by admin | Nov 15, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn, Alumni ISI Denpasar
Saniscara Kliwon, wuku Wayang, 29 Oktober 2011 merupakan hari piodalan di Pura Padma Nareswari kampus ISI Denpasar. Kampus yang terkenal sebagai “Kawah Candradimuka”-nya calon-calon seniman akademis nan unggul di Bali ini pun menggelar berbagai jenis pertunjukan tari dan tabuh, baik sebagai sarana upacara atau wali, sebagai bebali atau penunjang pelaksanaan upacara dan sekedar untuk memeriahkan suasana atau balih-balihan. Pergelaran kesenian ini pun melibatkan para mahasiswa dan dosen serta tidak lupa dimeriahkan oleh para mahasiswa asing yang tergabung dalam program pertukaran pelajar Dharmasiswa.
Dimulai dengan pementasan tari Rejang Dewa oleh mahasiswi semester satu yang baru bergabung dalam tahun ajaran baru di ISI Denpasar, antusiasme para pemedek mulai meningkat. Maklum, pemedek yang sebagian besar dosen dan pegawai serta mahasiswa ini ingin menyaksikan langsung bagaimana potensi mahasiswa baru yang menampilkan kebolehannya pada kesempatan tersebut. Sebagai catatan, merupakan sebuah kebiasaan di ISI Denpasar beberapa tahun ini untuk melibatkan mahasiswa baru sebagai penari wali dalam piodalan di kampus. Setelah pementasan tari Rejang Dewa tadi, dilanjutkan dengan pementasan tari Baris Gede, juga oleh anak-anak semester baru. Sejenak kemudian, pementasan dramatari topeng tak pernah absen menghiasi hingar binger suasana khusuk religius di kampus seni yang dulunya bernama ASTI serta STSI tersebut.
Beberapa saat setelah piodalan selesai dilaksanakan, pada malam harinya dipentaskan beberapa jenis tarian untuk menghibur pemedek yang baru datang. Ada tari Selat Segara ciptaan I Gusti Ayu Srinatih, SST., M.Si, dilanjutkan dengan tari Legong Keraton Lasem oleh para mahasiswa dari Jepang serta tari Satya Brasta karya I Nyoman Cerita SST., M.FA. Namun yang mengundang decak bagi penulis adalah penampilan dari para mahasiswa Jepang bernama Yasuda Sae, Ono Satomi dan Tashiro Cia dalam membawakan tari Legong Keraton Lasem.
Ada beberapa hal yang menurut penulis perlu diperhatikan dan dicermati dalam penampilan mereka. Yang pertama adalah antusiasme mereka untuk ikut serta melibatkan diri dalam berbagai pentas seni. Partisipasi mereka dalam meramaikan acara hiburan di areal luar Pura Padma Nareswari tersebut patut diapresiasi positif sebagai kelanjutan kelas program Dharmasiswa yang mereka ikuti di kampus. Sebagai seniman dari Bali, kita patut berbangga karena kesenian yang selalu kita lestarikan ini turut dipelajari dan disukai oleh orang asing.
Hal selanjutnya adalah keseriusan para mahasiswa asing (khususnya dari Jepang) dalam membawakan tari yang tergolong cukup rumit tersebut. Dengan beberapa penonton yang lain pun penulis sempat berdialog dan menanyakan komentarnya terhadap performa para mahasiswa asing ini dalam menari. Berbagai tanggapan positif dan kekaguman pun mencuat untuk mereka. Meskipun teknik tari tidak bisa seluwes para penari Bali yang sudah mahir, namun tetap saja penampilan mereka seolah menyiratkan bahwa mereka mengerti dan menjiwai setiap gerakan yang disajikan. Tidak kali ini saja penulis menyaksikan para mahasiswa asing membawakan tari-tari tradisional Bali yang notabene adalah budaya asli masyarakat Bali dan tentu saja hal baru bagi mereka. Penampilan prima hampir selalu mereka sajikan pada tiap kesempatan menari, entah disaksikan oleh ribuan penonton atau bahkan hanya disaksikan oleh belasan penonton.
Menyaksikan penampilan para mahasiswa asing yang demikian apiknya tidak saja membuat hati penulis berdecak bangga, namun juga membangkitkan kemirisan hati bilamana penulis mengingat beberapa pagelaran tari yang dibawakan oleh mahasiswa lokal ISI Denpasar sendiri. Pada beberapa kali kesempatan tampil dalam acara workshop (atau kunjungan tamu asing), ISI Denpasar selalu menyajikan beberapa materi tari sebagai sajian pementasan. Hal yang masih hangat dalam ingatan penulis, yang kebetulan sering dipercaya ikut mementaskan tari Oleg Tamulilingan saat workshop, menyaksikan langsung beberapa oknum mahasiswa lokal kita sangat relaks dan bahkan “terlalu relaks” dalam membawakan satu tarian. Sajian mereka di atas panggung pun menurut penulis tak lebih dari sekedar parodi bercanda yang sedikit “kelewatan”. Bagaimana tidak, sebuah tari yang serius, memerlukan penjiwaan yang dalam dibawakan seolah tanpa roh. Saling ejek dan beberapa tindakan jahil antar penari di atas panggung (saat sedang menari) seolah hal yang halal dilakukan oleh penari ISI Denpasar. Tidakkah mereka berpikir bilamana pencipta tari tersebut menonton pertunjukan mereka? Bagaimanakah perasaan mereka bila nanti tarian yang berhasil mereka ciptakan dengan penuh perjuangan dibawakan dengan asal-asalan (atau lebih tepat “dilecehkan”) sedemikian rupa? Pedulikah mereka akan komentar dan kesan penonton (yang mereka anggap “tidak mengerti” tari Bali) serta bagaimana citra lembaga setelah para tamu (yang ternyata “mengerti” tari Bali) meninggalkan kampus?
