by admin | Sep 13, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., Msi., Dosen PS. Seni Karawitan.
Senyum ramah tari Pendet yang diciptakan I Wayan Rindi (almarhum) pada tahun 1950, kerlingnya telah memantul ke mancanegara. Tetapi relakah Anda bila cipta seni bangsa Indonesia tersebut diklaim oleh bangsa lain? Pagelaran “Pendet Mahardhika” yang disajikan serangkaian dengan HUT ke-66 Kemerdekaan RI, mencoba menggedor rasa kebangsaan kita. Sore (17/8) itu, menjelang upacara penurunan bendera Merah-Putih, 200 orang gadis remaja pelajar SMP dan SMA membawakan tari Pendet di Lapangan Alit Saputra, Tabanan. “Sebagai bangsa yang merdeka berdaulat, relakah kita dipandang sebelah mata oleh bangsa lain?” tegas narasi deklamatis yang menggarisbawahi awal pentas tari berdurasi tujuh menit itu.
I Made Wardana, S.S.Kar, M.Si, konseptor dan penggarap artistik “Pendet Mahardhika” ini, mengungkapkan bahwa pesan yang ingin dilontarkan di tengah perayaan hari kemerdekaaan RI ke-66, terinspirasi oleh peristiwa tiga tahun terakhir tentang diklaimnya beberapa bentuk ekspresi artistik bangsa kita seperti Reog, batik, lagu Rasa Sayange, dan tari Pendet oleh Negeri Jiran Malaysia. Dibantu dua koreografer muda, Ida Ayu Priatna, S.Sn dan Komang Ari Wira Kandraniati, S.Sn, Made Wardana ingin menggugah rasa kebangsaan melalui dan dengan topik rasa cinta terhadap seni budaya bangsa sendiri. “Sadarilah, jagat seni negeri ini masih setia menjaga citra bangsa kita dan dalam gelanggang kesejagatan, dunia seni kita masih punya jati diri mengawal martabat bangsa Indonesia,” ujar alumnus ISI Denpasar ini dengan lugas penuh semangat.
Pada pertengahan Agustus 2009, tari Pendet tiba-tiba mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Ini gara-gara ditampilkannya salah satu tari kreasi dari Pulau Dewata tersebut dalam iklan pariwisata negeri jiran Malaysia. Promosi Visit Malaysia Year yang sekelebat menghadirkan lenggang gemulai dan senyum manis empat penari Bali itu membuat masyarakat Indonesia gerah. Iklan pariwisata yang disebar gencar secara internasional itu ditengarai sebagai upaya Malaysia mengklaim tari Pendet sebagai seni budayanya sendiri.
Banyak yang beropini pendakuan tari Pendet oleh Malaysia dipicu oleh kepentingan pragmatis-ekonomis, dalam konteks ini industri keparawisataan yang memang dikelola amat sungguh-sungguh negeri tetangga itu dengan mempromosikan bangsanya sebagai Truly Asia. Pendet sebagai salah satu tari Bali yang sudah sangat familiar menyongsong wisatawan mancanegara, mereka pinjam tanpa permisi untuk pencitraan eksistensi nilai keindahan budaya. Tetapi karena tari Pendet–seperti juga Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, batik yang sebelumnya pernah didaku Malaysia—adalah ekspresi sub kebudayaan Indonesia, tentu saja ulah dan sepak terjang bangsa serumpun itu tak etis bahkan diteriaki sebagai maling siang bolong. Hasrat dan agresifitas kapitalisme dunia pariwisata rupanya membuat Malaysia kehilangan urat malu.
Namun isu tari Pendet dalam iklan pariwisata Malaysia itu justru berhasil menggugah bangsa Indonesia, termasuk masyarakat Bali, akan keberadaan seni budayanya. Masyarakat Indonesia kebanyakan menjadi mulai benar melafalkan nama tari dari pulau Bali ini. Masyarakat Bali yang kurang begitu akrab dengan seni tari jadi ingin tahu sosok tari Pendet itu. Nama sang pencipta tari itu, I Wayan Rindi, kini menjadi agak dikenal. Wacana yang mengarah pada kesadaran akan seni budaya bangsa yang muncul dalam representasi media massa terasa begitu hangat dengan semangat sarat kepedulian.
Sumber inspirasi lahirnya tari Pendet adalah sebuah ritual sakral odalan di pura yang disebut mamendet atau mendet. Prosesi mendet berlangsung setelah pendeta mengumandangkan puja mantranya dan dan seusai pementasan topeng Sidakarya—teater sakral yang secara filosofis melegitimasi upacara keagamaan. Hampir setiap pura besar hingga kecil di Bali disertai dengan aktivitas mamendet. Tari ini dibawakan secara berpasangan atau secara masal oleh kaum pria dan wanita dengan membawakan perlengkapan sesajen dan bunga.
Pendet sebagai tari selamat datang kini telah menabur bunga perdamaian, menjalin komunikasi estetik di tengah pluralitas bangsa Indonesia dan dalam mulikulturalitas masyarakat dunia. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tari berkarakter wanita ini cukup intim dengan peminat tari Bali. Demikian pula di luar negeri, tari Pendet bak menjadi identitas seni pertunjukan Bali. Lewat doa dan persembahan semerbak bunganya, tari Pendet telah merajut harmoni dan menjadi jempatan toleransi dalam realita kebhinekaan kita mengapresiasi suatu ekspresi kesenian.
Kesenian adalah keseharian masyarakat Bali dan seni jua merupakan kristalisasi kebudayaan. Karena itu, gelora kebangsaan kita juga dapat disulut melalui media khasanah kesenian bangsa. Tengoklah kembali penampilan tari “Pendet Mahardhika“, mempesona secara artistik dan menggedor cinta keindonesiaan kita. Dibawah pandangan ribuan penonton, hamparan para penari Pendet itu tampak bak puspa ragam bunga di sebuah taman yang indah. Puncaknya adalah ketika seluruh penari berleret membuat konfigurasi, 100 penari berjongkok dengan lembaran kain putih dan 100 penari bendiri dengan lembaran kain merah, disatukan menjadi bendera Merah-Putih kolosal. Adegan menggetarkan tersebut ditegaskan dengan narasi: Jayalah negeriku, mulialah tanah airku, majulah Indonesiaku, Sang Merah Putih benderaku, rakyat Idonesia siap membelamu!
