by admin | May 30, 2015 | Artikel
Kiriman : Farhan Adityasmara, S.Sn, M.Sn (Dosen Fakultas Seni Rupa Dan Desain Jurusan Fotografi)
Management of Emotions, a Photography project. In life human cannot be separated from management principles in their daily lives, either directly or indirectly, wheter conscious or unconscious. Studies in scientific management emerged in the early 20th century, the industrial revolution in Europe, and America revolution is based on production management changes more effectively and efficiently. The reason is that the more advanced society, and the needs of a growing and diverse.
Creating a work of art cannot be separated from emotion. Emotion are strong feeling against anything: love, happiness, hate, jealousy. What we create is aform of emotional expression posed. If it is not controlled, emotion can have negative impact, such as depression, and even psychiatric disorders. As individual who dedicate life in arts, the author tries to create a management system of art, with the output of visual art.
Art management system in the process of creating works using interactive experiments between fields in the form of walls, bottles of paint, and people who have certain emotions towards something. B
ottles containing paint is a symbol of emotion, which then thrown towards the best-prepared field that is also a form of managerial system itself-and the result would be spray paint from broken bottle contains unpredictable results. After a series of documentation in the form of still photos, and videos, the authors took details splash effect that emotion in the form of photographic work.
Selengkapnya>>
by admin | May 29, 2015 | Artikel
Kiriman : Galih Febri Hastiyanto dan Gading Nova Dwi Aryanto (Mahasiswa Prodi Musik)
Abstrak
Adat pernikahan Jawa, baik yang beragama Hindu maupun agama lainnya, hampir sama, yang berbeda dalam pelaksanaan pernikahannya. Seperti yang disampaikan berikut, adalah pernikahan dengan adat yang berkembang di Banyuwangi. Kebetulan, adat yang ada di Banyuwangi adalah adat yang memiliki latar agama Hindu. Prosesi adat tidak jauh berbeda dengan yang lainnya, yaitu diawali dengan ritual nikah yang dilanjutkan dengan prosesi panggih, dan rangkaian lainnya. Jika dalam acara pernikahan ini mengundang seni pertunjukan, maka pada saat pertunjukan mempelai sudah tidak terkait lagi dengan acara, yaitu acara adat untuk mempelai sudah selesai.
Kata kunci: adat nikah, prosesi
PENDAHULUAN
Adat pernikahan Jawa, baik yang beragama Hindu maupun agama lainnya, hampir sama, yang berbeda dalam pelaksanaan pernikahannya. Seperti yang disampaikan berikut, adalah pernikahan dengan adat yang berkembang di Banyuwangi. Kebetulan, adat yang ada di Banyuwangi adalah adat yang memiliki latar agama Hindu. Prosesi adat tidak jauh berbeda dengan yang lainnya, yaitu diawali dengan ritual nikah yang dilanjutkan dengan prosesi panggih, dan rangkaian lainnya. Dari prosesi adat pernikahan, urutan dan pelaksanaannya tergantung pada waktu yang telah ditentukan oleh yang memiliki hajat.
Pelaksanaan prosesi pernikahan, waktu merupakan hal yang sangat dihitung dengan ketelitian dan penuh pertimbangan. Jika waktu yang ditentukan oleh orang yang dimintai perhitungan tentang tanggal dan waktu meminta jam 04.00 pagi, maka semua peserta prosesi mengikuti apa yang dimintanya. Termasuk pegawai Urusan Agama dalam menikahkan juga taat dengan penentuan saat pernikahan tersebut, tanpa ada pengecualian. Semua proses dilaksanakan sesuai dengan hitungan yang ditentukan oleh pemilik hajatan.
URUTAN PROSESI
Sebelum prosesi pernikahan, biasanya menunggu kesiapan dari mempelai Wanita dan kedatangan mempelai Pria. Jika kedua mempelai sudah siap untuk menjalankan pernikahan, pemangku Pura mempersiapkan untuk pelaksanaan pernikahan sambil menunggu petugas pernikahan dari KUA (kantor urusan agama) yang akan menikahkan kedua mempelai. Di dalam Pura Pemangku didampingi oleh beberapa orang pelantun tembang yang biasa disebut dengan panembrama, dengan materi tembangnya disesuaikan dengan waktu atau durasi dalam persiapan. Materi panembrama tidak jauh berbeda dengan panembrama yang biasa dilakukan dalam kegiatan upacara keagamaan di Banyuwangi Selatan, namun tidak semua dapat disajikan, karena mengingat waktu atau durasi yang tersedia dalam persiapan.
