Penggunaan Bahasa Dalam Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa

Penggunaan Bahasa Dalam Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa

Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan

Bahasa merupakan alat komunikasi. Pada pertunjukan wayang bahasa memegang peranan yang sangat penting, dapat dibayangkan betapa tidak mungkinnya sebuah pertunjukan wayang tanpa adanya bahasa sebagai medianya. Penggunaan bahasa sebagai bentuk bahasa dalam pertunjukan Wayang Kulit Bali adalah hal yang tidak asing lagi, karena bahasa sebagai mata rantai jalannya ceritera. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa adalah: Bahasa Kawi,  Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Bali, Bahasa Indonesia dan sebagainya, yang sesuai dengan kebutuhan tokoh tertentu. Bahasa Kawi yang dipergunakan oleh tokoh (raja, dewa, ksatria) yang kemudian diterjemahkan oleh punakawan. Gaya bahasa dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa sangat variatif. Ada yang bersifat sindiran (ironi), ada yang bersifat perumpamaan (personifikasi), ada yang bersifat perbandingan (metafora) dan ada pula dialog yang mengagung-agungkan sesuatu secara berlebihan (hiperbolisme). Dari bahasa-bahasa yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Calonarang oleh dalang Ida Bagus Sudiksa ada yang berbahasa alus (singgih), ada yang biasa (pepadan), ada pula yang estetik sehingga membuat penonton menjadi teringat terus. Bahasa seperti itu biasanya berupa tutur, tidak terlepas dari kemampuan seorang dalang selaku orator yang ulung. Menurut Marajaya, pengelompokan bahasa tersebut antara lain ; (1) berbentuk prosa atau gancaran (bahasa Kawi dan bahasa Bali); (2) berbentuk tembang atau puisi (kekawin, tandak, bebaturan); dan (3) berbentuk prosa liris atau palawakya (penyacah dan pengelengkara).

1). Gaya Alternasi

Menurut Rota teknik penyampaian tutur secara berselang-seling disebut gaya alternasi. Gaya alternasi merupakan jenis gaya tutur yang paling banyak digunakan oleh dalang dalam pertunjukan wayang kulit Bali, baik dari bentuk tut tutur antara bahasa Bali dengan bahasa Kawi, maupun berbentuk tembang maupun gancaran.

a) Gaya Alternasi Bahasa Kawi dengan Bahasa Bali

Gaya bahasa seperti ini paling banyak ditemukan jenisnya dalam pertunjukan wayang kulit Bali. Pada Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung banyak sekali dipergunakan, adapun contoh-contoh gaya ini dapat dilihat dari kutipan-kutipan dialog sebagai berikut:

Twalen            : (dalam bahasa Bali)     

sawirira  cerakanira..! (tembang). Aratu.. sang  amurbeng

Jagat Kediri, sugra titiang  sugra, aksi sembah pangubak- tin  titiang  aratu,  sapunika   taler  gusti  patih  mamitang lugra, pinaka  pengabih linggih ida. Ring tepenganemangkin  presangga  purun   titiang   ngojah   maka  kawit  atur palungguh  gusti  ring  ida, Ida Dewa Agung. Inggih aratu sang  anyakra  werti  Jagat  Kediri  palungguh  iratu, aksi ratu sembah  pangu  baktin  titiang  pina ka pengabil linggih iratu, saha  tan keni  kecakra  bawa, presangga  puruntitiang ngeriinin  mapaungu atur, napi te awinan asapunika.., riantukan iratu sampun  malinggih iriki ring singasanane. Napi awinan nadak sara ngutus sikian titiang mangda tangkil iriki ring ajeng?, yan kapinih kangkat,durusangtelin  pawecana  mangda  galang  apadang  titiang nampanyuwun pakinkin, panglelaca druwene, asapunika  daging atur  dane  gusti patih.

Arti bebasnya adalah:

menjawablah  seorang  abdi,  wahai   paduka   Raja   Kediri, hamba mohon ampun, terimalah sembah hamba ini paduka,begitu  pula  sang  maha Patih sebagai abdi baginda raja. Di

saat  seperti  ini  hamba memberanikan diri menyampaikan, apa yang maha patih katakan kepada baginda raja. Maafkan hamba yang  mulia  sebagai  Raja Kediri, terimalah sembah

hambamu  sebagai  abdi,  agar  tidak  terkena  kutuk, karena hamba  terlalu  berani  mengawali  berbicara, apa  sebabnya demikian ?  Karena  paduka telah duduk di singgasana. Apa sebabnya  paduka  mendadak  menyuruh hamba agar menghadap, kalau ada sesuatu, silahkan katakan agar hamba jelas menerimanya, apa  tujuan  baginda  memerintahkan  hambaini. Demikian kata-kata maha patih.

