Tijauan Estetis dan Artistik Petulangan

Tijauan Estetis dan Artistik Petulangan

Oleh I Dewa Made Pastika

PetulanganKarya petulangan di samping fungsinya sebagai tempat pembakaran juga memiliki nilai–nilai keindahan dalam seni. Pembuatan petulangan merupakan suatu pengorganisasian atau susunan elemen-elemen bentuk, permukaan dan masa yang muncul dari berbagai jenis ornamen, warna hingga mewujudkan karya yang utuh dan harmonis menghasilkan sensasi yang menyenangkan. Sedangkan ketiadaan susunan akan menyebabkan ketidakpuasan, kekecewaan dan kemuakan. Perasaan atas hubungan-hubungan adalah perasaan keindahan sedangkan sebaliknya ialah perasaan ketidakbaikan. Tidak jauh berbeda dengan karya seni lainnya bahwa pembuatan petulangan didukung oleh rasa kesenangan yang dihubungkan dengan rasa keindahan, menyangkut bentuk, hiasan, pewarnaan serta jenis materialnya. Untuk menilai keindahan bentuk petulangan dapat dilihat dari bentuk secara keseluruhan atau global, menyangkut perbandingan antara bagian-bagian, seperti kepala dengan badan, badan dengan kaki dan lainnya. Untuk itu penting diperhatikan oleh seorang sangging petulangan tentang ukuran.proporsi dan anatomi, untuk bisa mencapai kesempurnaan karya. Sebagaimana yang disebutkan dalam estetika barat bahwa seniman bila berkarya dapat menilai kesempurnaan karya berdasarkan rasa proporsi dan ukuran (measure). Seniman apabila ingin berkarya sebaik-baiknya harus mengetahui dasar-dasar ukuran. Dan bagi setiap seni adalah seni mengukur, tanpa adanya ini tidak mungkin adanya seni. Seorang sangging di Bali menentukan ukuran bangunan dan prorporsinya berdasarkan lontar Asta Kosala Kosali. Lontar ini memuat petunjuk-petunjuk membuat bangunan mulai dari cara waktu penebangan kayu, merancang bangunan serta pelaksanaan upacaranya. Satuan ukuran yang disebut dalam lontar tersebut diambil dari ukuran anggota badan dengan istilah: depa, asta, lengkat, cengkang, musti sangga, nyari, guli madu, leklet. Istilah ini menentukan ukuran panjang dari suatu bentuk dan petunjuk-petunjuk ini sangat ditaati oleh para sangging dan undagi dan dipercaya dengan mengikuti petunjuk tersebut akan menghasilkan karya indah dan berjiwa. Disamping ukuran yang telah disebutkan di atas ada pula istilah pengurip. Pengurip adalah petunjuk yang terbuka bagi sangging untuk menambah atau mengurangi dari ukuran yang telah ditentukan dengan maksud memenuhi selera dari para sangging yang mengerjakan karya seni. Ukuran perbandingan yang umum di Bali ialah ukuran yang disebut: a bah bangun. A bah bangun adalah ukuran perbandingan yang digunakan untuk mengukur panjang dan lebar sebuah bangunan atau bentuk sebuah karya seni. Panjang atau tinggi sebuah bentuk sama dengan diagonal dari bentuk bujur sangkar dari lebar atau dasar bangunan. Jenis perbandingan ini ada persamaan dengan fungsi dan proporsi geometris dari jaman Yunani Kuno di Eropah yang disebut: The Golden Section. The Golden Section itu digunakan untuk menentukan perbandingan antara pajang dan lebar sebuah pintu, pigura, serta buku-buku atau majalah. Malahan konon biola yang baik juga mengikuti hukum itu. Salah satu hukum The Golden Section menyebutkan memotong garis tertentu sehingga perbandingan potongan yang pendek dengan yang panjang sama dengan yang panjang dengan seluruh garis itu. Menurut hukum itu potongan garis yang dimaksud kurang lebih berbanding 2 : 3 sama dengan, 5 : 8 sama dengan 8 : 13, sama dengan, 13 : 21 dan seterusnya (Herbert Read, Pengertian Seni I, 1971,8).

