by admin | Sep 9, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ni Made Wiryani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar.
Prosesi Upacara Ngerebeg
Sebelum upacara Ngerebeg dimulai, terlebih dahulu diadakan upacara titi mamah dengan menggunakan kebo yus brana, yaitu seekor kerbau betina (gadis) yang berwarna hitam. Warga yang ikut bersaksi diadakan upacara semacam upacara ritual itu dipercikan air suci yang merupakan hasil rendaman keris-keris yang sudah dipasupati, dengan tujuan agar warga/rakyat yang bersaksi apabila kena goresan atau tusukan senjata tajam, tidak terluka dan sehat walafiat.
Prosesi mepeed mulai dari Kraton Puri Agung di Munggu yang sekarang bernama Griya Agung Mandera atau Griya Bancingeh yang paling pertama adalah pengasepan (api, dupa) eteh-eteh Ida Betara, wastra, umbul-umbul, tedung betari, bendrangan, tombak dan seluruh duwe/milik pura dikeluarkan dalam prosesi upakara ini mengelilingi Desa Munggu yang berakhir di Jaba Pura Luhur Sapuh Jagat, yang diberi upacara sebagaimana mestinya.
Setelah upacara selesai kira-kira pukul 13.00 siang, dimulailah upacara ”Ngerebeg”, yaitu perang-perangan. 11 banjar yang ada di desa Munggu pada setiap banjar wajib mengeluarkan 30 sampai 35 orang untuk ikut sebagai pendukung tari Mekotekan. Terbentuklah segerombolan rakyat yang masing-masing membawa kayu pulet yang panjangnya ± 4 m dengan bentuk menyerupai tombak. Lebih kurang 800 orang warga yang terlibat dalam upacara Ngerebeg mengelilingi Desa Munggu dan pada setiap prapatan banjar yang dianggap tempat-tempat bersejarah dipentaskan tari Mekotekan dengan durasi ± 6 menit.
Dalam kondisi kerawuhan (trance) mereka semua melakukan Mekotekan dan menari-nari dengan gerakan bebas, kemudian dengan spontan mereka mendekatkan ujung dari properti yang mereka bawa, sehingga terbentuk bangun menyerupai kerucut. Beberapa orang warga ± 6 – 9 orang berlari menaiki punggung dan kepala warga yang sedang menari-nari, sehingga sampai pada ujung kotekan kayu-kayu tersebut, sambil menari-nari di atas kotekan kayu lebih kurang 5-6 menit mereka menari di ujung kayu-kayu kotekan itu, dan beberapa orang pemangku pura melakukan ritual ngaturang segehan agung dan tetabuhan, tuak, arak dan berem serta mohon kepada sesuhunan betara agar upacara mekotekan berakhir dengan selamat, dan akhirnya semua penari Mekotekan sudah sadarkan diri. Serta semuanya melakukan tetabuhan, dan upacara selesai. Selanjutnya semua pusaka keris dan tombak disimpan kembali di kraton Puri Agung Munggu.
Seluruh rangkaian prosesi ini secara tidak langsung merupakan fragmentasi tari untuk mengenang sejarah berdirinya Pura Luhur Sapuh Jagat, dimana pada saat itu ada seorang warga (yang akhirnya menjadi pemangku di sana) kesurupan dan naik ke atas sebuah payung (tedung) setinggi 5 meter yang diambil dari Pura Puseh dan ditancapkan di tempat yang selanjutnya menjadi tempat berdirinya Pura Luhur Sapuh Jagat, untuk meyakinkan warga masyarakat akan adanya kekuatan ilahi yang akan melindunginya.
Perbendaharaan Gerak Tari Mekotekan
Adapun simbol gerakannya diambil dari ilustrasi sebuah keris yang ditancapkan pada sebuah tugu yang berarti kemenangan. Dominan gerakannya adalah olah tubuh pada level tinggi, yang melambangkan kegagahan, kewibawaan dan keagungan seorang raja gerakannya yang kompak dan penuh kegembiraan menandakan kebahagiaan yang meraih suatu kemenangan melawan penjajahan. Namun semua gerak-gerak yang dilakukan tidak lepas dari ciri khas gerak-gerak tari seperti gerak ngeraja singa, yaitu gerakan yang dilakukan pada saat penarinya berada di ujung tatanan kayu (di puncak kerucut), dan juga gerakan malpal dilakukan pada saat membentuk lingkaran sambil menata properti yang dibawa, berupa kayu-kayu yang diujungnya dipasang pada berupa keris dari tamiang yang merupakan simbol-simbol dari pusaka-pusaka Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.
Setelah tatanan kayu-kayu itu dibentuk berupa krucut, dengan spontan ada beberapa warga yang kesurupan dan naik ke atas tatanan kayu-kayu tersebut, sambil menari-nari dan diarak oleh warga. Dengan ekspresi dari rasa suka, bahagia dan gembira melakukan gerakan ngraja singa yang diulang-ulang yang merupakan kekuatan dari alam (niskala) sehingga penari itu nampaknya seperti ada unsur ekspresi jiwa yang memiliki kekuatan gaib dan mempunyai daya pancar yang kuat, yang sering disebut metaksu. Tari Mekotekan ini memiliki keunikan tersendiri.
Sebagai gerakan penutup, tatanan kayu-kayu yang berbentuk kerucut direbahkan, sehingga penarinya pun turun dan langsung membubarkan diri.
Busana dan Tata Rias
Busana yang dipergunakan masih berpolakan busana kuno yang sangat sederhana, yaitu :
- Menggunakan udeng batik
- Kain batik bulet linting
- Saput poleng
- Bunga pucuk bang (kembang sepatu warna merah)
Properti yang Digunakan
Properti yang dipergunakan dalam tarian ini adalah sebatang tongkat kayu berukuran panjang + 4 meter, terbuat dari kayu pulet yang kulit batang kayunya sudah dibersihkan sehingga terlihat putih dan halus. Sebelum dipergunakan seluruh kayu pulet di pasupati secara massal.