Hati ini semakin teriris dan bertanya-tanya saat melihat reaksi beberapa oknum penari sesaat setelah mereka selesai menari di atas panggung. Seolah ada rasa “kebanggaan” atas segala “kelucuan” (atau kekonyolan?) yang mereka pentaskan beberapa saat yang lalu yang ditunjukkan dengan tawa-tawa puas nan lantang. Keheranan ini bertambah ketika melihat beberapa rekan mereka justru mensuport dan berpotensi meniru tindakan-tindakan semacam itu kelak. Tidak ada indikasi kritik yang mengingatkan apalagi nasehat yang bersifat preventif dari orang-orang sekitar oknum penari tersebut. Pada saat inilah penulis rasa perlu ungkapkan sebuah gambaran hidup, bahwa sebelum merasa di atas angin, kita harus berusaha untuk bisa mengepakkan sayap dan terbang melewati banyak hal terlebih dahulu.
Sungguh hal yang kontradiktif melihat fakta ironis yang telah terjadi tersebut. Bagaimana tidak, budaya adiluhung bernama kesenian yang telah membawa ISI Denpasar serta Bali menjadi terkenal justru mulai mendapat rongrongan dari dalam. Meskipun masih bersifat kecil, bilamana tidak diingatkan akan menjadi sesuatu yang massif dan bersifat dekonstruktif. Rupanya isu kedisiplinan merupakan hal yang harus kita pelajari dari mahasiswa asing yang justru mengagungkan kesenian milik kita. Mereka begitu antusias dan bangga mendapatkan kesempatan untuk belajar dan sekaligus pentas tari Bali. Berbeda dengan kita yang terkesan melecehkan kebanggaan kita sendiri. Terlebih setelah budaya atau kesenian kita diklaim bangsa lain, barulah ramai-ramai kebakaran jenggot. Maka jangan heran, rumput menjadi lebih subur di negeri tetangga karena perawatannya lebih baik, meski dari benih yang sama. Paradigma oknum mahasiswa di ISI Denpasar khususnya di Seni Tari yang bisa dikatakan memalukan tersebut harus segera diubah. Para pejabat struktural terkait, pembimbing akademik, para dosen pengajar harus selalu aktif melakukan pembinaan formal dengan pendekatan persuasif dan berkelanjutan. Di luar jam-jam belajar resmi, mahasiswa juga perlu diberikan pengertian bahwa tindakan-tindakan kurang baik seperti tersebut di atas adalah dapat dikatakan kurang menghargai hasil karya seseorang. Bahkan bila perlu, diajak untuk menonton video tari yang nyeleneh dalam arti para penarinya tidak memiliki keseriusan hati dalam menari sebagai pembanding atau cerminan dan memancing komentar mereka.
Pelecehan terhadap hasil karya menurut penulis juga merupakan sebuah pelanggaran disamping penjiplakan (plagiatisme) jika dikaitkan dengan pembelajaan HKI. Efek yang ditimbulkan dari sisi psikologis pun sama beratnya, yaitu merasa tersakiti secara emosional karena tidak adanya penghargaan atas karya yang telah tercipta. Tentu saja penulis berharap hal ini tak terjadi lagi untuk berbagai pementasan yang dilakukan oleh mahasiswa ISI Denpasar dalam kesempatan berikutnya. Banyak faktor terkait yang berpotensi dirugikan oleh tindakan semacam ini. Tulisan ini tidak lain adalah rasa jengah penulis terhadap pola pikir oknum mahasiswa terhadap keseniannya sendiri. Tiada pula tujuan untuk menyerang pribadi masing-masing. Sebelum hal ini menjadi “wabah” bagi perkembangan kesenian kita di ISI Denpasar dan Bali pada umumnya, mari berbenah diri sesegera mungkin.
“Si Jepang” yang Heboh dan “Si Bali” yang Emoh : Sebuah Kritik, Selengkapnya
by admin | Nov 14, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn, Alumni ISI Denpasar
Di Bali sendiri, PKB digelar setiap tahunnya. Sejak diadakan pertama kali pada tahun 1978, event kesenian terbesar dan paling bergengsi di Bali ini selalu berhasil membius berbagai kalangan mulai dari para pakar seni, pelaku seni, hingga masyarakat awam untuk datang ke tempat digelarnya acara sepanjang satu bulan ini yaitu di Art Center Denpasar. Para seniman dari berbagai sanggar atau kelompok-kelompok seni di seantero Bali pun berdatangan dan saling unjuk gigi mempertontonkan kelihaiannya dalam berolah kreativitas.
Berbagai jenis kesenian baik yang bersifaat konservasi seni klasik, rekonstruksi seni-seni langka, hingga kesenian pengembangan dan partisipasi kelompok seni luar negeri tak pernah absen menghiasi indahnya PKB. Setiap tahun, selalu saja para penggemar seni dari seluruh kabupaten di Bali menyempatkan diri untuk menyaksikan primadona pertunjukan seperti Parade Gong Kebyar Pria Dewasa (yang dahulu selalu dilombakan), parade Topeng, Seni Klasik seperti Arja dan Gambuh serta Palegongan. Tidak lupa juga, kesenian pengembangan seperti tari-tari kontemporer pun menjadi warna baru yang sanggup membuka wawasan penonton akan perkembangan kesenian di Bali.
Kini, setelah memasuki usianya yang ke-33, PKB ternyata memiliki berbagai sisi lemah yang belum sepenuhnya mendapat solusi dari berbagai pihak. Seperti misalnya, kualitas penyajian kesenian yang cenderung monoton, miskin kreativitas, menghabiskan dana yang banyak dan sebagainya. Di sisi lain, faktor ketersediaan lahan parkir dan lokasi penyelenggaraan yang terlalu sentralistik pun tak luput menjadi sorotan. Tak ayal, kritik pun terlontar dari berbagai komponen masyarakat untuk penyelenggara PKB ini.