Penggunaan Bahasa Dalam Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, selengkapnya

Legong Kraton Merintih Di Tengah Pasar Seni

Legong Kraton Merintih Di Tengah Pasar Seni

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar

Pada masa lampu, tari Legong atau Legong Kraton identik dengan desa Sukawati. Keberadaan tari klasik Bali yang keindahannya dikagumi masyarakat dunia ini, diduga kuat lahir dan berkembang dari desa ini. Adalah tiga orang seniman setempat, Anak Agung Rai Perit, I Made Duaja, dan Dewa Blacing dikenal sebagai pelatih Legong yang termasyur hingga ke seluruh Bali. Pada tahun 1920-an, para penari dari Buleleng, Karangasem, dan Badung banyak yang datang belajar Legong Kraton di Sukawati. Namun kini, setelah sekian lama berlalu, jejak-jejak kejayaan Legong tak meninggalkan bekas di desa tersebut. Sukawati kehilangan kerling Legong-nya. Sukawati kini kesohor dengan gemerincing industri budaya, pasar seni.

 Legong tak termasuk menjadi komoditi estetik di tengah riuh penjajaan industri budaya hampir di setiap lekuk desa Sukawati. Legong Kraton mungkin hanya masih menjadi romantisme masa lalu. Rabu (20/7) malam lalu misalnya, beberapa meter dari pasar seni Sukawati,  di sebuah pura yang menyelenggarakan ritual keagamaan, ditampilkan aneka tarian dengan aksentuasi tari Legong yaitu Legong Lasem dan Legong Kuntul. Legong Lasem yang bertema cinta asmara dan Legong Kuntul yang bertutur tentang canda ria sekawanan burung bangau tersebut dibawakan begitu apik oleh para mahasiswi ISI Denpasar. Kendati mampu menebar decak kagum, akan tetapi penonton–masyarakat Sukawati generasi masa kini–terasa tak memiliki ikatan batin lagi dengan masterpiece tari Bali ini.

Pada tahun 1950-an, sebuah pementasan tari Legong sangat dielu-elukan masyarakat penonton desa Sukawati. Seluruh detail estetik dan rona artistik dalam pementasan legong dinikmati cermat oleh segenap penonton. Dari gelungan hingga kain yang dikenakan penari disimak rinci. Bahkan bagaimana aroma bedak dan keringat para penarinya juga diendus penonton. Kepiawaian para penari Legong dipuja-puji. Bagaimana energik dan lincahnya pemeran Condong ketika berloncat-loncat di atas kursi jadi burung garuda dalam Legong Lasem disaksikan sarat perhatian. Legong pemeran Condong, Desak Putu Gabrig, begitu tenar pada saat itu.

Binar Legong Sukawati kini memang telah redup. Ketenaran Desak Putu Gabrig yang kini telah uzur–malam itu turut menyaksikan tari Legong yang disuguhkan ISI Denpasar–tak begitu dikenali lagi oleh masyarakat Sukawati generasi berumur 50 tahun ke bawah. Masyarakat Sukawati generasi usia produktif masa kini mungkin lebih mengenal para selebriti seni pentas hiburan populer layar kaca, seperti masyarakat Indonesia pada umumnya yang tak hirau lagi dengan ekspresi artistik komunal tradisinya. Desa Sukawati dengan pasar seninya yang kini menjadi pusat perbelanjaan industri budaya turis domestik dan mancanergara, lebih sibuk dengan pragmatisme transaksi komoditi estetik tetapi di sisi lain kehilangan ikon seni adi luhungnya, Legong Kraton, yang, merintih.

Sejatinya, desa Sukawati sangat wajar mengusung tari Legong sebagai maskotnya. Kendati perlu kajian yang lebih mendalam, sejarah lahirnya dan berkembangnya tari yang banyak disebut-sebut dalam terminologi seni pertunjukan dunia ini, adalah berputar-putar di Sukawati. Babad Sukawati  menyodorkan kisah seorang raja Sukawati, Anak Agung Made Karna, pada akhir abad ke 19, yang bersemadi khusuk di sebuah taman yang sejuk di Ketewel, Sukawati. Dalam yoga semadinya itu ia melihat para bidadari menari gemulai.  Dari semadi beliau inilah konon diterjemahkan oleh para seniman kraton Sukawati menjadi karya seni topeng berparis cantik yang kemudian ditarikan oleh para penari gadis belia. Tari yang memakai topeng canggem ini—mengenakan dengan cara menggigit—hingga kini disakralkan di Pura Payogan Agung Ketewel. Masyarakat setempat dengan takzim menyebut Topeng Legong.

Hingga kini belum jelas, sejak kapan tari legong yang tanpa topeng muncul dan berkembang. Ada yang menyebut melalui evolusi Gandrung, sejenis tari pergaulan yang dibawakan para seniman pria. Tapi yang jelas pada tahun 1920-an, Sukawati dikenal sebagai pusat pengembangan Legong yang dibina oleh Anak Agung Perit, Made Duaja, dan Dewa Blacing. Namun sejak berpulangnya ketiga tokoh legong Sukawati tersebut, pamor seni pertunjukan ini di Sukawati kian pudar. Lebih-lebih setelah munculnya  trend seni kebyar yang menyerang dari Bali Utara, tari legong sebagai genre seni pentas masyarakat Bali Selatan kian tenggelam. Sukawati sebagai persemaian Legong pun kemudian hanya tinggal mewarisi nama saja.

