by admin | Oct 10, 2011 | Artikel, Berita
Oleh: Nyoman Lia Susanthi, Dosen PS Seni Pedalangan ISI Denpasar.
Perempuan dijadikan sebagai objek dalam karya, sesungguhnya sudah bukan hal yang baru. Dulu perempuan sering dijadikan objek dalam lukisan. Sebut saja dari sepuluh lukisan terkenal sepanjang sejarah dunia telah memasukkan lima objek perempuan dalam lukisan, sisanya lukisan berjenis naturalis dengan konsep pemandangan, kehidupan kota dan abstrak. Dari kelima lukisan dengan objek perempuan, hanya satu lukisan yang melibatkan peran laki-laki, namun tetap dalam lukisan objek wanita diutamakan. Kelima lukisan dunia yang terkenal rata-rata tercipta sekitar abad ke-19, diantaranya lukisan berjudul “The Dream” oleh Pablo Picasso, “Girl with a Pearl Earring” oleh Jan Vermeer, “Luncheon of the Boating Party” oleh seniman asal Perancis Pierre Auguste Renoir, “The Kiss” oleh Gustav Klimt, yang menggambarkan ciuman sempurna dengan memposisikan wanita sangat terhormat, dan lukisan yang paling terkenal yaitu Mona Lisa oleh Leonardo Da Vinci.
Daya pikat perempuan pun menjadikan salah satu pelukis ternama keturunan Spanyol dan Amerika Antonio Maria Blanco menjadikan perempuan Bali sebagai fokus dari karya-karya lukisnya. Hingga model dalam lukisannya yaitu seorang penari tradisional Bali bernama Ni Ronji dinikahi pada tahun 1953. Bisa dikatakan bahwa Antonio adalah seorang pelukis feminin abadi. Ia merupakan seorang maestro lukisan romantik-ekspresif. Hal yang sama juga dilakukan pelukis yang bernama A.J. Le Mayeur. Ia datang ke Bali pada tahun 1937, karena daya tarik pantai sanur yang sangat indah serta wanitanya. Sebagai pelukis Le Mayeur sangat menyukai objek perempuan, yang akhirnya mengantarkan dia untuk menikahi model dalam lukisannya yang bernama Ni Polok. Ni Polok merupakan penari terkenal pada jamannya yang berasal dari Desa Kelandis.
Dulu representasi wanita sangat indah digambarkan lewat objek lukisan, lalu bagaimana dengan nasib perempuan di era digital ini? Jawabannya masih sama. Perempuan masih menjadi objek, namun yang berbeda tidak hanya dalam lukisan, kini merambah hingga media elektronik tv, terutama iklan. Banyak opini terucap bahwa media terutama iklan telah mengkonstruksi gender dalam representasi perempuan cenderung dijadikan objek. Tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk pemasaran, selain karena daya tarik terhadap aktualisasi nilai produk, target marketnya, juga consumer goods yang ditujukan khusus wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki. Perempuan memang telah menjadi fenomena komoditas yang tak terelakkan dalam kancah komunikasi iklan.
Tapi konstruksi iklan terkadang sangat menyesatkan. Produk yang sesungguhnya memiliki fungsi general, dikomunikasikan tidak lagi bersifat fungsional tetapi sudah bergeser ke arah konsep gender. Manifestasi maskulin cenderung menjadi idiom yang dimiliki oleh komoditi seperti otomotif, rokok, suplemen, dan lain sebagainya. Sedangkan iklan shampoo, sabun, alat kecantikan hingga peralatan rumah tangga dan dapur cenderung dimanifestasikan sebagai komoditi yang dekat dengan wilayah femininitas. Sebagai contoh iklan bumbu masak, pembersih lantai dan diterjen direpresentasikan oleh wujud perempuan yang menggambarkan hanya perempuan-lah yang bertanggung jawab atas tugas domestik tersebut, tanpa melibatkan peran laki-laki. Selain itu iklan juga kerap mengekploitasi perempuan. Mereka secara langsung telah memberi label negatif pada perempuan hitam, pendek dan berambut keriting. Konstruksi media menentukan nilai kecantikan sebagai garis pembatas bagi perempuan. Media membentuk perempuan cantik secara perlahan, tetapi terus-menerus lewat iklan. Sehingga menjadi sesuatu yang baku dalam penerimaan masyarakat, bahwa cantik itu putih, langsing, berbibir sensual, dan berdaya tarik seksual bahkan mengonstruksi perempuan sendiri. Maka nafsu perempuan pun berusaha menjadi perempuan yang dicitrakan media, dengan mengubah identitas kulit mereka. Kondisi seperti ini tentu saja membuat perempuan tidak rasional lagi. Seperti yang diungkapkan Lee dan Johnson (2007) bahwa iklan memberikan pengaruh bawah sadar terhadap sikap dan prilaku khalayak target.