Instrumen Pengiring Tari Mekotekan
Iringan musik dimainkan oleh para penabuh memakai kostum yang seragam. Sebelum dipergunakan untuk mengiringi tarian, alat musik iringan dihaturkan sesajen yang terdiri dari : tipat gong, banten peras, banten sodan, banten daksina dan canang sesari. Alat musik yang dipakai untuk mengiringi tari Mekotekan ini adalah seperangkat gambelan baleganjur yang terdiri dari :
- Kendang 2 buah lanang-wadon
- Cengceng 9 cakep
- Tawa-tawa (ponggang)
- Reyong (4 buah)
- Suling
- Gong
Masyarakat Pendukung
Suatu seni pertunjukan akan dapat tetap lestari apabila ada komunitas masyarakat yang mendukungnya. Sebagaimana halnya tari Mekotekan ini, sebagai sebuah tarian sakral yang dianggap memiliki kekuatan-kekuatan magis yang mampu menghindarkan dari wabah dan malapetaka, maka tari Mekotekan ini didukung secara penuh oleh lembaga tradisional masyarakat Desa Munggu yang merupakan gabungan dari 11 banjar.
Bentuk, Perkembangan, dan Fungsi Tari Mekotekan, selengkapnya
by admin | Sep 8, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Ni Luh Lisa Susanti Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar
Wujud merupakan salah satu bagian dari tiga elemen karya seni (wujud, isi/bobot, dan penampilan), serta menjadi elemen dasar yang terkandung dalam karya seni. Wujud adalah sesuatu yang dapat secara nyata dipersepsikan melalui mata atau telinga atau secara abstrak yang dapat dibayangkan atau dikhayalkan.
Deskripsi Garapan
Kembang Ratna merupakan sebuah garapan tari kreasi Palegongan yang tidak menggunakan pakem-pakem tari Legong, namun terinspirasi pada gerakan-gerakan luwes dari Legong klasik, dan dikembangkan sesuai kebutuhan garapan. Garapan Kembang Ratna tidak memuat dan mengangkat unsur cerita di dalamnya, tetapi menampilkan wujud serta karakter bunga ratna. Seperti yang diketahui, karakter dari bunga ratna, yaitu agung, sederhana, dan indah. Sedangkan wujud bunga ratna, yaitu bunga ratna memiliki bentuk yang kecil, namun dapat hidup subur di tengah-tengah tumbuhan lainnya, serta dapat layu dan rapuh seiring berjalannya waktu. Ide garapan terinspirasi saat penata melihat setangkai bunga ratna yang dipasangkan di setiap bangunan suci (pelinggih) pada waktu diselenggarakannya upacara keagamaan.
Adapun tema yang diangkat dalam garapan Kembang Ratna adalah perputaran hidup. Perputaran hidup yang dimaksud adalah perputaran hidup dari bunga ratna itu sendiri, karena bunga ratna tidak hanya selalu dalam keadaan segar namun juga dapat layu dan rapuh. Demikianlah bunga ratna yang melalui suatu proses yang terus berputar, tumbuh dari bibitnya, hidup subur di antara tumbuhan lainnya, memiliki karakter agung karena digunakan sebagai sarana upacara, sederhana karena memiliki bentuk kecil, dan indah. Bunga ratna dapat layu dan rapuh seiring berjalannya waktu, namun setelah layu dan rapuhnya bunga ratna tersebut akibat dipetik setelah digunakan sebagai sarana upacara, bunga ratna dapat tumbuh kembali dari bijinya yang berserakan menjadi bunga ratna baru. Tema inilah yang harus disesuaikan dengan struktur garapannya agar dapat menjadi satu kesatuan yang utuh. Struktur garapan tari kreasi Palegongan Kembang Ratna terdiri dari pengawit, pepeson, pengawak, pengecet, pengetog, dan pekaad. Gerakan-gerakan yang dipergunakan dalam tari kreasi Palegongan Kembang Ratna adalah pengembangan dari gerak-gerak tari Legong, seperti agem, dan angsel gerak serta muncul berdasarkan inspirasi penata sendiri. Tentunya dalam hal ini, penata menginginkan motif gerakan yang dipergunakan dalam garapan dapat berbeda dari gerak-gerak Legong yang telah ada sebelumnya.
Kembang Ratna ditarikan dalam bentuk tari kelompok oleh 7 (tujuh) orang penari putri dengan alasan penempatan penari dapat memberi kesan dinamis, kontras, asimetris, pola lantai dapat lebih bervariasi, postur tubuh penata dan pendukung yang agak kecil memungkinkan menggunakan 7 orang penari agar panggung tidak terlalu banyak kosong, serta dapat berbeda dari segi jumlah penari dengan penampilan tari kreasi Palegongan lainnya yang dipertunjukkan dalam menempuh Ujian Tugas Akhir pada tahun ini.
Pesan yang ingin disampaikan penata melalui garapan tari Kembang Ratna terkait dengan tema yang diangkat adalah dalam kehidupan, makhluk hidup semua sama di hadapan Tuhan karena semua diciptakan dan melalui proses yang sama yaitu lahir, hidup, dan mati. Begitulah seterusnya dan selalu berulang-ulang, demikian pula halnya dengan bunga ratna.
Durasi waktu yang digunakan dalam garapan tari kreasi Palegongan Kembang Ratna adalah kurang lebih 12 menit, yang disajikan di panggung prosenium Gedung Natya Mandala ISI Denpasar. Berdasarkan durasi waktu yang digunakan, diharapkan garapan ini dapat tampil secara utuh, adanya suatu komunikasi, dan dapat dinikmati penontonnya.