Pembenahan yang bersumber dari pemikiran-pemikiran cerdas harus segera dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari kritik yang diutarakan oleh Tjok. Raka Kerthyasa atau yang akrab dipanggil Cok. Ibah. Belau adalah seorang anggota DPRD Bali dari Puri Ubud, Gianyar. Pria yang bertugas di Komisi IV ini, kepada sebuah media ternama nasional mengungkapkan bahwa PKB idealnya diselenggarakan tiga tahun sekali. Pemikiran ini didasarkan bahwa dalam jangka waktu satu tahun, adalah waktu yang terlalu singkat bagi para kreator seni untuk melahirkan sebuah mahakarya yang benar-benar mampu memberi rasa takjub bagi para penikmat seni. Ia juga berpendapat bahwa penyelenggaraan PKB yang setahun sekali merupakan salah satu penyebab monotonnya kualitas seni yang disajikan. Jikalau pun ada pengembangan, paling-paling hanya sedikit dan itupun masih ada kemiripan dengan tahun sebelumnya.
Pemikiran ini bila dianalisis memiliki beberapa nilai plus dan minus. Pertama, untuk penyelenggaraan yang berjangka waktu tiga tahun, sisi baiknya adalah para seniman khususnya para pengkarya atau kreator seni memiliki waktu yang lebih panjang untuk berpikir, mencari ide-ide baru, kreativitas yang segar dan tentu saja original. Hal ini akan berdampak pada sisi kualitas karya yang dimaksud Cok. Ibah di mana oleh beliau dituturkan bersifat monoton alias itu-itu saja. Namun, di sisi yang berlawanan menurut beberapa pelaku dan penggiat seni yang sering terlibat dalam setiap kesempatan di PKB, waktu tiga tahun untuk memproduksi sebuah karya baru, dinilai terlalu lama. Wacana penyelenggaraan PKB tiga tahun sekali ini pun dinilai rentan terhadap serangan pengaruh budaya asing yang tidak pernah berhenti mengincar Bali. Sebagaimana kita ketahui, agama, kebudayaan dan kesenian merupakan benteng pertahanan budaya Bali yang harus diperkokoh oleh masyarakat pendukungnya dari dalam. Demikian pula, PKB sebagai sebuah event kebudayaan dan kesenian di Bali secara tidak langsung merupakan sebuah filter yang sangat baik demi mempertahankan keluhuran budaya Bali dari pengaruh global yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya lokal. Dengan diadakannya PKB setiap tiga tahun sekali, dikhawatirkan kesenian bahkan kebudayaan Bali akan mudah disusupi pengaruh negatif globalisasi.
Selain alasan tersebut, waktu satu tahun bagi seorang atau kelompok seni untuk memproduksi sebuah karya tidaklah terlalu mepet. Justru, mereka akan merasakan tantangan dan semakin terpacu untuk menemukan gagasan segar untuk dituangkan dalam karya seninya. Tetapi, apakah faktanya memang demikian? Tidak salah, namun belum sepenuhnya benar. Kesenian yang tertampil di PKB memang beragam dan masih menghormati keberadaan kesenian Bali yang sakral, klasik dan bahkan langka. Namun, dari sisi kualitas, nampaknya masih perlu dilakukan pembenahan, misalnya menyangkut masalah teknis, artistik dan tentu saja yang paling esensial adalah inovasi. Inovasi bukanlah sesuatu yang dianggap merusak tatanan seni tradisi yang sudah mapan, namun justru menempatkan seni tradisi sebagai sumber penciptaan dan inspirasi karya yang tidak akan habis untuk diolah dan setidaknya menjadi sebuah tawaran baru untuk mengatasi tudingan monotonitas PKB dari tahun ke tahun akibat miskin inovasi.
Sisi baik yang kedua adalah, bilamana PKB diadakan tiga tahun sekali, akan memberikan peluang untuk membina bibit-bibit penari unggulan di setiap kabupaten di Bali. Sebagaimana kita ketahui, Bali sangat kaya dengan potensi seniman mulai usia belia hingga uzur. Sangat mudah menemukan seorang yang bisa berkesenian di Bali. Namun, tak semua orang yang bisa berkesenian itu dapat disebut seniman. Inilah yang harus dicari oleh para pembina-pembina seni di tiap kabupaten untuk mendapat kualitas individu seniman yang menonjol yang tentu saja berpengaruh terhadap kualitas pertunjukan secara menyeluruh.
Faktor pembinaan mungkin menjadi hal yang menjadi pokok pikiran politisi adik kandung Bupati Gianyar Cok Ace ini. Sebagaimana kita ketahui, sebelum pentas di panggung utama Art Center Denpasar, para seniman yang merupakan andalan tiap-tiap kabuaten di Bali ini harus melalui tahapan seleksi yang digelar oleh kabupaten masing-masing. Namun rupanya, tudingan monotonitas yang dialamatkan beberapa komponen masyarakat dan pemerhati budaya di Bali tidak hanya berhenti pada aspek inovasi semata. Menurut penulis, monotonitas pun berlaku pada aspek pelaku dan bahkan kreator seni di masing-asing kabupaten. Hal ini bisa dilihat dari lambannya proses regenasi seniman pengkarya di masing-masing kabupaten yang mengirim dutanya sehingga kita tidak bisa menyalahkan adanya tudingan miskin seniman di kabuaten tertentu. Belum lagi masalah “ISI-nisasi” (terlalu berkiblat ke ISI Denpasar) sehingga kearifan lokal yang terdapat di daerah tertentu menjadi tersisihkan begitu saja, proses seleksi yang terkesan like and dislike, hingga dominasi kelompok seniman tertentu di suatu kabupaten yang seolah tak tergantikan posisinya sebagai pengkarya.
