Eksistensi Gambelan Angklung Keluarga Besar Pasek Bendesa Manik Mas

Eksistensi Gambelan Angklung Keluarga Besar Pasek Bendesa Manik Mas

Kiriman: Kadek Swartana, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar.

            Gambelan angklung merupakan barungan gambelan yang termasuk dalam golongan madya, karena dalam permainan gambelan angklung instrument kendang sudah mulai berperan. Demikian halnya dengan gambelan angklung milik keluarga besar Pasek Bendesa Manik Mas, yang berlokasi di Br. Kayu Padi, Desa Pupuan, Kec. Pupuan, Kabupaten Tabanan.

            Mengenai keberadaan barungan gambelan ini, penulis mendapat bukti keberadaannya dari beberapa informan, dan ada pula bukti tertulis. Kedua sumber tersebutlah dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam penulisan ini.

            Menurut 2 narasumber, yaitu I Made Kumpul dan I Gede Artayasa. kedua narasumber ini, merupakan generasi dari pendiri sekhe angklung, memang keberadaan seperangkat gambelan ini lebih dulu ada, dari kelahiran mereka, tetapi mereka mendapat informasi langsung dari pendiri sekhe angklung ini. Kedua narasumber ini memberikan pernyataan yang sama, bahwa keberadaan angklung tersebut dilatarbelakangi oleh kebutuhan pisikologis sekelompok keluarga yang berjumblah 7 orang, kebetulan 6 orang dari keluarga tersebut merupakan saudara kandung dan satu orang lagi merupakan ipar dari ke enam saudara kandung tersebut. Ketujuh anggota keluarga ini sepakat untuk membuat gambelan angklung, tentang alasan mengapa dipilihnya gambelan angklung adalah memang pada waktu itu Desa Pupuan sudah memiliki seperangkat gong kebyar, tetapi barungan tersebut hanya dipergunakan pada saat upacara Dewa Yadnya saja, sehingga mereka memandang bahwa jika membuat gambelan angklung, mungkin akan ada banyak orang yang mencari ( ngupah) jika mereka mengadakan Suatu upacara, baik Manusa Yadnya maupu Pitra Yadnya, para pendiri ini pada waktu itu sudah memiliki motif ekonomi disamping social kemasyarakatan, tetapi bukan itu saja sasaran mereka, melainkan mereka juga menginginka suatu hiburan untuk melepas lelah setelah mereka datang dari bekerja sebagai petani.

            Awal mulanya barungan agklung ini baik yang berbilah maupun berpencon semuanya terbuat dari besi. Proses pembuatan pertama kali dilakukan dengan cara bergotong royong. Kebetulan juga salah seorang dari keluarga memiliki keahlian Memande ( membuat senjata ). Berangkat dari niat dan kesungguhan, bahan dan beralatan seadanya, bilah demi bilah tercipta oleh tangan terampil mereka, akhirnya jadi 4 tungguh gangsa, yang masing-masing terdiri dari 5 bilah, 1 tawa-tawa, 1 buah kempur dan 1 buah gong. Semuanya terbuat dari besi.

            Setelah adanya seperangkat gambelan seadanya tersebut, munculah keinginan untuk mengupulkan sekhe gebug. Ternyata banyak dari keluarga yang satu darah berminat bergabung menjadi sekhe gebug, akhirnya terciptalah sekhe demen pada waktu itu

            Setelah adanya sekhe mereka memulai latihan,akan tetapi pada waktu itu sangat sulit mencari pelatih tabuh, sehingga latihan dilakukan dengan kemampuan sendiri. Beberapa gending-gending dolanan, yang dipergunakan oleh anak-anak pada saat bermain mereka transfer kedalam tabuh angklung.

            Ternyata keberadaan skhe ini mendapat dukungan yang sangat antusias dari masyarakat sekitar, hal ini dibuktikan dengan seringnya mereka kupah untuk menabuh jika ada suatu upacara baik Manusa Yadnya maupun Pitra Yadnya.

            Mulai bertambahnya wawasan dan tau akan pentingnya keberadaan angklung dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, akhirnya muncul keinginan untuk membeli seperangkat gambelan angklung yang terbuat dari bahan kerawang.

Menurut bukti yang tertulis diatas daun lontar yang menggunakan tulisan Bali/aksara Bali, disana disebutkan bahwa ketujuh orang ini yang membeli dan sekaligus sebagai pendiri atau perintis sekhe pada tahun 1940, tetapi tanggal dan bulannya tidak tertulis. Ketujuh pendiri tersebut antara lain :

  1. Pan Tadi
  2. Pan Rancis
  3. Pan Mintar
  4. Pan Nasti
  5. Pan Bekung
  6. Pan Nari
  7. Pan Mudatri

Disepakati untuk membeli angklung di daerah Tihingan, Klungkung. Pembelian dilakukan secara satu persatu, pembuatan seluruhnya dilakukan disana, tetapi bahan dari pelawahnya berasal dari ketujuh pembeli ini. Prosesnya sangat sulit karena pada tahun 1940 sangat sulit mencari transportasi, sehingga proses pembawaan kayu sebagai bahan terampa harus berjalan dari Pupuan ke Tihingan itu juga harus sembunyi-sembunyi, karena pada waktu itu Negara Indonesia masih belum merdeka sehingga masih banyak tentara-tetara penjajah yang berkeliaran. Bisa dibilang sampai mempertaruhkan nyawa untuk membeli gambelan angklung pada waktu itu. Setelah selesai dibuat, satu persatu dari instrument di bawa ke Pupuan, itu juga tidak mudah, harus tidak sampai terlihat oleh tentara penjajah pada waktu itu. Tidak terbayang bagaimana perjuangan para pendiri angklung ini.