Berikut adalah pelantun panembrama yang sudah siap melantunkan di Pura sambil menunggu persiapan kedua mempelai mejalankan pernikahan

Proses pernikahan umat Hindu biasanya dilaksanakan di Pura yang diikuti oleh kedua mempelai, petugas nikah, pemangku, dan saksi pernikahan. Jika sudah siap semuanya, proses pernikahan dimulai dengan ucapan selamat datang oleh pembawa acara, kemudian dilanjutkan dengan proses pernikahan yang dipimpin langsung oleh petugas dari KUA yang sekaligus menikahkan ke dua mempelai. Berbagai dalil yang diucapkan oleh pemimpin pernikahan tiba saatnya pengambilan sumpah dan janji oleh kedua mempelai yang dilanjutkan penandatanganan akta pernikahan dengan ditutup doa bersama.

Sebagai acara selanjutnya setelah pernikahan dilakukan Temu/panggih, yaitu prosesi adat Jawa yang mempertemukan kedua mempelai. Dalam Panggih ini disediakan berbagai properti seperti kembar mayang (dua untaian rangkaian yang terbuat dari daun kelapa muda/janur dan beberapa dedaunan khusus). Di samping itu juga dipersiapkan pasangan atau alat pengait sapi dalam membajak sawah. Hal ini dimaksudkan penyatuan dari dua pihak yang diikat dalam satu ikatan yang disebut dengan keluarga dengan simbol pasangan. Setelah terlaksananya acara panggih mempelai didudukkan di tempat duduk yang telah disediakan bak raja dan permaisuri, sehingga oleh masyarakat Jawa hal itu biasa disebutnya dengan jadi Raja dan Ratu sehari. Rias dan busana pengantin atau mempelai, dalam satu hari bisa berganti sebanyak mungkin sesuai dengan kemampuan keuangan dari keluarga mempelai dan busana bisa menggunakan adat dari mana saja yang disenangi oleh kedua mempelai.

PANEMBRAMA DALAM PERNIKAHAN
Panembrama yang disajikan dalam pernikahan, pada dasarnya hampir sama dengan kegiatan yang dilakukan pada upacara keagamaan yang ada di pura. Sajian panembrama sifatnya situasional, jika waktu untuk sajian tidak terlalu panjang maka dapat disajikan sesuai dengan durasi yang ada. Sajian panembrama pada upacara pernikahan, biasanya disajikan pada saat persiapan pernikahan yang akan dilaksanakan, sambil menunggu kesiapan berbagai pihak untuk persiapannya masing-masing. Persiapan tersebut oleh kedua mempelai, oleh pelaksana pernikahan, dan yang mau menikahkan.
Untaian acara dalam pernikahan biasanya dilakukan di dalam pura, dengan persiapan pemangku menghaturkan sesaji dengan maksud mohon keselamatan, kelancaran, dan kesuksesan dalam pelaksanaan pernikahan. Pemangku ini, ditemani dengan beberapa umat pelantun panembrama, materi yang disajikan disesuaikan dengan banyaknya sesaji yang harus disajikan. Persiapan ditempat lainnya adalah kedua mempelai, jika sudah selesai berhias maka pihak keluarga memberitaukan kepada pemangku bahwa berhias sudah selesai.
Persiapan inti terletak pada persiapan tempat pernikahan dan wali dan pegawai kantor lurah yang berkewajiban menikahkan mempelai. Jika persiapan di luar pura sudah siap pelaksanaannya, panitia pernikahan memberitahukan kepada pemangku yang menghaturkan sesaji di pura. Pelantun panembrama menyesuaikan lagunya untuk menyambut kedatangan mempelai di pura, dilanjutkan dengan prosesi pernikahan yang diambil alih kewajibanmya oleh kerawat desa yang menikahkan dengan segala rangkaian pernikahannya hingga selesai. Setelah selesai pernikahan pelantun panembrama melantunkan lagu penutup, yang dilanjutkan dengan doa bersama yang dipimpin oleh pemimpin pernikahan.
