by admin | Aug 23, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn, LP2M ISI Denpasar.
Bertepatan dengan Hari Purnama, Jumat Wage tanggal 15 Juli 2011 lalu, sehari sebelum Hari Raya Kuningan bagi umat Hindu di Bali diadakan “nuasen” pembinaan kesenian leko di Banjar Adat Tinungan Desa Apuan Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan Bali. Nuasen dalam acara ini adalah memilih hari baik untuk memulai kegiatan tersebut dengan harapan pelaksanaannya lancar dan hasilnya baik. Kegiatan pembinaan ini adalah implementasi dari Program Rekonstruksi Seni LP2M ISI Denpasar Tahun 2011. Pada acara “nuasen”/pembukaan tersebut di hadiri staf LP2M ISI Denpasar, Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan, tokoh dan anggota masyarakat setempat. Sambutan Bupati Tabanan yang dibacakan Kadis Kebudayaan setempat menyambut baik peran ISI Denpasar dalam pengabdiaannya menghidupkan kembali kesenian langka yang pernah ada di banjar tersebut. Kegiatan tersebut diawali dengan acara mendak tirta dari kayangan tiga dan memingit calon penari yang akan dilatih. Tahapan ini penting karena keberadaan kesenian tari leko yang pernah ada sampai tahun enampuluhan di desa tersebut sangat disakralkan. Pelaksanaan program LP2M ini merupakan pengabdian lembaga ISI Denpasar kepada masyarakat secara nyata. Tidak semua permintaan masyarakat dapat dipenuhi melalui surat-surat yang dilayangkan ke LP2M, karena berbagai keterbatasan yang ada, namun lembaga berkomitmen untuk dapat berbuat maksimal terhadap masyarakat. Pada implementasi program ini LP2M ISI Denpasar membentuk panitia yang membidangi tari, karawitan dan perlengkapan tari (revitalisasi gelungan).
Sebelum pelaksanaan program secara efektif dilaksanakan dilapangan, tim dari LP2M ISI Denpasar mengadakan survey pendahuluan untuk memastikan peninggalan-peninggalan yang masih diwariskan oleh pelaku-pelaku seni terdahulu di desa tersebut baik berupa perangkat gambelan, model tari maupun perlengakapan tarinya (busana dan gelungan). Tim mendapat beberapa hasil survey termasuk sejarah kesenian leko yang ada di desa tersebut dari para tokoh tua yang masih ingat dengan keberadaan kesenian tersebut. Hasil survey awal tersebut antara lain :
Kesenian tersebut masih meninggalkan perangkat gambelan hanya berupa daun gambelan yang terbuat dari bambu (di desa setempat disebut tingklik ) tanpa alas (plawah). Daun tingklik tersebut berjumlah sembelan ikat masing-masing terdiri dari 9-12 bilah dengan kondisi masih utuh, namun warnanya hitam karena sejak kesenian tersebut tidak aktif ditempatkan/disimpan di atas perapian. Setelah terjadi kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kesakralan yang dialami oleh penyimpan gambelan ini, maka gambelan tersebut ditempatkan di mrajan (tempat suci keluarga).
Data lain yang didapatkan tim survey adalah perlengkapan tari berupa gelungan (hiasan kepala pada penari) sebanyak 6 buah yang jenisnya beberapa ada yang sama dan ada yang berbeda dan sepasang perlengkapan tari seperti sayap yang terbuat dari kulit. Kondisi gelungan tidak layak untuk digunakan dan harus diperbaiki untuk bisa dipergunakan kembali. Kondisi yang usang karena umurnya sudah tua serta penyimpanan yang kurang terawat dengan baik. Ornamen hiasan gelungan yang terbuat dari kulit masih utuh, bekas-bekas tempelan prada masih kelihatan walaupun kondisinya sudah kusam. Bagian dari gelungan yang terbuat dari rotan dan bambu beberapa masih ada yang utuh dan beberapa yang lainnya sudah rusak. Gelungan tersebut ditemukan tim tersimpan di mrajan warga lainnya. Jadi warga menyimpan peninggalan kesenian tersebut pada dua tempat yang berbeda, yang dulunya diperkirakan sebagai pelaku aktif dalam kesenian tersebut. Karena sampai saat ini warga yang menyimpan benda-benda tersebut tidak tahu secara pasti asal-asul keberadaan benda tersebut. Justru informasi didapatkan dari tokoh-tokoh tua warga lainnya. Dari data gelungan yang ditemukan beberapa dosen yang membidangi seni tari memprediksi didesa tersebut pernah aktif kesenian gandrung. Tim tidak menemukan kontum tari/busana yang masih tertinggal dari kesenian tersebut.
Menurut beberapa sepuh desa yang masih ada dan pernah melihat langsung keberadaan kesenian tersebut walaupun tidak terlibat langsung sebagai penari atau seke tari, mengatakan kesenian leko yang ada di banjar tersebut merupakan warisan, telah ada dan aktif sebelum tahun lima puluhan dan tidak aktif lagi sejak tahun enam puluhan. Keturunan warga yang menjadi seke leko jaman dulu masih dapat disebutkan. Hal ini terbukti pada pertemuan kedua tim survey dengan warga seke tersebut sudah terbentuk yang merupakan keturunan seke leko jaman dulu pernah ada dan hadir pada pertemuan tersebut. Demikian juga penarinya masih bisa disebutkan walaupun penari aktif jaman dulu sudah tidak ada lagi. Mereka sangat antosias dalam usaha membangun kesenian ini karena sangat terkait dengan piodalan di pura banjar adat setempat.