“Pendet Mahardhika” Menggedor Keindonesiaan, selengkapnya
by admin | Sep 12, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ayu Herliana, PS. Seni Tari ISI Denpasar
Sebelum awal mula dari Tari Telek Anak-Anak dijelaskan, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai Desa Jumpai itu sendiri. Menurut informasi yang diberikan oleh Bapak I Wayan Marpa, selaku Bendesa Adat Desa Jumpai Klungkung, menjelaskan tentang sejarah Desa Jumpai secara singkat, sebagai berikut.
Pada zaman kerajaan dahulu, terdapatlah salah satu kerajaan bernama kerajaan Majapahit. Kerajaan tersebut mempunyai seorang patih, ia bernama maha patih Gajah Mada. Suatu hari, Patih Gajah Mada meminta Mpu Kresna Kepakisan untuk datang ke Bali untuk menjadi Raja di Bali. Alasannya, karena Mpu Kresna Kepakisan memiliki hubungan yang baik dan memiliki kesaktian yang sama dengan dirinya (Patih Gajah Mada). Mpu Kresna Kepakisan mempunyai empat (4) anak, yaitu:
- Dalem Dirum menjadi Raja Blangbangan
- Delem Made Pasuruhan menjadi Raja Pasuruhan
- Dalem Watu Muter menjadi Raja Sumbawa
- Dalem Ketut Kresna Kepakisan menjadi Raja Majalangu
Salah satu anak beliau, yaitu Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang menjadi Raja Majalangu menikah dengan Ni Gayatri. Kemudian mempunyai anak yang bernama I Pasek Bon Dalem Samanjaya. Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan oleh Patih Gajah Mada didaulat menjadi Raja Bali dengan para pengikut Arya Makabehan juga disertai dengan anak beliau I Pasek Bon Dalem Samanjaya yang menjadi juragan. Pertama kali beliau datang ke Bali turun di pasisir Desa Langkung (Lebih). Disana beliau pergi ke Utara, tiba di Samprangan dan menjadi Raja Samprangan. I Pasek Bon Dalem Samanjaya adalah bermata pencaharian sebagai nelayan. Ia lalu meminta kepada Raja Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan (ayahnya) untuk mencari tempat di dekat pantai, karena tempat ia tinggal jauh dari samudra. Mulai sejak itu, anak dari Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan, yaitu I Pasek Bon Dalem diberi gelar I Pasek Bendega Dalem Samanjaya. Beliau mencari tempat di dekat pasisir pantai menemukan tempat yang bernama Cedokan Boga. Di sana para leluhur pertama tinggal. Akan tetapi, sekian lama tinggal di Cedokan Boga, I Pasek Bendega Dalem Samanjaya mencari tempat lagi bergeser ke Timur menemukan tempat yang bernama Njung Pahit (Jumpai). Kemudian bergeser ke sebelah Timur sesuai dengan posisi Desa Jumpai sekarang yang terdiri dari lima banjar (Dusun), antara lain: (1) Banjar Jumpai Gunung, (2) Banjar Jumpai Kanginan, (3) Banjar Jumpai Tengah, (4) Banjar Jumpai Kawanan, dan (5) Banjar Jumpai Kekeran. Dikarenakan berbagai musibah, pada suatu masa itu di Desa Jumpai mengalami wabah penyakit hingga menyebabkan rakyat yang berjumlah 800 orang menjadi 300 orang. Karena banyak yang meninggal, beberapa dari warga Desa Jumpai meninggalkan desa dan beralih ke Badung, Cemagi, Seseh, dan Semawang. Banjar pun menciut dari lima banjar menjadi dua banjar, sampai sekarang bernama Desa Jumpai.
Demikian ulasan singkat tentang sejarah terjadinya Desa Jumpai, Klungkung.
Desa Jumpai, Klungkung merupakan salah satu desa dari sekian banyak desa yang ada di wilayah Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Gelgel
Sebelah Barat : Subak Pegatepan
Sebelah Timur : Tukad Unda
Sebelah Selatan : Segara/ Laut
Potensi Desa Jumpai
Luas wilayah Desa Jumpai kira-kira 213.306 Ha/Km2 dengan keadaan tanah yang sangat subur yang terdiri dari tanah perumahaan, persawahan, perkebunan sebagian lainnya pantai. Iklim Desa Jumpai cukup sedang dan keadaan tanah cukup subur.
Kehidupan penduduk Desa Jumpai pada umumnya ditopang oleh mata pencaharian secara mayoritas dalam bidang pertanian, selebihnya adalah jasa pertukangan, pegawai negeri, dan karyawan swasta serta wiraswasta.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memacu masyarakat di Desa Jumpai untuk meningkatkan pengetahuan baik lewat jalur formal maupun non formal. Melalui pendidikan formal di Desa Jumpai telah berdiri sebuah Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), sebuah Sekolah Dasar (SD), dan sebuah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Lewat pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah dimaksudkan untuk mengajari siswa-siswa keterampilan lain di luar jam sekolah. Maka dari itu telah berdiri sebuah pesraman yang menampung anak-anak yang ingin mengetahui hal-hal baru yang berkaitan dengan segala macam pelajaran mulai dari pendidikan ilmu pengetahuan, bahasa, etika, dan sopan santun, keterampilan putra dan putri dan agama.
Dalam bidang kesenian, di Desa Jumpai juga memiliki potensi dalam bidang tersebut. Kesenian merupakan suatu khas tradisi suatu desa dimana setiap tahunnya mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan jamannya dengan tanpa menghilangkan unsur-unsur keasliannya. Kesenian juga merupakan media masa baik itu dipergunakan untuk keagamaan maupun dalam kegiatan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah harus mendapatkan perhatian. Pembinaan secara rutin itu harus mendapatkan perhatian pembinaan itu datang dari pihak pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.