Ukuran a bah bangun di Bali dapat dipakai menentukan perbandingan antara, panjang, lebar dan tinggi ukuran kepala petulangan. Seperti kepala petulangan singa adalah: 3 :2 : 2. sedangkan ukuran kepala petulangan lembu: 2 : 1 : 1. Panjang dan tinggi petulangan dengan perbandingan: 1 : 1 yang disebut perbandingan yang sama (amrepatan). Ukuran perbandingan ini adalah ukuran yang dianggap paling ideal dan indah selama ini. Dengan mengikuti perbandingan itu disertai dengan cita rasa yang tinggi akan tercipta karya petulangan yang mengandung unsur keindahan bentuk dan proprsi yang sempurna yang bersumber pada keindahan alam. Keindahan ini rupanya masih dibayangi oleh keindahan klasik yang memandang bahwa nilai keindahan tertinggi ialah berbentuk sempurna, berproporsi sempurna, mulia dan tenang yang merupakan bentuk idealis dari bentuk manusia (SunjoyoDrs.TinjauanSeni,1976,28).

Ditinjau dari unsur hiasan petulangan, ukuran disesuaikan penempatannya dengan bentuk petulangannya. Unsur-unsur hiasan berfungsi untuk menambah keindahan dengan mengikuti kaedah-kaedah ornamen misalnya hiasan ditempatkan seserasi mungkin pada bagian-bagian tertentu sehingga dapat menambah keindahan dan memperkuat bentuk. Hiasan takep pala dan takep piah ditempatkan di antara badan dan paha, dapat memperkuat bentuk badan dan paha. Fungsi lain dari hiasan ialah menciptakan keseimbangan (balance) antara bagian-bagian yang sangat dominan pengaruhnya menjadi lebih serasi. Misalnya hiasan badong pada leher, hiasan takep jit (tutup pantat), kuer dan sebagainya. Hiasan badong yang digantungkan di leher, diperhatikan tingginya agar leher tetap baik kelihatan dan tidak tertutup semuanya. Demikian pula hiasan lainnya pemasangan harus memperhatikan ukuran, bidang yang dihiasi untuk memperoleh keseimbangan keharmonisan antara bidang dan hiasannya, sehingga pengaruh dominan atau kontrastik dapat diserasikan. Disamping keindahan bentuk proporsi anatomi dan hiasan keindahan warna, tekstur sangat menarik pula kesadaran keindahan kita. Hubungan antara warna kain pembalut petulangan dengan kertas emas yang sangat mengkilap menimbulkan kesan yang kontras. Kesan kontras warna dari kedua bahan itu dapat didamaikan atau dinetralisir dengan warna benang yang berfungsi sebagai pinggiran bentuk hiasan (pengampad), yang berada disampingnya. Benang yang dari bahan katun selain sebagai pinggiran ukiran, dipakai pada lingkaran mata. Benang dengan berbagai warna berdekatan, keharmonisan dapat dicapai dan kesan kontras dihindarkan. Lingkaran mata tampak membulat dengan pancaran yang terang dan tajam memberikan kesan lebih hidup pada petulangan. Hiasan tanduk pada petulangan lembu hanya dibalut dengan kertas emas yang diremas, dengan guratan yang melingkar-lingkar mirip dengan guratan tanduk sapi, menimbulkan tekstur terpecah, memancarkan sinar berkelip-kelip sebagai kilauan batu permata. Hiasan lain seperti rambut petulangan bentuk singa dari bahan alami yaitu dari akar pakis. Tampak berombak, warna hitam lembut alami tanpa ada tambahan bahat cat, berkesan menyatu dengan warna bok api dari kertas prasban (kertas emas), dengan warna pembalut petulangan dan dengan warna benang, menimbulkan warna yang serasi. Semua hiasan yang terdiri dari berbagai material, warna dan tekstur yang berbeda, setelah berada dalam bentuk petulangan, merupakan satu kesatuan yang harmonis, mengandung nilai estetitik dan artistik tersendiri yang menarik perhatian bagi masyarakat.