Joged Leko
Untuk lebih mengetahui tentang kesenian yang terkait dengan Leko, tim menelusuri beberapa sumber diantaranya artikel yang ditulis oleh Agung Bawantara pada media on line 5 Oktober 2010. Pada tulisan tersebut kesenian leko dimasukkan dalam katagori kesenian joged yaitu disebut joged leko. Lebih lanjut ditulis jenis joged ini nyaris sama langkanya dengan Joged Pingitan. Joged yang diduga muncul pada tahun 1930-an itu kini hanya terdapat di tiga desa yakni Desa Sibang Gede (Badung), Desa Tunjuk (Tabanan) dan Desa Pedem (Jembrana).
Joged jenis ini menampilkan gerak tarian menyerupai gerak tari Legong Keraton sebagai pembuka, lalu dilanjutkan dengan gerak bebas saat bagian pengibing-ibingan.Dalam sebuah pementasan, penampilan Joged Leko diawali dengan Condong yang dibawakan oleh seorang penari dengan gerak-gerak abstrak, lalu dilanjutkan dengan Kupu-kupu Tarumyang dibawakan oleh sepasang penari untuk menggambarkan kemesraan sepasang kupu-kupu yang bercengkerama di sebuah taman bunga.
Usai Kupu-kupu Tarum, penampilan dilanjutkan dengan Onte yang juga dibawakan secara berpasangan. Bagian ini mengisahkan sepasang muda-mudi sedang asyik memadu kasih. Disusul kemudian dengan Goak Manjus yang menggambarkan sepasang burung gagak sedang mandi dengan riang di sebuah telaga.Terakhir, tampillah Joged yang dibawakan beberapa penari yang tampil secara bergiliran. Setiap penari, menunjuk (nyawat) seorang laki-laki dari kerumunan penonton yang diajaknya sebagai pasangan menari dalam beberapa putaran. Setiap penari Joged biasanya melakukan tiga sampai lima putaran paibig-ibingan, sebelum digantikan oleh penari Joged yang lain.
Pada saat tertentu Penari Joged tiba-tiba trance dan mengamuk. Biasanya hal tersebut terjadi jika Joged Leko menampilkan kisah Calonarang sebagai inti pertunjukannya. Tranceumumnya terjadi saat adegan perkelahian ditampilkan.
Pada tulisan Dr. Ni Made Ruastiti, SST. Msi “Seni Pertunjukan Pariwisata Indutri Kreatif Berbasis Kesenian Bali”, di Desa Tunjuk Kabupaten Tabanan juga terdapat tari Leko. kesenian tersebut merupakan merupakan warisan dari nenek moyang setempat, kehadirannya merupakan tarian pergaulan yang masih tetap dikeramatkan dalam penampilannya menggunakan upakara dan upacara yang bersesaji. Tujuannya untuk memohan keselamatan, dan mendatangkan taksu sesuai dengan yang diinginkannya. Tari Leko adalah tarian Legong yang berkembang sebagai tarian rakyat dan diiringi oleh instrument bamboo serta terdapat peibing – ibingan dalam suatu pertunjukannya. Perkembangan Tari Leko terdapat unsur – unsur pelegongan dalam gerak tarinya, tata busana,gending-gending pengiring , maupun cerita – cerita yang di pakai dalam suatu pementasan , yang semula adalah instrumen bamboo diganti dengan instrument besi ( Pelegongan ) .
Kesenian leko dikelompokkan pada seni bebali yang berfungsi sebagai pengiring upacara dan upakara keagamaan di pura-pura ataupun di luar pura pada umumnya memakai lakon. Seni tari dan seni tabuh/karawitan yang dipakai sebagai pengiring upacara keagamaan di Bali, misalnya Topeng, Gambuh, Leko, Wayang Kulit, Angklung, Semar Pegulingan, dan Baleganjur
Pelaksanaan efektif rekonstruksi seni di Kabupaten Tabanan ini dimulai 5 Agustus 2011 selam tiga bulan. Mudahan-mudahan pengabdian ini dapat berjalan lacar dan berhasil baik sehingga dapat enjadi cerminan lembaga ISI Denpasar sebagai lembaga yang ikut menjaga kelestarian seni tradisi sebagai modal membangun karakter bangsa.
Rekonstruksi Kesenian Leko Di Banjar Adat Tinungan, selengkapnya
by admin | Aug 22, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 tahun 2011 yang mengangkat tema “Desa Kala Patra: Adaptasi Diri dalam Multikultur” telah berlalu. Tentu, berbicara tentang jagat seni pada dasarnya juga bercerita tentang ekspresi keindahan manusia–sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial–yang keberadaannya tergantung dengan tempat, waktu, dan situasi dari dinamika kebudayaan. Kesenian merupakan kristalisasi dari adaptasi dan pengalaman masyarakatnya bercengkrama dengan kehidupan dan keadaan lingkungannya. Demikian halnya kesenian Bali adalah cermin dan simbol kultural pencapaian-pencapaian peradaban masyarakatnya. Kearifan lokal desa kala patra telah menuntun kesenian Bali menunjukkan karakternya yang fleksibel, baik secara internal di tengah masyarakat Bali sendiri maupun interaksi eksternalnya dengan beragam budaya yang menghampirinya. Akan tetapi ketika kini gelombang globalisasi budaya menghegemoni seisi jagat, masih tegarkah kesenian Bali?