Kelembagaan Desa Jumpai sudah berjalan dengan baik, hal ini dapat ditinjau dengan adanya koordinasi yang baik diantara lembaga-lembaga yang ada, baik lembaga formal maupun non formal. Di Desa Jumpai banyak terdapat Organisasi Kemasyarakatan yang keseluruhannya adalah untuk menunjang pembangunan secara umum sesuai dengan bentuk organisasi tersebut. Dalam hal ini organisasi yang terdapat di Desa Jumpai meliputi: kelompok kesenian Gong Kebyar 2 sekaha untuk 1 desa dan sanggar tari 1 buah. Selain di bidang kesenian, Desa Jumpai juga perpotensi di bidang olahraga. Banjar Kanginan pernah berhasil mendapatkan juara I turnamen voly untuk tingkat sekabupaten dan Banjar Kawan berhasil mendapatkan juara I dibidang olahraga bulutangkis untuk tingkat sekabupaten.
Dari uraian diatas mengenai sejarah Desa Jumpai, maka dapat disimpulkan Desa Jumpai sekarang menjadi 2 banjar, yaitu Banjar Kawan dan Banjar Kangin. Walaupun kedua banjar tersebut berdampingan, namun saat mementaskan Tari Telek Anak-Anak tersebut mereka memiliki penari, tapel Telek, dan pemangku sendiri-sendiri. Hanya saja di Desa Jumpai memiliki satu sesuhunan, yaitu Ida Bhatara Jero Gede (berbentuk Barong) dan kedua banjar tersebut sebagai pengemponnya. Ida Bhatara Jero Gede, Ida Bhatara Lingsir (Rangda), tapel Telek, Jauk, dan Penamprat mempunyai tempat khusus jika tidak mesolah, yaitu disineb di Pura Dalem Penyimpenan.
Tari Telek yang merupakan kesenian tradisional, asal usulnya tidak diketahui secara pasti, hal ini disebabkan oleh kurangnya data yang mengungkapkan asal mula tarian ini. Di dalam mengungkapkan awal mula timbulnya Tari Telek Anak-Anak di Desa Jumpai, akan berpedoman kepada informasi yang diberikan oleh beberapa nara sumber yang berasal dari daerah lingkungan objek penelitian ini. Di samping itu, informasi yang didapat di lapangan juga akan dibandingkan dengan sumber-sumber literatur yang ada kaitannya dengan Tari Telek di Bali. Meskipun demikian, Tari Telek di Desa Jumpai diperkirakan mulai berkembang sekitar tahun 1935 sampai sekarang. Tarian ini dijadikan pelengkap upacara keagamaan di pura-pura di lingkungan masyarakat Jumpai, dan juga Tari Telek ini mempunyai hubungan erat dengan Barong Ket dalam pementasannya yang juga merupakan sesuhunan Desa Jumpai tersebut.
Awal Mula Tari Telek Anak Anak Di Desa Jumpai Klungkung selengkapnya
by admin | Sep 12, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Ni Luh Lisa Susanti Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar
Karya tari kreasi Palegongan Kembang Ratna memiliki elemen penting sebagai materi pokok yang patut dianalisa, yaitu gerak, karena dalam penampilannya gerak tersebut yang menjadi media ungkapnya sehingga mudah dicerna oleh penikmatnya. Perbendaharaan gerak pada tari kreasi Palegongan Kembang Ratna sudah terdapat pengembangan sesuai kebutuhan garapan sebagai hasil adanya rangsangan kreatif yang muncul dari dalam diri penata. Perbendaharaan gerak dalam garapan ini diharapkan dapat menjadi satu kesatuan yang utuh agar garapan dapat terlihat menarik.
Adapun pengembangan gerak terdapat pada gerak murni, yaitu gerak tari yang mempunyai bentuk artistik dan tidak mengandung arti. Gerak murni dalam garapan ini dominan dapat dilihat pada bagian pengawit, pengawak, serta pekaad, seperti gerakan ngukel, ngotag, ngelo, dan miles. Sedangkan gerak maknawi, yang merupakan gerakan yang sudah diolah menjadi bentuk artistik dan mengandung arti, dominan dapat dilihat pada bagian pepeson, pengecet, dan pengetog. Beberapa motif gerak maknawi yang digunakan pada garapan tari kreasi Palegongan Kembang Ratna adalah sebagai berikut :
- Gerak yang menggambarkan keagungan bunga ratna
- Nabdab gelung : gerakan tangan seperti memperbaiki gelungan (posisi satu tangan menyentuh gelungan), yang didukung dengan ekspresi mata dibuka dan tersenyum (manis rengu).
- Agem ratna : sikap pokok yang digunakan pada garapan tari kreasi Palegongan Kembang Ratna yaitu posisi kaki seperti agem kanan pada umumnya, posisi tangan kiri ngelung ke atas sejajar dengan kepala, posisi tangan kanan mahpah biu dengan kipas menghadap atas.
- Gerak yang menggambarkan keindahan bunga ratna
- Ngembang tangan : gerakan tangan yang diawali dengan posisi tangan ngiluk di depan dada, kemudian tangan diputar silih berganti diikuti dengan kaki melangkah ke depan.
- Hempas tangan mengalun ke atas : gerakan tangan yang diawali dengan posisi tangan di bahu kemudian dihempaskan ke atas.
- Gerak yang menggambarkan kelayuan dan kerapuhan bunga ratna
a. Gerakan kenser sambil berputar ke kanan dengan posisi kipas ngiluk naik turun.
b. Gerakan matimpuh, diikuti liukan badan dan agem mentang tangan bawah dengan ekspresi sedih.
c. Gerakan bangun silih berganti dengan kipas ngeliput dan ngiluk (ruang gerak agak tertutup).
Gerakan-gerakan di atas menunjukkan adanya pengembangan dari gerak-gerak tari Legong yang telah ada, dan disesuaikan dengan kebutuhan garapan. Perbendaharaan gerak ini juga didukung dengan desain koreografi untuk dapat mewujudkan keutuhan dalam garapan.