Kontruksi iklan membentuk image bahwa perempuan cantik itu “putih”, sehingga membawa perempuan berusaha mengubah kulitnya, yang seharusnya cukup dipelihara. Fenomena ini terjadi di daerah tropis Kenya, 80 persen wanita Kenya memakai produk kecantikan untuk mengubah kulitnya menjadi lebih putih. Keinginan mereka mengubah identitas aslinya karena ingin terlihat menarik, dicintai serta menjanjikan hidup baru. Padahal kulit hitam legam warga Kenya telah selaras dengan lingkungan tropis Kenya yang panas. Ini menggambarkan adanya pergeseran peran iklan yang awalnya mengisyaratkan nilai dan manfaat dari produk, kini beralih pada kualitas iklan dengan menumbangkan realitas produk.
Dari gambaran tersebut terurai bahwa dulu dan sekarang wanita tetap menjadi objek. Jika kecantikan wanita dulu lewat lukisan, yang menggambarkan wanita cantik apa adanya (natural beauty) dengan peran cenderung keibuannya, tapi kini dunia iklan menggeser cantik perempuan lebih ke gaya hidup dengan tetap memelihara mitos-mitos lama terutama relasi gender antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan Ohh ….Wanita Riwayatmu Kini… selengkapnya
by admin | Oct 8, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Jika bumi Bali tak melahirkan seniman I Ketut Marya, mungkin wajah perkembangan tari Bali tidak seperti sekarang. Adalah karena “pemberontakan“ laki-laki tampan yang dilahirkan di Belaluan (Denpasar) dan besar di Banjar Lebah, Tabanan, inilah yang mengobarkan inovasi seni tari yang hingga kini apinya tetap membara. Karya tarinya, Kebyar Duduk (1925) dan Oleg Tamulilingan (1952) menjadi tonggak dan pelopor cikal bakal sebuah genre seni pertunjukan yang kini disebut seni kebyar. Orisinalitas artistik dan presentasi estetik Kebyar Duduk atau juga disebut Kebyar Trompong dan Oleg Tamulilingan, tak tertandingi hingga hari ini.
Marya yang meninggal tahun 1968 dalam usia 69 tahun, meniti kesenimannya dengan asupan tari-tarian klasik. Pada usia belasan tahun ia sudah dikenal masyarakat di sekitar Tabanan sebagai penari Sisya (dalam dramatari Calonarang) dan Gandrung (sejenis tari Joged yang dibawakan penari pria). Ketika mulai menginjak dewasa, Ketut Marya mempesona penonton dengan pentas tari Jauk dan Topeng. Dari penguasaan tari klasik itu menstimulasinya kemudian berolah rasa merangkai sebuah tari baru. Adalah nuansa ritmis dan dinamis dari orkestrasi Gong Kebyar yang memicu adrenalin estetik Marya, berimprovisasi mengalirkan gerak dan meletupkan ekspresi hingga tercetuslah tari yang sebagian besar diragakan berjinjit-jinjit setengah duduk, Kebyar Duduk.
Seiring dengan kian lebarnya ruang jelajah perkembangan Gong Kebyar dari Bali Utara ke seantero Bali, nama Marya sebagai penari dan pelatih tari Kebyar Duduk juga semakin masyur. Ketokohan Marya sebagai maestro tari begitu melambung ketika ia berhasil menciptakan tari Oleg Tamulilingan pada tahun 1952. Melalui serangkaian lawatan pentasnya ke mancanegara, nama Marya pun menginternasional. Penonton Amerika dan Eropa mengagumi tariannya, mengelu-elukan namanya dengan lafal lidah mereka, Marya menjadi Mario. Menurut pakar tari Indonesia, Soedarsono, masyarakat Amerika dan Eropa menjuluki Ketut Marya The Great Mario. Nama besar Ketut Marya, selain menjadi kebanggaan masyarakat Bali dan Indonesia, kini diusung penuh respek Kabupaten Tabanan. Lihatlah, arena berkesenian yang terletak di jantung kota, diberi nama Gedung Mario. Simaklah, beberapa tahun belakangan, di Gedung Mario tersebut, sekian kali telah digelar pentas seni atau lomba tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk. Terakhir, 24-27 Agustus lalu, telah digelar pula pembinaan tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk yang diikuti oleh 24 sanggar tari se-Kabupaten Tabanan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Tabanan, sebagai penyelenggara pembinaan kedua karya Marya ini, secara khusus mendatangkan nara sumber dua penari sepuh, Ni Gusti Ayu Raka Rasmin (73 tahun) dan Ida Bagus Oka Wirjana (79 tahun), yang pernah berguru langsung kepada Marya.
Alasan mendatangkan Gusti Ayu Rasmin dan Ida Bagus Wirjana yang berasal dari Gianyar, kiranya sebagai ungkapan penghormatan pada Marya, lewat idealisme mengawal keaslian kedua tari monumental itu. Ayu Rasmin adalah penari pertama Oleg Tamulilingan yang diajarkan oleh Marya menjelang tour keliling Amerika dan Eropa pada tahun 1952. Oka Wirjana yang pada masa remajanya tinggal di Tabanan, selain sebagai pengagum juga pernah ditempa langsung oleh Marya. “Selain versi Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk yang umum dikenal masyarakat Bali, kami di Tabanan ingin melestarikan versi asli Marya,“ ujar Ni Luh Nyoman Sri Suryati, S.Sn, alumnus ISI Denpasar, pimpinan sanggar tari Sekar Rare Tabanan.