Ketika kini beragam pilihan seni dan hiburam meruyak ke rumah-rumah lewat televisi dan media audio-visual sejenisnya,  membuat Legong kian tergusur, seperti juga dialami kesenian Bali lainnya. Kendati demikian, respek dan mengakuan terhadap keadiluhungan tari ini masih ada. Pesta Kesenian Bali (PKB) masih berusaha menampilkannya. ISI Denpasar, selain merekonstruksi dan mensosialisasikan Legong Kraton di tengah masyarakat Bali, juga menjadikannya sumber inspirasi dalam pengembangan seni pentas yang disebut tari Palegongan. Diharapkan, Desa Sukawati sebagai ibu kandung Legong, semestinya tak hanya mengenang tari ini dalam wujud patung beton yang di pajang di pintu masuk desa sebelah selatan. Sebagai desa yang dulu pernah menjadi kantong Legong yang berwibawa, diharapkan, Legong Kraton tidak hanya dikomoditifikasi dalam kemasan lukisan, baju kaos, relief kayu, dan patung, melainkan direaktualisasikan dan diinternalisasikan secara kongkret di tengah masyarakatnya, khususnya pada generasi muda. Bukan hanya dijadikan media romantisme semu.

Legong Kraton Merintih Di Tengah Pasar Seni, selengkapnya

Desa Kapal, Sebagai Sentra Pemasaran Produk Gerabah di Bali

Desa Kapal, Sebagai Sentra Pemasaran Produk Gerabah di Bali

Kiriman: Drs. I Wayan Mudra, MSn., Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar.

Tulisan ini adalah data awal  penelitian  Hibah Bersaing Tahun I Tahap 1 yang dilakukan penulis tahun 2010/2011 berjudul “Pengembangan Industri Kerajinan Gerabah Melalui Penciptaan Desain Patung Kreatif”. Kami wajib mempublikasikan hasil-hasil penelitian tersebut walaupun baru sampai pada batas data primer, disamping itu sebagai upaya untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak. Proses tahap 1 dari penelitian ini adalah pengambilan data lapangan melalui metode wawancara dan pemotretan. Data awal yang direncanakan dapat diambil sesuai proposal yang diajukan, ternyata beberapa lokasi tersebut sudah tidak menjual produk gerabah, seperti kawasan sepanjang Jalan By Pass Toh Pati Nusa Dua, Batubulan, Pasar Seni Sukawati dan Pasar Seni Cemenggon Kabupaten Gianyar. Lokasi-lokasi yang dulunya sebagai tempat penjualan gerabah terutama gerabah Lombok telah beralih fungsi menjadi tempat penjualan produk lain. Walaupun demikian data awal penelitian ini, dapat kami kumpulkan dari beberapa lokasi antara lain :

1. Toko-toko gerabah dan kerajinan di Desa Kapal dan Desa Sempidi Kecamatan   Mengwi Kabupaten Badung.

Lokasi Desa Kapal sekitar 15 km dari Kota Denpasar, desa ini dilalui jalur utama lintasan Denpasar menuju Gilimanuk demikian sebaliknya. Karena tempatnya yang strategis dipinggir jalan, di desa tersebut dijual berbagai produk kerajinan yang terbuat dari batuan, tanah liat, dan bahan campuran semen dan pasir. Wujud produknya bermacam-macam seperti patung, guci, vas bunga, tegel batu sikat, sanggah, angkulangkul, dan sebagainya. Produk-produk tersebut dibuat dengan berbagai teknik misalnya teknik cetak, teknik putar, teknik tempel dan sebagainya.

Produk yang terbuat dari jenis batu padas (di Bali disebut batu paras) adalah sanggah (tempat suci umat Hindu di Bali) dengan berbagai ukuran. Produk-produk tersebut dibuat oleh perajin Desa Kapal dan juga di datangkan dari desa lain seperti dari Desa Taro Kabupaten Gianyar yang merupakan pusat pembuatan sanggah dengan teknik cetak. Sedangkan produk yang berwujud patung juga diperdagangkan di tempat tersebut terbuat dari campuran pasir dan semen, batu padas, dan tanah liat. Pada jalur utama lintasan Desa Kapal di setiap depan pekarangan rumah terdapat toko/warung yang menjual berbagai produk kerajinan. Sehingga angkul-angkul (pintu masuk pekarangan di Bali) menjadi tidak kelihatan, karena tertutup oleh berbagai produk yang diperdagangkan.

Desa ini dapat dikatakan sebagai sentra pemasaran produk gerabah dari Bali dan luar Bali seperti gerabah Basangtamiang, gerabah Pejaten, gerabah Lombok, gerabah Kasongan dan sebagainya. Produk gerabah yang dipasarkan di Desa Kapal ini dilihat dari fungsinya dapat disebutkan sebagai berikut seperti kap lampu, pot bunga, asbak, dan benda berfungsi hias seperti hiasan dinding dan patung . Masing-masing tampil dengan variasi bentuk dan ukuran yang berbeda-beda.