Barungan angklung dibeli seharga 400 ringgit, pada waktu itu belum ada uang rupiah, bisa dikatakan cukup mahal  pada jaman itu. Sumber dananya adalah dari ketujuh pendiri tersebut dengan cara patungan. Instrument yang dibeli antara lain : 4 tungguh gangsa, 4 tungguh kantilan ( masing-masing tungguh terdiri dari 5 bilah ), 2 tungguh gangsa pemetit, 2 tungguh jegog, 1 buah kempur, 1 buah tawa-tawa, 1 buah gong lanang, dan 1 buah gong wadon.

Setelah sarana lengkap, sekhe gebug sudah ada, tetapi pada waktu itu belum adanya sistim kepeggurusan sekhe, hanya berpedoman kepada para pendirinya. Tetapi pada waktu itu sudah memiliki aturan-aturan/ awig-awig bagi sekhe gebug dan pendirinya yang terlihat pada bukti tertulis ada 6 aturan, diantaranya :

  1. Barang siapa yang ingin masuk sebagai sekhe gebug, boleh menjadi sekhe angklung, asalkan taat dengan awig-awig, istilah balinya bani ngutang gae, sing madengang payuk jakan jumah atau dengan kata lain skhe ini adalah cenderung pada kegiatan social.
  2. kalau ingin berhenti boleh, dan tidak ada unsur paksa. Dengan terus terang dihadapan sekhe.
  3. kalau ada hasil uang, ia dapat bagian, dari jumbelah hasil yang dibagi rata, bagi anggota yang berhenti.
  4. Setelah berhenti dengan terus terang, tidak boleh memperhitungkan barang angklung yang ada, sebab yang membeli barang angklung itu terdiri dari 7 orang
  5. Bagi anggota 3 kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan, diadakan pendekatan.
  6. Bagi pemilik angklung yang berhenti sama sekali tidak boleh meminta bagian berupa barang angklung yang ada, maupun uang yang ada, walaupun mereka yang ikut membelinya.

Begitulah aturan menurut bukti tertulis tersebut.

Seiring dengan perkembangan jaman, sekitar tahun 60-an baru dibuat nama sekhe, yaitu sekhe Angklung MARGA UTAMA, dan mulai membuat system organisasi kepengurusan sekhe.

Begitulah sejarah singkat tentang keberadaan gambelan angklung Marga Utama milik keluarga Pasek Bendesa Manik Mas yang masih diwarisi sampai saat ini.Hingga saat ini Trampa dari barungan angklung ini belum pernah diganti, karena keadaannya masih tetap awet dengan motif-motif ukiran yang sangat lama ( kuno ), hanya saja sempat dipangur dan diganti tabung resonatornya saja sebnyak 2 kali dari awal berdirinya hingga saat ini. Barunngan angklung ini juga termasuk unik, karena merupakan gambelan laras selendro 5 nada, yaitu nding, ndong, ndeng, ndung, ndang.

Keberadaan angklung ini memang sudah cukup lama dan memiliki peranan yang sangat penting bagi kegiatan upacara baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat umum, selain itu barungan angklung ini telah memberikan dampak atau pengaruh yaitu sebagai pengikat suatu tali persaudaraan (istilah Balinya, Pang sing pegat-pegat menyama ), terbukti sekarang ini sudah sampai empat generasi. Keberadaan Gambelan Angklung ini harus tetap di jaga dan di lestarikan.

Eksistensi Gambelan Angklung Keluarga Besar Pasek Bendesa Manik Mas, selengkapnya

Sejarah Berdirinya Angklung Sinar Jaya Sigaran, Penebel

Sejarah Berdirinya Angklung Sinar Jaya Sigaran, Penebel

Kiriman: Kadek Dwi Cipta Adi Kusuma, Mahasiswa PS Seni Karawitan ISI Denpasar.

Pada mulanya banjar Sigaran belum mempunyai gambelan, namun demi kepentingan upacara panca yadnya, gambelan tersebut sangat diperlukan. Maka dari itu, para pengelingsir (tokoh-tokoh seniman tua) yang ada di Sigaran berinisiatif untuk membuat salah satu gambelan yaitu gambelan angklung. Tetapi para pengelingsir belum mempunyai dana untuk membuat gambelan tersebut.

Oleh karena itu, pengelingsir (tokoh-tokoh seniman tua) yang ada di Sigaran membentuk sekehe nandur dan sekehe manyi diantaranya Gurun Sendri dan Pan Renin. Dimana uang dari pendapatan sekehe itu sedikit demi sedikit dikumpulkan untuk biaya pembuatan angklung tersebut.