Pelatihan tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk “asli“ Marya itu, ternyata banyak mengundang minat generasi muda Tabanan. Ratusan remaja putra dan putri Tabanan dengan penuh kesungguhan mengikuti pelatihan yang diarahkan oleh Gusti Ayu Rasmin dan Oka Wirjana itu. Hasilnya, Sabtu (27/8) sore dipertontonkan kepada masyarakat umum di Gedung Mario. Sebagian tampil menari dengan pakaian latihan dan beberapa orang menari dengan kostum lengkap, diiringi sekelompok penabuh. Tak kurang dari Wakil Bupati Tabanan, Komang Gede Sanjaya, menyambut sumeringah pentas tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk itu. “Kalau saya masih muda, rasanya ingin sekali belajar tari Oleg dan Kebyar Duduk yang asli, karya seniman besar Tabanan ini,“ katanya bergairah.
Asli dan tidak asli dalam konteks tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk karya Ketut Marya tersebut, jika diperdebatkan, akan tidak berkesudahan. Sebab ketika para seniman tari kebyar tempo dulu seperti Ketut Marya, Gde Manik, atau Nyoman Kaler mentransmisikan ciptaannya diberbagai tempat di Bali, mereka selalu tergoda untuk merevisi dan mengembangkannya. Kreativitas tiada henti sesuai dengan suasana batin dan kultur lingkungan tersebut memunculkan variasi seni, tari kebyar, yang dirawat oleh masing-masing komunitas seni dan masyarakat. Di Peliatan, Gianyar, menurut Ni Gusti Ayu Raka Rasmin, tari Oleg Tamulilingan yang diajarkan I Marya padanya, masih dipertahankan dengan teguh.
Namun jika ditarik secara kultural, perhatian yang ditunjukkan Pemkab Tabanan pada cipta tari Ketut Marya selain dapat dimaknai sebagai bentuk pengayoman, tentu juga untuk meneguhkan sebuah jatidiri. Karakteristik estetik Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk serta Ketut Marya yang virtuoso (seniman hebat), sangat meyakinkan didaulat sebagai pemberi identitas dan spirit masyarakat yang berkeadaban. Bila demikian adanya semangat serta komitmen masyarakat dan Pemkab Tabanan, tari Oleg Tamulilingan dan Kebyar Duduk akan berkibar lestari di Tabanan; Gedung Mario mungkin akan diberdayakan Pemkab Tabanan sebagai arena berkesenian yang berwibawa; dan patung beton Oleg Tamulilingan yang cacat tak terurus di depan gedung itu bisa jadi akan diganti pula dengan patung berbahan perunggu dalam visualisasi estetika rupa yang lebih menggugah.
Tabanan Mengusung Mario Sang Maestro Nan Virtuoso selengkapnya
by admin | Oct 6, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman I Ketut Gina, Mahasiswa PS. Seni Pedalangan
Unsur Mistik Pada Tembang
Pada tembang atau Gending Basur (Ginada Basur) yang dilantunkan oleh Twalen mengandung unsur mistik, karena mengungkap adanya ilmu hitam pada saat terjadinya perubahan wujud (ngelekas), hal itu dapat kita lihat pada babak III sebagai berikut:
”Liak destine mecanda
Ngawetuang wisia mandi
Ngelarang aji pangiwa
Siwa gni mwang siwa gandu
Durga sakti kearcana
Ngawe gering
Sasab grubug lan merana”. (pupuh ginada basur).
Arti bebasnya adalah :
Para pelaku mejik pada bersenang-senang
Mengeluarkan aura yang menakutkan
Bagi para yang melakukan ajaran mejik
Seperti siwa geni dan siwa gandu
Betari Durga yang dipuja
Yang menimbulkan wabah penyakit
Wabah penyakit dan perhara
Pupuh Ginada Basur di atas pada prinsipnya adalah pengundangan (pengaradan), artinya sang dalang mengundang para pelaku mistik (leak) agar datang ke tempat pementasan, guna mencoba kemampuan sang dalang itu sendiri, barang siapapun yang berani memasur (melantunkan pupuh Ginada Basur) di saat tengah malam, otomatis para pelaku mistik (leak) akan datang ke tempat di mana orang melantunkan tembang itu. Bagi orang-orang yang menganut ajaran mejik (pengeleakan) selalu mengharapkan kehancuran orang lain, dengan menghalalkan segala cara agar, orang lain kena musibah yang menyebabkan kematian.