Sebelum dunia “disatukan“ oleh teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi seperti sekarang ini, Bali adalah wilayah persemaian ekspresi seni yang sangat dinamis. Zaman dinasti kerajaan Klungkung pada abad ke 16-17, misalnya, tercatat berkontribusi besar terhadap dunia seni di Bali. Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, disebut-sebut sebagai era kebangkitan dan berkembangnya seni sastra, arsitektur, dan seni pertunjukan. Seni pertunjukan klasik seperti drama tari Gambuh, Wayang Wong, Wayang Kulit, dan teater Topeng misalnya, menguak di tengah masyarakat dengan dukungan pengayoman yang karismatik sistem kerajaan saat itu. Dalam perjalanannya, genre-genre kesenian tersebut menjadi dasar-dasar utama pengembangan seni pentas Bali seperti munculnya teater bertembang Arja, drama magis Calonarang dan pragmen tari Legong Kraton.
Menjelang akhir abad ke-20, Bali kemudian memiliki figur yang menaruh perhatian besar terhadap seni budaya. Adalah Gubernur Bali Ida Bagus Mantra yang menstimulasi kesenian masyarakatnya lewat gagasan pesta seni. Sejak tahun 1978, digelar PKB yang ajeg bergulir setiap tahun hingga kini. Puspa ragam nilai-nilai keindahan masyarakat Bali ditampilkan. Keindahan warisan seni masa lampau disandingkan dengan beragam ekpresi artistik kekinian. PKB telah menjadi arena berkesenian yang bergengsi lebih dari seperempat abad ini. Para seniman Bali memandang PKB sebagai sebuah panggung kehormatan. Masyarakat Bali menempatkan PKB sebagai peristiwa budaya yang pantas disimak. Pemerintah daerah dan pusat pun tidak lupa mengusung PKB dengan berbagai perspektif, dari latar kepentingan ekonomis-pragmatis, pariwisata misalnya, hingga sebagai wahana idealisme politik kebudayaan.
Dari sisi pandang strategi kebudayaan, PKB adalah sebuah reposisi kultural masyarakat Bali di tengah era globalisasi. Mencari-cari posisi trategis ini diperlukan mengingat kini secara makro, eksistensi budaya lokal semakin terdesak oleh terjangan budaya global. Globalisasi budaya menyebabkan beragam ekspresi artistik lokal juga ikut tergerus di tengah masyarakat pendukungnya sendiri. Kesenian Bali juga tak kecuali. Memang globalisasi telah menyentuh Bali sejak zaman Bali kuno. Tetapi ketika Bali menjadi tujuan wisata dunia dalam sanggaan perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi yang pesat, keberadaan nilai-nilai artistik masyarakat Bali mengalami guncangan dan tantangan. Hegemoni media televisi, di satu sisi, mendistorsi bahkan mengeleminasi beberapa ekspresi artistik masyarakat Bali.
Fenomena mengendornya ekspresi artistik masyarakat Bali yang disebabkan oleh gedoran globalisasi budaya dapat kita simak pada seni pertunjukan tradisi. Jika ketika Ida Bagus Mantra menggelindingkan PKB, gedoran globalisasi itu masih terasa datar-datar saja, tetapi perkembangan kehidupan manusia yang begitu cepat kini, memunculkan kejutan-kejutan budaya yang tak terantisipasi sebelumnya. Akibatnya adalah terjadi benturan dan konfrontasi antara nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru-asing yang dibawa oleh globalisasi. Keberadaan seni pertunjukan tradisi Bali di tengah masyarakat Bali, kini semakin mengkhawatirkan. Seni pertunjukan klasik-tua-langka sempoyongan digerogoti zaman. Seni pertunjukan tontonan favorit masyarakat rontok teronggok di pojok. Semua tak berdaya oleh “intimidasi“ enteng-murah-meriahnya beragam seni pop.
Di tengah perhelatan PKB, melejit sendratari dan Gong Kebyar yang mampu memberikan perlawanan dan menjadi spirit hidup bagi seni pertunjukan tradisi pada umumnya dalam menghadapi hegemoni globalisasi budaya. Kearifan desa kala patra tampaknya menjadi spirit kreatif kokoh dan berbinarnya sendratari dan Gong Kebyar sepanjang perjalanan PKB. Sendratari dan Gong Kebyar melenggang dan meliuk luwes beradaptasi dengan dinamika masyarakat dan gerak zamannya. Lewat olahan artistik yang berakar dari elemen-elemen estetik seni tradisi, sendratari dan Gong Kebyar menjadi wadah reposisi kultural yang merepresentasikan, bahwasannya, konsep desa kala patra masih bertuah menguatkan seni budaya masyarakat Bali. Bisa jadi karena kesadaran atau ketaksadaran dari sanggaan desa kala patra itulah, kesenian Bali masa lalu mampu beradaptasi dari generasi ke generasi. Tetapi ketika kini gelombang globalisasi budaya bergemuruh bak tsunami, berkesenian dengan memperhitungkan dimana, kapan, dan bagaimana beradapatasi dan berreposisi, semestinya menjadi kesadaran penuh politik kebudayaan kita.