Perwujudan patung yang ditemukan dipasarkan ditempat tersebut adalah patung ganesa, patung naga/ular, patung loroblonyo dari Jawa, patung kodok, patung penari Bali, patung macan, patung singa, dan sebagainya. Sedangkan jenis-jenis patung gerabah yang ada pada toko-toko di Desa Kapal termasuk juga di Desa Sempidi adalah :

  1. Patung buda (produk gerabah Desa Pejaten).
  2. Patung naga. (produk gerabah Desa Kasongan).
  3. Patung kodok. (produk gerabah Desa Pejaten).
  4. Patung patung manusia (produk gerabah Kasongan).
  5. Patung kuda. (produk gerabah Desa Kasongan).
  6. Patung singa. (produk gerabah Desa Pejaten).
  7. Patung babi (produk gerabah Desa Pejaten).
  8. Patung loro blonyo (produk gerabah Kasongan)

Produk-produk gerabah yang termasuk hiasan dinding ada yang berfungsi sebagai benda hias maupun sebagai benda fungsi yang di pasarkan di Desa Kapal.

  1. Topeng (produk gerabah Desa Pejaten Tabanan)
  2. Uang kepeng (produk gerabah Desa Pejaten Tabanan)

Kami menemukan penjualan produk kerajinan di Desa Sempidi terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan Desa Kapal, namun jenis produk yang dijual hampir sama seperti dari batu semen, paras dan tanah liat. Lokasi desa ini lebih dekat dengan kota Denpasar dan terletak satu kecamatan dengan Desa Kapal yaitu Kecamatan Mengwi dan di lalu lintas utama jalan raya Denpasar-Gilimanuk dan sebaliknya.

2.  Perajin Banjar Basangtamiang Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung.

Perdagangan produk gerabah di Desa Kapal ini ditunjang oleh adanya pembuatan kerajinan gerabah di desa tersebut yang berlokasi di Banjar Basangtamiang. Kegiatan pembuatan produk gerabah ini merupakan aktifitas sebagian besar penduduk banjar tersebut yang diwarisi secara turun temurun. Letaknya dekat dengan pinggir jalan raya Desa Kapal sehingga akses dengan penjual menjadi lebih cepat.  Produk-produk gerabah yang dihasilkan sebagian memenuhi pesanan toko-toko di desa Kapal dan yang lainnya memenuhi permintaan masyarakat yang langsung datang ke tempat perajin untuk kebutuhan dalam jumlah unit yang banyak. Hotel-hotel juga memesan kebutuhan gerabah secara langsung kepada perajin di Banjar Basangtamiang seperti kap lampu, tempat pemanggangan sate dan pot bunga ukuran besar (gentong). Kekhasan gerabah Basangtamiang dibandingkan dengan gerabah luar adalah tampilannya netral, tanpa finishing, lebih tebal dan warna merah bata. Menurut beberapa pedagang produk-produk berupa gentong yang digunakan untuk fungsi yang berkaitan dengan air seperti pot bunga, tempat air dan sebagainya lebih disukai gerabah Bali dibandingkan dengan gerabah luar seperti gerabah Lombok. Alasannya karena gerabah Bali lebih kuat karena badannya lebih tebal walaupun harganya lebih mahal dan tampilan bentuknya kurang menarik dibandingkan gerabah luar seperti gerabah Lombok ataupun gerabah Yogyakarta.

Pembuatan kerajinan gerabah di Banjar Basangtamiang telah diketahui luas masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu yaitu sebagai tempat pembuatan benda-benda gerabah untuk keperluan upacara keagamaan. Karena perajin di banjar ini konsisten membuat benda-benda gerabah untuk keperluan upacara Hindu di Bali, walaupun mereka juga mendapatkan pesanan dari pihak hotel maupun wisatawan. Pada saat-saat tertentu perajin kewalahan menerima permintaan masyarakat akan kebutuhan gerabah dalam jumlah besar seperti untuk upacara ngaben, ngenteg linggih dan sebagainya. Produk-produk yang dibutuhkan seperti senden, cobong, dulang, paso dan sebagainya. Perajin umumnya sudah mengetahui jenis-jenis produk yang dipesasan oleh konsumen dilihat dari asal dan jenis upacara yang dilakukan. Karena masing-masing daerah di Bali memiliki kebiasaan yang berbeda dalam menjalankan upacara adatnya demikian juga kebiasaan dalam memakai produk penunjang upacara seperti benda-benda gerabah.