Di bawah ini dilanjutkan pada kutipan pupuh ginada basur sebagai berikut:
”Dasaksara kaincepang
Panguripan panca geni
Manyumbah mider buana
Kaja Kelod Kangin Kauh
Pamurtyan Ongkara sungsang
Sinah ugig
Ngawe laliate nyungsang”. (pupuh ginada basur)
Arti bebasnya adalah :
Aksara yang jumlahnya sepuluh itu terus direnungkan
Yang mampu menghidupkan panca geni
Menyembah kepada empat penjuru
Utara Selatan Timur dan Barat
Yang akan melahirkan ongkara terbalik
Sudah jelas merusak
Yang membuat pengelihatan terbalik
Keterangan dari pupuh ginada di atas adalah yang dilakukan oleh orang yang belajar ilmu pengiwa, maka dia akan memeras aksara yang jumlahnya sepuluh butir itu sebagai dasar (sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya), kemudian menjadi Pancaksara. Pancaksara kemudian menjadi tri aksara, seterusnya menjadi dwi aksara, dan akhirnya menjadi ekaksara yakni Ongkara: ongkara ngadeg atau berdiri sebagai dasar panengen, dan ongkara sungsang atau terbalik sebagai dasar pengiwa. Karena keadaan menjadi terbalik maka terbalik pula persepsi orang melihat fisik pelaku ilmu hitam tersebut, seperti halnya mistik berasal dari bahasa Inggris Mistake yang artinya salah persepsi pandangan orang kepada benda hasil dari pelaku ilmu hitam tersebut. Nara sumber di atas mengindikasikan bahwa, terjadinya perubahan wujud bagi pelaku ilmu hitam akan dilihat berbeda bagi orang yang tingkatan kedyatmikannya lebih rendah dari pelaku ilmu hitam itu sendiri. Kalau kemampuan yang dimiliki lebih tinggi dari pelaku ilmu hitam itu sendiri, maka perubahan wujud itu tidak akan nampak atau orang tersebut tidak mampu dikelabui oleh pelaku ilmu hitam. Kardji dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hitam dari Bali menyebutkan bahwa, Gegendu bisa berubah wujud menjadi sapi, kerbau, kuda, yang merupakan wujud pengeleakan tingkat lima (5), akan tetapi jika kita bisa mengamati secara cermat, akan kelihatan dengan jelas bahwa kaki sapi, kerbau, kuda jadi-jadian tersebut sesungguhnya hanya berkaki tiga (3), orang yang memiliki ilmu panengen kelas tinggi akan melihat hal yang sebenarnya, yakni seorang yang memakai tongkat, berkain kancut (wiron) putih, berselimut putih, memakai kerudung seperti suster.
Di bawah ini ada lagi pupuh ginada yang memngungkap keberadaan ajaran ilmu hitam sebagai berikut:
”Mamusti masuku tunggal
Nunggalang adnyana sandhi
Japa mantra kauncarang
Ngamijilang geni murub
Tuhu luih mawisesa
Iku yukti
Brahma Semeru ngaranya”. (pupuh ginada basur).
Arti bebasnya sebagai berikut :
Berdoa posisi berdiri dengan satu kaki bertumpu di tanah
Berkonsentrasi penuh terpusat di hati
Dengan membaca mantra
Mengeluarka api berkobar-kobar
Sangat menakjubkan dan sangat dahsyat
Itulah yang disebut brahma semeru.
Pupuh Ginada Basur di atas menjelaskan bahwa orang yang telah memiliki ilmu hitam tingkat tinggi hingga tingkat kesebelas yang disebut Aji Brahma Semeru, yang mampu mengeluarkan api dari ubun-ubunnya hingga menembus langit, akan sangat membahayakan bagi orang yang terkena serangannya dengan radius tertentu. Ilmu seperti itu menurut tingkatannya adalah tingkat kedelapan. Kalau dibandingkan dengan tingkatan ilmu yang dimiliki oleh Rarung yang mencapai tingkat kesembilan, berarti Aji Brahma Semeru setingkat berada di bawah Ajian Pudak Sategal.
Unsur Mistik Pada Pertunjukan Wayang Calonarang Bagian II selengkapnya
by admin | Oct 6, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Putu Agustino, PS. Kriya Seni ISI Denpasar.
Alam lingkungan merupakan sumber imajinasi yang tak pernah habisnya dijadikan sumber inspirasi dalam berkarya seni. Sumber ide tersebut tidak saja terbatas pada alam binatang dan tumbuhan, melainkan juga alam manusia. Penciptaan karya seni sesungguhnya tidak lepas dari adanya pengaruh lingkungan, pengalaman fisik, pengalaman batin dan peristiwa menakjubkan yang dialami oleh seniman itu sendiri. Peristiwa dan pengalaman tersebut akan mengendap dan direnungkan kembali sehingga memunculkan endapan pengalaman estetis, selanjutnya diinterpretasikan ke dalam bentuk karya seni kriya yang melahirkan simbol-simbol yang dapat mewakili perasaan dan kepribadian dari pencipta. Dalam hal ini pencipta tertarik dengan anatomi tubuh manusia yang dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam berkarya seni.
Tubuh/anatomi manusia masing-masing memiliki peranan yang sangat penting dalam aktivitas manusia itu sendiri, bisa dilihat dari ujung kepala sampai ujung kaki. Anatomi tubuh manusia dilihat dari bentuk dan susunannya, terdiri dari potongan-potongan bagian tubuh yang memiliki keterkaitan hubungan organ. Bila ditelaah satu persatu, organ dan tubuh manusia sangat kompleks, memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya antara organ yang satu dengan yang lain. Perbedaan-perbedaan yang dimiliki antar bagian tubuh manusia dimulai dari bagaimana bentuknya, jaringan-jaringan yang menyusunnya, fungsi serta cara kerja masing-masing (Syaifuddin, 2009: 5).