Kesenian Bali Vs Tsunami Globalisasi Budaya, selengkapnya
by admin | Aug 21, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Putu Arya Sumarsika, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Orang yang ahli membuat gamelan disebut dengan pande gamelan atau tukang gamelan. Pande gamelan menghasilkan kerajinan yang berupa bilah tentu memerlukan bahan dan alat-alat sebagai unsur terpenting dalam proses pembuatannya. Sebelum proses pengerjaan bilah berlangsung pande sangat memperhatikan hari baik (dewasa ayu) untuk memulai pekerjaan ini. Dari pemilihan hari baik ini sangat berpengaruh pada hasil akhir yang diinginkan. Adapun beberapa hari baik untuk memulai pekerjaan membuat gamelan pada dewasa kala geger dan karna sula.
Jenis-jenis bahan sangat menentukan dalam menghasilkan kualitas suara dan warna suara yang berbeda tergantung dari bahan pembuatannya. Dalam membuat gamelan terlebih dahulu harus mempertimbangkan jenis bahan yang cocok dipakai demi tercapainya keinginan yang sesuai dengan permintaan pemesan dan pembuatnya.
Krawang telah diketahui oleh masyarakat Bali sebagai bahan pembuat gamelan yang tentunya dapat menghasilkan gamelan dengan karakteristik yang berbeda dengan menggunakan yang memakai bahan selain krawang. Gamelan yang dibuat dari bahan krawang memiliki penampilan dan suara yang khas.
Krawang yang dijadikan bahan gamelan oleh pande gamelan di Banjar Babakan tidak saja terbuat dari bahan yang baru, melainkan dapat mempergunakan pecahan-pecahan gamelan yang dibawa oleh masyarakat dan diolah kembali menjadi gamelan yang diinginkan. Dalam perkembangannya, pande gamelan di Banjar Babakan tidak saja mengandalkan krawang yang sudah jadi yang didatangkan dari pulau Jawa, namun sekarang sudah bisa menghasilkan krawang sendiri yang merupakan hasil dari mengolah bahan-bahan dari logam.
Membuat krawang pada umumya di Bali baru ada pada tahun 1966 yang dipelopori I Made Gableran, seorang pengrajin dalam bidang gamelan di Blahbatuh, Gianyar kemampuan ini didapat dari hasil magang di daerah Solo yang dilanjutkan oleh anak beliau sampai sekarang ini.
Dengan menguasai teknik pembuatan krawang mengakibatkan lebih mudahnya didapat bahan baku pembuatan gamelan, yaitu tidak saja mengandalkan krawang yang didatangkan dari Jawa, namun bisa mempergunakan dari pecahan gamelan Bali, serta sekarang sudah dapat memakai krawang buatan tangan pengrajin gamelan di Banjar Babakan. Krawang yang baik ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
- Dalam memilih bahan baku untuk membuat krawang yang berupa timah dan tembaga, kedua jenis logam tersebut harus berupa logam murni, yaitu tidak tercampur dengan logam lain. Kualitas yang paling baik yaitu dengan mempergunakan timah dan tembaga yang baru yang belum pernah dipergunakan sebelumnya karena jika logam tersebut sudah pernah dipakai sebelumnya seperti kabel, sering kali logam tersebut tercampur dengan logam lain yang dapat mempengaruhi kualitas suara yang dihasilkan oleh gamelan itu sendiri.
- Menentukan takaran dan ketepatan berat untuk mengasilkan krawang yang baik dan sesuai dengan kebutuhan, harus terlebih dahulu melihat akan dijadikan jenis gamelan berbentuk bilah atau pencon. Pencampuran bahan gamelan berbilah harus tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Kurang tepatnya takaran dapat mempengaruhi kualitas suara dari gamelan itu sendiri.
- Tingkat kematangan (lebeng) dan kesempurnaan dalam pencampuran dapat berpengaruh pada kualitas krawang. Krawang yang baik jika peleburannya dalam arti dipanaskan dalam waktu yang cukup lama, dan tergantung juga dengan berat krawang yang ingin dibuat. Semakin lama pembakarannya dalam tungku peleburan menggunakan pengaturan panas api yang stabil dari awal sampai akhir peleburan, tingkat kematangan dalam peleburan semakin menentukan kualitas krawang untuk mampu menghasilkan suara yang bagus.
Dari pendapat di atas memberi gambaran bahwa kualitas krawang harus selalu diperhitungkan, karena mempergunakan kualitas krawang baik akan berpengaruh pada kesuksesan dalam pengerjaannya lebih mudah dan hasilnya juga lebih bagus serta berpengaruh pada kualitas suara yang dihasilkan.
Dengan bertambahnya penguasaan teknik dalam penggarapan logam, khususnya pembuatan krawang, maka bahan utama pembuatan gamelan hingga kini berasal dari tiga hal yang telah disebutkan terdahulu, yaitu dari luar Bali yaitu berupa barang rosoan, berasal dari pecahan gamelan Bali dan krawang yang di produksi sendiri.
Teknik Pembuatan Krawang Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Bilah Selengkapnya
by admin | Aug 20, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Gd Lingga Ananta Kusuma Putra, SSn., Alumni PS. DKV ISI Denpasar
Pin
Pada sub ini penulis akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media pin yang digunakan sebagai salah satu media promosi SD Saraswati 2 Denpasar.
Unsur Visual Desain
1. Bentuk Fisik
Bentuk fisik dari pin ini adalah lingkaran dengan ukuran diameter 5 cm.