Konsep kostum yang digunakan dalam garapan ini adalah konsep minimalis dengan tujuan agar kostum nantinya tidak mengganggu ruang gerak penari. Kostum garapan ini menggunakan ciri kostum Palegongan yang telah ada, seperti penggunaan lamak, bancangan, dan sesimping, namun ada beberapa bagian yang diberi inovasi, seperti motif serta warna gelungan, kain, sesimping, ampok-ampok, dan lamak, agar dapat menampilkan nuansa baru. Demikian halnya dengan tata rias dalam garapan Kembang Ratna yang menggunakan tata rias panggung putri halus. Warna kostum yang dominan digunakan dalam garapan tari kreasi Palegongan Kembang Ratna adalah warna ungu, dan putih susu. Penggunaan warna ini didasarkan atas dua macam warna bunga ratna asli, yaitu bunga ratna berwarna ungu, dan bunga ratna berwarna putih. Selain itu, properti yang digunakan yaitu kipas, yang telah menjadi ciri khas tari Palegongan dan nantinya akan mendukung ekspresi gerak yang dibawakan.
Iringan yang digunakan dalam garapan tari kreasi Palegongan Kembang Ratna adalah gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu. Pemilihan gamelan berdasarkan pertimbangan bahwa gamelan Semar Pegulingan memiliki kekayaan patet dengan 7 nada yang dimiliki, mampu mendukung setiap suasana yang ingin disampaikan, dan gamelan ini identik dengan tari Legong. Penata iringan tari garapan Kembang Ratna adalah Dewa Alit, dengan pendukung karawitan adalah Sekaa Gong Nataraja, Banjar Mekar Sari, Padang Tegal, Ubud. Pola iringannya disesuaikan dengan struktur tari kreasi Palegongan yang digarap, dan jenis gending yang digunakan juga inovatif, sehingga antara bentuk tari dan gending terdapat adanya jalinan kesatuan yang utuh.
Wujud Garapan Kembang Ratna selengkapnya
by admin | Sep 7, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan
1). Gedebong
Gedebong atau pohon pisang dalam pertunjukan Wayang Kulit berfungsi untuk tempat menjejerkan wayang-wayang yang mengambil posisi di kelir. Pada saat tokoh wayang yang dimainkan berada pada posisi berdiri, menunduk, maupun duduk, tangkai wayang ditancapkan pada gadebong. Gadebong juga berfungsi untuk menancapkan kayu perentang pada pinggir kelir (kanan dan kiri) dengan posisi vertikal (jelujuh), agar kelir menjadi kencang dan tidak tertekuk-tekuk. Di dalam kitab Dharma Pewayangan disebutkan bahwa gadebong merupakan lambang Pertiwi atau tanah, kelir adalah lambang akasa atau langit dan blencong lambang teja (Triodasa Saksi), yang meliputi Surya, Candra, Wintang Tranggana. Ketiga-tiganya merupakan bagian dari Panca Maha Buta (akasa, teja, bayu, apah, pertiwi).
2). Kelir
Kelir adalah kain putih dibentangkan untuk menggelar wayang, dimana nanti akan muncul bayangan wayang. Dalam Dharma Pewayangan, kelir adalah simbol langit, juga yang membatasi dalang dengan penonton. Akan tetapi pada kenyataannya di lapangan, banyak sekali penonton yang ingin menonton dari balik kelir, agar dapat melihat langsung dalangnya. Pada pagelaran wayang inovatif cenderung menggunakan gayor sebagai tempat untuk mengikatkan tali pembentang kelir. Gayor ada yang dibuat sangat mewah sesuai dengan kebutuhan pertunjukan. Bahannya dari kayu pilihan, ditatah oleh tukang ukir yang berpengalaman, ukiran ini kemudian dipoles dengan cat dasar berwarna merah, kemudian dicat dengan cat warna emas, lazimnya disebut prada, sehingga akan menimbulkan kesan mewah. Ukuran kelir pagelaran wayang inovatif sangat bervariasi, ada yang standar, adapula yang dibuat sangat besar. Hal seperti ini disesuaikan dengan kebutuhan pertunjukan oleh dalang yang akan melakukan pertunjukan. Hal seperti itu sudah tentu akan berpengaruh terhadap penilaian dari masyarakat peminatnya. Kelir yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa adalah kelir yang berukuran normal sesuai dengan ukuran standar kelir tradisi yaitu 2,50 x 1,25 meter.
3). Blencong
Lingkungan masyarakat di Bali, lampu blencong sering disebut sanggokan atau sembe, yang terbuat dari tanah liat kemudian dibakar. Kegunaan blencong adalah untuk alat penerangan oleh dalang di saat pementasan Wayang Peteng. Dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia, blencong dideskripsikan secara singkat mempunyai kegunaan sebagai lampu untuk penerangan wayang. Dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa, digunakan blencong yang ukurannya hampir sama dengan ukuran blencong pada umumnya. Diameter blencong yang digunaka kurang lebih sekitar 30 cm, tingginya sekitar 28 cm, di dalamnya ada sumbu terbuat dari benang (seperti sumbu kompor minyak tanah), dengan panjang sumbunya sekitar 25 cm, 4 cm di luar, dan sisanya masuk ke badan blencong. Bahan bakar yang digunakan adalah minyak kelapa dengan kapasitas kurang lebih tiga (3) liter. Yang mengontrol nyala blencong di saat pementasan adalah katengkong yang ada di sebelah kanan, agar lebih gampang dari pada katengkong yang ada di sebelah kiri. Tujuan mengontrol blencong agar nyalanya stabil dan tidak menyebabkan pertunjukan terganggu. Tata cahaya yang dipilih oleh dalang Ida Bagus Sudiksa sangat sesuai dengan garapan tradisional. Cahaya blencong mampu memberikan aksen magis dalam pertunjukannya, yang dapat menggiring fikiran penonton seakan dibawa pada masa dimana peristiwa dalam lakon tersebut terjadi. Dalam Dharma Pewayangan disebutkan, bahwa blencong adalah simbol Surya. Cahaya/sinar memegang peranan yang sangat penting dalam sebuah pertunjukan visual. Intensitas cahaya akan mempengaruhi totalitas dari pertunjukan yang digelar. Begitu pula halnya dengan pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa, cahaya yang dihasilkan oleh blencong sangat berpengaruh terhadap jalannya pertunjukan. Sinar yang dihasilkan oleh blencong menyebabkan wayang yang ada di kelir seakan-akan memiliki nafas, sehingga wayang terkesan hidup meskipun di saat jejer wayang. Bayangan yang dihasilkan oleh sinar blencong secara realitas merupakan cerminan sikap, moral dalam kehidupan.