Desain Koreografi
Mewujudkan suatu garapan tari yang berkualitas, tidak hanya menggunakan dan memikirkan gerakan, namun juga perlu dipikirkan mengenai desain koreografi yang digunakan. Garapan tari kreasi Palegongan Kembang Ratna termasuk dalam komposisi tari kelompok, dengan fondasi pokoknya yaitu desain lantai. Adapun motif-motif desain yang digunakan dalam tari kreasi Palegongan Kembang Ratna adalah sebagai berikut :
- Desain serempak (unison)
Desain serempak atau unison merupakan desain yang mengutamakan kekompakan, kebersamaan atau keseragaman. Desain ini dipergunakan pada setiap bagian dalam garapan tari kreasi Palegongan Kembang Ratna.
- Desain bergantian (canon)
Desain bergantian atau canon merupakan desain yang dilakukan secara bergantian antara penari satu dengan penari lain secara susul-menyusul. Desain ini ada pada setiap bagian dalam garapan tari kreasi Palegongan Kembang Ratna.
- Desain terpecah (broken)
Desain terpecah atau broken merupakan desain yang memberikan kesan ketidakberaturan. Desain ini digunakan pada bagian pengecet.
- Desain berimbang (balanced)
Desain yang membagi penari menjadi dua kelompok yang simetris, dengan motif dan daerah yang berimbang. Desain ini dilakukan pada bagian pengawak.
Analisa Estetis
Keindahan merupakan sesuatu hal yang membuat seseorang menjadi senang, enak dipandang, dan menimbulkan rasa bahagia bagi penikmatnya. Penilaian terhadap keindahan tergantung bagaimana perkembangan pola pikir masyarakat yang menikmati karena masing-masing orang mempunyai cara pandang atau persepsi yang berbeda. Pada dasarnya, seseorang yang menikmati sebuah karya biasanya lebih mengutamakan nilai keindahan, sehingga penata harus dapat menampilkan unsur-unsur keindahan. Adapun tiga unsur keindahan pada karya seni yang harus diperhatikan, yaitu wujud, bobot, dan penampilan. Wujud dapat dilihat dari bentuk dan struktur, bobot dapat diamati melalui tiga aspek yaitu suasana, gagasan, dan pesan, sedangkan dalam penampilan ada tiga unsur yang berperan, yaitu bakat, keterampilan, dan sarana atau media.
1. Wujud
Wujud adalah sesuatu hal yang dapat dilihat dan dapat didengar. Wujud dapat secara nyata dipersepsikan melalui mata dan telinga. Dalam hal ini wujud dapat dilihat dari bentuk dan struktur sebuah karya seni.
Garapan Kembang Ratna berbentuk tari kreasi Palegongan, yang ditarikan secara berkelompok oleh 7 (tujuh) orang penari putri. Struktur garapannya terdiri dari 6 (enam) bagian, yaitu pengawit, pepeson, pengawak, pengecet, pengetog, dan pekaad. Struktur garapan tentu disesuaikan dengan konsep garapannya sehingga antara bagian satu dengan lainnya saling berhubungan (koheren).
2. Bobot
Bobot dalam hal ini merupakan isi yang terkandung dalam karya seni. Bobot tidak hanya saja sekedar melihat, namun penikmat juga perlu mendapat sesuatu setelah menonton karya seni tersebut. Bobot terdiri dari tiga aspek, yaitu gagasan, suasana, dan pesan. Dalam karya seni, bobot sangat penting adanya agar karya seni yang dipertunjukkan memiliki nilai dan kualitas yang baik. Karya seni berbobot tentu harus memperhatikan bagaimana penyampaiannya kepada penikmat, sehingga antara karya seni dengan penikmat terdapat adanya jalinan komunikasi.
Gagasan dalam hal ini sama halnya dengan ide. Gagasan menyangkut hasil pemikiran dan inspirasi yang didapat oleh penatanya. Gagasan atau ide garapan tari Kembang Ratna adalah membuat sebuah garapan tari kreasi Palegongan yang terinspirasi pada gerakan luwes dalam Legong klasik, dan tidak masih terikat pada pakem Legong yang ada. Penata berkeinginan untuk mengembangkan kemampuan yang penata miliki dengan adanya alternatif baru dalam tari kreasi Palegongan yang digarap.
Suasana yang ingin disampaikan dalam tari kreasi Palegongan Kembang Ratna bervariasi. Hal ini bertujuan agar suasana pada setiap bagiannya tidak terkesan monoton dan penikmat tidak merasakan jenuh jika suasana garapan tari Kembang Ratna dapat berbeda. Suasana ini tentunya disesuaikan dengan ide, konsep, dan kebutuhan garapan. Pada bagian pengawit, suasana yang ditampilkan adalah suasana tenang yang menggambarkan bunga ratna tumbuh dari bibitnya dan hidup subur di tengah-tengah tumbuhan lainnya. Pada bagian pepeson, suasana yang ingin ditampilkan adalah suasana agung, yang menggambarkan keagungan dari bunga ratna karena digunakan sebagai sarana upacara. Suasana tenang ditampilkan pada bagian pengawak, yang menggambarkan kesederhanaan bunga ratna karena bunga ratna memiliki bentuk yang kecil. Suasana gembira ditampilkan pada bagian pengecet, yang menggambarkan keindahan bunga ratna. Bagian pengetog yang menggambarkan kelayuan dan kerapuhan bunga ratna akibat dipetik setelah digunakan sebagai sarana upacara divisualisasikan dengan gerakan pelan dan hempasan badan yang dominan dilakukan pada level bawah dengan suasana sedih (sayu). Pada bagian terakhir yaitu pekaad, suasana yang ditampilkan adalah suasana gembira, yang menggambarkan bunga ratna tumbuh kembali dari biji bunga ratna yang berserakan menjadi bunga ratna baru.