by admin | May 28, 2015 | Artikel
Kiriman : Tri Haryanto, S.Kar., M.Si., (Dosen Fakultas Seni Pertunjukan), Galih Febri Hastiyanto Dan Gading Nova Dwi Aryanto (Mahasiswa Prodi Musik)
Abstrak
Ritual puja pitara merupakan kegiatan umat Hindu Banyuwangi dalam mengingat leluhur dan mengirimkan doa atau menghaturkan pemujaan terhadap Tuhan agar leluhurnya mendapatkan ampunanNya. Kegiatan ini, bisa dilakukan di rumah para umat atau disatukan di Pura setempat para umat mengempu tempat suci (Pura). Pelaksanaan puja pitara juga tidak harus pada hari tertentu, namun bisa dilaksanakan pada hari Selasa malam Rabu dalam kegiatan rutinitas umat dalam melaksanakan pemujaan kepada Tuhan (Hyang Widhi). Tidak menutup kemungkinan juga bisa pada hari tertentu yang dilaksanakan bertepatan pada hari meninggalnya leluhur yang akan didoakan, sesuai dengan kehendak umat yang ingin melaksanakan ritual puja pitara.
Kata kunci: puja pitara, ritual, reboan
Pendahuluan
Dalam ritual puja pitara, terkadang dilaksanakan dalam event Reboan sehingga tidak merubah jadwal yang telah ditetapkan untuk setiap seminggu sekali yang jatuh pada hari selasa malam. Tidak menutup kemungkinan bahwa umat yang menyelenggarakan puja pitara membuat jadwal pelaksanaannya sesuai dengan keinginannya, dengan alasan agar pelaksanaannya sesuai dengan hari-hari penting menurut hitungan masyarakat Jawa, terutama dalam menentukan hari pelaksanaan mengirim doa bagi anggota keluarga yang telah meninggal. Hitungan untuk pelaksanaan kiriman doa bagi orang yang meninggal tersebut dimulai dari satu hari, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, pendak pisan (sepertiga dari seribu hari kira-kira 330 hari), pendak pindo (dua pertiga dari seribu hari kira-kira 660 hari), dan seribu hari. Namun dalam pelaksanaannya, biasanya dilakukan lebih awal dari hitungan yang sebenarnya, seperti pelaksanaan kirim doa hari ketiga dilaksanakan pada hari kedua setelah meninggal, hari ketujuh dilaksanakan pada hari keenam setelah meninggal dan seterusnya (Wawancara dengan Djoyo Suparto, tanggal 8 Nopember 2014).
Kirim doa yang biasa disebutnya puja pitara, oleh masyarakat umat lain juga biasa dilakukan meskipun sebutannya berbeda, seperti dalam umat muslim disebutnya dengan kirim luhur dengan mengadakan pengajian atau yasinan. Sebutan yasinan dikarenakan pada kesempatan itu, ayat yang harus dibacakan adalah ayat yang bernama “Yasin” dari Al Quran. Kegiatan ini, oleh masyarakat sudah umum dengan sebutan kirim donga yang berarti mengirim doa kepada anggota keluarga yang telah meninggal, dengan maksud agar arwah yang telah meninggal mendapatkan ampunan dari Tuhan dan diterimanya semua amal bakti semasa hidupnya, mendapatkan tempat yang sesuai dengan kehendak anggota keluarganya, yaitu surga yang telah dipersiapkan Tuhan untuk umat-Nya.
Dalam tradisi umat Hindu di Desa Seneporejo, puja pitara merupakan bagian terpenting dalam penghormatan terhadap leluhurnya. Bahkan pelaksanaan puja pitara tidak hanya pada hitungan tertentu yang biasa dilaksanakan untuk menghormati leluhur oleh masyarakat umum, setelah seribu hari pun masih tetap dilakukan kirim doa. Oleh para umat seperti yang dikatakan Sutariyanto, bahwa kewajiban kita sebagai ahli waris dari leluhur memiliki tanggung jawab yang tak terbatas pada hitungan hari, kalau diberi kesempatan yang lebih luas seharusnya sebagai ahli waris harus selalu melaksanakan puja pitara pada jatuhnya hari geblag atau hari meninggalnya almarhum pada saat itu (Wawancara, tanggal 7 Nopember 2014).
Tradisi yang telah melekat pada kehidupan umat beragama di Banyuwangi pada umumnya, puja pitara atau sebutan lainnya di umat beragama lain sudah lazim dilaksanakan dengan keiklasan. Hal itu menjadi dasar pengorbanan dari umat dalam menghormati para leluhur, sesuai dengan konsep yadnya umat hindu dalam menghormati para leluhurnya. Kewajiban yang dimiliki oleh ahli waris, memang selayaknya dilaksanakan dengan dasar iklas, karena keiklasan memberikan rasa kedamaian baik leluhur yang dikirim doa maupun bagi keluarga ahli waris yang melaksanakannya. Kedamaian dapat membangkitkan semangat hidup, sekaligus membimbing untuk selalu ingat dengan kewajibannya masing-masing sesuai dengan darma yang seharusnya diperbuat di dunia.