2. Ilustrasi
Dalam perancangan media promosi pin ini, ilustrasi yang dipergunakan adalah ilustrasi kartun Ganesha. Penggunaan ilustrasi ini bertujuan menimbulkan kesan yang menarik perhatian, sehingga sekolah ini makin dikenal masyarakat luas.
3. Teks
Pada media stiker ini, menggunakan teks yang hanya berupa nama SD Saraswati 2 Denpasar. Tujuannya agar stiker terlihat lebih jelas dan menarik serta lebih mudah memberitahukan apa yang dipromosikan.
4. Huruf / Typografi
Menggunakan jenis huruf Jokerman, agar lebih terkesan ceria.
5. Warna
Dalam perancangan pin ini menggunakan warna hijau abu dan kuning pada ilustrasi dan backgroundnya. Pewarnaan pada ilustrasi menggunakan teknik digital painting dengan penambahan shadow agar lebih menarik dan disukai anak-anak.
6. Bahan
Perancangan media pin ini menggunakan bahan plasik, plat dan pengait.
7.Teknik Cetak.
Untuk mewujudkan media ini menggunakan teknik cetak digital printing. Karena teknik ini relatif cepat, praktis dan efisien.
Kreatif Desain
Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilain desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif perancangan desain pin ini, dibuat 3 alternatif desain.
Desain pin ini dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dalam desain ini dianggap lebih menarik, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “ceria dan informatif”. Teks yang digunakan dalam desain ini berupa nama SD Saraswati 2 dan ilustrasi berupa kartun Ganesha. (untuk lebih jelasnya lihat lampiran)
Brosur
Penulis akan membahas tentang visualisasi desain pembuatan media brosur yang digunakan sebagai salah satu media komunikasi visual sebagai sarana promosi SD Saraswati Denpasar.
Unsur Visual Desain
1. Bentuk Fisik
Bentuk fisik dari brosur ini persegi panjang dan mempunyai ukuran 29,7 x 21 cm.
2. Ilustrasi
Dalam perancangan media brosur bagian luar ini, ilustrasi yang dipergunakan adalah illustrasi anak SD, denah lokasi dan foto bangunan SD Saraswati 2 Denpasar. Sedangkan di bagian dalamnya menggunakan ilustrasi yang berfungsi skaligus sebagai background, yang menggambarkan suasana ceria seorang guru dan murid-muridnya. Diharapkan nantinya pesan dan kesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat dapat tersampaikan.
3. Teks
Perancangan media promosi ini menggunakan teks berupa segala informasi mengenai SD Saraswati 2 Denpasar, termasuk kegiatan-kegiatan dan ekstra kurikuler yang ada di SD Saraswati 2 Denpasar serta lokasi dan syarat penaftaran. Hal ini bertujuan agar informasi yang ada dapat tersampaikan kepada masyarakat luas.
4. Huruf / Typografi
Perancangan media promosi ini menggunakan beberapa jenis huruf atau typografi, antara lain :
– Pada nama SD Saraswati 2 Denpasar menggunakan jenis huruf Impact.
– Pada kalimat informasi yang disampaikan menggunakan huruf Times New Roman.
– Pada kalimat ajakan menggunakan huruf Freestyle.
Huruf-huruf jenis ini digunakan karena bentuknya yang simpel/sederhana juga mudah dibaca. Keseluruhan jenis typografi tersebut diatas dikomposisikan menurut ukuran dan keseimbangan guna mendapatkan kesatuan serta ritme yang tepat dimana nantinya dapat memberikan keseimbangan informasi yang dinamis.
5. Warna
Dalam perancangan media brosur ini menggunakan warna-warna sebagai berikut :
– Untuk background menggunakan warna putih hijau dan kuning pada tampilan depan brosur dan warna sesuai illustrasi yang didominan biru dan putih pada tampilan belakang brosur.
– Untuk ilustrasi logo SD Saraswati 2 menggunakan warna hitam dan putih, untuk warna ilustrasi anak-anak dan guru menggunakan warna merah, putih, coklat, abu dan hitam.
– Tulisan menggunakan warna hijau.
6. Bahan
Perancangan brosur ini menggunakan bahan art paper 150 gsm.Kertas art paper 150 gsm digunakan karena memiliki kualitas serta ketebalan yang baik.
7. Teknik Cetak
Untuk mewujudkan media brosur ini menggunakan teknik offset. Untuk mewujudkan brosur dalam jumlah banyak, cetak offset dipilih karena harganya relatif lebih murah dan lebih bagus daripada teknik cetak lainnya.
Kreatif Desain
Kreatif desain merupakan proses kreatif yang terdiri dari layout/gambar kasar dan gambar detail, serta mempertimbangkan indikator serta unsur-unsur desain dan bobot penilaian desain sebagai acuan desain terpilih. Dalam proses kreatif perancangan desain brosur ini, dibuat 3 alternatif desain.