Pada akhirnya sekitar tahun 1860 para tokoh seniman tua di Sigaran dapat tersenyum karena dana untuk pembuatan gambelan tersebut sudah terkumpulkan dan mereka pun mulai menggarap pembuatan gambelan itu yang dibuatkan oleh pande yang berasal dari desa Thiingan. Pande itu pun langsung membuat gambelan angklung, tepatnya di Sigaran Kauh di bawah pohon durian yang besar. Sekelompok pengelingsir di Sigaran nampaknya antusias membantu pembuatan gambelan angklung saih 4 tersebut. Dan cara pembuatan pelawahnya dengan cara dibagi-bagi, perorang mendapatkan tugas membuat 2 pelawah, terkecuali pelawah reong dan ada juga yang menyumbangkan emas dan berlian untuk pembuatan angklung tersebut.

Hari demi hari pembuatan gambelan angklung tersebut berjalan dengan lancar tidak mengenal siang maupun malam. Pada akhirnya gambelan tersebut dapat terselesaikan walaupun dengan ukiran pelawah yang berbeda-beda, namun tetap menjadi 1 barung gambelan angklung saih 4 yang berlaraskan selendro. Karena gambelan tersebut dipasupati di Pura Dalem Rajaguru yang sekarang disebut dengan Jegu. Upacara upakarapun sudah siap, ritual pemasupatian dimulai yang dipimpin oleh pemangku Dalem bertepatan pada malam hari, lalu kejaiban muncul, gambelan tersebut berbunyi dengan sendirinya dan salah satu pemangku kerauhan dan mendapat sabda (pawisik) bahwa angklung tersebut mulai saat itu sah menjadi unen-unen di pura Dalem, dan angklung tersebut mendapatkan paica yaitu sejenis lunak (asam) yang ditaruh ke semua gambelan. Gambelan itupun tidak boleh dibawa pulang selama 3 hari.

Setelah 3 harinya gambelan angklung tersebut ditaruh di bale banjar Sigaran dan pengelingsir (tokoh-tokoh seniman tua) membentuk sekehe yang bernama sekehe angklung Sinar Jaya Sigaran. Setiap hari sekehe tersebut mulai berlatih dengan mencari tabuh lelambatan klasik yang dipergunakan untuk mengiringi upacara ngaben. Pada tahun 1955-an sekehe angklung Sinar Jaya Sigaran berinisiatif membuat angklung kebyar, dimana gong dari angklung tersebut dibeli di banjar Serason, sekehe pun mencari pelatih bernama Pan Resin dari banjar Sigaran, Mambal, Badung. Pelatih itupun senantiasa mengajarkan sekehe tersebut dengan mencari tabuh kebyar dan tarian-tarian diantaranya : Tari Pendet, Panyembrahma, Oleg Tamulilingan, Belibis, Manukrawa, Marga pati, Panji Semirang dan Nelayan, termasuk juga Tari Legong. Dengan kegigihan sekehe tersebut, akhirnya angklung kebyar Sinar Jaya Sigaran semarak di gemari penonton sampai kupah ke plosok-plosok desa yang ada di Tabanan. Walupun kupahnya dengan berjalan kaki tetapi sekehe angklung Sinar Jaya Sigaran tetap semangat.

Sekitar tahun 1970-an sekehe angklung Sinar Jaya Sigaran mulai mengikuti lomba-lomba dulu disebut mapetuk di tingkat kabupaten Tabanan, angklung Sinar Jaya Sigaran paling terdepan dan banyak digemari penonton begitu juga sekehe angklung tersebut mengambil job’s di hotel-hotel. Hingga sekarang angklung Sinar Jaya Sigaran terkenal dengan suara emasnya.

Sampai sekarangpun angklung Sinar Jaya Sigaran sangat disucikan di Sigaran dan juga menjadi budaya di Sigaran, antara lain angklung tersebut dipergunakan untuk mengiringi upacara ngaben/Pitra Yadnya, piodalan di pura, ngetelu bulanin, mesangih, pernikahan dan yang paling menjadi budaya adalah Ketus Pungsed. Dimana setiap bayi yang ketus pungsed khususnya di Sigaran harus ngupah angklung karena angklung tersebut dipercayai untuk menjaga keselamatan bayi tersebut. Sampai sekarangpun budaya tersebut tetap berlaku di Sigaran dan angklung Sinar Jaya Sigaran tetap berjaya, yang sekarang merupakan generasi keempat.

Sejarah Berdirinya Angklung Sinar Jaya Sigaran, Penebel, selengkapnya

I Wayan Segara, Seniman dari Pujungan

I Wayan Segara, Seniman dari Pujungan

Kiriman: I Wayan Yopyantara, Mahasiswa PS Seni Karawitan

I Wayan Segara lahir di desa Pujungan pada tahun 1948. Ia tinggal di banjar Mekar Sari Desa Pujungan. Ia anak pertama dari 6 bersaudara. Ia menikah pada tahun 1969 dan dikaruniai 4 orang anak.

Pada tahun 1957 ia mulai masuk sekolah dasar yang pada waktu itu disebut dengan sekolah rakyat, yang pada saat itu ia belum tertarik dengan kesenian. Namun sekitar tahun 1959 tepatnya ia baru memasuki kelas 3 SD ia baru tertarik terhadap seni dalam bidang seni tari dan seni suara khususnya mekidung,makekawin,dan macepat. Ia hanya dapat belajar tentang seni tari dan seni suara di sekolah saja dan tidak pernah berguru kepada orang lain kecuali di sekolah. lama kelamaan ia merasa bosan di bidang seni tari kareana hanya hanya sedikit teman – temannya yang berkecimpung di bidang seni tari. Saking cintanya kepada seni suara ia mencoba untuk belajar seni pewayangan.