4). Sound System
Alat pembantu pengeras suara atau sound system memegang peranan yang sangat penting di dalam pertunjukan wayang. Sound system yang membantu dalang agar suaranya terdengar keras dan jelas oleh penonton. Jika rangkaian dari pada sound sysitem bagus dan memadai, maka dalang bisa mengatur penekanan suara yang diperlukan untuk tokoh wayang, antara keras dan lembut tanpa mengeluarkan energi penuh. Sound system yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa merupakan sound yang standar milik pribadinya, yang terdiri dari : amplifire ukuran 500 watt, mikrophon, loud speaker (corong) satu buah, dan dua buah colum medium dengan penyangganya. Alat ini sangat mendukung dalam pertunjukan, sehingga suara dalang dan pesan yang disampaikan oleh dalang kepada penonton dapat didengar dengan jelas.
5). Keropak dan Wayang
Keropak wayang adalah tempat penyimpanan wayang. Keropak pada umumnya terbuat dari kayu nangka atau sering disebut ketewel. Bentuk kotak segi empat panjang yang ada variasinya berupa cekungan, bagian atas keropak berfungsi sebagai penutup yang dirancang sedemikian rupa, sehingga mudah dibuka dan ditutup. Selain cekungannya menambah kesan indah, juga ukuran pantat dalang bisa menempel tepat pada pinggir keropak, sehingga dalang dapat memanfaatkan keropak sebagaimana keperluan dalam pertunjukan wayang. Keropak wayang yang digunakan oleh Ida Bagus Sudiksa terbuat dari kayu nangka, dengan panjang 110 cm, lebar bagian bawah 74 cm, dan lebar bagian atas 54 cm, dengan tinggi berukuran 32 cm. Menurutnya, keropak dengan ukuran tersebut di atas mampu menampung hingga 150 wayang, akan tetapi keropak ini berisi sekitar 80 wayang dari berbagai macam tokoh, karakter termasuk wayang tokoh hewan dan tumbuh-tumbuhan. Tempat keropak wayang di samping kiri dalang. Di sini keropak mempunyai fungsi ganda, selain tempat untuk menyimpan wayang, juga berfungsi untuk memberi aksen bersama sarana yang lain yaitu cepala. Di sisi kanan keropak dirancang secara khusus agar bisa lentur, bisa dibentur-benturkan dengan penampang tempatnya berpasangan. Saat pertunjukan wayang mulai keropak akan dipukul oleh dalang dengan alat pukul yang disebut cepala, untuk memberikan aksen pada pertunjukan. Keras lemah, cepat atau lambatnya pemukulan keropak akan memberikan ritme pada pertunjukan wayang, tentunya disesuaikan dengan situasi yang terjadi di dalam pertunjukan.
Wayang adalah material yang terpenting dalam pertunjukan wayang. Wayang pada umumnya terbuat dari kulit sapi yang ditatah atau diukir dan dicat dengan pewarna sesuai dengan keperluannya masing-masing. Wayang yang digunakan oleh dalang Ida Bagus Sudiksa hampir seluruhnya terbuat dari kulit sapi (belulang sampi). Wayang yang tersimpan dalam keropak wayang miliknya tidak kurang dari 80 wayang. Wayang tersebut terdiri dari kayonan, pamurtian, tokoh-tokoh dewa, tokoh raja, tokoh patih, tokoh pendeta, Rangda, Barong, rarung, para raksasa, punakawan, kayu besar dan kecil, bondres dan lain sebagainya, dengan berbagai bentuk dan karakternya. Ukuran dan bentuk wayang dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa, tidak jauh berbeda dengan ukuran wayang pada umumnya. Bahan yang digunakan sama, yaitu terbuat dari kulit sapi (belulang sampi), dengan tangkai kebanyakan memakai tanduk, tujuannya agar lebih enak di saat menarikannya.
Sarana Pertunjukan Wayang Calonarang Lakon Kautus Rarung Dalang Ida Bagus Sudiksa, selengkapnya
by admin | Sep 7, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Ni Wayan Ekaliani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar
Sebuah pertunjukan hubungan antara tari dan musik tidak dapat dipisahkan, karena musik memiliki peranan yang sangat penting untuk memberikan irama dan aksen-aksen di dalam pementasan. Tanpa adanya musik iringan, maka sebuah pertunjukan tarian tidak akan sempurna. Begitu juga dengan tari Legong Sambeh Bintang musik iringan di sini memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung jalannya pertunjukan. Tarian Legong Sambeh diiringi oleh barungan Gamelan Terompong Beruk. Gamelan ini merupakan sebuah barungan gamelan yang sebagian besar instrumennya menggunakan beruk atau tempurung kelapa sebagai resonator. Adapun instrumen-instrumen yang terdapat dalam barungan Terompong Beruk adalah sebagai berikut.