ESTETIS
Panembrama dalam fungsi estetis, dapat dirasakan dari sisi estetika vokalis yang melagukan tembang panembrama, baik yang mandiri maupun jenis vokal bersama. Keindahan dalam sajian panembrama, tidak terikat dalam kaidah karawitan yang menggunakan medium gamelan, karena pada realitas sajian panembrama menggunakan tempo, irama, dan laya dengan kehendak yang melagukan, tidak seperti dalam karawitan yang memiliki aturan tempo, irama, dan laya terkendali, yang dilakukan oleh kendang sebagai pengatur (pamurba) irama. Meskipun yang dilagukan merupakan bentuk gerongan namun dalam pelaksanaan sajian, penyaji tidak menggunakan ketukan yang stabil atau dalam istilah musik disebut metrik (matra), bahkan terkesan saling mengejar atau cannon dalam istilah musik (susul menyusul). Hal itu bukan berarti disengaja, lebih pada ekspresi dari pelaku yang menyajikan panembrama, karena ada salah satu yang memberikan ketukan dengan lambaian tangan yang ditepukkan ke pahanya, namun irama tetap saja keluar dan mengalir begitu saja dari pelantun vokal tanpa sesuai dengan orang yang memberikan ketukan tersebut.
Estetika yang muncul dari sajian ini, masing-masing vokalis bisa melantunkan sesuai kreativitasnya sendiri-sendiri, tanpa harus sama dari sisi not musikal yang ada. Pengembangan vokal yang disebutnya gregel, masing-masing vokalis memiliki pengembangan yang berbeda-beda, sehingga dalam satu sajian vokal bersama (gerongan) terdengar bisa bervariatif. Sebagai contoh dalam vokal sendiri atau yang melaksanakan bawa dan vokal bersama dalam bentuk gerongan.
RITUAL
Bila merujuk Malinowski dengan teori fungsionalnya yang mengatakan bahwa apa yang menjadi milik suatu masyarakat merupakan sesuatu yang sangat berfungsi. Melihat perubahan sosial dan budaya dalam suatu kelompok etnis yang ditentukan oleh perkembangan fungsi-fungsi struktur dalam masyarakat, maka panembrama juga merupakan milik masyarakat khususnya masyarakat hindu di desa Seneporejo dan sekitarnya yang memiliki fungsi. Secara estetis, panembrama dapat berfungsi sebagai sajian yang memiliki nilai estetis sangat tinggi, sejajar dengan seni pertunjukan yang adi luhung lainnya. Secara pertunjukan, panembrama memiliki fungsi sebagai sarana ritual, sarana penyampai keindahan bahasa, penyampai keindahan nada (estetis), sebagai sarana sosial, dan sebagai sarana mencari nafkah. Rincian dari masing-masing fungsi dapat dijabarkan dalam sub bab berikutnya.
Ritual keagamaan umat Hindu di Banyuwangi, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan upacara keagamaan Hindu Bali, namun tidak semua jenis upacara keagamaan Hindu Banyuwangi menggunakan panembrama. Seperti telah dijabarkan dalam bab sebelumnya mengenai bentuk panembrama, menunjukkan bentuk panembrama telah memiliki fungsinya masing-masing, diantaranya selain untuk persembahyangan juga difungsikan dalam upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, dan peringatan Ciwa Ratri.
Untuk panembrama yang difungsikan sebagai upacara persembahyangan dengan urutan telah terurai seperti dalam bentuk panembrama untuk ritual puja pitara atau masyarakat Seneporejo menyebut Reboan.
Dalam persiapan ini, pemimpin panembrama (Sutariyanto) sudah mempersiapkan gending pembuka, yaitu gending Kinanthi Padang Bulan yang dilanjutkan ladrang Cluntang dengan diikuti oleh semua umat yang datang dan bisa mengikuti gending yang disajikan.