Kembali menurut opini penulis, usulan penyelenggaraan PKB yang tiga tahun sekali memang ada benarnya, namun mungkin akan lebih bijak bila justru setiap tiga tahun sekali diadakan regenerasi para kreator atau seniman pencipta khususnya untuk seni-seni yang bersifat tradisi. Sedangkan untuk kesenian yang bersifat rekonstruksi, diupayakan agar tiap-tiap daerah menampilkan kearifan lokal yang mereka miliki, sehingga jauh dari kesan ISI sentris karena PKB bukan ajang untuk homogenisasi atau bahkan ISI-nisasi tiap-tia kabupaten, tapi justru membuat event tersebut semakin beragam warna. Seni-seni yang langka di Bali masih banyak yang belum terekspos melalui event ini. Seperti misalnya ragam tari Sanghyang, tari Baris-baris yang kuno, permainan tradisonal yang kini semakin ditinggalkan masyarakat khususnya anak-anak, dan sebagainya. Proses penggalian dan rekontruksi ini saja jika diberikan waktu setahun, sudah dirasa cukup. Belum lagi penciptaan karya pengembangan atau seni kontemporer yang tidak memiliki batasan-batasan baku, yang setiap saat dapat merangsang imajinasi kreativitas yang unik.
Dari sisi akomodasi, Cok. Ibah juga memberi saran bahwa PKB jangan terlalu sentralistik. Artinya, setiap kegiatan di PKB sebaiknya jangan terpusat di satu tempat tertentu, namun agar disebar ke tempat-tempat tertentu di sekitarnya. Misalnya pameran lukisan bisa diadakan di Monumen Bajra Sandhi, Parade Topeng bisa ditempatkan di lapangan Puputan Badung, dan begitu juga dengan acara lainnya. Menurut saya, ini usulan yang cukup baik dan sesungguhnya telah dilaksanakan oleh paenyelenggara PKB, meski belum sepenuhnya terealisasi. Seperti yang terjadi pada event PKB yang baru berakhir beberapa wakktu lalu, di mana materi parade Baleganjur dan Angklung Kebyar dilaksanakan di lingkungan kampus ISI Denpasar. Mungkin untuk ke depannya, penyelenggara dalam hal ini harus berpikir dan mengkaji berbagai kemungkinan, agar kesan semrawut dan sentralistik di PKB ini bisa dikurangi.
Kesimpulannya, PKB merupakan event kesenian terbesar di Bali yang masih perlu pembenahan. Hal ini wajar, karena pada esensinya perkembangan merupakan sesuatu yang abadi terjadi khususnya pada perjalanan kesenian. Kesan monoton yang menjadi tudingan utama dari penyelenggara PKB, mau tidak mau harus dicari pangkal permasalahannya.pokok-pikiran yang muncul ke permukaan harus dicermati dari berbagai sisi agar dapat disaring nilai-nilai yang dapat memperbaiki penyelenggaraan ke depannya.
Usulan penyelenggaraan PKB tiga tahun sekali yang dilontarkan oleh Tjok. Raka Kerthyasa tersebut di atas patut kita apresiasi, sebab secara tersirat ada pemikiran untuk membenahi dan meningkatkan kualitas PKB dan menjauhkannya dari kesan monoton. Namun, mengingat usulan tersebut baru dalam tahap opini pribadi, dirasa terlalu dini dan perlu adanya analisis berikut perbandingan sudut pandang sehingga solusi yang dihasilkan dapat mengayomi berbagai pihak (win-win solution). Solusi yang sebaiknya kita laksanakan adalah dengan mengoptimalkan konsep penyelenggaraan yang telah disiapkan. Penyelenggaran PKB tiga tahun sekali mungkin belum saatnya diterapkan. Namun, bilamana situasi sudah begitu medesak, bukan tidak mungkin usulan ini akan menjadi kenyataan di masa mendatang. Tentu, dengan catatan dan pertimbangan dari berbagai pihak terkait yang juga terlibat dalam event PKB ini. Bagaimana menurut pendapat anda?
PKB Diusulkan Digelar Tiga Tahun Sekali , Setujukah? selengkapnya
by admin | Nov 11, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Ni Wayan Nova Jayanti, PS Seni Tari ISI Denpasar
Masa yang paling indah adalah masa remaja. Masa yang paling menyedihkan adalah masa remaja. Masa yang paling ingin dikenang adalah masa remaja. Masa yang paling ingin dilupakan adalah masa remaja. Pernyataan tersebut menjadi landasan dalam karya tugas akhir, berdasarkan pengalaman yang pernah dialami.
Masa remaja merupakan masa indah yang dilalui dalam fase kehidupan setiap manusia, namun juga dirasakan sebagai masa tersulit dalam menghadapi sebuah permasalahan karena keadaan emosi seorang remaja masih labil. Dalam buku yang berjudul Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Anak Didik dijelaskan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, sosial dan emosional. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik untuk remaja sendiri maupun untuk keluarga, atau lingkungannya karena berada pada masa peralihan antara masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Dalam buku tersebut, tersirat pendapat Mappire (1982) yang menyatakan, masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan umur 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12/13 tahun sampai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah remaja akhir. Informasi ini sangat penting diungkap agar diketahui batasan-batasan usia yang dapat dikatakan sebagai masa remaja. Pernyataan di atas relevan dengan pendapat Conny Semiawan (1989) yang mengibaratkan : “Terlalu besar untuk serbet, terlalu kecil umtuk taplak meja” karena sudah bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum dewasa. Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang dan khawatir kesepian.
Ketika masa remaja banyak terjadi pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, namun yang paling ingin dikenang adalah masa-masa indah saat remaja. Salah satu pengalaman terindah pada masa remaja adalah ketika pertama kali jatuh cinta dengan lawan jenis. Keinginan untuk selalu bertemu, namun malu saat bertatap muka dan ketika jauh, ingin sekali berada didekatnya. Selalu menghayalkan sesuatu yang indah terahadap dirinya dengan orang yang disukainya. Namun ketika tersakiti oleh perasaan cinta tersebut, remaja kurang mampu untuk mengendalikan emosinya.