Keindahan Di Balik Tragedi

Keindahan Di Balik Tragedi

Oleh I Made Saryana

Suzuki Carry Pick Up Ringsek, 2006Berawal dari ketidaksengajaan, sekitar bulan November 2005, ketika saya dalam suatu perjalanan menuju Gunung Kidul untuk melakukan persembahyangan, di kanan kiri Jalan Wonosari selintas terlihat tumpukan mobil ringsek bekas tabrakan berserakan,  berwarna-warni dengan berbagai merek. Hal tersebut mengusik pikiran saya untuk melakukan pengamatan khusus lebih mendalam. Dermawan  (1994: 12) menyatakan, ‘’seperti halnya pelukis hiper-realis Amerika yang tersohor  yaitu Andrew Wyeth juga sering menciptakan karya dengan mengetengahkan objek-objek unik, yang tak diperhatikan orang’’. Memang banyak sekali hal-hal yang dianggap sebagian besar orang sebagai sesuatu yang tidak berguna tetapi oleh seniman yang kreatif justru sebaliknya. Benda-benda seperti itu bisa saja diolah atau didaur-ulang kembali menjadi sesuatu yang ‘’baru’’, bernilai dan bermanfaat, atau dijadikan inspirasi dalam penciptaan karya seni.

Dalam memantapkan tema ini, saya melakukan pengamatan lagi ke beberapa kantor Polisi, baik di Yogyakarta maupun di Bali. Biasanya di kantor-kantor Polisi tersebut terdapat tempat penampungan kendaraan bekas tabrakan. Di tempat ini, puluhan mobil dan ratusan sepeda motor berserakan begitu saja dalam keadaan ringsek, hancur berkeping-keping, penyok, bercat aus kena hujan dan teriknya matahari, hingga benda yang sebelumnya berharga puluhan hingga ratusan juta menjadi tidak berharga lagi.

Transportasi telah berkembang menjadi salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar. Itulah sebabnya, mulai dari kegiatan tunggal yang paling sederhana sampai kegiatan hidup yang multicorak, transportasi selalu menjadi bagian yang penting. Transportasi dapat diartikan sebagai usaha memindahkan, menggerakan, mengangkut, atau mengalihkan suatu objek dari satu tempat ke tempat lain, di mana objek tersebut lebih bermanfaat atau dapat berguna untuk tujuan-tujuan tertentu (Miro, 2005: 4).

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mempercepat proses perkembangan di bidang transportasi yang dari waktu ke waktu terus berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Misalkan dari orang berjalan kaki kemudian dapat menaiki sepeda, motor, mobil, transportasi laut maupun pesawat terbang, sehingga jarak dari satu pulau ke pulau lain atau jarak dari satu negara ke negara lain, bukanlah menjadi hambatan lagi.

Disadari bahwa kemajuan di bidang transportasi telah banyak memberikan dampak yang positif bagi kehidupan manusia, namun ternyata juga diiringi oleh dampak negatif  yang dapat merugikan diri manusia sendiri. Polusi udara adalah salah satu contoh sisi negatif yang disebabkan akibat pembuangan gas dari pembakaran alat-alat transportasi saat ini. Contoh lain adalah tragedi kecelakaan sepeda motor, mobil, kereta api, jatuhnya pesawat terbang, bahkan tenggelamnya kapal di lautan yang tentunya juga menimbulkan kerugian material maupun korban manusia yang dapat menyebabkan cacat ataupun kematian. Penggunaan alat-alat transportasi tersebut ibarat sebuah ”pedang bermata dua”, di satu sisi memberikan manfaat dan di sisi lain dapat menghancurkan.