Selesainya sajian ladrang Cluntang, pemangku sudah memulai dengan penghaturan sesaji yang disiapkan oleh tuan rumah. Kemudian panembrama yang dipimpin oleh Sutariyanto melakukan sajian panembrama hingga akhir dari Pemangku selesai menghaturkan sesaji. Sajian ini dimulai dengan bawa yang berjudul bawa Gambirsawit yang dilanjutkan sajiannya dengan Ketawang Kinanti Pawukir. Sedangkan arti Pawukir adalah gambaran. Namun dalam konteks ini, pawukir untuk sasmita atau pertanda untuk masuk ke sajian berikut yang berjudul ketawang kinanti Pawukir.
Setelah sajian gending/lagu ketawang Kinanti Pawukir, sajian dilanjutkan dengan bawa Sinom sekar macapat cengkok Tawang, yang dilanjutkan gending Ladrang Pucung, Dandanggula sekar macapat (cengkok gedong kuning) dilanjutkan gending Widasari, Ladrang Kaduk Rena, dan ladrang Panjang Ilang. Pada sajian Panjang Ilang ini, pembantu Pemangku sudah membagikan sarana sembahyang kepada semua umat. Sajian berikut adalah sajian bawa Asmarandana dan Pucung sampai seluruh umat yang datang menerima sarana persembahyangan bersama. Dari sajian Pucung, persembahyangan bersama yang dilaksanakan oleh semua umat yang datang, pada saat itu tidak ada kegiatan sajian panembrama. Setelah persembahyangan bersama selesai, dilanjutkan dengan bawa Sinom cengkok Grendel yang dilanjutkan ke Ayak-ayak Pamungkas dan acara upacara Puja Pitara sudah selesai.
by admin | May 27, 2015 | Artikel
Kiriman : Gading Nova Dwi Aryanto Dan Galih Febri Hastiyanto (Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan Prodi Musik)
Abstrak
Di Denpasar, ada suatu kelompok seni karawitan Jawa yang bernaung di bawah Yayasan Adi Budaya, pada Paguyuban Ngeksi Ganda. Kegiatan rutinitasnya adalah berlatih setiap hari minggu. Dalam yayasan ini, ada dua kelompok karawitan, yaitu kelompok bapak dan kelompok ibu, yang pelakunya adalah hampir semua warga paguyuban Ngeksi Ganda di Denpasar. Dari sekian kegiatan yang digladi setiap hari minggu, jika tidak diberikan kesempatan untuk pentas, rasanya kurang semangat. Maka dari itu, inisiatif para pengurus paguyuban memberikan kesempatan pada saat ulang tahun paguyuban yang jatuh pada setiap bulan juni, diadakan pementasan kecil, jika tidak diadakan secara mewah atau khusus.
Kata kunci: karawitan, ngestilaras, Ngeksigondo
Pendahuluan
Pementasan seni merupakan tujuan dari latihan yang dilaksanakan oleh suatu kelompok. Jika dalam suatu latihan tidak di pentaskan, maka dari suasana latihan itu tidak akan memberikan semangat kepada pesertanya. Meskipun dalam pementasan hanya bersifat kecil dan tidak terlalu resmi, namun jika diadakan pementasan, maka suasana latihan yang dibangun setiap minggu akan bertambah gairah atau semangat.
Pementasan sederhana kelompok Ngesti Laras karawitan Jawa pimpinan Tri Haryanto, S.Kar., M.Si., di jalan Padma no. 98 Denpasar dalam rangka arisan rutin Paguyuban Ngeksi Ganda (warga Yogyakarta dan sekitarnya) Denpasar. Kegiatan karawitan Jawa dilakukan latihan rutin pada setiap hari minggu mulai jam 14.00 Wita sampai jam 17.00 Wita di Jl. Padma No. 98 Penatih Denpasar. Materi yang dilatih berkisar pada bentuk gending Lancaran, Ketawang, Ladrang, Ayak-ayak, Srepeg, dan Sampak. Materi iringan Wayang, iringan Tari, dan untuk prosesi pernikahan juga sebagai latihan.
Materi iringan wayang biasanya pada materi Lancaran untuk budalan atau keberangkatan prajurit untuk menuju ke suatu tempat, materi Ketawang Subakasta untuk mengiringi tokoh ksatriya berjalan di tengah hutan, dan materi jenis Ayak-ayak, srepeg, dan sampak sebagai iringan wayang yang disebut dengan srambahan atau bisa dipergunakan untuk mengiringi apa saja tanpa memperhitungkan suatu tokoh.