Desa Kapal, Sebagai sentra Pemasaran Produk Gerabah di Bali, selengkapnya

Tari Bali Tempo Dulu Dari Negeri Sakura

Tari Bali Tempo Dulu Dari Negeri Sakura

Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar

            Buku tentang seni pertunjukan Bali, Dance and Drama in Bali (1938), karya Beryl de Zoete dan Walter Spies menyebutkan bahwa pada tahun 1935 di Bali telah ada tari selamat datang yang bernama Tari Pengaksama.  Sekelumit informasi dari buku tua itu membuat penasaran seorang penari dari Negeri Sakura, Ami Hasegawa. Dalam penelusurannya di Bali, penari yang pernah belajar di ISI tersebut, menemukan bahwa seni pentas yang usianya lebih tua dari Tari Pendet (1950-an) itu diciptakan oleh I Nyoman Kaler dari Banjar Pagan (Denpasar). Namun bagaimana bentuk tari dan iringan gamelannya, Ami sangat sulit menemukan nara sumbernya. Beruntung, penari sepuh Bali Ni Ketut Arini, masih memiliki sekelebat bayangan dengan karya tari yang dibawakan oleh sepasang penari wanita itu. Atas dorongan Ami Hasegawa, Arini kemudian merekonstruksinya. Pada Senin (20/6) malam lalu disuguhkan di arena Pesta Kesenian Bali (PKB).              Bukan hanya Tari Pengaksama, pada malam itu, penonton juga disuguhkan tari-tarian tua dan langka yang tak begitu dikenal oleh masyarakat Bali masa kini. Melalui tajuk pagelaran “Tari-tarian Tempoe Doeloe“ ditampilkan pula Tari Rejang Renteng, Baris Kekoepoe, dan Tari Wiranjaya. Yang mencengangkan penonton yang memadati Wantilan Taman Budaya Bali itu adalah semua penari yang membawakan tari masa lampau itu adalah wanita berkulit kuning dari Jepang. Diiringi oleh Sanggar Gamelan Cendana Batubulan, para penari Sanggar Basundhari pimpinan Ami Hasegawa yang bermarkas di Kanagawa, Jepang, tampil penuh percaya diri dengan penguasaan teknik tari yang cukup pasih.

            Selain Tari Pengaksama, rekonstruksi Tari Kekoepoe juga berdasarkan informasi yang ditemukan Ami pada buku Zoete dan Spies itu. Untuk merekonstruksi Tari Pengaksama dan Kekoepoe serta mengajarkan kepada para penari dari Negeri Sakura itu, Ketut Arini diundang datang ke kota Kanagawa–sekitar 200 kilometer arah utara Tokyo. Hanya berbekal sepotong ingatan, kira-kira sebulan sebelum gempa dan tsunami mengguncang Jepang, Arini menuangkan kedua tarian itu. Untuk tari Kekoepoe, tak begitu menemukan kesulitan sebab  tari yang juga diciptakan oleh I Nyoman Kaler ini, pernah dibawakan Ketut Arini pada tahun 1961. Tetapi proses rekonstruksi Tari Pengaksama yang agak sulit, baik menyangkut tata tarinya maupun iringan gamelannya. Saat mengajarkan pada penari Sanggar Basundhari, Arini hanya mengiringi dengan gamelan dari mulutnya. Iringan gamelan Tari Pengaksama tersebut baru kemudian digarap di Bali oleh komposer I Ketut Suanda berdasarkan potongan-potongan ingatan Arini.

            Begitu iringan kedua tari itu selesai direkonstruksi di Bali, rekamannya, dikirim ke Jepang untuk dipakai latihan oleh para penari yang akan membawakannya dalam PKB. Tetapi latihan tak dapat berlangsung lancar, selain dihambat pemulihan akibat tsunami, juga karena para penarinya tinggal di kota berjauhan dengan kesibukan pekerjaannya masing-masing. Solusinya, dengan salinan kaset iringan gamelan dan rekaman video latihan yang diarahkan Ketut Arini, para penari mempelajarinya sendiri-sendiri. Baru setiba di Bali–berangkat dari kota asalnya masing-masing–seminggu menjelang pentas, ujar Ami Hasegawa, para penarinya bertemu dalam latihan gabungan yang langsung diiringi oleh grup Gamelan Cendana Batubalan pimpinan Ketut Suanda yang punya nama panggung I Cedil.

            Di PKB, kerjasama para seniman Jepang dan Bali itu mengawali penampilannya dengan Tari Rejang Renteng dan mengakhirinya dengan Tari Wiranjaya. Kedua tari ini juga tak begitu dikenal oleh masyarakat Bali. Berbeda dengan Tari Pengaksama dan Kekoepoe yang direkonstruksi di Jepang, Rejang Renteng dan Wiranjaya direvitalisasi di Bali. Rejang Renteng sejatinya adalah tari ritual sakral yang jenisnya  cukup beragam di Bali dengan bermacam sebutan. Tari yang ditradisikan di Nusa Penida, Klungkung, ini mulai disosialisasikan pada masyarakat umum pada tahun 1999. Malam itu dibawakan oleh Chiaki Watanabe, Miyuki Arai, Sae Yasuda, dan Mamiko Kasumi dengan penuh ketenangan dengan busana kebaya putih-kuning.

            Berbeda dengan tari Rejang Renteng yang bernuansa khusuk, Tari Wiranjaya menggebrak ramai dan dinamis. Wiranjaya adalah jenis tari kakebyaran yang menguak di Bali Utara pada tahun 1957, mengisahkan tentang pelatihan perang ksatria Pandawa, Nakula dan Sahadewa, dalam ketangkasan memanah. Tari ciptaan Ketut Merdana ini seangkatan dengan Tari Tarunajaya yang telah cukup dikenal masyarakat Bali. Malam itu, Mayumi Inouye dan Mariko Inui, membawakannya penuh semangat. Penonton yang umumnya tak pernah menyaksikan tari yang lahir di Buleleng bagian barat (Dauh Enjung) tersebut, terpukau akan tata artistik tari yang disajikan sekitar 10 menit oleh dua wanita Jepang itu.