Pesan yang ingin disampaikan kepada penikmat melalui garapan tari kreasi Palegongan Kembang Ratna adalah dalam kehidupan ini, makhluk hidup semua sama di hadapan Tuhan karena semua diciptakan dan melalui proses yang sama yaitu lahir, hidup, dan mati. Begitulah seterusnya dan selalu berulang-ulang, demikian pula halnya dengan bunga ratna. Maka dari itu, kita sebagai sesama makhluk hidup jangan melakukan tindakan semena-mena terhadap makhluk hidup lainnya, karena setiap mahluk hidup saling membutuhkan antara satu dengan yang lain, seperti halnya bunga ratna yang dibutuhkan sebagai sarana upacara.
Analisa Materi Garapan Kembang Ratna, selengkapnya
by admin | Sep 11, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Ni Wayan Ekaliani, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar
Tata rias dan busana dalam seni pertunjukan selain berfungsi memperindah, memperkuat karakter juga menunjang nilai-nilai filosofis, nilai simbolik dari tari tersebut. Dalam buku Ensiklopedi Tari Bali, telah dijelaskan bahwa busana adalah faktor yang sangat penting dalam tari Bali, karena melalui busana penonton akan dapat mengetahui identitas dari suatu tarian atau penonton dapat membedakan tokoh atau karakter yang ditampilkan.
Dalam suatu pementasan seni tari, khususnya seni tari Bali, elemen tata rias kostum sangat diperlukan dan juga sangat penting guna memperindah suatu pertunjukan seni tari. Tata rias dan busana juga bisa digunakan untuk membedakan atau mencirikan jenis tarian tersebut. Misalnya dengan melihat tata rias dan busananya kita bisa menggolongkan apakah tarian tersebut termasuk ke dalam kategori tari putri, tari putra, ataupun tari bebancihan. Melalui tata rias dan kostum juga bisa menentukan sebuah karakter yang dibawakan. Di dalam sebuah pertun-jukan, tata rias dan busana juga bisa membantu untuk merubah karakternya baik menjadi cantik, tampan, jelek, ataupun lucu sesuai keinginan dari si pelakunya. Oleh karena itu elemen kostum memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah pertunjukan.
Dari wawancara dengan I Wayan Jejel, pada tgl 3 Januari 2011 di rumahnya, salah satu informan tari Legong Sambeh Bintang menjelaskan bahwa :
“…dahulu Tarian ini hanya menggunakan tata rias seadanya hanya menggunakan gecek putih di dahi. Namun sekarang para penari mempergunakan pensil alis, bedak, merah pipi, dan lain-lainnya”.
Dari pernyataan tersebut tampak bahwa tata rias tari Legong Sambeh Bintang telah mengalami perkembangan sesuai dengan zaman sekarang, yakni menggunakan alat-alat tata rias masa kini, antara lain : memakai bedak warna terang, memasang rouge di pipi, membentuk kedua alis karakter halus, memasang bayangan mata/eye shadow biru, memakai lipstik warna merah.
Melalui busana yang digunakan suatu tarian dapat diketahui karakter tarian yang ditampilkan. Busana yang digunakan dalamTari Legong Sambeh Bintang ini, di antaranya adalah gelungan, gelang tangan, kain kancan (tutup dada), selendang kuning diikat ujungnya di kelingking, sabuk dalam (stagen), selendang warna-warni.
- Gelungan atau hiasan kepala tari Legong Sambeh Bintang terbuat dari ron/janur berhiaskan bunga dan daun puring (dedaunan) yang ditata membentuk gelungan yang dihiasi plendo (batang ketela pohon yang dikuliti) dipotong-potong ber-bentuk uang kepeng, diberi warna merah, hijau, putih kemudian dipadukan dengan bunga-bungaan sebagai hiasan kepala penari, sebagaimana tampak dalam foto di bawah ini.
Gambar tersebut di atas adalah hiasan kepala dari tari Legong Sambeh Bintang jika dilihat dari arah depan. Tampak hiasan, kepala yang digunakan tarian ini sangat unik karena selain bahan yang digunakan juga tampak dari cara penyusunan bahan-bahan tersebut yang mengandung nilai filosofis keseimbangan dengan alam lingkungan dari tempat mereka berada. Begitu pula jika hiasan kepala tari Legong Sambeh Bintang ini diamati dari arah belakang. Selain bentuknya unik, juga tampak susunan plendo yang dipasang tersebut sangat indah, sebagaimana tampak dalam foto di bawah ini.
- 2. Kain songket adalah nama jenis kain tenunan tradisional Bali yang ditenun dengan menggunakan benang warna, benang emas, atau benang perak. Kain ini dililitkan di pinggul penari kemudian diikat stagen agar tidak lepas. Berikut di bawah ini adalah foto kain yang digunakan dalam tari Legong Sambeh Bintang.
3. Kain selendang kuning yang digunakan untuk membungkus pinggang penari hingga di atas lutut disebut dengan kain kancan. Kain Kancan adalah sebuah kain tenunan tradisional Bali yang terbuat dari benang warna kuning ditenun seperti songket. Lihat gambar 10 penari menggunakan kain kancan.
4. Selendang warna-warni sebagai hiasan selendang yang dililitkan di pinggang penari yang terbuat dari kain satin berwarna-warni digunakan untuk menari secara bergantian dengan selendang kuning. Pada gambar 11 adalah gambar penari mempergunakan selendang warna-warni.
5. Gelang sebagai hiasan tangan terbuat dari perak bewarna putih dengan bentuk bulat berhiaskan ukiran tradisional Bali dengan berat 25 gram. Gelang ini digunakan sebagai hiasan pada tangan kanan dan kiri penari. Lihat Pada gambar 12 adalah foto gelang yang digunakan oleh tari Legong Sambeh Bintang.
6. Stagen atau penutup pinggang yang digunakan penari dari pinggang hingga ke dada adalah sabuk tradisional Bali. Sabuk berwarna merah atau pink ini panjangnya kurang lebih 9 meter. Mereka menggunakan warna pink atau merah agar kelihatan seragam dan indah. Berikut di bawah ini adalah foto stagen tari Legong Sambeh Bintang.