1 Dua buah kendang yaitu kendang lanang dan wadon yang berfungsi sebagai penguasa irama penghubung bagian gending-gending, membuat angsel dan mengendalikan irama gending.
2. Tujuh buah cenceng Baleganjur yang terbuat dari besi bekas singkal dan kejen yang telah rusak (alat pembajak tradisional) yang berfungsi sebagai penggaris bawah ritme gamelan.
3. Empat suling berfungsi melembutkan gending-gending yang lirih dan memperindah lagu.
4. Satu buah trompong yang terbuat dari bilah-bilah kayu dan dan beruk atau tempurung kelapa adapun fungsinya pemegang melodi utama dalam sebuah gamelan.
5. Tujuh buah reong yang dipakai di sini tidak sama seperti reong yang jumpai di Gamelan yang lainnya. Namun jenis reongnya menggunakan bilah yang terbuat dari besi yang berbentuk seperti bilah yang ada pada ugal dalam Gong Kebyar. Berfungsi sebagai pembuat angsel gending.
6. Satu buah kajar yang terbuat dari beruk dan bilahnya terbuat dari besi yang di bentuk seperti bilah ugal. Berfungsi sebagai pemegang tempo.
7. Dua buah ugal yang terbuat dari kayu dan beruk yang memiliki fungsi sebagai pembawa lagu dan penyambung bagian-bagian gending.
9. Gong yaitu terbuat dari bilah bambu petung atau kayu lekukun, sedangkan pelawahnya terbuat dari sebuah waluh (labu) besar yang isinya sudah dihilangkan, kemudian labu itu dijemur hingga kering. Memberikan tekanan pada kalimat-kalimat lagu dan mengakhiri lagu.
Seiring perkembangan kebudayaan masyarakat setempat, yang sudah mampu membeli seperangkat Gamelan Gong Kebyar maka, iringan musik tari Legong Sambeh Bintang ini pun mengalami perkembangan. Masyarakat Desa Bangle pun akhirnya memiliki seperangkat Gamelan Gong Kebyar yang kemudian juga akhirnya digunakan untuk mengiringi tarian sakral ini. Seiring dengan perubahan alat musik yang digunakan maka, ada beberapa perubahan penyajiannya. Misalnya dari segi temponya lebih cepat yang tadinya menggunakan musik yang mengalun namun sekarang lebih terlihat dinamis.
Prosesi Penyajian Tari Legong Sambeh Bintang
Koentjaraningrat menyatakan bahwa ada lima ketentuan yang harus diper-hitungkan dalam setiap upacara religi dalam masyarakat. Kelima ketentuan itu selalu berhubungan secara holistik. Ketentuan itu adalah :
pertama, tentang waktu. Bahwa setiap upacara tidak dapat dilakukan tanpa memper-hitungkan hari baik (dewasa ayu), sehingga umat Hindu telah menetapkan hari upacara suatu pura dengan sistem kalender Bali. Setiap anggota pendukung pura akan selalu ingat hari diadakan-nya upacara pada suatu pura tertentu.
Kedua, tentang tempat. Mengingat bahwa upacara religi mempunyai struktur dan fungsi yang sangat banyak dan bertahap maka setiap tahapan dan bentuk upacara biasanya dilakukan pada tempat yang berbeda-beda sesuai dengan ketentuan dan tradisi yang berlaku di wilayah upacara yang sedang berlangsung.
Ketiga, peralatan yang diperlukan dalam sebuah sistem ritus sangat kompleks dan mempunyai banyak variasi. Peralatan tersebut ada yang habis dalam sekali pakai seperti banten (sesaji), tetapi ada pula peralatan yang dapat diguna-kan secara berulang-ulang seperti: pakaian, perhiasan, arca, tombak, umbul-umbul, gamelan, keris, dan lain sebagainya.
Keempat, keyakinan. Bahwa setiap orang yang terikat sebagai anggota pendukung suatu sistem ritus mempunyai suatu keyakinan, dan mereka melakukan sesuatu yang mempunyai makna khusus yang berhubungan dengan kehi-dupan nyata dan tidak nyata. Oleh karena, itu melakukan upacara religi merupakan suatu lingkaran yang terkadang tidak bisa dihindari bagi sekelompok umat. Upacara religi sering diartikan sebagai tindakan yang dapat memberikan kenyamanan dan menetralisir kondisi kritis yang sedang melanda suatu masyarakat. Keyakinan ini ikut mendorong suatu masyarakat untuk melakukan aktivitas religi, karena jika tidak melakukan hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan suatu bencanan atau mala petaka bagi masyarakat itu.
Kelima, emosi. Bahwa masing-masing individu yang melakukan upacara religi akan merasakan adanya getaran dalam jiwanya masing-masing, pada saat mereka masuk dalam lingkaran batas wilayah suatu upacara. Getaran ini tidak dapat dipisahkan dengan keyakinan yang telah tumbuh pada diri mereka masing-masing.
Prosesi penyajian adalah suatu urut-urutan atau struktur penyajian pementasan, yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa Bangle ketika mereka mempersembahkan tari Legong Sambeh Bintang ini pada saat upacara piodalan Ngusaba Desa di Pura Desa, Desa Bangle, Abang, Karangasem. Sebagai sebuah tari sakral, tari Legong Sambeh Bintang ini selalu ditampilkan pada hari pertama tepatnya pada puncak upacara piodalan Ngusaba Desa dan hanya dipentaskan hanya sekali. Tari ini biasanya ditampilkan masyarakat setempat ketika acara mendak tirta dilakukan. Mereka selalu menampilkan tari Legong Sambeh Bintang ini dengan menghaturkan sesaji tertentu, baik sebelum maupun sesudah tarian ini dipentaskan.