            Memang terasa lucu dan aneh. Masyarakat Bali diperkenalkan tari Bali zaman dulu oleh orang asing, para penari Negeri Sakura. Tari Pengaksama diperkenalkan oleh dua orang penari yaitu Ami Hasegawa dan  Megumi Wakabayashi. Tari Kekoepoe (Tari Baris Kupu-kupu) diperkenalkan oleh Ai Ideguchi, Chizuko Sami, Sayaka Nagayama, dan Yuko Hasegawa. Kendati demikian kita tak perlu merasa “dipermalukan“. Sepatutnya masyarakat Bali salut pada para insan seni dari Jepang itu yang dengan sarat apresiasi, daya, biaya merekonstruksi dan memperkenalkan tari Bali tempoe doeloe di tanah kelahiran dan kepada masyarakat pemilik kesenian itu sendiri.

Tari Bali Tempo Dulu Dari Negeri Sakura, Selengkapnya

Struktur Pertunjukan Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, Bagian II

Struktur Pertunjukan Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, Bagian II

Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan

1).  Tabuh Pategak

            Marajaya berpendapat, bahwa pertunjukan Wayang Kulit Bali pada umumnya dimulai dengan tabuh pategak atau pembukaan. Tabuh ini mempunyai tujuan untuk menarik perhatian penonton agar terkonsentrasi pada jalannya pertunjukan. Tabuh pembukaan atau pategak ini dapat juga ditemukan pada pertunjukan-pertunjukan seni teater lainnya seperti: Drama Gong, Prembon, Arja, Wayang Wong, Janger, Joged Bumbung dan lain sebagainya. Pada tabuh pategak pertama selesai, sang dalangpun naik ke panggung tempat pertunjukan, dan tabuh pategak ke dua dilanjutkan oleh panabuh. Tabuh pategak ke dua mulai, sang dalang duduk mengukur jarak kelir dengan blencong menggunakan ujung jari tangan, setelah merasa sudah cukup, dilanjutkan dengan makan daun sirih (nginang) dari ujung daun sirih dengan ucapan mantra: Pukulun Sanghyang Tunggal amasanga guna kasmaran, buta asih, liak asih, janma manusa asih, Dewa Batara asih, teka patuh ingkup, teka asih 3x. Ong antara, pantara, patara, sarwa sih manembah alila sudha ya namah, Ang Ah. Dilanjutkan oleh sang dalang natab bayu dengan cara meniupkan nafas pada tangan, kalau lebih deras nafas lubang hidung kanan, sang dalang meniatkan Betara Brahma yang menuntun di saat pertunjukan, jika lebih deras nafas lubang hidung kiri, maka sang dalang meniatkan Betara Wisnu yang menuntun di saat pertunjukan, seandainya keduanya sama-sama deras, maka sang dalang meniatkan Betara Iswara yang menuntun di saat pertunjukan, dengan mantra dalam hati, Ong Ang Ung Mang, suksma yogi prayojana sudha ya namah. Dalam pertunjukan Wayang kulit Bali, tabuh pategak dilanjutkan dengan tabuh pamungkah.

2).  Tabuh Pamungkah

            Dalang melakukan langkah-langkah seperti: nebah keropak yaitu tutup keropak ditepuk dengan telapak tangan kiri, disertai dengan ucapan mantra: Atangi Sanghyang Samirana angringgit amolah cara. Dalang membukanya tutup keropak ditaruh di sebelah kanan dalang sekaligus digunakan alas wayang yang akan sering dipakai di dalam pertunjukan. Dalang mengambil ke dua pamurtian, yang kanan dipegang dengan tangan kanan, dan yang kiri dipegang dengan tangan tangan kiri, dengan mengucapkan mantra: Pukulun Sanghyang Tiga Wisesa amasang guna pangeger. Kemudian pamurtian diserahkan kepada pembantu dalang (katengkong) di kanan untuk ditancapkan di ujung layar (kelir) sebelah kanan, pamurtian kiri diserahkan kepada pembantu dalang (katengkong) di kiri untuk ditancapkan di ujung kelir sebelah kiri. Dalang mengambil alat pemukul keropak (cepala) yang dipasang (dijepit) dengan telunjuk dan jari tengah tangan sebelah kiri. Setelah sang dalang siap, kemudian memberikan aksen dengan satu ketokan keras (tak), maka tabuhpun mulai nguncab, pemukulan keropak disesuaikan dengan tabuh gamelan (mecandetan). Kemudian sang dalang mengambil kayonan ditempel di siwadwara di bagian belakang blencong dengan mengucapkan mantra: Om Sanghyang Sambhu mulih ring Wisnu, Sangkara mulih ring Mahadewa, Ludra mulih ring Brahma, Mahesora mulih ring Iswara meraga Sanghyang Tunggal, mawak gni, tangan gni, rambut gni, melidah aku mirah, asing cepolang aku bentar, teka mandi 3x, teg nyer 3x.