Dilatarbelakangi dari pengalaman pribadi ketika pertama kali merasakan jatuh cinta pada masa remaja, maka digarap sebuah tari sebagai karya tugas akhir dengan judul Roman Ku. Roman dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (1) rupa, wajah, (2) karangan prosa yang melukiskan perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing. Jika dibandingkan dengan kata romansa berarti novel atau kisah prosa lainnya yang berciri khas tindakan kepahlawanan, kehebatan, dan keromantisan dengan latar historis dan imajiner. Sedangkan arti dari romantika adalah lika-liku atau seluk-beluk yang mengandung sedih, gembira dan arti dari romantis adalah: (1) bersifat seperti dulu, (2) cerita roman, (3) bersifat mesra, (4) mengasikkan. Jika dirunut berdasarkan masing-masing arti dari kata roman maka dapat disimpulkan bahwa “Roman” merupakan lika-liku kisah percintaan dengan watak dan isi jiwa yang dialami oleh pelakunya. “Ku” adalah kata ganti orang pertama atau saya, sehingga “Roman Ku” adalah lika-liku perjalanan cinta sesuai dengan watak dan isi jiwa yang dialami oleh seseorang dengan latar historis dan imajiner. Garapan Roman Ku akan menumpahkan segala emosi yang dialami dengan permasalahan kisah cinta remaja, serta segala lika-likunya ke dalam bentuk tari kontemporer.
Kata kontemporer berasal dari bahasa Inggris yaitu contemporary yang mempunyai arti: (1) hidup atau terjadi dalam kurun waktu yang sama, (2) pada waktu yang sama; dewasa ini; pada masa kini, (3) berasal dari atau dalam gaya masa kini atau mutakhir. Arti yang terakhir inilah yang dipakai dalam dunia kesenian dan sangat dekat dengan arti kata modern, yaitu yang berkaitan dengan gaya, gagasan baru yang tidak ketinggalan jaman. Tari kontemporer adalah suatu tarian yang mengungkapkan dimensi kekinian, yaitu dengan “bebas” tanpa keterikatan dalam mengungkap adegan-adegan yang menyangkut masalah-masalah aktual atau yang berkomentar tentang kehidupan sekarang, sehingga pola geraknya kebanyakan memunculkan gerak baru dan sedikit dikombinasikan dengan adegan yang dramatis.
Berdasarkan uraian di atas mengenai arti dari kata kontemporer, maka karya tugas akhir diejawantahkan melalui tari kontemporer dengan pendekatan teknik Balet. Balet adalah nama dari salah satu teknik tarian yang meliputi: tarian itu sendiri, mime, akting dan musik (baik musik orkestra ataupun nyanyian). Teknik Balet lebih menekankan pada gerak-gerak yang lurus dan kencang serta pengolahan tubuh yang baik dan ringan. Balet terkenal dengan teknik virtuoso seperti pointe work, grand pas de deux dan mengangkat kaki tinggi-tinggi. Teknik Virtuoso adalah keahlian menggunakan teknik yang sulit. Terdapat 2 teknik virtuoso pada Balet, yaitu grand pas de dedeux dan teknik pointe work adalah gerakan berjinjit hingga ujung jari kaki, sambil melakukan gerakan-gerakan Balet.
Kendatipun menggunakan pendekatan teknik Balet, tetapi tidak serta-merta melupakan unsur dari pola tradisi yang telah mendarah daging, sehingga akan dihasilkan sebuah garapan yang mempunyai ragam gerak yang unik dengan perpaduan dan pengembangan dari teknik Balet dan pola tradisi.
Ide Garapan
Menentukan ide adalah tahap paling awal yang dilalui seorang penggarap. Ide merupakan gagasan atau konsep dasar yang menjadi sebab terwujudnya sebuah garapan, ide inilah yang ingin disampaikan melalui media gerak. Ide terkadang muncul begitu saja dalam pikiran seorang penggarap, dan seketika juga hilang, untuk itu perlu dilakukan pencatatan setiap kali memikirkan ide sebagai referensi pemikiran. Ada juga yang mencari ide melalui proses merenung, menghayal, menonton, membaca, melihat fenomena di sekitar, mendengarkan cerita orang lain dan sebagainya, proses ini disebut dengan eksplorasi (exploration). Untuk mendapatkan ide perlu adanya beberapa pertimbangan dan pemikiran yang matang, kesiapan dan kematangan ide akan berpengaruh besar pada wujud garapan, sehingga ide tersebut dapat divisualisasikan secara jelas melalui media gerak dan tersampaikan dengan baik serta dapat dimengerti oleh penonton.
Ide dari garapan Roman Ku berangkat dari pengalaman pribadi, ketika remaja pernah mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seorang anak laki-laki. Selain itu, termotivasi kembali pada garapan duet yang berjudul “Can De Cing” pada kelas koreografi IV semester V, digarap bersama I Ketut Jully Artawan. Garapan ini mengisahkan percintaan remaja yang pertama kali jatuh cinta, dalam kisah tersebut sepasang remaja ini terkadang akur dan kadang kala bertengkar sehingga dipilih judul “Can De Cing” untuk mewakili garapan ini. “Can De Cing” merupakan singkatan dari bahasa daerah Bali yaitu Cande-Cande Cicing sedangkan jika diindonesiakan berarti seperti bermain dengan anjing, yang disayang tetapi jika sayang itu dipermainkan akan menyulut amarah dan menimbulkan pertengkaran. Ide tersebut juga menjadi landasan dasar untuk menggarap tari kontemporer yang bertemakan percintaan remaja sebagai karya tugas akhir. Keyakinan memilih ide ini karena banyak orang yang mengatakan bahwa postur tubuh yang dimiliki penggarap masih terlihat seperti remaja usia 17 tahun.
Latar Belakang Penciptaan Tari Romanku Selengkapnya
by admin | Nov 10, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Nyoman Wija, SE, AK*
Bangkrutnya sendi-sendi ekonomi, dan porak porandanya hukum dengan perangkat keras maupun lunaknya hingga krisis kewibawaan, dan maraknya aksi kekerasan adalah suatu isyarat bahwa proses reformasi persoalan pokok bangsa dan negara belum mampu membangkitkan kesepakatan dan kebersamaan para elite politik penguasa dalam menyatukan kekuatan bersama membangun bangsa dan negara. Artinya, para elite politik penguasa belum sembuh dari penyakit lamanya, feodalisme dan otoriterisme (ditaktor). Bahkan celakanya malahan tambah lebih buruk menjelma sebagai koruptor. Tak hanya itu, beragam kebijakan yang berdalih kepentingan pembangunan fasilitas publik lebih dominan bersifat memenuhi kepuasan nafsu kekuasaan demi kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu.