Tepatnya pada tahun 1967 ia belajar ngwayang dengan seorang dalang dari desa Kesiut yang bernama Pan Rampieg yang pada saat itu ia hanya belajar cerita Ramayana saja. Setelah ia belajar cerita Ramayana lalu ia melanjutkan belajar wayang Parwa dengan seorang dalang yang benama Pan Rajeg dari desa Tunjuk,Tabanan. suka duka pun banyak ia telah dapatkan pada saat belajar ngwayang. Ia rela menumpang kendaraan dari pujungan sampai di desa Meliling lalu dari desa Meliling ia rela berjalan kaki menuju ke desa Kesiut di rumah dalang tersebut. Begitu pun pada saat ia belajar cerita parwa banyak suka duka yang telah ia dapatkan dari menumpang hingga berjalan kaki ke rumah dalang tersebut.

Setelah 2 tahun ia belajar ngwayang, tepatnya pada tahun1969 ia sudah memiliki sekha wayang. sekha tersebut memiliki 4 tungguh gender yang di beli oleh sekha dengan cara urunan. sekha wayang ini pun sudah sering pentas ngwayang di desa – desa yang ada disekitar kecamatan Pupuan. Lama kelamaan sekha ini pun bubar karena penabuhnya merasa bosan, lalu gender yg dimiliki sekha itu pun dijual. Karena saking cintanya terhadap seni pedalangan maka ia berinisiatif untuk membeli gender dengan uang pribadinya dan membuat sekha baru. Hingga sekarang sekha wayang ini pun masih aktif dengan para penabuhnya yang beregenerasi, dulunya para penabuh sekha ini adalah orang tuanya dan sekarang sudah anak – anaknya.

Pada tahun 1986 ia menjabat menjadi kelian adat dibanjarnya sekaligus merangkap panitia kesenian di desa. Setelah lama ia berkecimpung dalam kepanitiaan dalam bidang kesenian di desa ia melihat kepakuman  terhadap sekha gong kebyar yang ada di desa Pujungan. Kepakuman ini terjadi karena instrument gong kebyar banyak yang rusak. I Wayan Segara kemudian berkordinasi dengan para pengurus desa untuk membenahi instrument yang rusak tersebut. Setelah adanya kordinasi, I Wayan Segara melebur bilah – bilah gambelan tersebut ke Pande Gableran dan pelawahnya di buat sendiri oleh I Wayan Segara dan dibantu oleh teman-temannya. Setelah gambelan gong kebyar yang baru sudah jadi terbentuklah sekha gong remaja di desa Pujungan. Lalu ia mendapatkan informasi bahwa sekha yang ada di desa Pujungan ikut dalam festival gong kebyar tahun1997, ia pun menyuruh sekha ramaja itu untuk latihan. Pada saat latihan ia kecewa pada suara kendang yang kurang enak didengar,  akhirnya dengan niatnya sendiri ia membeli sepasang kendang dengan harga Rp.350.000,00 pada Bapak I Wayan Sweca. Kendang yang ia beli itu dipakai akhirnya dipakai dalam festival. Setelah usai festival, ia termotifasi terhadap suara kendang yang ia beli itu, dan ia penasaran bagaimana caranya membuat kendang supaya suaranya bagus. Dan akhirnya ia pun bertekad untuk belajar membuat kendang dengan  memplajari dan menganalisa kendang yang ia beli tersebut. Disaat ia belajar membuat kendang banyak hambatan yang ia dapat, banyak bahan – bahan yang terbuang dan gagal dipakai. Saking seriusnya ingin bisa membuat kendang ia pun tidak putus asa untuk mencobanya kembali, dan akhirnya beliau pun bisa membuat kendang dengan suara yang sesuai dengan apa yang ia harapkan, Sekarang ia sudah menjadi seorang pengerajin kendang yang hanya dengan belajar dengan cara menganalisa atau mempelajari kendang yang ia beli dulu tanpa berguru kepada orang lain. Hingga sekarang ia aktif membuat kendang dan ia sudah banyak menjual kendang hasil karyanya sendiri kepada para konsumen. Dan karir dalangnya pun masih aktif sampai sekarang dan sering pentas di sekitar kecamatan pupuan.

I Wayan Segara, seniman dari Pujungan selengkapnya

I Nyoman Sutama Tokoh Seni di Kabupaten Jembrana

I Nyoman Sutama Tokoh Seni di Kabupaten Jembrana

Kiriman I Made Arsa Wijaya, Mahasiswa PS. Seni Karawitan ISI Denpasar

I Nyoman Sutama lahir di Jembrana, 3 Januari 1965. Pria 46 tahun ini menikah tahun 1992 dan di karuniai 2 orang anak. Ia sekarang tinggal di Jalan Dewi Supraba, Gang I, No. 28, Denpasar. Dalam kesenian Jegog, Sutama merupakan seorang tokoh yang sangat penting dan sangat berpengaruh.