Desain brosur ini dipilih karena jika dibandingkan dengan 2 alternatif desain yang lainnya, tata letak dalam desain ini dianggap lebih menarik, lebih banyak memenuhi kriteria desain serta paling sesuai dengan konsep perancangan yang digunakan yaitu “ceria dan informatif”. Teks yang digunakan dalam desain ini berupa informasi mengenai SD Saraswati 2 Denpasar. Ilustrasi yang digunakan dalam desain ini berupa ilustrasi anak-anak dan seorang guru, sehingga informasi yang ada dapat tersampaikan. (untuk lebih jelasnya lihat lampiran)
Pin Dan Brosur Sebagai Sarana Promosi SD Saraswati 2 Denpasar, selengkapnya
by admin | Aug 19, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan
Sebelum melangkah ke dalam pertunjukan Wayang Kulit Calonarang, terlebih dahulu meninjau sejarah dari Calonarang yang ada di Jawa ada dua (2) versi, yaitu: 1) Versi keraton yang mengisahkan tentang “Diusir Ratna Menggali”, dan 2) Versi masyarakat yang mengisahkan tentang “Bahula Duta”. Versi cerita yang dikuasai oleh dalang Ida Bagus Sudiksa meliputi: 1) Cerita “Kautus Rarung”, 2) Cerita “Ngeseng Bingin” (Bahula Duta), dan 3) Cerita “Diah Padma Yoni”. Yang menjadi pokok penelitian adalah cerita Diah Padma Yoni.
1 Lakon dan Pembabakan Ceritera
Pertunjukan Wayang Calonarang persembahan dalang Ida Bagus Sudiksa di Pemuwunan Setra Pura Dalem Desa Kerobokan telah mengalami perubahan, baik cerita, lakon, maupun gamelan (musik iringannya). Sperti halnya di tahun 1989 sampai tahun 1996 dengan cerita penyalonarangan, lakon “Kunti Yadnya”, musik iringan menggunakan seperangkat gamelan batel. Penyalonarangan yaitu Calonarang hanya sebagai konsep pertunjukan, bukan cerita Calonarang. Pada awal ceritanya adalah Wayang Parwa dengan, kemudian pada babak ke dua dilanjutkan dengan cerita Calonarang, karena kemarahan Sang Duryodana tidak terima bahwa para Pandawa mengadakan upacara, maka Sang Duryodana datang ke kuburan minta kepada Betari Durga, agar memberikan anugerah agar dia dapat menghancurkan upacara para Pandawa. Permintaan Sang Duryodana dipenuhi oleh Betari Durga, malahan terlibat langsung menghancurkan upacara para Pandawa, dengan perubahan wujud menjadi Rangda atau Calonarang.
Setelah tahun 1997 sampai tahun 2008, dalang Ida Bagus Sudiksa mementaskan Wayang Calonarang dengan lakon “Ngeseng Bingin” (Bahula Duta), dengan musik iringan seperangkat Semar Pegulingan. Cerita singkatnya adalah Prabu Erlangga membatalkan peminangan terhadap Diah Ratna Menggali untuk dijadikan permaisuri, karena Diah Rangda Menggali merupakan anak seorang leak. Karena Walu Nata merasa tersinggung dengan perlakuan Prabu Erlangga, maka Walu nata berangkat ke kahyanga Dalem mohon kepada Betari Durga agar diberikan ilmu hitam tingkat tinggi. Permintaan walu nata dipenuhi oleh Betari Durga dengan menganugrai sepasang rontal yang bernama “Niscaya Lingga” ilmu hitam), dan “Nircaya Lingga” (ilmu putih). Karena kesaktian yang dimiliki oleh Walu Nata, maka hancurlah kerajaan Kediri ditimpa wabah penyakit, setiap harinya puluhan orang meninggal dunia. Prabu Erlangga bingung, cemas memikirkan kerajaannya hancur, maka minta pertolongan kepada Mpu Beradah yang tinggal di Pesraman Lembah Tulis. Mpu Beradah menyanggupinya dan mengutus anaknya yang bernama Mpu Bahula agar datang ke Kerajaan Dirah mencuri ke dua pustaka itu, dengan tipu muslihat mempersunting Diah Ratna menggali, siasat Mpu Bahula berhasil, kemudian diserahkan ke dua pustaka itu kepada Mpu Beradah, dan setelah dipelajari, Mpu Beradah tahu kelemahan Walu Nata, akhirnya Walu Nata dapat dibuatnya bertekuk lutut. Kembalilah normal kerajaan Kediri.
Pada tahun 2009 dalang Ida Bagus Sudiksa mementaskan Wayang Calonarang dengan cerita Diah Padma Yoni, dengan mengangkat lakon “Kautus Rarung”, dengan petangkilan mulai di Kerajaan Kediri. Menceritakan bahwa permaisuri Prabu Erlangga bernama Diah Padma Yoni sedang hamil muda menginginkan (ngidam) otak dan daging hati manusia. Diah Padma Yoni diusir dan terlunta-lunta di Hutan Dirah. Setelah beberapa tahun Diah Padma Yoni mampu membangun sebuah kerajaan yang diberi nama Kerajaan Tanjung Pura, karena status Diah Padma Yoni seorang janda di Kerajaan di Hutan Dirah, maka dia bernama Walu Nateng Dirah. (ceritanya dapat dibaca pada lampiran lima antawecana halaman 120.
Struktur pertunjukan Wayang Calonarang persembahan dalang ida Bagus Sudiksa tidak mengalami perubahan, karena masih mengikuti struktur pertunjukan tradisional, seperti tari kayonan I, nyejer, tari kayonan II (ngabut kayonan), petangkilan, penyacah kanda, pengalang ratu (bebaturan), angkat-angkat, dan siat. Pertunjukan Wayang Calonarang ini kalau dilihat dari fungsinya termasuk seni balih-balihan, karena merupakan tontonan di luar jalannya upacaya, dan bebas dinikmati oleh siapapun yang ingin menonton pertunjukan tersebut. Begitu pula wayang Calonarang dipentaskan di luar pura, yaitu di Pemuwunan Setra Pura Dalem Desa Kerobokan, lokasinya ada di pinggir jalan utama. Tempatnya dapat dijangkau dan dinikmati oleh penonton masyarakat umum, tidak terikat dengan aturan-aturan pakaian adat seperti layaknya orang ke Pura, Esensi atau makna pertunjukan ini ada kesucian (sakral), karena mengungkap mistikisme kehidupan tokoh yang berperan penting (tokoh antagonis) di dalam ceritera Calonarang.