7. Kain penutup dada yang berhiaskan prada digunakan untuk menutup bagian dada penari. Kain ini berukuran 2 meter x 0,5 meter. Berikut di bawah ini adalah foto kain penutup dada yang digunakan oleh tari Legong Sambeh Bintang.
Tata Rias dan Busana Tari Legong Sambeh Bintang selengkapnya
by admin | Sep 10, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman Kadek Suartaya, SSKar., Msi., Dosen PS. Seni Karawitan
Sebuah buku tua tentang seni pertunjukan Bali, Dance and Drama in Bali (1938), menggugah seorang penari dari Negeri Sakura. Pada halaman 65, Ami Hasegawa (32 tahun), wanita Jepang yang pernah belajar tari Bali di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu, tertegun dengan sebuah potret yang menggambarkan sebuah tari ritual Baris Kekoepoe. Karena penasaran, ia terbang ke Bali menemui salah satu gurunya di Denpasar, menanyakan tentang tari itu. Gurunya, Ni Ketut Arini (66 tahun), menjelaskan bahwa tari Baris Kekoepoe itu sudah lama punah. Mendengar penuturan gurunya, Ami sedih. Ia kemudian membujuk Ketut Arini untuk merekonstruksinya.
Hasil rekonstruksi tari Baris Kekoepoe itu, disuguhkan kepada masyarakat Bali dalam arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011 lalu, di Taman Budaya Bali. Dalam konteks ritual keagamaan, konon dulu tari Baris Kekoepoe dibawakan oleh sepasukan penari pria. Namun dalam presentasi artistik tata penggarapan Ketut Arini, tari ini dibawakan oleh empat penari wanita. Masyarakat Bali yang menyaksikan penampilan Kekoepoe tampak heran dengan gerak-gerik polos dan aneh dari tari yang mengenakan busana berumbai-rumbai ini. Penonton kian tersipu kagum karena yang membawakannya adalah para penari dari Jepang.
Malam itu, grup tari Bali Basundhari Jepang pimpinan Ami Hasegawa tak hanya menyodorkan Baris Kekoepoe. Pagelaran tari yang diberi tajuk “Tari-tarian Bali Tempo Doeloe“ itu juga menyajikan tari Bali yang hampir punah, langka, dan tak begitu dikenal oleh masyarakat Bali sendiri. Salah satunya adalah tari selamat datang, Pengaksama. Tak ada penonton masa kini yang pernah menyaksikan tari yang segenre dengan tari Pendet ini. Tari karya I Nyoman Kaler ini telah muncul pada tahun 1935, mendahului kehadiran tari Pendet garapan I Wayan Rindi pada tahun 1950. Tari Pengaksama yang malam itu dibawakan oleh Ami Hasegawa dan Megumi Wakabayashi juga hasil rekonstruksi Ni Ketut Arini berdasarkan referensi yang dipergoki Ami dalam buku Dance and Drama in Bali karangan Beryl de Zoete dan Walter Spies itu.
Rekonstruksi kedua tari itu, Baris Kekoepoe dan Pengaksama, berlangsung di dua negara yaitu Jepang dan Indonesia (Bali). Kira-kira, dua bulan sebelum gempa dan tsunami mengguncang Jepang, Ketut Arini diundang ke Kanagawa, Jepang, untuk merekonstruksi dan mengajarkan Kekoepeo dan Pengaksama pada penari sanggar Basundhari. Untuk merekonstruksi tari Baris Kekoepoe, Arini tak menemui kesulitan yang berarti, sebab pada tahun 1961 dia sendiri pernah membawakannya dalam sebuah ritual keagamaan di desanya. Kesulitan mengganjal adalah untuk tari Pengaksama. Namun berdasarkan sekelebat ingatan dan kesaksiannya, akhirnya Pengaksama dapat dirajutnya kembali. Saat proses rekonstruksi di Jepang, iringan gamelannya belum ada, perlu direkonstruksi juga.
Sepulang dari Negeri Matahari Terbit, dibantu seniman karawitan I Ketut Suanda, Ketut Arini kemudian menggarap iringan gamelannya, juga berdasarkan rangkuman potongan-potongan ingatannya. Setelah terwujud, rekaman audio iringan kedua tari itu kemudian dikirim ke Jepang, dipadukan dengan tariannya yang telah diajarkan Arini. Masalahnya, para penari sanggar Basundhari itu tinggal di beberapa kota berjauhan yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Solusinya, berdasarkan rekaman video saat Arini merekonstruksi kedua tari itu dan ditambah dengan rekaman kaset iringan gamelan yang dikirim dari Bali, mereka belajar sendiri-sendiri. Baru ketika semuanya berkumpul di Bali beberapa hari menjelang pentas, mereka latihan gabungan lengkap dengan iringan penabuh grup gamelan Cendana di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar.
Tari Pengaksama ditampilkan pada awal pementasan. Pengaksama dalam bahasa Bali artinya sambutan selamat datang. Struktur tari ini terdiri dari bagian awal, tengah, dan akhir, mirip dengan tari Pendet. Koreografinya juga sederhana yang merupakan stilisasi dari gerak-gerak persembahan tulus bakti pada dewa-dewa. Namun jika tari Pendet membawa semangkuk kembang, tari Pengaksama memakai properti kipas. Kipas ini diragatarikan sebagai absraksi persembahan pada Tuhan. Sedangkan tari Baris Kekoepoe hadir dengan kesederhanannya namun terasa menggetarkan nuansa magis. Jika Baris Kekoepoe yang dimuat dalam bukunya Zeote dan Spies memakai senjata tombak dengan gelungan (hiasan kepala) sederhana, Kekoepoe yang direkonstruksi Arini penarinya memakai sayap bak kupu-kupu dan berbinar dengan gelungan rangkaian bunga kamboja. Sejatinya, Kekoepoe (dalam bahasa Bali artinya kupu-kupu) adalah salah satu dari sekian barisan tari Baris yang tempo dulu ditampilkan sebagai persembaham tari sakral di pura.