Sejak kecil, I Nyoman Sutama memang sudah berniat ingin belajar bermain gamelan. Ia tertarik belajar megambel ketika mendengar gending Legong pada saat melihat orang belajar menari. Ketertarikannya terhadap seni karawitan, tentang cara membuat gending, dan teknik-teknik dalam bermain  gamelan membuatnya memilih kuliah di ASTI Denpasar. Akan tetapi, pada saat itu ia belum memiliki skill yang memadai dalam hal bermain gamelan. Pada saat tes praktek untuk kuliah di ASTI, ia di tes oleh bapak I Nyoman Windha. Ia disuruh bermain Gangsa, Kendang, dan Gender Wayang. Pada saai itu ia hanya bisa memainkan Gangsa dan Gender Wayang saja, tetapi masih dalam teknik yang sederhana. Selanjutnya, pada tes interview, ia dites oleh bapak I Made Bandem. Pada saat tes ini, Sutama sempat memohon untuk diterima di ASTI, karena menyadari dirinya belum bisa untuk bermain gamelan. Saat pengumuman tes, Sutama merasa takut jika ia tidak diterima di ASTI. Namun, akhirnya ia diterima dengan urutan paling akhir.

Setelah kuliah di ASTI, ia belajar dengan tekun agar bisa menguasai teknik permainan gamelan Bali dengan baik. Ia sempat belajar bermain kendang dengan Almarhum Pak Lemping, dia merupakan waker (pekerja) di ASTI. Dia sempat di ejek sebagai tukang bersih-bersih oleh teman-temannya karena dia setiap hari membantu Almarhum Pak Lemping membersihkan ruangan. Namun hal tersebut tidak dihiraukan olehnya. Dia tetap membantu Almarhum Pak Lemping karena keinginan yang besar untuk diajarkan bermain kendang. Selain dengan Almarhum Pak Lemping, dia juga pernah belajar bermain kendang dan belajar membuat notasi dengan bapak I Made Murna. Selain belajar bermain kendang dan belajar mebuat notasi, ia juga belajar untuk membuat gending dengan bapak I Nyoman Windha dan bapak I Wayan Suweca. Dari semester empat, Sutama sudah menjadi penabuh inti ASTI Denpasar. Dia di ajak untuk misi kesenian di dalam dan di luar negeri. Madura, Jakarta, Surabaya, Bandung, Australia, dan Jerman adalah tempat yang ia pernah kunjungi selama kuliah di ASTI.

Sutama meraih gelar S.SKar di ASTI Denpasar dengan garapan tabuh kreasi Utsaha dan sendratari Men Brayut. Sutama boleh bangga, karena tabuh kreasi Utsaha  yang ia buat masuk dalam kaset ASTI vol.16. Setelah tamat dari ASTI, ia disuruh untuk melatih Gong Kebyar Desa Pengeragoan (Jembrana) dalam rangka PKB. Sampai sekarang Sutama sering menciptakan tabuh dan tari kreasi dalam acara PKB duta Kabupaten Jembrana.

Pada tahun 1988-2002, Sutama bekerja sebagai komposer di Suar Agung. Sebagai tahap percobaan, Sutama disuruh membuat enam buah gending kreasi yang akan dijadikan album “Suara Bambu Jembrana” dengan menggunakan gamelan Gerantang Pelog. Setelah itu, Sutama terus diajak untuk bermain gamelan Jegog bersama sanggar Suar Agung, namun pada saat itu gending-gending Jegog masih berupa gending yang di ambil dari gending Gong Kebyar. Karena merasa kurang cocok, akhirnya Sutama berinisatif untuk tidak menggunakan gending-gending Gong Kebyar lagi. Dia membuat gending kreasi yang khas dengan gamelan Jegog. Karya pertama Jegog kreasi berjudul Dusta Lina. Selain sebagai pelopor adanya tabuh dan tari kreasi pada Jegog, ia juga adalah seseorang yang membuat permainan Jegog dilakukan dengan cara berdiri, yang dulunya dilakukan dengan cara duduk. Hal ini dilakukan karena ia memiliki pertimbangan agar pemain Kendang bisa memimpin dan  melihat dengan jelas penabuh yang dipimpinnya. Pada waktu permainan Jegog dilakukan dengan cara duduk, pemain Kendang sangat susah untuk memimpin para pemain gamalan Jegog karena para pemain gamelan Jegog duduk lebih tinggi sedangkan pemain Kendang duduk di bawah. Akhirnya, sampai sekarang permainan Jegog dilakukan dengan cara berdiri. Pengalaman bermain gamelan Jegog ke luar negeri pun banyak ia dapatkan, seperti ke Jepang, Prancis, dan Jerman. 26 karya telah ia buat di Suar Agung, itulah awal kesuksesan Sutama dalam bidang seni karawitan, khususnya gamelan Jegog.

Setelah di Suar Agung, Sutama melanjutkan karirnya di Jimbarwana pada tahun 2002-2005. Dalam waktu tiga bulan, Sutama dituntut untuk bisa menyelesaikan tujuh buah gending kreasi yang akan dibawa pentas ke Jepang. Dengan keuletannya berkarya, ia mampu menggarap tujuh buah gending yang mampu menggetarkan masyarakat Jepang.