Rapuhnya tatanan transportasi Indonesia yang dikembangkan  tanpa landasan riset teknologi dan kebijakan kuat, memunculkan berbagai persoalan yang mengancam keselamatan dan keamanan pengguna jasa angkutan. Dari data lakalantas tercatat lebih dari 30.000 orang mati dan 1,2 juta orang luka-luka setiap tahunnya. Sepeda motor yang merupakan 72 % dari jumlah kendaraan di Indonesia, sebagai penyumbang terbesar yaitu 73 % dari kecelakaan. (Parikesit, 2007: 1-2)

Terjadinya kecelakaan disebabkan oleh beberapa hal seperti: faktor kerusakan pada salah satu bagian kendaraan dan faktor manusia yaitu: kelalaian  dari pengendara,  mabuk, mengantuk, ketidakdisiplinan, melanggar rambu-rambu lalu lintas atau karena sempitnya jalan dan sebagainya.

Sebagai peristiwa, kecelakaan menyisakan paling tidak dua realitas, antara yang berkaitan dengan implikasi mental/psikologis, dan lainnya menyangkut fakta-fakta benda yang secara otomatis menciptakan ’’makna’’ baru, atau malah peralihan ke ’’makna’’ lain.

Tumpukan Mobil Bekas Tabrakan, 2007Bagi saya, realitas benda-benda dari mobil yang penyok, cat mengelupas, hingga struktur kendaraan yang tergeletak, atau hangus terbakar, adalah realitas fakta benda yang telah mengalami peralihan ’’makna’’. Sebuah realitas makna paradoks; antara makna yang menunjuk ke sisi traumatik, dan makna yang menunjuk ke artistik visual. Pada makna paradoks inilah, saya menempatkan eksplorasi kreatif penciptaan karya fotografi saya. Berdasarkan pengamatan saya, tercipta sebuah komposisi visual yang tak terduga, ketika kendaraan yang sebelumnya (pra-peristiwa) dikonstruksi dengan sedemikian bagusnya tiba-tiba bertabrakan hingga memunculkan efek: ringsek, penyok, maupun hancur berkeping-keping namun unik dan menarik. Di sinilah saya melihat ’’makna keindahan’’ di balik sebuah tragedi.

Dengan memilih bagian-bagian tersebut yang paling unik dan menarik untuk difoto dengan meng-close up objek tersebut maka terciptalah karya fotografi yang memiliki nilai estetik dan artistik yang khas, maka tajuk penciptaan karya fotografi tugas akhir ini adalah ”Keindahan di Balik Tragedi”.

Berdasarkan penjelasan pada bagian latar belakang penciptaan, maka ide penciptaan dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana proses penciptaan karya fotografi yang berdasar pada pemahaman keindahan di balik tragedi dengan mengeksploitasi subjek fakta benda sebagai akibat kecelakaan transportasi (mobil ringsek, penyok, pecah dan sebagainya) dapat divisualisasikan menjadi karya fotografi ekspresi yang kreatif.

Sedangkan orisinalitas dalam karya saya adalah: menampilkan sisi keindahan bagian-bagian mobil yang ringsek akibat kejadian tabrakan, yang menekankan pada komposisi bentuk,  warna, tekstur, garis, bidang dengan memanfaatkan ikon-ikon yang ada sehingga tercipta karya estetik kreatif. Walaupun sebelumnya telah ada seniman yang memanfaatkan mobil sebagai tema dalam karya-karyanya, baik karya lukis maupun karya fotografi, hal ini dapat dipastikan memiliki  perbedaan dari ide/konsep maupun visualnya.

Gender Wayang Style Kayumas Denpasar: Analisis Struktur Musikal

Gender Wayang Style Kayumas Denpasar: Analisis Struktur Musikal

Laporan Penelitian Hibah I-Mhere Batch III

Oleh: Ni Ketut Suryatini, SSKar., M.Sn dan Ni Putu Tisna Andayani, SS

Abstrak

Gender WayangSemakin berkembangnya minat masyarakat terhadap instrument musik gender wayang ini, menjadi suatu tantangan bagi peneliti untuk lebih mendalami terutama dari aspek struktur unsur-unsur musikalnya. Beberapa kalangan pemerhati seni karawitan beranggapan bahwa instrumen Gender Wayang mememiliki tingkat kesulitan yang tinggi untuk mempelajarinya terutama bagi pemuda. Dengan mengetahui gambaran yang lebih jelas unsur-unsur musikal yang terdapat pada instrumen gender wayang, maka diharapkan instrumen ini akan lebih diperhatikan baik oleh seniman praktisi ataupun dari sudut ilmiah.