Dari hasil pengamatan tampak bahwa ketika tari Legong Sambeh Bintang ini akan ditampilkan, warga, khususnya para ibu-ibu, melakukan upacara mendak tirta terlebih dahulu di jeroan (halaman dalam) Pura Desa. Mendak tirta adalah suatu upacara yang khusus dilakukan untuk mencari air suci ketempat yang diyakini sebagai tempat pencarian air yang disucikan oleh warga setempat. Mereka menghaturkan sesaji canang sari (rangkaian bunga beralaskan janur) sambil menari secara bebas (improvisasi) dengan durasi kurang lebih selama 10 menit.
Setelah ibu-ibu ini memperoleh air suci/tirta, mereka kemudian kembali ke tempat/lokasi para penari tari Legong Sambeh Bintang ini berada. Ibu-ibu yang membawa air suci/tirta ini kembali ke tempat para penari tari Legong Sambeh Bintang ini atau ke pura diikuti oleh sekelompok laki-laki membawa canang sari berjalan secara perlahan-lahan sambil menari membentuk pola lantai lingkaran dengan gerakan tari bebas (improvisasi). Perilaku masyarakat menari dengan gerak tari bebas seperti ini lazim mereka sebut sebagai memendet (menari).
Setelah air suci/tirta tiba di lokasi para penari tari Legong Sambeh Bintang ini berada, para ibu-ibu ini kemudian menghaturkan sesaji pejati dan perani untuk menyucikan dan memohon keselamatan bagi para penari tari Legong Sambeh Bintang ini agar mereka memperoleh keselamatan ketika menari di hadapan para Dewata.
Musik Iringan dan Prosesi Penyajian Tari Legong Sambeh Bintang, selengkapnya
by admin | Sep 6, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ni Made Wiryani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar.
Awal mula atau sejarah tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung ini masih diliputi ketidakjelasan. Sementara ini yang berkembang di masyarakat adalah versi dari Ida Pedande Gede Sidemen Pemaron dan versi yang bersumber dari Bendesa Adat Munggu I Ketut Kormi. Informasi ini dimuat jelas di Koran Nusa Bali terbitan hari Minggu, tanggal 25 Oktober 2010.
Sejarah Tari Mekotekan berdasarkan Versi Ida Pedanda Gede Sidemen Pemaron
Sejarah tari Mekotekan ini berawal dari keberadaan, Raja IV Cokorda Nyoman Munggu pada Keraton Puri Agung Munggu. Beliau adalah seorang raja yang sangat arif dan bijaksana serta dicintai dan disegani oleh rakyat Mengwiraja dan sekitarnya, khususnya masyarakat di Munggu. Beliau memiliki kebun yang sangat luas yang sekarang disebut “Uma Kebon” serta memiliki peternakan yang disebut “Uma Bada”.
Beliau ingin meneruskan cita-cita pendahulunya, yaitu Raja I Gusti Agung Putu Agung yang mebiseka Cokorda Sakti Blambangan. Beliau membentuk pasukan berani mati di Desa Munggu, yang dibina oleh Bhagawantha raja dari Ida Brahmana di Munggu, dengan sebutan pasukan “Guak Selem Munggu”.
Pada suatu hari, sungai Yeh Penet yang melingkari ujung utara sampai tepi bagian barat Desa Munggu, airnya terus mengalir menuju ke laut selatan, dan meluap sehingga menimbulkan banjir bandang. Air sungai yang sangat deras itu menghanyutkan sebuah pelinggih yang terapung-apung di permukaan air kemudian tersangkut pada akar pohon kamboja besar (pohon jepun sudamala). Atas kejadian itu masyarakat Munggu berduyun-duyun untuk melihatnya. Masyarakat Munggu yang tinggal di dauh rurung kemudian melaporkan hal tersebut ke hadapan Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu yang berlanjut kehadapan Raja Cokorda Nyoman Munggu, yang pada saat itu raja kebetulan berada di keraton puri Agung Munggu Pura di Mengwiraja. Beliau menitahkan masyarakat Munggu untuk mengangkat dan melestarikan pelinggih itu di tempat yang aman.
Pada saat itu pula ada salah seorang penduduk di Munggu kesurupan (kerauhan) dan mengaku sebagai utusan dari Ida Betari Ulun Danu Bratan, atas permohonan Ida Betara di Pura Puncak Mangu, yang memohon kepada Raja Bhagawantha untuk menyelamatkan pelinggih itu serta membangun sebuah pura yang merupakan stana Ida Betara Luhur Sapuh Jagat, untuk menjaga keselamatan rakyat Mengwiraja sebagai kahyangan jagat. Atas petunjuk orang yang kesurupan itu, diyakini bahwa pada waktu akan mulai meletakkan batu pertama (nasarin) Pura Luhur Sapuh Jagat akan menemukan segumpalan besi dan batu-batu yang berbentuk senjata. Gumpalan besi itu agar diamankan dijadikan senjata-senjata kerajaan Mengwipura, sedangkan batu-batu itu agar dilestarikan di tempat pembangunan pura tersebut.
Raja Cokorda Nyoman Munggu beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu tidak begitu cepat percaya dengan ucapan-ucapan orang kesurupan itu, beliau ingin membuktikan lagi. Untuk meyakinkan, akhirnya orang yang kesurupan yang mengaku utusan Ida Betara Ulun Danu menjadi sangat jengkel dan berlari menuju pura Puseh Munggu, serta mengambil sebuah tedung yang panjangnya kurang lebih 5 meter dan menancapkan pada halaman pura Puseh, serta meloncat-loncat ke atas tedung. Di atas tedung itulah orang yang kesurupan itu menari-nari sambil menantang Rajabhagawantha dengan kata-kata yang sangat meyakinkan, bahwa ia benar-benar utusan Ida Betara Ulun Danu Bratan.