Materi iringan Tari yang biasa dilatih adalah iringan tari Gambyong Pareanom, tari Gambyong Pangkur, tari Golek Ayun-ayun, Tari Klana Topeng, Tari Karonsih, Tari Bondan, dan Tari Gatutkaca Gandrung. Untuk materi prosesi pernikahan materi disesuaikan dengan gaya atau stile kedaerahan seperti gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta. Untuk gaya Yogyakarta materi berbeda dengan materi gaya Surakarta, meskipun ada beberapa materi yang sama untuk isian dalam sajian diluar materi pokok sajian peosesi.
Penulis juga sebagai peserta latihan, namun pada saat pementasan kecil ini, penulis tidak ikut menabuh karena yang lebih senior berkesempatan hadir semua, jadi penulis tidak ikut serta untuk memberikan kesempatan kepada bapak-bapak yang senior. Penulis berkesempatan sebagai peladen/sinoman untuk menyiapkan makanan kecil dan minuman. Di samping itu penulis juga sebagai pendokumentasi.
Pengurus Karawitan Ngesti Laras dan para penabuh dengan susunannya sebagai berikut: 1) pemimpin atau ketua sekaligus sebagai Pembina I Bp. Tri Haryanto, S.Kar., M.Si., 2) Pembina II Bp. Saptono, S.Sen., M.Si., 3) Sekretaris Bp. Drs. Rinto Widyarto, M.Si., 4) Bendahara Bp. H. Subandi Idris, 5) Bp. Sutomo, 6) Bp. Dru Hendro, S.Sn., M.Si., juga sebagai Pembina bidang Pedalangan, 7) Bp. Triyanto, 8) Bp. Supardi, 9) Bp. Yuli, 10) Bp. Suyatmo, 11) Ibu Suyatmo, 12) Ibu Tri Haryanto, 13) Ibu Rinto, 14) Ibu Sukamto, 15) Kurnia, 16) Galih, 17) Gading, 18) Rangga, 19) Ibu Hajah Salim, dan 20) Bp. Pojijan.
Pada pementasan kecil ini, karena bersifat hiburan dan tidak mengikat maka materi spontanitas dari para penabuh, seperti yang terjadi pada saat pesinden minta lagu Sinom Parijata langsung di respon oleh penabuh lainnya, yang secara urutan sajian biasanya belum dimainkan setelah beberapa materi lainnya disajikan. Penabuhpun juga berpindah-pindah sesuai dengan kehendaknya atau memberikan kesempatan bapak-bapak untuk menampilkan skill masing-masing, seperti bapak penulis yang sebagai ketua karawitan Ngesti Laras semula main kendang berpindah ke Saron, yang main saron pindah main kendang, yang lainnya pun juga begitu sesuai keinginan yang akan ditabuhnya.
Pada kesempatan sajian ini, ketua Paguyuban Ngeksi Ganda juga ikut berperan serta dalam sajian, yaitu sebagai vokalis yang menyajikan empat jenis palaran, Sinom Parijata laras pelog nyamat atau pelog nem, laras yang berbeda dengan yang telah disajikan di awal sajian dengan laras slendro. Sajian juga diisi dengan sajian yang memberikan hiburan kepada orang tua dengan sajian jenis langgam, bahkan lagu kroncong Bengawan Solo juga digarap dalam bentuk garapan langgam.
Setelah santap siang, dilanjutkan latihan oleh penabuh wanita, yang anggotanya dari ibu-ibu paguyuban Ngeksi Ganda yang di latih oleh Bp. Supardi. Karena masih sangat dasar maka materi yang diberikan juga masih sangat dasar, yaitu dengan bentuk lancaran saja. Materi yang dilatih antara lain lancaran Bendrong, Lancaran Manyar Sewu, Lancaran Bindri, dan lancaran Suwe Ora Jamu.