Unsur musikal sering pula disebut asosiasi musikal (musical association) yaitu hal-hal yang berhubungan langsung dengan unsur-unsur musik itu sendiri misalnya nada, ritme, tempo, struktur, ornamentasi. Gender Wayang sebagai salah satu instrumen musik tentu dapat pula dikaji melalui unsur-unsur musiknya, khususnya dalam hal ini gender wayang style Kayumas.

Kalau kita lihat lebih mendalam terdapat banyak keunikan yang kita jumpai pada unsur musikal gender wayang terutama pada motif kotekan (interlocing figuration). Hal-hal inilah yang ingin diungkap dalam penelitian ini.

Metode yang digunakan untuk menelusuri keunikan pada unsur musikal gender wayang Kayumas yaitu melalui pemilihan sample-sample gending yang sering dimainkan oleh Bapak I Wayan Konolan dalam mengiringi pertunjukan wayang kulit ataupun pada saat upacara agama. Selain itu memakai pula sample gending gender wayang dari Sukawati sebagai alat pembanding.

Secara keseluruhan target jangka panjang yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu menarik minat dari seniman musik baik lokal maupun mancanegara untuk lebih menekuni dan mencintai gender wayang, sehingga bisa mendudukkan Gender Wayang sebagai alat musik yang sejajar dengan alat musik seperti halnya piano, biola dan sebagainya. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi yang bermanfaat sebagai bahan informasi, disamping dapat menanamkan apresiasi budaya dikalangan masyarakat utamanya generasi muda sebagai generasi penerus demi kelangsungan budaya bangsa.

Bentuk dan Proporsi Anatomi Petulangan

Bentuk dan Proporsi Anatomi Petulangan

Oleh I Dewa Made Pastika (Dosen pada Jurusan Kriya Seni Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar.

Petulangan dalam upacara NgabenSecara umum bentuk petulangan terdiri dari bagian-bagian kepala, badan, kaki dan ekor. Bentuk akan mencapai kesempurnaan bila ada per-bandingan yang selaras antara kepala, badan, kaki dan lainnya. Secara umum perbandingan ditentukan dari penampang kayu untuk kepala petulangan. Misalnya penampang kayu untuk kepala sebesar: 40 x 40 cm, maka panjang badan untuk mendapatkan proporsi yang baik adalah 5 x 40 cm = 200 cm. Tinggi petulangan diukur dari punggung bagian depan sampai alas sama dengan panjang badannya. Panjang leher sama dengan panjang dagu. Tinggi tanduk (untuk petulangan bentuk lembu) sama dengan panjang kepala. Teli-nga tingginya sama dengan jarak dari mata sampai pangkal telinga. Tinggi ekor sama dengan tinggi kepala. Perbandingan bagian bentuk kepala lembu ditentukan dari penampang balok kayu yang disediakan untuk kepala. Ukur-an kayu antara panjang, lebar dan tinggi berbanding: 2 : 1: 1. Dari bidang samping kayu ditarik garis pertolongan yaitu: dua garis sejajar yang mem-bujur dan dua garis sejajar yang melintang, membagi bidang-bidang yang sama. Dari garis pertolongan tersebut ditentukan letaknya mata, tanduk, teli-nga, mulut serta hidungnya. Mata letaknya pada perpotongan garis yang me-lintang di atas dengan garis membujur yang dimuka. Tanduk letaknya pada garis membujur di belakang. Pangkal telinga letaknya lurus dengan garis mata pada garis lintang yang di atas. Balok kayu untuk kepala singa ber-ukuran antara panjang, lebar, dan tinggi berbanding: 3: 2 : 2. Pada bidang samping kayu ditarik pula dua garis sejajar yang membujur dan dua garis se-jajar yang melintang. Perpotongan garis menentukan bagian-bagian kepala. Ujung mata letaknya pada perpotongan garis melintang yang di atas dengan garis membujur yang dimuka. Pangkal telinga letaknya lurus dengan letak mata dan ujung hidung. Lebar mulut lurus kebawah dengan sudut mata. Kepala petulangan bentuk–bentuk lainnya hampir sama dengan petulangan bentuk lembu dan singa. Seperti petulangan bentuk menjangan mengikuti perbandingan petulangan bentuk lembu. Dibedakan moncongnya lebih kurus dan agak memanjang sehingga berkesan lebih langsing.