Cara untuk menelaah setiap bagian tubuh manusia dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Secara umum, untuk menelaah keunikan bentuk anatomi tubuh manusia dengan melakukan pengamatan yang seksama, untuk mendapatkan detail variasi dari tiap bagian. Sedangkan untuk mengetahui sel-sel serta jaringan-jaringan susunannya dapat dilakukan dengan menggunakan mikroskop serta melalui pembacaan hasil radiologi atau city scan.
Pemilahan tiap bagian tubuh dengan cara membedakan berdasarkan sistem yang terdapat dalam tiap bagian tubuh juga dapat mempermudah dalam mempelajari tiap detail tubuh manusia. Misalnya, sistem tulang dan otot (muskuluskeletal) membawa kita bagaimana susunan anatomi tulang-tulang serta otot yang dimiliki oleh manusia. Sebagai mekanisme pertahanan diri, manusia memiliki lapisan kulit palimg luar yang disebut dermis untuk melindungi susunan maupun organ yang berada di dalamnya dari berbagai benda asing yang bisa merusak tubuh manusia. Secara umum, tubuh manusia ideal adalah memiliki tinggi kurang lebih sama dengan 8 kali ukuran panjang kepalanya, atau 8 kali jarak dari siku ke ujung ketiak. Posisi selangkangan kurang lebih adalah titik tengah dari tinggi manusia dewasa. Panjang bentangan lengan seseorang kurang lebih sama dengan lebar panggulnya. Panjang bentangan kedua lengan, dari ujung jari paling kiri ke ujung jari paling kanan sama dengan tinggi tubuh. Panjang tapak kaki seseorang sama dengan panjang lengan bagian bawahnya. Lebar maksimum bentangan dada seseorang kurang lebih sama dengan seperempat tinggi tubuhnya. Lebar telapak tangan kurang lebih sama dengan 4 jari. Panjang kaki seseorang kurang lebih sama dengan 4 kali lebar telapak tangannnya. Lebar kepala kurang lebih sama dengan 4-5 kali lebar mata. Panjang kepala (dari akar rambut sampai bagian bawah dagu) kurang lebih sama dengan satu jengkal tangan. Panjang kepala seseorang kurang lebih sama dengan 3 kali jarak dari ujung dagu ke hidung. Jarak antara mata kiri dan kanan sama dengan lebar mata. Tinggi telinga sama dengan jarak dari ujung mulut ke ujung mata. Lebar bagian bawah hidung sama dengan lebar mata. Lebar mulut saat terkatup sama dengan jarak antara 2 bola mata atau lebar mata. Panjang wajah seseorang kurang lebih sama dengan 3 kali panjang telinga atau 3 kali jarak antara ujung kening ke alis. (http://andreasap.multiply.com/journal/item/3)
Dengan mengamati karakter dan keunikan yang dimiliki tubuh manusia, yang tercermin dalam prilaku manusia masa kini, maka pencipta tersentuh dan tertarik untuk memvisualisasikan ke dalam bentuk karya seni kriya, yang lebih menekankan karakter bentuk anatomi tubuh manusia itu sendiri. Bentuk anatomi tubuh manusia yang dijadikan objek seperti: kepala, kaki, badan serta organ yang lain diolah dengan menerapkan elemen-elemen seni rupa seperti: garis, bidang, ruang, warna dan tekstur tanpa meninggalkan prinsip-prinsip estetika. Karya seni yang terwujud merupakan hasil kreativitas pencipta yang dikembangkan dengan mendeformasi bentuk yang dipersepsi dan interpretasi, sehingga memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri, ditampilkan dalam bentuk dua dimensi dan tiga dimensional.
Perwujudan karya diungkapkan lewat simbol-simbol terkait dengan perilaku manusia masa kini. Hal ini dicermati melalui gejala dan fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Manusia selalu mengejar keinginan yang bersifat praktis atau sesaat, tanpa memperhitungkan dampak yang ditimbulkan lebih lanjut.
Sumber Ide penciptaan
Penciptaan karya kriya seni, seperti yang telah disebutkan di atas yaitu mengambil sumber ide dari anatomi tubuh manusia yang diwujudkan lewat simbol-simbol terkait dengan tingkah laku manusia sekarang. Dalam memvisualisasikan anatomi tubuh manusia tersebut diungkapkan lewat pendeformasian bentuk.
Deformasi merupakan penggambaran bentuk yang menekankan pada interpretasi karakter, mengubah bentuk anatomi tubuh manusia dengan cara menggambarkan objek tersebut, yang dianggap mewakili, atau pengambilan unsur tertentu yang mewakili karakter hasil interpretasi yang sifatnya sangat hakiki (Dharsono, 2007: 38)
Dalam mewujudkan sumber ide di atas, karya kriya yang akan dibuat dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu, karya kriya yang bersifat kriya seni (art) dan karya kriya terapan (applied art). Karya kriya seni akan disusun dengan komposisi vertikal dan horizontal yang mentransformasikan tingkah laku manusia sesuai dengan bentuk anatominya yang diungkapkan lewat simbol-simbol sebagai refleksi sifat-sifat manusia panda jaman sekarang. Karya kriya fungsional, yang akan dibuat memiliki nilai pakai dan sifat praktis, ekonomis, efisien, ergonomis dengan orientasi produksi.