Sedana dalam disertasinya yang berjudul Kawi Dalang: Creativity in Wayang Theatre menjelaskan, bahwa pakem dibagi menjadi tiga bagian yaitu: pakem balungan, pakem gancaran, dan pakem jangkep. Pakem balungan merupakan tuntunan pembelajaran pedalangan Bali atau playskrip yang hanya memaparkan cerita secara ilustratif atau garis besar saja, tanpa diikuti oleh susunan pementasan atau dialog yang jelas. Pakem gancaran merupakan naskah cerita yang berbentuk prosa atau sinopsis, bentuknya lebih jelas dibandingkan dengan pakem balungan (kitab Ramayana dan Mahabharata beserta sumber-sumber cerita lainnya dikategorikan sebagai pakem gancaran). Pakem jangkep yaitu sebuah naskah yang lengkap berisi struktur atau satu alur cerita pementasan pewayangan beserta dialognya (antawecana/retorikanya). Bandem menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Mengembangkan Lingkungan Sosial yang Mendukung Wayang, bahwa pakem itu sifatnya masih sangat subyektif, seperti pengalaman yang mereka peroleh secara turun tumurun dari guru-guru mereka. Struktur pementasan beserta dialog-dialog yang dipentaskan sifatnya masih konvensional seperti yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Djelantik, dalam bukunya yang berjudul Falsafah Keindahan dan Kesenian menyebutkan, bahwa struktur di dalam karya seni itu terdapat suatu pengorganisasian, pengaturan, mempunyai hubungan tertentu antara bagian-bagian dari keseluruhan itu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa struktur adalah pengaturan atau ketentuan dari unsur-unsur suatu benda. Pengertian yang menyiratkan, bahwa unsur-unsur yang membangun sebuah struktur harus berhubungan secara fungsional, artinya unsur itu saling mendukung dan melengkapi, sehingga mampu membangun suatu struktur yang kokoh. Sementara menurut Poerwadarminta struktur dapat diartikan bermacam-macam. Struktur bisa berarti susunan, bangunan, atau struktur berarti bagaimana sesuatu disusun.
Menurut Marajaya, untuk menyebutkan suatu karya yang bernilai estetis sesungguhnya terletak pada struktur pertunjukan Wayang Kulit Bali. Struktur atau susunan dalam pertunjukan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: struktur dalam arti luas dan struktur dalam arti sempit. Struktur dalam arti luas yaitu struktur yang membangun pertunjukan yang terdiri dari beberapa bagian atau adegan, seperti adegan petangkilan, adegan angkat-angkatan, adegan siat, dan lain sebagainya. Sementara struktur dalam arti sempit, yaitu struktur yang di dalamnya terdapat bagian-bagian yang saling keterkaitan, misalnya di dalam adegan petangkilan biasanya terdapat beberapa macam elemen estetik seperti
gending alas arum, penyacah parwa, tetikesan, gancaran (antawacana) dan iringan. Elemen-elemen tersebut ditampilkan secara terstruktur.
Purnamawati dalam tesisnya menyebutkan, bahwa setidak-tidaknya ada sepuluh jenis motif gending yang mengiringi pertunjukan wayang kulit Bali, yaitu pategak (gending awal sebagai pembuka untuk menarik minat pertunjukan), pamungkah (sama dengan pategak tetapi segera untuk mengawali pertunjukan), petangkilan (suasana persidangan), pengalang ratu (persidangan lanjutan), angkat-angkatan (perjalanan laskar menuju medan peperangan), rebong (suasana romantis dari tokoh-tokoh penting), tangis (suasana sedih para tokoh-tokoh penting), tunjang (suasana keras), batel (perkelahian dan peperangan yang sesungguhnya), dan penyudamalan (penutup).
Struktur Pertunjukan Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, Bagian I Selengkapnya
by admin | Aug 19, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., MSi., Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
“Seni tradisi melarat, Barong Batubulan perang komisi, Cak Bona tinggal kenangan”. Demikian jeritan yang mengemuka di surat kabar belakangan ini sehubungan kian carut marutnya seni pertunjukan wisata di Pulau Dewata. Pemerkosaan terhadap seni tradisi dan teraniayanya seniman Bali pelaku seni pentas turistik, merupakan cerita laten yang tak pernah menemukan solusi hingga hari ini. Soal seniman berhimpitan pentas naik truk, honor ala kadarnya, standar tarip pentas yang amburadul, kualitas seni yang asal-asalan, sertifikat laik pentas yang semu, dan seterusnya, adalah sederetan persoalan ruwet yang senantiasa berkemelut di sekitar seni pertunjukan wisata Bali. Objek penderitanya, yang pasti: seni dan seniman.