Petulangan bentuk singa kaang, macan, naga kaang, gedarba, bentuk dan ukurannya hampir sama dengan petulangan singa. Singa kaang wajah-nya mirip singa, sedangkan petulangan macan mirip wajah harimau dan na-ga kaang sebagai wajah kepala ular besar atau patung naga sebagai penghias bangunan di Bali. Petulangan bentuk sudang-sudangan dan gajah mina, ke-duannya stilisasi bentuk ikan. Sudang-sudangan berkepala ikan dengan gigi dan taring yang tajam, sedangkan gajah mina, ikan berkepala gajah, dengan belalai serta gigi yang datar dan sirip ekor.

Ukuran dan bentuk kaki petulangan disesuaikan dengan panjang badan. Kalau panjang badan 5 x 40 cm, maka panjang kaki 2 x 40 cm, untuk kaki bagian belakang. Sedangkan kaki muka 10 cm lebih panjang dari kaki belakang. Kaki muka bentuknya agak lurus dan kaki belakang agak bengkok pada siku kaki. Anatomi dan proporsinya disesuaikan dengan bentuk bina-tang sapi untuk petulangan lembu dan petulangan singa disesuaikan dengan bentuk anjing. Petulangan singa ada pebedaan anatomi perut, yaitu perut petulangan lembu cembung agak ketengah dan petulangan singa cembung-nya agak kemuka. Proporsi dan anatomi jenis petulangan lainnya seperti: petulangan bentuk macan, menjangan, naga kaang, gedarba dan lainnya disesuaikan dengan bentuk binatangnnya.

Musik Keroncong

Musik Keroncong

Kiriman Ni Wayan Ardini, S.Sn., MSi

Malam Dies Natalis 2009Musik keroncong yang menjadi bagian dari budaya musik Indonesia, didalamnya terdapat karakteristik yang mengandung nilai-nilai budaya universal, seperti halnya musik-musik yang lain. Musik keroncong memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan bentuk musik lainnya yang muncul dari perpaduan antara elemen-elemen musikal, musik pengiring dan teknik penyajiannya.

Perkembangannya lagu-lagu modern yang dikeroncongkan menjadi keroncong modern. Ide ini tercetus karena adanya kejenuhan dalam mendengarkan keroncong gaya lama yang statis. Keroncong modern terbentuk dari; lagu-lagu pop Indonesia; lagu-lagu pop Barat; Lagu-lagu semi klasik Barat dan dan lagu-lagu daerah. Kesemuanya itu sebagai bentuk kreativitas para musisi dalam upaya meningkatkan mutu, mengembangkan dan melestarikan musik keroncong.

Kota Denpasar sebagai wilayah objek studi ini kaya dengan potensi di bidang seni budaya, salah satunya adalah seni musik keroncong. Musik keroncong belum mampu berkembang seperti jenis musik lainnya, namun musik keroncong mampu bertahan di tengah-tengah masyarakat. Untuk meningkatkan eksistensinya pemerintah dan berbagai pihak swasta tetap melakukan upaya pelestarian melalui lomba-lomba seperti event PSR, pemilihan BRTV, dan penyiaran melalui stasiun radio dan televisi, baik nasional maupun swasta. Di samping upaya tersebut di atas, keberadaan hotel dan restoran memberikan peluang yang sangat besar untuk lebih meningkatkan eksistensinya melalui pertunjukan secara rutin maupun insidental. Adanya upaya-upaya tersebut menyebabkan aktivitas musik keroncong di Kota Denpasar cukup semarak.

