digital.Digunakan teknik cetak ini karena lebih cepat, praktis dan efisien.

Kreatif Desain

Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilaian desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif perancangan desain katalog ini, dibuat 3 alternatif desain.

Desain katalog ini dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dalam desain ini dianggap lebih menarik, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “ceria dan informatif”. (untuk lebih jelasnya lihat lampiran)

Pembatas Buku

Penulis akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media pembatas buku yang digunakan sebagai salah satu media promosi SD Saraswati 2 Denpasar.

Unsur Visual Desain

1. Bentuk Fisik

Bentuk fisik dari media promosi pembatas buku ini adalah persegi panjang dan mempunyai ukuran 15 x 3,5 cm.

2. Ilustrasi

Dalam perancangan media pembatas buku ini, ilustrasi yang digunakan adalah seekor gajah yang menggunakan mahkota, yang merupakan simbolisasi Dewa Ganesha (logo SD Saraswati 2 Denpasar).

3. Teks

Bagian depan pembatas buku ini hanya berisikan nama SD Saraswatiu 2 Denpasar, dan dibelakangnya berisi mengenai informasi lokasi SD ini.

4. Huruf / Typografi

Menggunakan 2 jenis huruf, yaitu Jokerman dan Times New Roman. Huruf jenis ini digunakan karena bentuknya yang sesuai konsep. Keseluruhan jenis typografi tersebut diatas dikomposisikan menurut ukuran dan keseimbangan guna mendapatkan kesatuan serta ritme yang tepat dimana nantinya dapat memberikan keseimbangan informasi yang dinamis.

5. Warna

– Untuk background bagian depan menggunakan Hijau dan kuning.

– Untuk ilustrasi  menggunakan warna merah pada baju, abu pada kulit dan kuning pada mahkota. Pewarnaan dilakukan dengan teknik digital painting, dengan penambahan shadow pada setiap pewarnaan illustrasi.

– Tulisan menggunakan warna putih, hijau, kuning dan hitam.

Warna-warna ini khususnya wrna hijau dan kuning dipilih karena merupakan warna ciri khas dari SD Saraswati 2 Denpasar.

6. Bahan

Perancangan media pembatas buku ini menggunakan bahan art paper 210 gsm. Kertas art paper 210 gsm dipilih karena memiliki kualitas dan ketebalan yang bagus, sehingga pembatas buku lebih awet dan tidak mudah rusak.

7. Teknik Cetak

Untuk mewujudkan media promosi pembatas buku ini menggunakan teknik cetak digital.

Kreatif Desain

Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilain desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif perancangan desain pembatas buku ini, dibuat 3 alternatif desain.

Desain pembatas buku ini dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dan ilustrasi dalam desain ini dianggap lebih menarik, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “ceria dan informatif”. Teks yang digunakan dalam desain ini berupa nama dan lokasi sekolah. (untuk lebih jelasnya lihat lampiran)

Katalog dan Pembatas Buku Sebagai Sarana Promosi SD Saraswati 2 Denpasar, selengkapnya

Loading...