Tahun 2006-sekarang, Sutama bekerja sebagai pelatih dan komposer di Yudistira, disini dia telah memiliki sepuluh buah gending yang sudah dibuatkan album yang berjudul Yudistira. Disini Sutama merasa sangat senang, karena memiliki penabuh yang cukup hebat dalam bermain gamelan Jegog. Pengalamannya bermain Jegog disini hanya dapat pergi ke luar Bali seperti ke Lampung dan Ponorogo. Selain itu Yudistira juga sering pentas dalam acara PKB dan juga pentas di villa di daerah Canggu.

Selain di Yudistira, Sutama merupakan seorang pelatih dan komposer untuk sanggar Swar Dwi Stri. Sanggar ini merupakan perkumpulan ibu-ibu Jepang yang ingin belajar dan ikut melestarikan seni budaya Bali khususnya gamelan Gerantang Pelog.

I Nyoman Sutama Tokoh Seni di Kabupaten Jembrana selengkapnya

Deskripsi Garapan Tari Romanku

Deskripsi Garapan Tari Romanku

Kiriman: Ni Wayan Nova Jayanti, PS Seni Tari ISI Denpasar

Tari Roman Ku mengisahkan lika-liku cinta sepasang remaja dengan watak dan karakter serta isi jiwa masing-masing pelakunya. Diawali dengan pertemuan sepasang remaja kemudian saling jatuh cinta. Dari ketertarikan terhadap pasangan menimbulkan gejolak emosi dan hasrat untuk mencium, namun si gadis belum siap untuk menerima sebuah ciuman dari pasangannya sehingga terjadi konflik diantara mereka. Disajikan dalam bentuk kontemporer, garapan ini menggunakan gerak berdasarkan pendekatan teknik Balet dan beberapa eksplorasi dari gerak-gerak tubuh secara bebas serta pengembangan dari pola tradisi yang selanjutnya ditata sesuai dengan yang diinginkan. Menekankan teknik pengolahan tubuh di dalamnya sebagai jembatan untuk berkreatifitas dan menuangkan ke dalam bentuk tari kontemporer sebagai karya tugas akhir. Tarian ini berbentuk duet yang ditarikan oleh sepasang penari putra-putri dengan menggunakan properti sebuah jepit rambut yang berhiaskan pita berwarna merah muda. Garapan ini dipentaskan di stage proscenium Gedung Natya Mandala Insitut Seni Indonesia Denpasar dengan durasi pementasan 12 menit 16 detik.

Musik iringan garapan Roman Ku menggunakan keyboard, gitar dan suling dengan penyajiannya yang dilakukan secara life. Pendukung musik iringan tari adalah mahasiswa Institut Seni Indonesia Jurusan Karawitan semester II dan IV.

Analisis Pola Struktur

            Secara struktural, garapan ini terdiri dari empat bagian, yaitu :

– Bagian I :

   Menggambarkan karakter seorang gadis yang menginjak remaja, mengagumi tubuh yang mulai tumbuh menjadi remaja, merasakan kegembiraan karena telah menjadi remaja. Kemudian bertemu dengan seorang anak laki-laki, keduanya mulai merasakan kekaguman yang dilanjutkan dengan perkenalan, namun masih nampak malu-malu. Bobot dari bagian ini terletak pada keluwesan tubuh yang digerakkan dengan posisi duduk, kemudian berlari dan melompat dengan salah satu kaki ditekuk kemudian melakukan kayang. Bagian ini terjadi di centre stage.

– Bagian II :

Menggambarkan perkenalan yang dilanjutkan dengan pemberian sebuah jepitan rambut yang berhiaskan pita berwarna merah muda sebagai tanda telah menjalin hubungan. Sepasang remaja ini tidak pernah merasa bosan untuk selalu bersama, dengan penggambaran desain lantai yang selalu berjalan bersama. Bobot pada bagian ini terletak pada pemberian jepitan pita berwarna merah muda kemudian melakukan teknik lifting sebagai ungkapan rasa bahagia. Teknik lifting yang digunakan yaitu, penari putri diangkat dan bergerak berputar bersama dengan penari putra dengan tumpuan tangan kanan yang melingkar di leher penari putra. Dan juga pada saat penari putri diangkat dan duduk di bahu penari putra kemudian berdiri di paha kanan penari putra dengan tingkat kemiringan yang sesuai. Bagian ini terjadi di centre stage.

– Bagian III :

   Menggambarkan kekecewaan seorang gadis remaja karena ingin dicium oleh pasangannya sementara dia belum siap untuk menerima sebuah ciuman. Ciuman berarti tanda kasih sayang, namun ciuman juga dapat diartikan sebagai nafsu, maka antara kasih sayang dan nafsu sulit dibedakan ketika pikiran tengah emosi. Jepitan pita yang telah disematkan sebelumnya dibuang kehadapan si laki-laki sebagai tanda kekecewaan si gadis karena ingin dicium. Bobot pada bagian ini terletak pada tarikan kaki yang dilakukan oleh penari putra kepada penari putri. Efek yang ditimbulkan adalah penari putri melakukan split di lantai dengan penari putra berada di belakang penari putri. Bagian ini terjadi di centre stage.