Secara khusus aspek estetika musik keroncong muncul dari perpaduan berbagai aspek baik musikal maupun non musikal. Perpaduan tersebut dapat dikaji sebagai berikut.

Pada umumnya seniman dalam berkreasi selalu memiliki atau mengharapkan tujuan yang jelas. Mereka punya juga mempertimbangkan apakah yang dilakukan hanya sebatas untuk presentasi estetis, atau hanya sebagai hiburan belaka. Apabila bertujuan sebagai presentasi estetis, maka seorang seniman mengharapkan adanya penikmat. Untuk tujuan hiburan, maka yang dipentingkan adalah peran serta siapa yang ingin menghibur diri. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa posisi seni dalam masing-masing masyarakat berbeda-beda.

Sebagai salah satu bentuk kesenian yang berkembang di masyarakat, kehadiran musik keroncong mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1) fungsi pendidikan 2) fungsi hiburan, 3) fungsi ekonomi, 4) fungsi sosial.

Fungsi Pendidikan

Karya seni dalam bentuk lagu-lagu keroncong merupakan salah satu media penting untuk pendidikan informal bagi masyarakat. Nilai-nilai pendidikan dapat diperoleh melalui lirik/syair yang tertuang dalam lagu. Masyarakat dapat memahami ajaran agama, budi pekerti dan ajaran lainnya yang berguna dalam meningkatkan eksistensinya.

Fungsi Hiburan

Musik atau lagu merupakan salah satu jenis bentuk konsumsi bagi kebutuhan batin manusia yang tergolong kebutuhan sekunder. Ketika mereka mengalami ketegangan atau kejenuhan setelah menyelesaikan suatu pekerjaan, atau sedang mengalami masalah, dengan mendengarkan musik merupakan salah satu upaya untuk melepaskan ketegangan. Musik merupakan salah satu hiburan yang cukup mudah untuk didapatkan baik melalui radio, televisi, MP3, maupun Hand phone.

Fungsi Ekonomi

Sebelum menjadi sebuah hasil komoditas, musik keroncong hanyalah sebagai karya seni yang berfungsi sebagai penyegar rohani atau hiburan di kala sedang beristirahat. Namun, keberadaannya kini telah beralih fungsi, disamping berfungsi hiburan juga berfungsi ekonomi. Hal ini berkat hasil sentuhan teknologi modern yang merupakan hasil budaya populer sehingga menjadikan lagu-lagu tersebut mulai memperlihatkan eksistensinya melalui bentuk penyajian. Berbagai bentuk komodifikasi diciptakan untuk mengemas lagu-lagu tersebut agar dikenal dan populer di masyarakat. Kemasan dalam bentuk kaset dan VCD ternyata mendapat sambutan hangat dari masyarakat, terutama bagi penggemar lagu-lagu keroncong. Larisnya peredaran kaset dan VCD tidak saja menguntungkan bagi pemilik modal yaitu studio rekam, tetapi penyanyi, pemusik dan pencipta lagu juga merasakan ikut mendapatkan keuntungan dari segi materi.

Fungsi sosial

Ungkapan-ungkapan seni, baik yang seni ”adiluhung” maupun yang ”hiburan” di samping memiliki nilai estetis tentulah juga mempunyai fungsi-fungsi sosialnya (Edi Sedyawati, 2006:131). Fungsi sosial dalam kesenian dapat dilihat dari isi yang terdapat pada suatu bentuk kesenian yang bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat atau penonton agar bisa berbuat sosial terhadap lingkungan sekitarnya.