Jika Pengaksama dan Kekoepoe kental dengan nuansa ritualnya, tari Wiranjaya yang dibawakan oleh Mayumi Inouye dan Mariko Inui termasuk jenis tari kreasi yang tak begitu dikenal masyarakat Bali. Tari bergaya Bali Utara ciptaan I Ketut Merdana tahun 1950-an ini seangkatan dan sekarakter dengan tari Tarunajaya karya I Gde Manik. Namun jika Tarunajaya hingga kini masih berkibar, Wiranjaya tenggelam. ISI Denpasar, tahun 2010 lalu, mencoba merevitalisasi dan mensosialisasikan ke tengah masyarakat Bali bahkan pernah menampilkannya dalam sebuah festival gamelan di ISI Surakarta pada tahun itu juga. Kini, di pesta seni Bali, para pegiat tari dari Jepang juga terketuk oleh nilai artistik tari yang berkisah tentang pelatihan perang ksatria Pandawa, Nakula dan Sahadewa tersebut.
Perhatian dan keperihatinan terhadap karya-karya tari Bali yang terlupakan dan yang jelang punah, juga diekspresikan oleh para pegiat seni tradisi dari dalam negeri, Solo. Saat tampil dalam pagelaran Parade Gong Kebyar Nusantara, juga dalam arena PKB, tim ISI Surakarta menyuguhkan tari Cendrawasih (1954) karya maestro tari I Gde Manik. Berbeda dengan tari Cendrawasih (1988) karya Swasthi Widjaja Bandem yang natural-realistik, tari Cendrawasih-nya Manik stilistik-simbolik. Tata visual busananya tak ada menampakkan properti burung maskot Papua itu. Namun kalau dicermati tata geraknya, karakteristik burung nan lincah itu tampak diberi aksentuasi sehingga gagasan artistiknya cukup komunikatif.
Dibawakan oleh enam orang penari non etnik Bali, mahasiswi ISI Surakarta. Dilihat dari segi karakter tarinya, tari Cendawasih tempo dulu ini termasuk katagori bebancihan yaitu tari yang memakai busana pria dan dibawakan oleh penari wanita. Tari ini direkonstruksi di Solo oleh Pande Made Sukerta pada tahun 1996. Sebuah grup gamelan di Desa Tejakula, Buleleng, pernah mengiringi tari ini pada tahun 1964, namun setelah itu menghilang bak ditelan bumi. Beruntung Sukerta berhasil mendapatkan rekaman vieonya yang kemudian beranjak merekonstruksinya, dibantu nara sumber penari sepuh Luh Menek yang dulu pernah membawakannya.
Seni tari, adalah pengejawantahan estetik yang membuncah dinamis di Bali, dulu dan kini. Liukan jagat tari itu, tak semuanya mampu beradaptasi dengan dinamika masyarakat pendukungnya. Ada yang tegar dan awet hingga di era globalisasi ini. Tak jarang pula ada yang hanya sekedarnya menyapa zaman. Meski demikian, kesenian sebagai representasi kebudayaan adalah lumbung tersimpannya makna-makna yang patut disimak, dipelajari, dan diapresiasi. Oleh karena itu, rekonstruksi seni masa lampau seperti yang dipertunjukkan di pesta seni Bali itu, adalah sebuah kearifan budaya yang berkeadaban.
Tari Bali Tempo Dulu Dalam Pentas Masa Kini, selengkapnya
by admin | Sep 10, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan
Pengertian Simbol
Peursen, C.A Van ornentasi di dalam filsafat mengatakan, bahwa semiotik adalah ilmu tanda yang mempelajari tentang fenomena sosial. Zamzamah menjelaskan, bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari fenomena sosial budaya, dalam kontek semiotik mempunyai dua aspek, yakni aspek penanda dan aspek petanda. Penanda adalah bentuk format itu, sedangkan petanda adalah arti/acuannya. Berdasarkan hubungan antara penanda dengan petanda, maka tanda dapat dipilih ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah penanda dengan petandanya, hubungan ini adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda (penanda), menandai kuda (petanda); indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal atau sebab akibat antara penanda dengan petandanya, asap menandai api; simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara pananda dengan petandanya, misalnya “ibu” adalah simbol yang ditentukan oleh konvensi masyarakat Indonesia, orang Inggris “mother”, orang Prancis “la mere” dan sebagainya. Dari ke dua pendapat filsuf di atas mengindikasikan, bahwa simbolisme itu merupakan lambang-lambang yang dijadikan alat atau sarana pada suatu aktifitas tertentu, yang merupakan miniatur dari alam semesta, seperti kayonan lambang gunung, blencong akan mengindikasikan siang dan malam sesuai dengan cahaya yang dimunculkan, pihak kiri dan kanan simbol kejahatan dan kebajikan, dan lain sebagainya.
Nama, Simbol, dan Fungsi Sarana Pementasan
Nama-nama dari simbol pada pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung adalah:
1). Gedebong merupakan simbol dari tanah (pertiwi) fungsinya untuk menancap kan tangkai wayang sesuai keinginan dalang.
2). Kelir merupakan simbol dari langit (embang) fungsinya untuk menampilkan bayangan wayang.
3). Jelujuh (posisinya vertikal di pinggir kelir), gegilig (posisinya horisontal diatas dan di bawah kelir) simbol dari tapak dara fungsinya untuk mengkencangkan kelir.
4). Reracik simbol dari jari tangan dan jari kaki sang dalang fungsinya untuk menguatkan posisi kelir.
5). Blencong merupakan simbol dari Sanghyang Triodasa Saksi (matahari, bulan, dan bintang) fungsinya untuk penerangan saat pertunjukan wayang.
6). Kropak merupakan simbol dari Tri Bhuana (bhuh loka, bwah loka, dan swah loka) fungsinya untuk tempat menyimpan wayang.