Dalam suasana hujan lebat serta angin puyuh, Raja beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bersama-sama seluruh masyarakat Munggu menyaksikan hal itu. Setelah itu barulah beliau sadar serta berjanji memenuhi semua apa yang menjadi petunjuk yang diucapkan oleh orang kesurupan itu, yang merupakan pawisik Ida Batara (Sang Hyang Widi Wasa) sehingga orang itu langsung disucikan dijadikan pemangku Pura Puseh. Diputuskanlah oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bahwa hari Rabu Kliwon Ugu mulai diadakan pembangunan atau nasarin Pura Luhur Sapuh Jagat di Desa Munggu Kabupaten Badung.
Benar-benar suatu keajaiban pada jagat Bali. Setelah penggalian pembangunan pura seperti petunjuk yang diucapkan pemangku itu, terdapatlah gumpalan batu-batu. Ada yang berbentuk tamiang, besi-besi tua yang berbentuk senjata tajam. Setelah disaksikan oleh Ida Bhagawantha Brahmana Munggu dan seluruh masyarakat Munggu, akhirnya benda-benda tersebut diangkat dan ditempatkan pada bangunan suci untuk diamankan dan dilestarikan.
Sesuai dengan pawisik yang telah didapatkan sebelumnya, maka dipanggillah seorang wiku pande besi Desa Munggu oleh Cokorda Munggu untuk menjadikan besi tua itu senjata keris dan tombak, sehingga menghasilkan 5 buah senjata tajam yang terdiri dari keris dan tombak yang diserahkan kembali ke hadapan Cokorda Munggu. Kemudian diadakan upacara pasupati senjata oleh Ida Bhagawantha Brahmana Pemaron Munggu dan seluruh rakyat Munggu diperintahkan untuk membuat tempat pemujaan berupa panggung setinggi 6 m di perempatan Banjar Munggu untuk kegiatan upacara pasupati senjata-senjata tersebut.
Keris dan tombak tersebut disucikan terlebih dahulu dengan mempergunakan air bungkak kelapa gading, setelah itu dipercikan air suci dan sarana banten, lalu keris dan tombak langsung dihias dengan bunga pucuk merah yaitu pucuk rejuna dan busana kain serba merah. Keris-keris dan tombak pada saat dipasupati Ida Pedanda ditempatkan pada sebuah singgasana khusus dan selanjutnya keris-keris dikemit selama 3 bulan di panggung upacara tersebut secara silih berganti oleh warga desa Munggu yang mekemit untuk mohon keselamatan, keamanan, serta kenyamanan. Selama tiga bulan mekemit Ida Pedanda mendapat wahyu agar keris-keris dan tombak itu masing-masing diberi nama :
- Sebuah keris runcing luk 11 (sebelas) diberi nama I Raksasa Bedek
- Sebuah keris runcing luk 7 (tujuh) diberi nama I Sekar Sungsang
- Sebuah keris runcing luk 5 (lima) bernama I Jimat
- Sebuah keris runcing bernama I Sapuh Jagat
- Sebuah tombak bernama I Bangun Oleg (Olog)
Setelah senjata-senjata yang didapatkan melalui pawisik gaib dipasupati dan dikemit selama tiga bulan, maka pada hari Sabtu Kliwon Kuningan pada Tumpek Kuningan, mulai diperagakan mengadakan perang-perangan yang diikuti oleh para laki-laki dewasa yang berasal dari seluruh Desa Munggu, kecuali bagi yang sedang cuntaka. Tari-tarian inilah yang kemudian dalam perkembangannya dikenal dengan tari Mekotekan.
Sejarah Tari Mekotekan berdasarkan Versi Bendesa Adat Munggu, I Ketut Kormi
Versi lain dari sejarah tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung dikemukakan oleh Bendesa Adat Munggu I Ketut Kormi sesuai dengan yang termuat dalam surat kabar harian Nusa Bali terbitan hari Minggu, 25 Oktober 2010. Dalam surat kabar tersebut I Ketut Kormi mengatakan tradisi Mekotek yang telah digelar warga Munggu secara turun temurun terkait dengan sejarah Raja Munggu, yang pergi ke Blambangan untuk melakukan perluasan wilayah. Pada peperangan itu Raja Munggu menang dan kembali ke Munggu bersama seluruh bala tentaranya. Rasa gembira bala tentara tersebut mengangkat tombak berjalan ke desa. Bahkan hingga mengenai bala tentara sendiri yang menyebabkan luka. Melihat kejadian tersebut, raja bertapa di Wesasa dan mendapatkan petunjuk bahwa luka itu bisa cepat sembuh dan kemudian menggelar ritual Mekotek. Selain itu, raja juga mengatakan jika ritual ini tidak digelar maka bisa terkena gerubug atau wabah petir. Hal ini membuat masyarakat Munggu tetap menggelar ritual Mekotek hingga sekarang ini.
Asal Mula Tari Mekotekan di Desa Munggu Kabupaten Badung, selengkapnya
by admin | Sep 6, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., Msi., Dosen PS. Seni Karawitan
Dalang terkenal Bali asal Desa Sukawati, Gianyar, I Wayan Wija, pertengahan Agustus ini menuju negaranya Barack Obama, Amerika Serikat. Pada awal September nanti, seniman serba bisa Desa Bona, Blahbatuh, I Made Sija, juga akan hadir di Negeri Paman Sam itu. Sebelumnya, pada akhir Februari lalu, beberapa orang pelukis ternama dan sekelompok penari-penabuh Bali telah tampil di negeri multi etnis tersebut. Hingga pertengahan September nanti akan ada lagi para seniman dan sanggar seni dari Bali bertandang ke negeri adi daya itu. Yang menarik, tempat yang dituju oleh para seniman Bali itu adalah kota yang sama yakni San Francisco di negara bagian California. Untuk apa mereka ramai-ramai ke sana?