Mengingat luasnya permasalahan yang dihadapi dan agar tidak terjadi salah penafsiran tentang tema, sangat penting untuk melakukan penegasan sekaligus untuk membatasi permasalahan. Dalam mewujudkan karya kriya seni yang bertemakan “Anatomi Tubuh Manusia sebagai Objek Penciptaan Kriya Seni”. Dalam pengambilan objek tersebut pencipta membatasi pada bagian anatomi seperti kaki, badan, kepala dan organ menarik lainnya yang diungkapkan lewat simbol-simbol terkait dengan perilaku kehidupan manusia masa kini, yang selalu mengejar kepentingan praktis tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan oleh perilakunya tersebut. Manusia memanfaatkan perkembangan teknologi untuk menciptakan berbagai peralatan yang membuat segala sesuatunya menjadi praktis. Seperti perkembangan berbagai kendaraan bermotor begitu pesat yang diciptakan sebagai duplikasi dan perpanjangan dari kaki manusia. Manusia mengejar kepentingan praktis untuk menuju suatu tempat tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan seperti polusi udara yang meningkatkan resiko global warming.
Anatomi Manusia Sebagai Objek Penciptaan Kriya Seni selengkapnya
by admin | Oct 5, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Suartaya, Dosen PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Pengakuan dan penghargaan Pemda Bali kepada seseorang atau kelompok orang yang telah berkarya dan mengabdikan hidupnya untuk dunia seni ditandai dengan penganugrahan piagam yang bernama Dharma Kusuma. Apresiasi pemerintah terhadap dedikasi para seniman ini, Minggu (14/8) lalu, misalnya, ditunjukkan oleh Gubernur Bali I Made Mangku Pastika serangkaian dengan HUT Pemda Bali ke-53. Di antara 18 piagam yang diserahkan gubernur Bali itu, terdapat sebuah penghargaan untuk seniman pedalangan. Piagam untuk seniman pengabdi wayang kulit ini terasa mengetuk rasa haru, mengingat semakin tergerusnya wibawa teater boneka pipih dua dimensi ini di tengah masyarakat Bali masa kini.
Dulu, wayang kulit adalah pertunjukan favorit masyarakat. Masing-masing daerah di Bali mengembangkan kekhasan bentuk dan gaya pementasannya. Kendatipun berangkat dari sumber cerita yang sama, Ramayana dan Mahabharata, ornamentasi fisik wayang kulit Bali bervariasi, seperti berukir rumit halus di Bali Selatan dan sebaliknya agak polos di Bali Utara. Namun bagaimana pun bentuk estetik fisik wayangnya dan gaya artistik pementasannya, yang pasti, di masa lalu, pementasan wayang kulit begitu mempesona penonton. Penyajiannya dicermati penonton mulai dari kotak wayang dibuka oleh dalang hingga wayang kayonan ditancapkan pertanda pertunjukan usai. Cerita yang dikisahkan merasuk ke relung hati.
Tetapi kini, kelaziman penyebutan nama desa asal domisili para dalang terkenal tidak terdengar lagi. Sebutan Dalang Sukawati (Gianyar), Dalang Bongkasa (Badung), atau Dalang Tunjuk (Tabanan) misalnya, sudah tak bergaung lagi. Kendati di kantong-kantong seni pedalangan Bali itu wayang kulit masih dirawat, namun sebagai seni tontonan yang sarat tuntunan, seni pertujukan bayang-bayang ini telah terdepak ke pinggir. Amat menyedihkan, belakangan, sebuah pertunjukan wayang hanya ditunggui segelintir orang. Masyarakat kekinian tak sempat lagi mengunyah-ngunyah lezatnya cerita atau saripati kehidupan yang dituturkan sajian wayang. Fenomena surutnya pementasan wayang terjerembab hampir di seluruh Bali.
Namun, walaupun mendung pesimisme membayang-bayangi kelir (layar) wayang, sebagian seniman pedalangan Bali masih bersiteguh menggeluti keseniannya. I Wayan Nartha, 69 tahun, di Banjar Babakan, Sukawati, Gianyar, adalah salah satu dalang desa setempat menunjukkan totalitas hidupnya untuk teater wayang kulit. Karenanya, sangat pantas bila Dalang Wayan Nartha menjadi salah satu penerima piagam Dharma Kusuma tahun 2011 tersebut. Selain pantas, penghargaan ini sangat bermakna menyemangati para seniman pedalangan dan sekaligus menggedor masyarakat untuk kembali mengapresiasi wayang. Lebih-lebih bila mengingat arti penting kesenian ini sebagai seni pertunjukan adiluhung yang telah diakui Unesco, PBB, sebagai warisan budaya dunia.
Wayan Nartha adalah kakak kandung Dalang “Jengki” I Ketut Madra (almarhum). Sejak Madra meninggal pada tahun 1979, Nartha meneruskan profesi keluarganya sebagai pelaku seni pertunjukan wayang, menjadi dalang. Ketika pertunjukan wayang kulit masih mengundang antusiasisme penonton, tahun 1980-an, Dalang Nartha sering diundang pentas di tengah masyarakat Bali, baik ngewayang untuk tontonan maupun tampil dalam konteks ngayah ngewayang saat ritual keagamaan. Sebagai wujud pengabdiannya pada jagat wayang, Dalang Nartha membuat sendiri wayang yang dimainkannya. Di rumahnya, dalang yang sempat melawat ke Jerman, Jepang, dan Australia ini, kesehariannya banyak diisi dengan mengukir atau mengecat wayang buatannya.