Dalam posisi itulah pers dan media massa punya tanggungjawab untuk mengarahkan dan mengingatkan, serta melakukan fungsi informasi dan sosialisasi menuju perubahan demokrasi dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini pers dan media massa berperan sebagai komunikator antara pemerintah dan masyarakat. Menyampaikan pesan kebijakan pemerintah dan berbagai instansinya yang patut diketahui masyarakat. Selain itu, sebagai komunikator dalam menggali informasi dari sumber pemerintah dengan berbagai pertimbangan termasuk visi subjektif sesuai kaedah jurnalistik berdasarkan undang-undang pers, UU No.40 tahun 1999.
Pers dan media massa adalah lembaga yang otonom, independen dengan tugas pokok sebagai watch dog, penjaga atau pengontrol pemerintah. Semangatnya seringkali ditafsirkan saling curiga dan bermusuhan. Namun, sejatinya tidaklah demikian, melainkan ditentukan dan dipengaruhi oleh persepsi terkait kekuasaan, paham demokrasi, pembagian kekuasaan, sistem check and balance, serta peranan masing-masing di tengah masyarakat.
Jacob Oetama, pimpinan umum harian Kompas dalam bukunya berjudul Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus bahkan menegaskan bahwa hubungan pers dan media massa dengan pemerintah dan instansinya, termasuk dengan masyarakat atas dasar kepentingan bersama untuk menyampaikan dan menerima pesan, serta untuk menyampaikan dan menerima kontrol sebagai upaya peningkatan pelayanan publik, kepentingan masyarakat luas. Dalam semangat kerjasama dan kekeluargaan tanpa meniadakan ataupun mengurangi posisi dan peran masing-masing, serta selalu mengutamakan dialog dalam penyelesaian setiap persoalan yang terjadi.
Dengan demikian, kebebasan ataupun peranan pers dan media massa tidaklah semata untuk dirinya sendiri, melainkan demi kepentingan publik sebagai media interaksi dalam mensosialisasikan kebijakan pemerintah yang mesti diketahui masyarakat. Arah interaksi haruslah tidak membatasi, melainkan semakin meluaskan, dan sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Patut diketahui bahwa pekerjaan pers dan media massa merupakan pekerjaan persaingan intern maupun ekstern dalam dunia industri. Sehingga persaingan menjadi suatu hal wajar. Karena itulah, para pekerja pers dan media massa pun dituntut punya semangat tak pernah puas, terus mencari, terus meneliti, terus melihat, terus mendengarkan, terus membuka hati, dan selalu berpikiran secara kritis. Artinya, pers dan media massa dengan kesadaran intelektual yang aktif, kejadian dan permasalahan disusun atau dikonstruksi menjadi berita demi tujuan pembangunan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat. Atau dengan kata lain, pers dan media massa dapat menemukan peluang untuk terjadinya proses kemajuan dan percerdasan bagi masyarakat apabila bersedia berpikir keras dan mengamati dengan cermat setiap persoalan publik.
Kisruh pers dan media massa yang sempat terjadi antara pemerintah, gubernur Bali, Made Mangku Pastika dengan harian Bali Post dalam bentuk somasi sejatinya tidak perlu terjadi, kalau saja masing-masing mampu memahami tugas dan fungsinya sebagai media publik, masyarakat luas. Lantas apa dampaknya ?
Dalam telaah kritis Jacob Oetama tercatat bahwa kalau berdasarkan kaedah jurnalistik tuntutan terhadap pers dan media massa secara perdata dengan ganti rugi yang tidak masuk akal, jika dituruti berarti kematian bagi penerbitan pers dan media massa. Higgga menghambat kedewasaan pers dan media massa dalam mempertimbangkan dan menggunakan kebebasannya. Artinya, pers dan media massa akan kehilangan fungsinya sebagai media kontrol, kritik, dan koreksi. Tentunya, bukan berdalih ataupun beralibi untuk mengabaikan standar dan etika profesi, karena ada hak jawab yang diberikan secara profesional sebagai pertanggungjawaban.
Dengan kata lain, kalau pers dan media massa dengan pemerintah saling bermusuhan tentunya dapat merugikan kepentingan pembangunan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat luas. Kebebasan pers dan media massa bisa hidup bukan saja karena diakomodasi dalam sistem hukum. Namun, pers dan media massa hidup dan berkembang karena masyarakat menghargainya. Mengingat pers dan media massa yang bebas memegang peranan besar dalam pembentukan karakter dan moral bangsa serta sekaligus mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam menghargai demokrasi dan hak asasi manusia.
Hal ini juga sangat sejalan dengan amandemen UUD 1945 tentang pasal 28F yang berbunyi bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Tentunya, upaya itu demi menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ironisnya, makna mengenai kebebasan pers dan media massa seringkali masih diperalat bagi kebutuhan maupun kepentingan di luar politik pers dan media massa. Dengan begitu pers dan media massa tidak boleh berdiam diri ataupun bungkam ketika kebebasan itu tersandera kepentingan atas dasar kebenaran dari budaya feodalisme dan kapitalisme, termasuk tekanan dari para elite politik penguasa.(*)
Membungkam Pers dan Media Massa? Antara Fakta, Somasi, dan Hak Jawab Selengkapnya
by admin | Nov 9, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: Kadek Indra Kesumajaya, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Gambelan Palegongan merupakan gambelan yang berlaraskan pelog panca nada, yang secara fungsional berfungsi untuk mengiringi tari berbentuk palegongan. Namun perkembangannya mengalami perubahan tanpa mengurangi pemaknaan secara signifikan. Gambelan Palegongan banyak ditemukan di wilayah Bali selatan, salah satunya di kawasan Banjar Lemintang yang keberadaannya telah mengalami perubahan baik dilihat dari struktur bentuk gambelan, maupun struktur tabuhnya.