7). Wayang merupakan simbol dari penghuni Tri Bhuana atau isi alam semesta,yangterdiri dari berbagai karakter (tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, buta kala, raksasa, dewa) fungsinya untuk memerankan cerita sesuai dengan karakternya masing-masing.
8). Gamelan merupakan simbol dari saudara sang dalang (nyama catur) fungsinya untuk pengiring mengiringi pertunjukan wayang.
9). Katengkong merupakan kedua orang tua sang dalang (di sebelah kanan ayah, di sebelah kiri ibu) fungsinya untuk membantu kelancaran pertunjukan wayang.
10). Upakara merupakan suguhan sebagai ucapan terima kasih sang dalang kepada Tuhan, segehan diperuntukkan kepada para buta kala fungsinya nyomya agar ikut mendukung pertunjukan wayang.
11. Wayang Calonarang merupakan simbol dari Rwa-Bhineda (siang-malam, kiri- kanan, fositif-negatif, dan lain sebagainya) fungsinya untuk mengungkapkan di dalam buana agung dan buana alit tidak pernah luput dari hal dua yang berbeda, maka dari itu ilmu hitam dan ilmu putih selalu muncul di jagad raya ini.
12. Dalang merupakan simbol dari Sanghyang Kawiswara fungsinya untuk mengerakkan Rwa-Bhineda (siang-malam, baik-buruk, kiri-kanan, fositif-negatif dan lain sebagainya) yang akhirnya menjadi suatu keseimbangan.
Mistikisme Pertunjukan Wayang Calonarang
1. Pengertian Mistik
Pembahasan unsur-unsur mistik pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa, terlebih dahulu kita ungkap pengertian mistik dari sumber tertulis sebagai berikut:
a). Perbedaan Ilmu Filsafat dengan Mistik adalah: ilmu filsafat sifatnya terbuka dan dapat berkomunikasi, sedangkan mistik sering bersifat rahasia ”sinengker” atau esoteris. Kesadaran yang didapat dari filsafat adalah ”kesadaran intelek”, dan “ratio”, sedangkan kesadaran yang didapat dari mistik adalah ”kesadaran rasa (mistik)” dan berada di luar atau di atas lingkup ”ratio”.
b). Adiputra mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Dunia Gaib orang Bali bahwa, nilai magis suatu tempat selalu berhubungan dengan makna niskala tempat itu, bukan tergantung pada penampakan fisiknya. Suatu lokasi yang dinilai angker dalam dunia sekala selalu dipercaya ada penghuninya berupa makhluk halus dunia niskala.
c). Mircea Elliade mengutip pendahuluan Rudolf Otto mengatakan, mengenai batasan sakral adalah Otto melukiskan semua pengalaman ini berasal dari Tuhan karena dibangkitkan dari energi ke-Tuhanan. Pengalaman Illahi ini menghadirkan dirinya sesuatu yang sepenuhnya berbeda, sesuatu yang secara total berbeda. Dia menemukan perasaan terteror oleh alam sakral, alam misterius, dan terharu terhadap energi yang superior. Ia menemukan ketakutan religius dalam misteri yang menakjubkan hati, dimana kesempurnaan penuh kehidupan itu berkembang. Manusia dihadapkan oleh pengalaman ini merasakan dirinya dalam ketiadaan, seolah-olah hanya seekor makhluk kecil, tak ubahnya sebagai debu dan arang.
d). Perbedaan dua tempat yaitu Kaja dan Kelod, Kaja adalah gunung sebagai simbolis kesucian yaitu kesenian yang bersifat sakral, Kelod adalah simbolis laut yang merupakan simbolis profan atau sekuler. Dalam buku tersebut juga menyinggung tentang katagori kesenian Bali yaitu : seni wali, bebali dan balih-balihan. Dua tempat yang berbeda tentunya ada suatu pembatas yang menyebabkan kondisi menjadi berbeda pula, seperti kaja (utama mandala) merupakan tempat yang sakral sebagai tempat wali, tengah (madya mandala) merupakan tempat biasa, sebagai tempat pementasan bebali, dan kelod (nista mandala) merupakan tempat luar biasa atau bebas, biasanya tempat balih-balihan atau hiburan.
Ke-empat pendapat di atas, sudah sangat paten untuk penulis jadikan pedoman membahas unsur-unsur mistik yang terkandung di dalam pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kaurus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa. Adapun unsur-unsur mistik tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:
2). Unsur Mistik Pada Upakara Pengaradan
Upakara (bebantenan) kalau dilihat dari bentuk sudah jelas merupakan lambang, akan tetapi kalau ditinjau dari segi fungsinya adalah mistik, karena upakara merupakan sarana untuk memanggil (pengaradan), maka berbeda dari bentuk upakara, berbeda pula fungsinya. Unsur mistik yang terkandung pada upakara (bebantenan) pada pementasan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung, merupakan sarana untuk memanggil (ngarad) guna diberikan suguhan atau upah. Upakara atau bebantenan yang diperlukan sudah jelas jauh lebih besar dari pementasan wayang biasa (selain Wayang Calonarang). Seperti halnya dalam rangka kegiatan upacara agama, kemudian mengundang beberapa pemuka beserta jajarannya, maka patut dipersiapka segala sesuatu untuk menyambut para undangan. Bukan hanya pemuka tertentu saja yang disuguhkan hidangan, melainkan jajarannyapun mesti ikut serta dapat menikmati menu (hidangan yang perlu dipersiapkan) oleh tuan rumah. Begitu pula halnya dengan pertunjukan Wayang Calonarang sajian ida Bagus Sudiksa, karena begitu banyaknya para undangan merupakan rencang-rencang (pengikut) Betari Dalem yang diundang oleh sang dalang, untuk ikut serta menyaksikan pertunjukan, bahkan ikut ambil bagian di dalam pertunjukan tersebut, maka dari itu harus disediakan makanan, minuman kesukaan para undangan. Adapun upakara yang disajikan sebagai berikut.
Struktur Nilai Simbolisme dan Mistikisme Pertunjukan Wayang Calonarang, selengkapnya