Keteladanan Dalang Nartha yang juga patut diapresiasi dan dikagumi di tengah surutnya pertunjukan wayang adalah ketulusannya berbagi ilmu, membina generasi penerus seni pedalangan. Tanggung jawabnya mewariskan seni pedalangan pada keturunannya telah mengalir secara alamiah. Salah satu anaknya (Ketut Sudiana) dan dua orang cucunya (Natya dan Gus Dian) telah menapaki jejaknya sebagai dalang. Selain pengkaderan di lingkungan keluarganya, Dalang Nartha juga dengan penuh kesungguhan membina siapa pun dan dari mana pun orang-orang yang datang kepadanya. Bahkan peminat teater wayang dari luar negeri pun dibinanya dengan serius. Maria Bodmann, seorang pemain teater dari Amerika Serikat, telah berhasil dicetaknya menjadi dalang yang kini sudah sering pentas di negerinya.
Kaderisasi seperti yang telah diayunkan oleh Dalang Nartha tersebut patut diberi perhatian dan sangat urgen dilakukan pada seni pedalangan Bali. Sebab, di tengah masyarakat Bali, dalam konteks sosial-religius, kesenian ini masih fungsional walaupun sebagai presentasdi estetik ia kini mungkin tereduksi oleh beragamnya pilihan tontonan modern, televisi utamanya. Juga, sebagai ekpresi artistik, teater total yang telah muncul pada abad ke-11 ini perlu diselamatkan, direvitalisasi, dan ditransmisikan pada generasi mendatang. Tapi masalahnya adalah seni mendalang yang memerlukan kemampuan multiseni ini langka peminat. Di lembaga pendidikan formal yang memiliki jurusan seni pedalangan selalu cekak murid atau mahasiswa.
Krisis yang kini mendera seni pedalangan sangat mengkhawatirkan. Diperlukan kesadaran semua pihak, termasuk pemerintah, untuk menanggulanginya. Penanggulangannya, rupanya, tidak cukup hanya berupa apresiasi simbolik selembar piagam saja melainkan suatu komitmen kongkret dengan perspektif sosial-kultural-religius. Wayang, nilai keindahan seni pada umumnya, berkontribusi penting membangun humanisme serta mental-spiritual manusia dan masyarakat bangsa ini.
Ketika Layar Wayang Dihalangi Layar Televisi selengkapnya
by admin | Oct 4, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Sidik Aryawan, Mahasiswa PS. Seni Tari ISI Denpasar
1. Deskripsi Garapan
Abimanyu Wigna merupakan tari kreasi baru yang ditarikan oleh 5 orang penari putra, bertemakan kepahlawanan, yang ceritanya diangkat dari Epos Mahabharata.
Garapan ini pada prinsipnya tetap berpola pada tradisi, akan tetapi telah dikembangkan atau diinovasikan baik dari segi perbendaharaan gerak dengan memadukan esensi gerak tari Baris, Jauk, Topeng dan Pegambuhan, maupun pola lantai, kostum dan properti yang digunakan.
Garapan ini ditata sedemikian rupa agar kelihatan indah dan dinamis, sehingga mudah dimengerti oleh penikmatnya. Durasi waktu garapan ± 12 menit dengan diiringi seperangkat gamelan Gong Kebyar.
2. Analisis Pola Struktur
Struktur atau susunan suatu karya seni menyangkut keseluruhan karya seni tersebut, meliputi peranan masing-masing bagian dari dalam keseluruhan. Sehingga terdapat hubungan antara bagian-bagian dalam suatu karya seni (Djelantik, 1999 : 41). Garapan ini memiliki struktur yakni :
Pengawit :
Kelima penari on stage. Pada pengawit ini menggambarkan Abimanyu yang tampan dan gagah berani serta memiliki semangat jiwa muda yang bergelora. Suasana : tenang.
Pepeson :
Menggambarkan tokoh Abimanyu yang gagah berani. Suasana : gembira.
Pengawak :
Pada bagian ini mengisahkan kesiapan ataupun keberanian Abimanyu untuk masuk ke dalam Cakrawyuha yang dibuat oleh pasukan Korawa untuk melindungi Pandawa. Suasana : tegang.
Pengecet :
Pada bagian ini mengisahkan Abimanyu yang sedang latihan berperang.
Pesiat :
Pada bagian ini mengisahkan malapetaka yang menimpa Abimanyu yakni Abimanyu terbunuh akibat dari kelicikan dan kecurangan yang dilakukan oleh guru besar pihak Korawa. Suasana : tegang lalu berubah menjadi sedih.