Banjar Lemintang barlokasi di jalan A.yani selatan Desa Dauh Puri Kaja Kecamatan Denpasar Utara. Di Banjar Lemintang mamilikil barungan gambelan Palegongan yang umurnya hampir satu abad. Keberadaannya mengalami pasang surut, dikarenakan tidak adanya tokoh Karawitan yang mempunyai andil besar di bidang Palegongan. Namun Palegongan Banjar Lemintang sampai saat ini masi bertahan bahkan secara struktur barungannya mengalami perkembangan.
Di era tahun 30an terbentuk sekaa Palegongan di Prakarsai oleh Pekak Geledig dengan jumlah 12 qrang penabuh. Sekaa atau grup ini berasal dari prkumpulan atau sekaa Manyi. Hal tersebut sangat bertahan lama hingga sekaa Palegongan di beri nama sekaa Roras, karena jumlah anggota sekaanya Roras (12). Adanya lagu-lagu yang sering dimainkan seperti lagu:
- Tebog
- Liar samas
- Solo
- Krepet
- Bintang siang
- Pengerang erang agung
- Slukat dll
Dengan jumlah instrument:
- Gender Rambat 2
- Gender Penyacah 2
- Kajar krenteng
- Kendang 2 buah
- Penyacah ( pengrencang gantung 4 )
- Calung 2 buah
- Jegog 2 buah
- Kenong
- Gong
Gambelan dan sekaa ini bertahan hingga era 70an.
Di era 70an sekaa Gambelan Banjar Lemintang yang disebut sekaa Roras mengalami perkembangan, dengan masuknya generasi-generasi muda di tahun 70an. Dengan memulai mencari tabuh-tabuh tari lepas seperti:
- Tabuh Margapati
- Tabuh Gabor
- Tabuh Oleg Tamulilingan
- Tabuh Wiranata dll.
Dengan demikian keberadaan barungan palegongan menjadi bertambah, dengan menggunakan gong dan kempur, di tambah kendang ceditan. Namun gending-gending Palegongan tahun 70an masih tetap bertahan
Era globalisasi memberikan nafas yang kurang bagus terhadap sekaa Palegongan Banjar Lemintang. Seperti diketahui globalisasi adalah proses terintegrasinya berbagai elemen kehidupan kedalam system tunggal yang berskala dunia. Sistem tunggal ini dimotori oleh perkembangan kapitalisme dan teknologi informasi yang mendorong munculnya imprealisme kapitalis. Hal ini membuat peremajaan sekaa khususnya di Banjar Lemintang tidak mendapatkan respon, bahkan sekaa tidak aktif hamper 10thn. Namun dengan semangat beberapa warga Banjar diantaranya, Bpk Made Sudama, Bpk Made Arta, Bpk wayan Maradana, Bpk Made swastika dan Bpk Ngurah Supartama, membina anak” dari tahun1997 untuk mencetak kaderisasi hingga sekarang. Keberadaan ini tentu banyak mendapatkan perhatianPro dan Kontra. Namun dengan rasa tulus dan bakti akhirnya peremajaan sekaa Palegongan Banjar Lemintang dapat terwujud hingga sekarang
Setelah generasi Palegongan thn1997 terbentuk, sekaa Palegongan banjar Lemintang mampu mewujudkan rasa bakti dengan konsep ngayah-ngayah di lingkungan Banjar bahkan di luar Banjar.
Mengingat keberadaan Gambelan Palegongan Br. Lemintang dalam kondisi yang kurang bagus, Berbagai cara di lakukan untuk mendapatkan dana renovasi Gambelan. Akhirnya thn 2009 Gambelan Palegongan Banjar Lemintang mampu di renovasi dengan menambahkan 4 ganggsa jongkok dan trompong pengenter.
Gambelan Palegongan Di Banjar Lemintang selengkapnya
by admin | Nov 9, 2011 | Artikel, Berita
Kiriman: I Wayan Primawan, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.
Sosok pria lugu dan sederhana ini menyimpan segudang prestasi serta pengalaman dalam bidang seni tabuh dan tari Bali.
Sejak usia anak – anak sudah menyenangi gamelan dan mampu menguasai Tari Baris, Tari Topeng dan Tari Kebyar Duduk berkat bimbingan gurunya almarhum Wayan Rendi.
I Wayan Rugeh, kelahiran Banjar Abian Kapas Kaja Kelurahan Sumerta Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar sejak berumur 8 tahun saat masih duduk di Sekolah Rakyat atau tingkat Sekolah Dasar ( SD ) sudah belajar menari meskipun gurunya keberatan karena menganggapnya masih anak – anak.
Karena terus mendatangi rumah gurunya di Banjar Lebah Desa Sumerta Kaja, Desa tetangga Banjar Abian Kapas Kaja tempat Rugeh tinggal, akhirnya tidak keberatan mengajar tabuh dan olah gerak tubuh tari Bali.
Belajar secara sungguh – sungguh disertai bimbingan gurunya dalam waktu enam sampai tujuh tahun sudah mampu mengusai banyak tari dan memainkan instrumen gamelan tradisional Bali dengan sempurna.
Meskipun sudah sering pentas di depan masyarakat umum, Rugeh yang masih muda tidak pernah merasa puas terhadap keahlian yang dimiliki. Kemudian Rugeh terus – menerus memburu guru tabuh dan tari sebagai tempatnya menimba ilmu.
Ayah 8 orang anak dan kakek tujuh cucu ini pernah membimbing/mengajar menabuh ke Badung, Tampaksiring, Ubud, Payangan dan Karangasem. Dalam membimbing ke berbagai daerah ini ia merasa puas dan bahagia karena ditemuinya semangat belajar seni yang tinggi pada generasi muda Bali. Rugeh juga aktif membina Angklung di Buaji Sari ( Anggrek Buaji Sari ) milik Bank Sri Partha dan membimbing di Dirga Ayu Suari Banjar Kerta Bumi Sumerta.
I Wayan Rugeh memiliki banyak guru yang mengajar secara ikhlas sehingga sekarang ia juga mendidik anak – anak atau siapa saja yang ingin belajar tabuh dan tari Bali dibinanya dengan senang hati,” tutur suami dari Ni Wayan Sening.