by admin | May 26, 2015 | Artikel
Kiriman : I Gede Mawan, S.Sn (Dosen Fakultas Seni Pertunjukan)

Ragam bentuk gamelan yang diwarisi oleh masyarakat Bali, merupakan peninggalan budaya daerah yang sangat penting artinya dalam sejarah perkembangan kesenian Bali. Musik Mandolin yang merupakan musik golongan baru, dalam perkembangannya mengalami pasang surut yang biasa dialami oleh semua jenis kesenian yang berkembang di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor, bentuk, dan persepsi masyarakat tentang musik Mandolin di desa Pupuan Kabupaten Tabanan. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian studi kasus tentang revitalisasi musik mandolin dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh dari hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya musik Mandolin di masyarakat. Faktor internal antara lain; kurangnya bakat dan kemampuan, kurangnya sikap terbuka, kurang kreatif dalam memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada. Sedangkan faktor eksternal antara lain; faktor ekonomi, teknologi, serta media yang menjadi penyebar informasi. Eksistensi sebuah kesenian yang berkembang di masyarakat tidak terlepas dari peranan masyarakat pendukungnya. Revitalisasi dan regenerasi merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk menyelamatkan sebuah seni pertunjukan. Masyarakat beranggapan bahwa betapa pentingnya melakukan revitalisasi terhadap berbagai jenis kesenian yang berkembang di masyarakat, agar keberadaannya tetap lestari sebagai warisan budaya yang adiluhung dan sekaligus sebagai identitas daerah dalam merekatkan budaya bangsa.
Selengkapnya>>
by admin | Nov 19, 2014 | Artikel, Berita
Kiriman: Ketut Hery Budiyana,AMd. (Staf FSRD ISI Denpasar).
Yogyakarta- Guna memperluas wawasan seni serta menjalin sinergi dengan lembaga dan pemerintah dalam bidang kesenian, maka setiap tahunnya Fakultas Seni Rupa dan Desain menggelar kegiatan studi ekskursi. Studi Ekskursi tahun 2014 dilaksanakan di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Seni dan Budaya Yogyakarta pada tanggal 8 September 2014. Kegiatan ini juga sebagai salah satu tindak lanjut dari program kemahasiswaan ISI Denpasar serta realisasi program kerja Fakultas Seni Rupa ISI Denpasar tahun 2014, bidang kemahasiswaan.
Pembantu Dekan III FSRD ISI Denpasar, A.A. Gde Bagus Udayana, S.Sn., M.Sn yang berperan sebagai ketua penyelenggara mengungkapkan studi ekskursi merupakan salah satu bentuk pengajaran di luar pengajaran konvensional. Pengajaran model ini merupakan variasi dari pengajaran yang dilakukan di dalam kelas. Pengalaman belajar yang diperoleh mahasiswa dalam bentuk studi ekskursi, akan banyak bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan akademik dan professional mereka. “Penyelenggaraan studi ekskursi sebagai suatu model pembelajaran dalam bentuk belajar sambil berbuat (learning by doing)” ungkap Bagus Udayana saat ditemui disela-sela acara.
Sementara Dekan FSRD ISI Denpasar Dra. Ni Made Rinu, M.Si. menambahkan FSRD tidak henti-hentinya mengkaji dan memilih bentuk-bentuk pembelajaran yang inovatif untuk meningkatkan outcome based mahasiswa kelak mereka terjun di masyarakat. Berbagai bentuk kegiatan edukatif, baik dalam bentuk kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler, senantiasa kami upayakan. Dipilihnya P4TK Yogyakarta sebagai realisasi MoU FSRD ISI Denpasar dengan P4TK yang telah dilakukan sejak tahun 2004. Secara substantif lembaga ini dijadikan sumber belajar didasarkan atas pertimbangan kelengkapan fasilitas dan SDM bidang pendidikan dan pembelajaran yang dimiliki amat memadai. Disamping itu antara FSRD dan PPPPT K Seni dan Budaya Yogyakarta, baik secara pisik /material maupun psikologis sangat dekat. Selain program-program pendidikan yang dikembangkan sejalan dengan program kami, juga secara filosofis kami memiliki kedekatan yang amat kental dalam bidang pengembangan pendidikan seni dan budaya. Kami dapat bertukar pikiran dalam banyak hal, baik menyangkut program-program pendidikan, maupun masalah-masalah seni budaya yang menjadi pakok kajian kita bersama. Kami sering membangun dialog tentang sub kultur budaya yang beragam, serta saling berusaha menyamakan persepsi dan pemahaman atas lintas etnik dalam hubungannya dengan perspektif kultur lain.