3).  Tari Kayonan I

            Tari kayonan (gegilak kayonan) yang dimunculkan dari bawah tepat di tengah-tengah kelir yang diikuti oleh tabuh musik iringan (gamelan) sesuai kode-kode yang diberikan oleh dalang, baik kode melalui kayonan maupun kode dari cepala, antara keras dan halusnya suara gamelan dikendalikan oleh dalang. Kayonan ditarikan ke kanan dan ke kiri, kemudian diputar-putar (miling) di ujung kelir kanan dan kiri. Setelah miling, dalang mencari celah untuk menarik kayonan ke bawah untuk memberikan kode kepada penabuh bahwa tari kayonan pertama telah usai, kemudian kayonan ditancapkan pada batang pisang (gadebong) tepat di tengah-tengah kelir dan dipasang tokoh wayang Sanghyang Tunggal atau Sanghyang Cintya tepat dipertengahan kayonan, dan dilanjutkan dengan adegan jejer wayang.

4).  Jejer Wayang

            Pada adegan jejer wayang, dalang menancapkan wayang di samping kanan dan kiri kayonan sesuai dengan tokoh penting yang akan terlibat dalam lakon pentaskan. Wayang yang tidak terpakai ditancapkan sesuai dengan penokohannya, seperti tokoh protagonis di ujung batang pisang sebelah kanan dan tokoh antagonis di ujung batang pisang sebelah kiri dalang. Dari adegan jejer wayang juga dapat memberikan gambaran kepada penonton tentang lakon yang akan diceritakan pada pementasan, disamping untuk memudahkan dalang mengambil wayang atau tokoh-tokoh yang diperlukan pada saat lakon telah berjalan. Adegan selanjutnya yaitu ngabut kayonan dilanjutkan dengan menarikan kayonan (gilak kayonan) tahap kedua.

5).  Tari Kayonan II

Setelah wayang dicabut satu-persatu oleh dalang dan diserahkan kepada pembantu dalang (katengkong), tinggal kayonan yang masih tertancap di tengah-tengah kelir, tabuh gamelanpun berubah menjadi tabuh ngabut kayonan. Dalang mengikuti irama gamelan disaat mencabut kayonan, kemudian ditarikan ke kiri dan ke kanan tanpa disertai dengan pukulan cepala. Setelah miling kiri dan kanan, dalang memutar-mutar ringan kayonan dari kiri, dan ke kakan sambil mencari celah akan mematikan suara gamelan dengan kode pukulan cepala, sebagai tanda tari kayonan kedua telah usai.

Uraian di atas menunjukan, bahwa di dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung di Pemuwuna setra Pura Dalem Desa Kerobokan oleh dalang Ida Bagus Sudiksa masih tetap mengikuti pakem tradisi Pewayangan Bali, karena tidak ada urutannya yang dikurangi. Selanjutnya dilanjutkan dengan adegan petangkilan.

6).  Petangkilan

Adegan petangkilan dalam pewayangan Bali sering disebut dengan istilah peguneman, yang mempunyai makna persidangan atau bermusyawarah. Tokoh-tokoh wayang yang akan pergi ke persidangan diiringi oleh gending yang disesuaikan dengan irama musik iringan (tabuh gamelan). Nardayana mengatakan bahwa, motif gending petangkilan dalam Wayang Kulit Bali ada tiga jenis, yaitu alas harum, rundah dan candi rebah. Alas harum adalah gending yang dipakai oleh dalang untuk mengiringi wayang-wayang yang berkarakter halus ke persidangan, misalnya: Tokoh Darmawangsa, Kresna, Kunti. Rundah adalah gending yang dipakai oleh dalang untuk mengiringi wayang-wayang yang berkarakter keras atau dadeling (bermata bulat) pergi ke persidangan, misalnya tokoh Duryodana dan Dursasana. Sedangkan candi rebah adalah gending yang dipakai oleh dalang untuk wayang-wayang yang berkarakter raksasa, misalnya tokoh Rahwana, Kumbakarna dan lain-lain. Tabuh gamelan pada iringan musik pewayangan Ramayana ada perbedaan dengan tabuh gamelan iringan musik pewayangan Calonarang. Di dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa, tokoh-tokoh yang terlibat di petangkilan atau musyawarah adalah: Prabu Erlangga, Patih Madri, Twalen dan Mredah diiringi gending batel maya yang tidak jauh larasnya dengan candi rebah. Tandak batel maya ini mengikuti gending gamelan yang mengiringinya, adegan ini berlangsung sekitar 10 menit.

Struktur Pertunjukan Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, Bagian II Selengkapnya

Fungsi Tari Legong Sambeh Bintang

Fungsi Tari Legong Sambeh Bintang

Kiriman Ni Wayan Ekaliani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar

Untuk membahas fungsi tari Legong Sambeh Bintang digunakan Teori Kontekstual. Segala aktivitas budaya masyarakat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan suatu rangkaian dari sejumlah kehidupan masyarakat pendukungnya, bukan saja sebagai hiburan, melainkan juga digunakan untuk mengikat rasa persatuan. Hal itu juga tampak dalam kegiatan penyajian tari Legong Sambeh Bintang yang ditampilkan selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pendukungnya untuk hari persembahan, namun selain itu keberadaan tari yang disakralkan oleh masyarakat pendukungnya ini juga berfungsi sebagai pengikat rasa persatuan bagi warga masyarakat desa setempat.