Kisah pilu jagat seni wisata adalah derita yang umum mendera seni tradisi lokal yang dikemas sebagai objek komoditi di berbagai destinasi dunia. Topik ini diungkapkan sebuah makalah bertajuk “Komoditifikasi Seni Pertunjukan Bali” yang disajikan dalam Sarasehan Budaya Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-33 tahun 2011, Jumat (1/7) lalu, bertempat di Gedung Natya Mandala Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sebagai nara sumber, Dr. I Ketut Suwentra, SST, mengungkapkan bahwa industri pariwisata adalah sebuah situasi dan kondisi yang memberi ruang dan peluang terhadap komodifikasi seni. “Dalam konteks industri pariwisata, nilai-nilai estetik lokal masyarakat menjadi atraksi andalan. Seni pertunjukan Bali telah dikomodifikasi sejak awal kedatangan para pelancong di Pulau Dewata. Komodifikasi seni pertunjukan Bali dalam jagat kepariwisataan itu juga telah merambah bentuk-bentuk seni pentas yang tergolong sakral,“ ujar Ketut Suwentra yang dikenal sebagai Pekak Jegog ini.
Sebagai destinasi wisata dunia, papar Ketut Suwentra, Bali, kini, adalah sebuah komoditi. Bali memiliki nilai jual. Adalah industri pariwisata yang semakin mengukuhkan Bali sebagai sebuah komoditi. Begitu pesatnya perkembangan pariwisata di pulau ini menyebabkan semua pihak ingin mengkomodifikasikan hampir seluruh lekuk sekala dan niskala Bali, dari gunung hingga laut, dari relegi hingga mistik. Anugrah alam Bali dikomodifikasi tanpa sisa. Danau, sungai, pantai dan laut yang diyakini oleh orang Bali sebagai tempat pembersihan suci kini telah dikomodifikasi. Gunung, bukit, tebing yang dipercaya orang Bali sebagai bersemayamnya para dewa dan mahluk halus kini juga dikomodifikasi. Euporia mengkomodifikasi alam Bali begitu sarat gairah, baik oleh orang Bali sendiri maupun pihak luar yang mencari rejeki ekonomi di Bali. “Karena begitu permisifnya paham komodifikasi dijadikan prinsip meraup keuntungan finansial, sehingga nilai-nilai sakral, terlarang, dan rahasia pun dijajakan sebagai sebuah komoditi,“ ujarnya lugas.
Komoditifikasi adalah anak cucu dari kapitalisme yang kini mengungkung afmosfer Bali. Tarik-ulur, konfrontasi dan proses tawar-menawar, kini sedang gencar berlangsung dalam masyarakat Bali kontemporer. Sebagai bagian dari peradaban global, masyarakat Bali sedang mengalami perubahan-perubahan, baik yang bergolak secara internal maupun yang menggedor secara eksternal. Konsekuensinya adalah terjadi pergeseran-pergeseran nilai. Semua ini berimplikasi terhadap prilaku dan pola berpikir masyarakatnya. Misalnya mengemuka kecendrungan sadar sesadar-sadarnya akan arti ekomomi-uang dan pasar. Tengok misalnya bisnis kesenian dalam jagat pariwisata Bali dan berkesenian di tengah masyarakat lokal. Merupakan suatu persoalan yang dilematis adalah bagaimana para seniman Bali menyikapi atau mengkompromikan antara budaya “tulus” ngayah dengan budaya “materialistis” ekonomi-uang-pasar yang menggedor hampir dalam setiap lekuk dan sendi kehidupan mereka.
Bali diidentikkan dengan jagat seni. Kehadiran beragam ungkapan seni itu seirama dengan denyut dan tarikan napas religius masyarakatnya dalam semangat kolektif sekaa-sekaa kesenian di banjar atau dalam ketulusan ngayah di pura. Tetapi ketika zaman berubah dan kini ketika globalisasi menerjang, tak pelak membawa dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan penghuni jagat ini, termasuk pada masyarakat Bali dan keseniannya. Kesenian Bali tidak lagi hanya diperuntukkan untuk persembahan belaka, namun juga dipertontonkan kepada wisatawan. Seperti kita ketahui era kesejagatan yang lazim bertiup dengan transformasi budaya sudah tentu membawa guncangan besar dan kecil pada tata kehidupan dan perilaku masyarakatnya. Dunia ide dan rasa dalam selimut estetika yang disebut kesenian Bali, rupanya tak juga luput dari “provokasi“ semangat zaman. Industri pariwisata sebagai salah satu representasi globalisasi, mengkomodifikasi seni pertunjukan dengan ikutan beragam dampaknya.
Menurut Ketut Suwentra, komodifikasi adalah sebuah ideologi pasar. Ideologi ekonomi-uanglah yang menyangga komodifikasi seni pertunjukan Bali dalam jagat kepariwisataan. Sebagai sebuah industri perpanjangan tangan dari kapitalisme, tentu tujuan memperoleh keuntungan sebanyak-banyak adalah yang menjadi kredonya, sementara bagaimana dampak negatif dari praktek komodifikasinya bukan menjadi domainnya. Sedangkan komodifikasi seni pertunjukan di tengah masyarakat Bali masih berada di wilayah antara ketulusan ngayah, berkesenian untuk masyarakat, dan komodifikasi situasional. “Untuk meminimalisir dampak negatif dari praktek komodifikasi, kiranya diperlukan kesadaran masyarakat dan kepedulian pemerintah terhadap keberadaan seni pertunjukan Bali sebagai sebuah kristalisasi budaya yang patut diberdayakan posisinya di tengah keniscayaan globalisasi,“ himbau Suwentra.
Seniman Bali Cemas Ketika Seni Dikemas, selengkapnya