– Bagian IV :

   Pada bagian ini menggambarkan keromantisan hubungan sepasang remaja yang terjalin berdasarkan pengertian satu sama lain, dengan menyematkan kembali jepitan yang telah dibuang sebagai tanda bahwa mereka siap memulai dengan kisah cinta yang baru. Namun masih ada keinginan si laki-laki untuk mencium si gadis, tetapi dengan cara yang lebih halus dan ronatis. Kembali dengan rasa malu-malu mereka diposisikan pada keadaan antara “ya” dan “tidak” untuk melakukan sebuah ciuman. Bobot bagian ini terletak pada teknik lifting yaitu penari putri diangkat dan duduk di bahu penari putra kemudian menggelinding ke bawah sehingga terpangku oleh penari putra dengan saling berpandangan. Bagian ini terjadi di centre stage.

Analisis Simbol

            Simbol memiliki arti tertentu yaitu makna yang lebih jelas dari pada apa yang tampil secara nyata, yang dapat dilihat maupun didengar. Tari Roman Ku menggunakan simbol-simbol gerak atau properti serta iringan musik yang sesuai dengan tema dan konsep dari garapan. Pesan akan lebih mudah tersampaikan kepada penonton dengan kejelasan simbol yang digunakan, melalui bahasa gerak yang bermediakan tubuh, disertai dengan penggunaan properti dan musik pengiring sehingga dapat menampilkan suasana yang diinginkan.

            Garapan Tari Roman Ku menggunakan beberapa gerak yang memiliki makna tertentu yang dapat dijadikan sebagai simbol gerak dan mampu menyampaikan pesan kepada penonton, yaitu menggunakan gerak meliuk yang menggambarkan kelincahan atau keluwesan dari karakter remaja. Gerak berjalan jinjit dengan kepala menunduk dan tangan mendekap di dada menggambarkan rasa kesengsem yaitu rasa tertarik kepada seseorang tetapi bercampur dengan rasa penasaran, malu dan rasa senang ketika bertemu. Gerakan menyematkan pita merupakan simbol pemberian hadiah dari seorang laki-laki kepada seorang gadis. Gerak lifting, penari putri duduk di bahu penari putra, merupakan cerminan dari rasa bahagia karena telah menjalin sebuah hubungan. Gerak mencium, yang menyimbolkan hasrat seorang laki-laki yang menginginkan sesuatu dari pasangannya. Gerak penolakan dari penari putri, yang tercermin dari gerak patah-patah disertai dengan gerakan meliukkan tubuh dan menggunakan desain kontras. Gerakan menarik kaki hingga melakukan split di lantai oleh penari putri yang disebabkan karena tarikan dari penari putra, merupakan simbol kekecewaan seorang gadis yang ingin dicium serta masih adanya penolakan. Gerakan menggunakan desain vertikal pada tangan yang dilakukan oleh kedua penari dalam posisi duduk, adalah simbul mulai terjalinnya hubungan yang baik antara sepasang remaja. Gerakan lifting, penari putri duduk di bahu penari putra kemudian penari putri bergelinding ke bawah, sehingga membentuk pose penari putri dipangku oleh penari putra, merupakan simbol dari terjalinnya kembali hubungan yang harmonis dari sepasang remaja.

 Selain simbol yang diungkap melalui gerak, preoperti juga dapat digunakan sebagai simbol pada garapan tari Roman Ku, yaitu jepitan yang berhiaskan pita berwarna merah muda merupakan simbol dari karakter remaja yang menyukai hal-hal yang bersifat romantis, masih kekanak-kanakan namun juga memiliki sisi feminim layaknya seorang wanita dewasa.

Musik yang digunakan adalah musik ilustrasi yang tidak mengikat tari namun dapat mengiringi dan mampu menciptakan suasana sebagai simbol kelincahan, rasa senang, kekaguman, kekecewaan, amarah dan rasa bahagia.

Deskripsi Garapan Tari Romanku Selengkapnya

Menjadi Koreografer yang Baik

Menjadi Koreografer yang Baik

Kiriman: Ida Bagus Surya Peredantha, SSn., MSn, Alumni ISI Denpasar

Suatu ketika di Surakarta, ketika pertama kali kuliah saya mendapat tugas untuk menyatakan pendapat lewat tulisan tentang koreografer yang baik. Pendapat melalui tulisan tersebut diupayakan agar singkat, tepat dan padat. Tugas yang sangat sederhana namun memiliki interpretasi pemikiran yang luar biasa luas dan sangat subjektif. Wajar, pengajar mata kuliah saya saat itu member tenggat waktu satu minggu untuk mengumpulkan tugas tersebut.

Sebelum terjun menjadi koreografer, menurut saya yang paling penting adalah seorang koreografer seyogyanya memiliki dasar kepenarian yang baik. Memang tidaklah mutlak demikian, namun alangkah lebih baiknya bila seorang koreografer mengenal kemampuan tubuhnya terlebih dahulu dan mengujinya dalam setiap kesempatan pentas sebagai sorang penari. Dengan demikian, ia pun akan mudah mengarahkan dan memaksimalkan potensi ketubuhan yang dimiliki oleh orang lain.

            Penari yang baik, dituntut untuk memiliki beragam syarat agar dirinya benar-benar mampu dan siap dalam hal perjalanan menjadi seorang koreografer. Syarat-syarat tersebut antara lain : Kreatif, disiplin, terbuka, peka, dan bertanggung jawab. Sebagai catatan, sukses tidaknya seorang koreografer ditentukan dari proses dan keteguhan seseorang dalam menjalankan kelima syarat tersebut.