Sementara Kepala PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta, Dr. Edhy Susatya, menyambut baik dan merasa bahagia dan mendapat kehormatan atas kunjungan mahasiswa ISI Denpasar ke tempat kami PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta. Kunjungan dalam bentuk studi ekskursi, adalah sebagai salah satu wujud MOU yang telah kita lakukan bersama sejak tahun 2004 yang lalu. Bentuk kerjasama dalam bidang pendidikan seni dan budaya memang sudah merupakan komitmen kami, karena seni dan budaya mutlak diperlukan dalam proses pendidikan. Seni merupakan penyeimbang kinerja otak kanan dan otak kiri, memperhalus budi pekerti, mempertahankan nilai moral masyarakat, mempertajam sensitivitas, meningkatkan kreativitas dan mengembangkan inovasi. Dr. Edy menambahkan seni juga dapat menjadi kegiatan hidup sehari-hari, meningkatkan taraf hidup masyarakat, mempertegas pola hidup, menghangatkan aktivitas ekonomi, sebagai alat politik dan sebagai media dakwah keagamaan. Yang jelas tujuan pendidikan seni adalah mengembangkan kemampuan apresiasi peserta didik terhadap karya seni, dan penghalusan budi pekerti. “Oleh karena itu menurut saya pembelajaran seni dan budaya di sekolah harus direncanakan secara cermat, pemilihan media yang tepat, penerapan model pembelajaran yang cocok dan selalu menghargai seni dan budaya setempat. Tidak ada pemaksaan dan pemberangusan seni dan budaya daerah, tidak ada penyeragaman seni dan budaya, dan tidak ada penyamaan tradisi” ujar Dr Edy saat memberikan sambutan.
Rektor ISI Denpasar, Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum menghaturkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kehadapan Kepala PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta bersama jajarannya, karena beliau-beliau ini telah menerima kami dengan amat welcome dan penuh dengan rasa persaudaraan. Studi Ekskursi merupakan salah satu rangkaian pengembangan program-program pendidikan yang inovatif. Program semacam ini lebih menekankan pada kebijakan peningkatan mutu pendidikan yang berorientasi pada kemampuan lulusan yang memiliki daya saing dalam pasar kerja. Kegiatan Studi Ekskursi yang dirancang berbasis akademik dan professional, serta terukur dalam pelaksanaannya dapat dipastikan mampu memberi Wawasan dan pengalaman belajar mahasiswa yang akuntabel. Oleh karena itu aktivitas pembelajaran di luar lingkungan kampus sendiri, selain memiliki makna akademis, juga secara psikologis dapat meningkatkan bakat, minat dan motivasi belajar mahsiswa yang berhasil guna. Lingkungan belajar yang diciptakan secara alamiah akan menimbulkan rasa menyenangkan dalam proses pembelajaran, karena anak mengalami sendiri apa yang sedang dipelajari dan bukan hanya mengetahui semata. Para pakar pendidikan memprediksi bahwa, pengalaman belajar yang dialami secara real (otentik) oleh peserta didik, akan dapat membekali anak untuk memecahkan persoalan kehidupan jangka panjang. Dengan demikian pada gilirannya nanti, outcome lulusan mahasiswa dapat kami pastikan akan memiliki kecakapan hidup (life skill), dan bahkan mampu menjadi wirausaha yang handal dan/atau dapat menciptakan lapangan kerja baru. “Melalui kesempatan ini kami serahkan sepenuhnya anak-anak kami untuk dididik, dilatih dan dibina sesuai dengan program-program pendidikan seni dan budaya yang Bapak kembangkan selama ini. Demikian sambutan singkat ini saya dapat sampaikan, semoga ada manfaatnya, dan mohon maaf apabila terdapat tutur kata kami yang kurang berkenan” ungkap Dr. Arya.
Adapun mahasiswa FSRD peserta studi ekskursi tahun ini berjumlah 60 orang. Mereka adalah mahasiswa yang sedang duduk pada semester VI dan VII, yang nantinya akan mempersiapkan diri untuk mengambil tugas akhir. Materi kegiatan yang dibelajarkan dalam studi ekskursi ini meliputi dua hal, yaitu seminar dan workshop. Seminar dengan tema Semiotika Visual yang dibawakan oleh Drs.Sumbo Tinarbuko, M.Sn (dosen ISI Yogyakarta), dan diikuti oleh semua peserta Studi Ekskursi. Sedangkan Workshop diselenggarakan berbeda untuk masing-masing Program Studi, yakni :
1). Membatik di Media Kulit diikuti oleh mahasiswa Seni Rupa Murni.
2). Finishing Kayu diikuti oleh mahasiswa Desain Interior dan Kriya Seni.
3). Cetak Saring/Sablon diikuti oleh mahasiswa Desain Komunikasi Visual, dan
4). Animasi diikuti oleh mahasiswa Fotografi