Fungsi sosial dalam musik keroncong, bisa dilihat dari peranan lagu-lagu keroncong yang dinyanyikan untuk kepentingan sosial dalam masyarakat. seperti misalnya dalam kegiatan syukuran, acara pernikahan. Dengan tujuan untuk menghibur para undangan yang menghadiri acara tersebut.

Gamelan Gong Gede Di Pura Ponjok Batu Singaraja: Kajian Nilai-Nilai Ritual

Gamelan Gong Gede Di Pura Ponjok Batu Singaraja: Kajian Nilai-Nilai Ritual

Laporan Penelitian IMHERE PS. Seni Karawitan

Oleh Pande Gede Mustika,S.Skar.,MSi (Ketua) dan I Gede Mawan,S.Sn(Anggota)

ABSTRAK

Gamelan gong GedeKeberagaman jenis gamelan Bali merupakan kekayaan khasanah seni musik tradisional Bali. Dari kurang lebih 30 jenis barungan yang ada, masing-masing memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan satu dengan yang lainnya. Gamelan Gong Gede sebagai salah satu jenis gamelan yang tergolong gamelan madya yang berlaras pelog lima nada dengan memiliki ciri khas dalam aspek bentuk, musikalitas, serta teknik permainannya.

Dalam penelitian gong gede akan dikaji dari sudut pandang kajian budaya dengan penekanan pada masalah pokok yaitu : bentuk, fungsi, dan Nilai-Nilai Ritual gamelan gong gede di Pura Purwa Sidhi Ponjok Batu Singaraja. Untuk membahas serta menganalisis rumusan masalah, digunakan beberapa teori yaitu ; teori struktural-fungsional, teori estetika, dan teori semiotika. Teknik pengumpulan data yang diterapkan adalah teknik observasi-partisipasi, teknik wawancara, teknik dokumentasi, dan teknik studi kepustakaan. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif analisis yang bersifat kualitatif.

Barungan gamelan gong gede mempunyai orkestra atau insrumen yang paling banyak serta instrumentasinya besar-besar, dan merupakan musik tradisi Bali yang memakai laras pelog lima nada atau juga disebut dengan pelog panca nada. Secara musikalitas gamelan gong gede terwujud dari warna suara yang beragam, secara fisik dapat didominasi oleh instrumen yang berbilah dan instrumen bermoncol. Warisan budaya luhur ini dapat dipertunjukan dalam menunjang kegiatan upacara keagamaan khususnya pada upacara dewa yadnya, dengan menampilkan jenis-jenis tabuh lelambatan klasik pegongan dimana sangat terikat oleh uger-uger tabuh. Sedangkan teknik pukulannya memakai motif kekenyongan yang memakai tempo relatif pelan, membawa sifat keagungan, tabuhnya panjang-panjang serta mempunyai jati diri yang kuat.

Dilihat dari segi fungsinya pertunjukan gamelan gong gede di Pura Purwa Sidhi Ponjok Batu, memang sengaja dibuat dengan fungsi sebagai persembahan menunjang sarana upacara, khususnya upacara dewa yadnya. Di dalam fungsi pertunjukan tersebut akan dikaji dengan teori struktural-fungsional. Masalah fungsi pertunjukan gamelan gong gede, itu terjadi sejalan dengan konsep desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).

Gamelan gong gede di Pura Purwa Sidhi Ponjok Batu, sarat dengan makna-makna yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia yang dapat ditangkap baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung makna itu dapat ditangkap melalui fenomena, sedangkan secara tidak langsung dapat ditangkap melalui renungan yang mendalam. Makna yang dimaksud meliputi makna filosofis dengan nilai-nilai yang terdapat didalamnya seperti makna religius, makna keselamatan, makna pelestarian budaya, dan makna keseimbangan. Dengan demikian dalam makna dapat dikaji dengan teori semiotika, dengan ungkapan emosional dari pelaku seni yang terwujud dalam gamelan gong gede lewat bahasa musik, serta simbol-simbol yang mengandung makna.

Kata Kunci: Gamelan Gong Gede ,Pura Purwa Sidhi Ponjok Batu,Nilai-Nilai Ritual.

Loading...