3. Analisis Estetika
Dalam penggarapan sebuah tari, seorang seniman selalu memperhatikan nilai keindahan dalam garapannya. Pada umumnya apa yang kita sebut “indah” dapat menimbulkan rasa senang, rasa puas, rasa aman, nyaman, dan bahagia, dan bila perasaan itu sangat kuat, kita merasa terpaku, terharu, terpesona, serta menimbulkan keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu walaupun sudah dinikmati berkali-kali. Hal ini dilakukan agar penonton, yang menyaksikan pertunjukan tersebut mampu menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat di dalamnya. Menurut A.A.M Djelantik dalam bukunya yang berjudul Estetika Sebuah Pengantar, dinyatakan bahwa dalam setiap peristiwa kesenian dalam hal ini ialah garapan tari terdapat 3 (tiga) aspek yang mendasari keindahan, yakni wujud atau rupa, bobot atau isi, dan penampilan atau penyajian.
Wujud atau Rupa
Wujud garapan tari Abimanyu Wigna terdiri dari bentuk dan struktur garapan. Garapan ini berbentuk tari kreasi yang ditarikan berkelompok. Struktur garapan ini memiliki unsur estetis yang berperan penting, yaitu keutuhan (unity), penonjolan (dominance), dan keseimbangan (balance). Keutuhan dari garapan Abimanyu Wigna dapat dilihat dari struktur garapan yang terdiri dari lima bagian, dan masing-masing bagian mempunyai hubungan yang relevan. Bagian pepeson menggambarkan tokoh Abimanyu yang gagah berani. Bagian pengawak mengisahkan kesiapan ataupun keberanian Abimanyu untuk masuk ke dalam Cakrawyuha yang dibuat oleh pasukan Korawa. Bagian pengecet mengisahkan Abimanyu yang sedang latihan berperang. Kemudian dilanjutkan pada bagian pesiat mengisahkan malapetaka yang menimpa Abimanyu yakni Abimanyu terbunuh akibat dari kelicikan dan kecurangan yang dilakukan oleh guru besar pihak Korawa.
Bobot
Unsur yang sangat penting dalam menilai bobot kesenian dapat dilihat dari cara penyampaiannya atau “komunikasi”, karena maksud atau makna dari suatu karya seni itu tidak akan sampai pada si penikmat bila komunikasinya kurang. Isi dari suatu garapan tari bukan hanya apa yang semata-mata dilihat di dalamnya, akan tetapi meliputi apa yang dirasakan dan apa yang dihayati dari isi itu. Aspek utama dari bobot yakni suasana, gagasan dan pesan.
Suasana yang ditampilkan dalam garapan ini terdapat di setiap bagian dari struktur garapan. Pada saat Abimanyu memasuki lingkaran Cakrawyuha ditekankan suasana tegang. Suasana gembira dan agung pada bagian pepeson yakni pada saat menggambarkan keagungan Abimanyu. Suasana panik dan tegang ditekankan pada saat kepanikan Yudhistira akan Cakrawyuha yang dibuat oleh pasukan korawa dan pada saat Abimanyu menyatakan siap untuk turun ke medan perang. Suasana tegang ditekankan pada saat perang yakni pada saat Abimanyu dicurangi oleh petinggi Korawa yang dipertegas dengan tata cahaya.
Ide atau gagasan garapan ini bersumber dari epos Mahabharata dengan tema kepahlawanan yang menenkankan sifat berani dan rela berkorban yang dimiliki oleh Abimanyu. Adapun pesan yang ingin disampaikan oleh penggarap dalam garapan tari kreasi baru Abimanyu Wigna ini adalah agar kita sebagai generasi muda memiliki sifat yang berbakti kepada orang tua serta sikap rela berkorban demi bangsa dan negara.
Penampilan
Penampilan yang dimaksud di sini adalah penyajian. Bagaimana karya seni itu disajikan kepada sang pengamat, penonton atau khalayak lainnya. Di dalam penampilan ada 3 (tiga) unsur yang berperan, yakni bakat, ketrampilan dan sarana. Bakat dan ketrampilan merupakan hal yang terpenting dalam suksesnya suatu garapan dengan tema pola kelompok, bakat dan ketrampilan penari harus setara. Untuk itu harus dilakukan seleksi dan latihan secara berulang-ulang untuk mencapai hasil yang maksimal. Mengenai sarana yang digunakan adalah lighting, layar, dan properti berupa pedang dan panah. Secara utuh garapan ini akan dilaksanakan pada ujian akhir yang bertempat di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar pada tanggal 25 Mei 2011.
4. Analisis Simbol
Supaya penonton lebih mudah memahami maksud atau pesan yang akan diungkapkan dalam garapan ini, maka akan disampaikan beberapa simbol-simbol, seperti gerak, kostum, tata rias dan pola lantai.
Gerak
Garapan Abimanyu Wigna menggunakan beberapa gerak yang memiliki makna tertentu yang dapat dijadikan simbol gerak. Untuk menunjukan keenerjikan serta keberanian Abimanyu ditandai dengan gerak-gerak yang tegas dan bergetar didukung dengan irama musik yang banyak mengandung aksen. Teknik angkat (lifting) yang dilakukan seorang penari yang menyimbolkan keagungan Abimanyu. Selanjutnya gerakan yang berpindah-pindah menyimbolkan kelincahan dan keenerjikan Abimanyu.
Garapan Abimanyu Wigna selengkapnya