Seni pertunjukan pada dasarnya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam kehidupan manusia, seni memiliki fungsi berbeda-beda sesuai dengan kondisi masyarakat pendukungnya serta lingkungan di mana seni itu lahir atau berkembang.

Fungsi seni bila dipandang dari segi kegunaanya terbagi menjadi tujuh yaitu: (a) memanggil kekuatan gaib, (b) menjemput roh-roh baik, (c) menjemput roh-roh untuk hadir dipemujaan, (d) peringatan pada nenek moyang, (e) perlengkapan upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam putaran waktu, (f) perlengkapan upacara dengan tingkat-tingkat hidup manusia, (g) perwujudan dari pada dorongan untuk mengungkapkan keindahan semesta. Secara umum fungsi seni tari dapat dibagi menjadi: tari sebagai keindahan; tari sebagai persembahan; tari sebagai alat komunikasi.

  a. Tari sebagai keindahan. Hampir di setiap pementasan seni selalu me-ngutamakan unsur keindahan yang paling utama, karena keindahan di dalam seni itu merupakan mutlak mesti ada termasuk dalam seni tari. Keindahan memiliki penger-tian yang sangat luas, di mana keindahan itu merupakan keteraturan susunan bagian dari bentuk tari secara organik, keserasian atau keselarasan dalam unsur maupun pola-pola yang mempersatukan bagian-bagiannya. Maksudnya adalah di dalam sebuah seni tari keindahan dilihat dari segi isi, makna, atau pesan tertentu. Sebagai-mana halnya dengan tari Legong Sambeh Bintang yang walaupaun menggunakan ragam gerak sederhana namun dari kesederhanaan tersebut akan menimbulkan nilai keindahan yang kuat.

            Jika dikaitkan dengan pernyataan di atas, maka tari Legong Sambeh Bintang yang muncul dan berkembang di Desa Bangle, Abang, Karangasem ini juga berfungsi sebagai media keindahan. Hal itu dapat dilihat dari ragam gerak, tata-rias busana yang digunakan tari Legong Sambeh Bintang ini yang ditampilkan dengan mengutamakan unsur keindahan. Unsur keindahan diutamakan oleh pementasan tarian ini karena keindahan merupakan hal yang paling penting dalam suatu penyajian pertunjukan. Keindahan yang ditampilkan oleh tari Legong Sambeh Bintang ini mengandung arti/makna sangat luas dan kompleks, di antaranya tari ini tampak selalu menampilkan keteraturan susunan bentuk tari, keserasian, keselarasan unsur maupun pola-pola tari Legong Sambeh Bintang ini agar penyajian tari ini secara keseluruhan tampak indah baik dilihat dari isi, makna, maupun pesan yang ingin disampaikan.

b. Tari sebagai Persembahan. Sebagian besar kesenian yang ada di Bali merupakan kesenian sakral, karena kesenian ini diciptakan untuk kepentingan yadnya atau upacara. Upacara ritual sebagai pengalaman emosi keagamaan meng-hadirkan tari di dalamnya sebagai sarana pengungkapan kepercayaan. Kehadiran tari dalam upacara ritual berfungsi untuk memperkuat kepercayaan dan memformulasi-kan konsepsi agama mengenai kehidupan. Sebagaimana tari Legong Sambeh Bintang yang dipentaskan untuk keperluan upacara agama untuk memperkuat kepercayaan masyarakat setempat kepada para Dewata.

                      Selain berfungsi sebagai media keindahan, tari Legong Sambeh Bintang ini juga berfungsi sebagai persembahan. Sebagimana seni pertunjukan pada umumnya,  tari Legong Sambeh Bintang ini yang muncul dan berkembang di Desa Bangle Karangasem ini juga merupakan kesenian sakral, karena seni pertunjukan ini diciptakan untuk kepentingan upacara. Upacara ritual sebagai pengalaman emosi keagamaan menghendaki adanya tari di dalamnya sebagai sarana pengungkapan kepercayaan. Kehadiran tari Legong Sambeh Bintang ini dalam upacara ritual Usaba Desa berfungsi untuk memperkuat kepercayaan dan memformulasikan konsepsi agama masyarakat setempat tentang kehidupan mereka.

 c. Tari sebagai alat komunikasi. Tari banyak digunakan masyarakat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, contohnya masyarakat Bali banyak mempersembahkan tarian untuk berkomunikasi kepada Tuhan, jika mereka ingin agar di desa tidak terjadi wabah penyakit, dan memohon kepada Tuhan dengan cara mempesembahkan tari-tarian.

Selain berfungsi sebagai media keindahan, sebagai persembahan, tari Legong Sambeh Bintang yang disakralkan masyarakat Desa Bangle ini juga sebagai alat komunikasi. Hal itu dapat dilihat dari seringnya tari Legong Sambeh Bintang ini digunakan masyarakat setempat sebagai media untuk berkomunikasi dengan Tuhan ketika upacara piodalan Usaba Desa di Pura Desa, desa setempat. Mereka selalu mempergunakan tari Legong Sambeh Bintang ini sebagai persembahan untuk berkomunikasi kepada Sang Maha Pencipta yang telah memberinya keselamatan dalam menjalankan kehidupan.

Fungsi Tari Legong Sambeh Bintang Selengkapnya

Loading...