            Kreatif, merupakan kemampuan pokok yang harus dimiliki oleh seorang koreografer. Kreativitas dalam hal ini adalah kemampuan seorang koreografer untuk menemukan konsep pemikiran, teori, teknik dan atau metode “baru” dalam proses penciptaan karya tari. Daya kreativitas yang tampak dalam proses berkarya menunjukkan sejauh mana seorang koreografer berhasil melakukan riset, pendalaman akan ide dalam merespon sesuatu, sehingga mampu memberikan inovasi dalam karya tarinya. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap nilai orisinalitas yang terkandung di dalam karya tari itu sendiri.

            Kedisiplinan, merupakan “modal” selanjutnya yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menjadi penari yang baik sekaligus koreografer nantinya. Sebagai penjabaran disiplin itu sendiri, penari yang baik akan menerapkan disiplin waktu, pantang menyerah dalam berusaha, teguh menjalankan proses, dan “keras” terhadap dirinya sendiri. Termasuk pula ketika hendak dan sedang tampil di panggung, seorang penari haruslah selalu berkonsentrasi untuk menyajikan sebuah pertunjukan yang baik.

            Sikap terbuka menunjukkan bahwa ia tidak memiliki sebuah ”hambatan” atau “hal yang menutup matanya” terhadap perkembangan zaman dimana ia tumbuh. Seperti yang telah diungkap diatas, kreativitas merupakan sesuatu yang timbul akibat proses imajinasi seorang. Imajinasi ini datangnya dari berbagai stimulant, termasuk pula dari hal-hal yang tengah berkembang di masanya. Untuk dapat menyerap berbagai informasi baru, hal-hal yang sedang trend, atau bahkan isu-isu yang sedang mengemuka, seorang penari aatau koreografer harus mau bersikap terbuka, dalam artian tidak terkungkung oleh doktrin sesuatu. Kebudayaan itu sifatnya selalu berkembang, begitu juga kesenian. Perkebangan tidak akan merusak nilai-nilai yang sudah ada bila dimaknai secara selektif. Justru, melalui keterbukaan ini, seorang koreografer yang baik akan mendapat sebuah pengayaan yang belum pernah didapat sebelumnya.

            Memiliki kepekaan yang kuat, juga merupakan modal yang saya utarakan sebagai seorang koreografer.  Kepekaan bisa terkait dengan banyak aspek, karena tari sebagai cabang kesenian memiliki banyak keterkaitan dengan aspek-aspek lainnya misalnya ruang, musik, warna, cahaya dan beberapa lainnya. Walau bukan berarti kita harus menekuni semuanya, namun setidaknya seseorang mengetahui esensi daripada aspek-aspek terkait tersebutyangmampu menunjang keberhasilan penampilan di atas panggung. Bagai ungkapan seniman besar Bali I Nyoman Pugra (alm.) dari Denpasar, bahwa penari yang baik itu harus mengetahui sastra. Pernyataan beliau tersebut tentu saja sangat dalam maknanya, di mana bila diartikan secara mudah seorang penari (atau bahkan koreografer) haruslah memahami teks sebagai sumber-sumber bacaan untuk memperkaya wawasannya serta konteks dimana, kapan dan dengan siapa karya tari akan dipertunjukkan.

            Hal selanjutnya yang sebaiknya dimiliki oleh seorang koreografer yang baik adalah bersikap akademis. Maksudnya adalah bisa dan mampu mempertanggungjawabkan karyanya secara utuh dan professional. Seorang koreografer yang baik tidak cukup hanya mampu menciptakan karya saja tanpa mampu menjelaskan latar belakang penggarapan, sumber inspirasi, makna yang ingin disampaikan, hal baru apa yang ia miliki dan seterusnya. Ada banyak aspek di balik sebuah karya tari yang harus bisa ia jelaskan kepada para penikmat maupun pengamat, untuk menghindari kesan penjiplakan, “pembelian” karya dan pencatutan nama koreografer yang menciptakan tari itu sendiri. Hal ini sekaligus menghindarkan kita dari kemungkinan tindakan plagiatisme yang belakangan mulai marak terungkap. Plagiatisme tidak hanya “menjangkiti” akademisi melalui tulisan, namun “wabah” tesebut telah menjalar pada sisi karya seni khususnya seni pertunjukan meskipun jarang dan sulit untuk diamati. Tiada salahnya mencegah daripada membela diri pada saat sudah terlilit masalah.

            Sekali lagi, hal-hal di atas merupakan sumbangsih pemikiran saya yang bercita-cita tinggi sebagai seorang seniman. Tanpa bermaksud menggurui, pendapat tersebut lebih pada “suluh” atau tuntunan terhadap diri saya sendiri, agar saya memiliki pegangan dalam meniti karir di jagat seni. Bilamana pembaca memiliki pandangan lain yang dapat memperkaya wawasan kita para seniman sangat terbuka tangan saya dalam menyambut masukan tersebut karena ini merupakan “yadnya” seseorang kepada khalayak melalui pemikiran. Salam kesenian!

Menjadi Koreografer yang Baik Selengkapnya

Loading...