Pasangan suami – istri yang masih nampak sehat dan bugar di usia senja ini memang memiliki banyak siswa yang yang belajar tabuh dan tari Bali di rumahnya yg tidak jauh dari Taman Budaya Art Center Denpasar.
Seperangkat Gong Kebyar dan Gender Wayang yang menjadi koleksinya boleh dimanfaatkan oleh siapa saja yang ingin belajar menabuh dan menari. Tidak mengherankan rumah yang lokasinya di pinggir jalan WR. Supratman jurusan Denpasar –Tohpati itu senantiasa diramaikan oleh anak – anak maupun orang dewasa yang belajar menabuh dan menari.
Ayah dari delapan anak ini selain membina dan mengajarkan keahliannya kepada masyarakat lokal, juga sanggup mentransfer keterampilannya kepada wisatawan yang sedang menikmati liburan di Pulau Bali. Dua warga negara asal amerika pernah belajar tari dan memainkan instrumen gamelan di rumahnya selama sebulan,”tutur Wayan Rugeh yang mengaku sering menolak pemberian uang dari siswanya yang baru akan mulai belajar. “ Kalau sudah mapan dan bisa mencari uang dari keahlian menabuh dan menari yang ia berikan, saat itulah ia baru mau menerima pemberian uang dari siswanya,” tutur pria pensiunan RRI Denpasar sejak tahun 1988.
Wayan Rugeh yang pernah bekerja sebagai Ajendam Kodam XVI Udayana yang sekarang bernama Ajendam Kodam IX Udayana ini berkesempatan menjelajahi Nusantara untuk menghibur keluarga besar prajurit maupun masyarakat umum. Instansi tempatnya bekerja mulai tahun 1960 sampai 1964 itu memiliki tim kesenian Bali beranggotakan 40 seniman andal yang serba bisa. Kodam – Kodam di Indonesia saat itu sering memesan kesenian dari Bali sehingga memiliki kesempatan untuk menjelajahi Nusantara ( Melanglang Buana ) dari satu daerah ke daerah lainnya. “Hampir semua daerah di Indonesia pernah ia kunjungi kecuali Irian Jaya saat melakukan pementasan Kesenian Bali menghibur keluarga besar prajurit dan masyarakat umum. Daerah – daerah penjelajahan tersebut antara lain yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Singkawang – Maluku di tahun 1960-an, Tidore Bajan, Halmahera, Pulau Buru, Manado, Kupang, Lombok, Ende, Waingapu, Sumbawa dan Jakarta.
Bekerja di Ajendam Kodam XVI itu berlangsung selama empat tahun sebelum pindah ke RRI Denpasar untuk mengisi siaran kesenian Bali. Di tempat kerja yang baru itu kembali bertemu dengan rekan – rekan seniman yang selama ini sudah sering melakukan pementasan bersama seperti I Made Ruju, kelahiran Desa Batuan – Gianyar.
Ia mulai bekerja pada tahun 1966 sebagai tenaga honorer bersama puluhan seniman lainnya untuk tetap mengisi acara siaran Arja setiap hari Minggu.
Masyarakat Bali waktu itu sangat menunggu – nunggu setiap acara yang memancarluaskan pergelaran Arja salah satu siaran favorit masyarakat yang ternyata seniman pendukungnya sebagian besar adalah tenaga honorer.
Sekitar 35 orang seniman yang mengabdikan diri puluhan tahun lamanya menjadi karyawan honorer RRI Denpasar akhirnya diangkat menjadi PNS meskipun secara teknis administrasi waktu itu tidak memenuhi persyaratan.
Saat mengabdikan diri di RRI itulah pada tahun 1978 mendapat kesempatan memperkuat tim kesenian Bali mengadakan lawatan selama dua bulan keliling negara – negara Eropa. Bersama 35 seniman yang berasal dari berbagai daerah di Bali, pimpinan Anak Agung Ngurah Supharta dari Tabanan yang saat itu sebagai Kepala Sekolah KOKAR yang sekarang bernama Sekolah Menegah Karawitan Indonesia ( SMKI ) Denpasar mengadakan pementasan ke sejumlah kota di Eropa salah satunya di Italia. Di Italia ia menari dan berkeliling selama tiga bulan. Penampilan kesenian Bali di luar negeri antara lain gong kebyar, topeng, calonarang, dan wayang kulit mendapat perhatian besar dari masyarakat setempat, jauh sebelum pementasan karcis yang dijual sudah habis. “Pentas ke luar negeri memperoleh kesan dan pengalaman dari masing – masing senimannya karena sangat dihormati dan dihargai sejajar dengan artis – artis terkenal di negara tersebut.
Wayan Rugeh yang kesehariannya tidak bisa dipisahkan dengan seni, dengan menikmati sisa – sisa kehidupannya mengusir kesepian dengan memanfaatkan waktunya untuk membuat gamelan ( instrumen musik ) tradisional Bali. Seperangkat Gender Wayang yang terdiri atas empat buah Gender Wayang dijual seharga Rp. 8.000.000 ( delapan juta rupiah ) yang dapat diselesaikan dalam kurun waktu sebulan. Bahan yang diperlukan seluruhnya dipesan di Belahbatuh – Gianyar ia tinggal merakit sehingga pekerjaan tidak terlalu berat. Namun sekedar memperoleh keuntungan, setiap penjualan seperangkat Gender Wayang mendapat keuntungan Rp. 1.000.000 ( satu juta rupiah ).
Selain itu juga membuat gamelan angklung yang setiap setnya seharga Rp. 25.000.000 ( dua puluh lima juta rupiah ). Produksi gamelan tidak pernah sampai menumpuk karena begitu selesai langsung ada pembeli. Bahkan sering menerima pesanan lebih dulu. Pesanan selama ini berasal dari daerah pedesaan di Bali.
Riwayat Hidup I Wayan Rugeh Seniman Dari Banjar Abian Kapas Kaja