Selama enam bulan, Februari-September tahun ini, nama Bali berkibar tinggi-tinggi di San Francisco, kota berpenduduk terpadat keempat di California. Sebuah museum terkenal di sana, Asian Art Museum San Francisco, menggelar pameran seni budaya Bali dari tanggal 25 Februari hingga 11 September 2011. Pameran ini disebut-sebut sebagai pameran terbesar dan terlama tentang Bali di AS. Direktur Asian Art Museum,
Dr. Jay Xu, di situs Asian Art Museum, menyebut pameran yang bertajuk “Bali: Art, Ritual, Performance” sebagai pameran terbesar dan terdalam tentang tradisi Bali di seantero Amerika Serikat. Beberapa pengurus Himpunan Museum Bali (sebagai utusan resmi Gubernur Bali), yang dipimpin pelukis I Nyoman Gunarsa, menghadiri dengan rasa bangga dan suka cita pembukaan pameran yang dimeriahkan dengan sajian gamelan dan tari Bali yang dibawakan oleh penabuh dan penari warga negara Amerika.
Para seniman dari Bali diundang secara khusus ke San Francisco, AS, untuk mengisi serangkaian program dalam pameran akbar seni budaya Bali itu. Dalang Wayan Wija akan mementaskan wayang kulit tradisi dan juga mempertunjukkan wayang hasil kreasinya. Seniman sepuh Made Sija akan menunjukkan keempuannya dalam drama tari klasik Bali. Sekaa atau sanggar seni tari-tabuh yang telah dan akan tampil dalam pameran itu menyuguhkan puspa ragam seni pertunjukan Bali dari seni tradisi hingga bentuk-bentuk seni pentas pengembangan. Kehadiran sekian banyak para seniman Bali yang mementaskan aneka jenis seni pertunjukan, selama enam bulan di kota belahan selatan benua Amerika itu, merupakan sejarah baru lawatan kesenian Bali di luar negeri.
Pameran kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat sudah beberapa kali digelar, seperti KIAS misalnya pada tahun 1990-an. Akan tetapi pameran khusus tentang seni budaya Bali yang digelar Asian Art Museum San Francisco ini memang istimewa dan cukup lengkap. Selain mementaskan seni pertunjukan Bali, pameran ini juga menunjukkan gengsinya dengan menampilkan koleksi seni yang merupakan koleksi Asian Art Museum dan koleksi yang khusus dipinjam dari Belanda diantaranya Museum Tropen, Amsterdam dan Rijkmuseum voor Volkenkunde, Leiden. Di samping itu, karya seni yang ditampilkan dipinjam dari Library of Congress, Washington DC, Museum of Natural History, New York, dan Fowler Museum, Los Angeles. Selain menampilkan koleksi seni, khusus untuk pameran Bali ini Asian Art Museum juga mengadakan simposium, kegiatan pendidikan untuk anak-anak dan pertunjukan kesenian yang diisi oleh grup-grup kesenian Bali yang berlokasi di San Francisco dan sekitarnya.
Keberadaan kesenian Bali, khususnya gamelan dan seni tari di Amerika Serikat, tak kalah wibawa dengan kesenian dari India, Cina, atau Afrika. Sejak Mantle Hood, pakar musik bangsa-bangsa dari Amerika memboyong sebarung gamelan Bali ke negerinya pada tahun 1956, seni pertunjukan Bali kian menggeliat di sana, dipelajari secara praktis dan teoretis di universitas-universitas ternama dan dieksplorasi sebagai media musikal yang menantang oleh para musisi Amerika. Eksistensi gamelan Bali yang meluas di penjuru Amarika Serikat juga sekaligus disertai dengan perhatian dan pembelajaran tari Bali. Warga Amerika peminat seni pertunjukan Bali, kini sering dapat dipergoki menabuh gamelan dan berlenggok tari Bali di KBRI dan juga Konjen kita di sana.
Di kota San Francisco sendiri, gamelan dan tari Bali, beberapa tahun belakangan, cukup intim dengan masyarakat yang berpenduduk lebih dari 200.000 jiwa itu. Adalah sekelompok penekun gamelan Bali asal kota San Francisko yang bernama Sekar Jaya, sejak berdiri tahun 1979, berkontribusi besar mengibarkan seni pertunjukan Bali di kota itu. Selain Sekar Jaya di San Francisco, keterampilan dan penampilan yang mengagumkan grup-grup gamelan dan tari Bali warga negara Amerika juga dapat dijumpai kota-kota lain. Di New York misalnya, grup gamelan Dharma Swara juga tak kalah tangguhnya. Baik Sekar Jaya maupun Dharma Swara telah pernah unjuk kebolehan dalam pesta kesenian Bali, yang, mengundang decak penonton.
Kita tentu berharap, pameran seni budaya Bali yang kini digelar di kota San Francisco, akan juga mengundang decak kagum masyarakat Amerika. Bagaimana pun, jagat seni merupakan media komunikasi yang humanis dalam pergaulan antar bangsa. Karena itu seni secara ideal dipercaya sebagai media diplomasi budaya, soft diplomacy, yang andal dalam pencitraan bangsa. Masalahnya, sadarkah kita, bangsa Indonesia, yang memiliki modal keragaman budaya nan kaya, memposisikan harkat dan martabat keseniannya sebagai aset bangsa yang penting di era globalisasi ini? Ternyata, tampaknya, belum.
Seni Budaya Bali Berkibar Di Amerika Serikat, selengkapnya