by admin | Apr 2, 2010 | Artikel, Berita
Oleh : I Made Sumantara, S.Sn., Jurusan kriya, FSRD, DIPA 2008
Abstrak penelitian
Penelitian merupakan penelitian kasus dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Obyek penelitiannya adalah Patung Kreatif Karya Ida Bagus Putu Gede Sutama. Pematung ini lahir di Banjar Taman Sari Desa Sanuir Denpasar, tanggal 21 Juli 1957. Bahan-bahan yang dipakai berkarya adalah kayu,batuan, dan benda-benda temuan laninnya yang dianggap tidak berguna sesuai peruntukannya. Bahan-bahan tersebut dapat ditemui dalam bentuk benda bekas seperti alat bajak petani disawah, perahu, sampan, kayu bekas bangunan, batu karang dengan berbagai tekstur, potongan kayu yang kualitasnya masih baik tetapi bentuknya kurang baik, sampai kayu yang mulai lapuk dan lain-lain. Sedangkan alat yang dipakai dalam berkarya adalah pahat, gergaji, kapak, dan lain-lain. Proses berkarya diawali dengan pemahaman terhadap struktur artistik alami bahan-bahan yang digunakan. Prose ini sebetulnya telah dimulai sejak bahan tersbut diperoleh ayau ditemukan. Bahan tersebut direnungkan dalam pikiran tentang kedalam bentuk apa bahan tersebut dapat diwujudkan. Setelah proses ini matang dan ada ketetapan, maka tahapan selanjutnya adalah mencari hari baik untuk memulai memvisualisasikan ide tersebut kedalam bentuk karya patung.
Tema-tema yang diungkapkan disesuaikan dengan bentuk material yang digunakan, karena bentuk yang diwujudkan mengikuti bentuk bahan. Sebagai orang Bali, kebaliannya muncul pada karya-karyanya dengan mengangkat nilai-nilai tradisi masyarakat Bali. Karya-karya pematung ini dikatagorikan sebagai patung kreatif karena mampu menampilkan karya-karya berkualitas dengan bahan yang tidak lasim dipergunakan oleh pematung pada umumnya. Karya pematung ini dapat dilihat dalam dua kelompok yaitu pertama dalah kelompok yang termasuk bentuk abstraktif filosfis karena bentuknya dideformasi atau disederhanakan (kelainan bentuk) dan distorsi (kelainan proporsi). Sedangkan pesan yang dapat disimak dari karya-karya pematung ini adalah ada yang hanya sekedar menyampaikan ikon benda yang menjadi sumber inspirasinya dan ada juga menyampaikan makna-makna tertentu yang bersifat pembelajaran, kritik sosial dan kebedaan manusia dengan berbagai fenomena kehidupannya. Keberhasilan pemahaman makna tersebut oleh masyarakat sangat tergantung dari tingkat kemampuan dan pengalaman masyarakat. Sikap seniman yang peduli terhadap benda-benda yang dianggap second hand sebagai karya perlu di apresisi dan sebagai sumber belajar. Karena ini berarti peduli terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan. Hal ini perlu terus didesiminasikan baik terhadap seniman maupun masyarakat luas.
by admin | Apr 1, 2010 | Artikel, Berita
Oleh : Drs. I Wayan Suardana, M.Sn., Jurusan Kriya Seni, FSRD, Penciptaan 2008
Abstrak Penelitian
Setiap upacara adat dan keagamaan di Bali memrlukan Upakara sebagai wujud dari Upacara tersebut, dan disesuaikan dengan jenis dan tujuan Upacara yang dilakukan. Material Upakara sebagain besar merupakan segala hasil dari lingkugan alam yang ada yang diolah sedemikian rupa dan jadulah suatu bentuk tertentu yang secara visual mengandung nilai estestis yang tinggi. Disamping kandungan estetis yang tinggi didalamnya juga terkandung nilai filosofis dengan penuh makna dan arti.
Keagungan dan kemuliaan segala peralatan Upacara dan didukung dengan prosesi Upacara yang sngat meriah dan kusuk memperlihatkan betapa sucinya dan indahnya Upakara tersebut. Segala sesuatu penuh makna dan penuh arti dan secara visual memancarkan kandungan nilai estetis yang tak ternilai harganya. Kebahagiaan dan kebanggaan akan muncul di hati orang atau masyarakat apabila mereka telah melaksanakan Upacara secara lengkap dan meriah.
Pelaksanaan Upacra persembahan telah selesai, maka segala Upakara yang disebut dengan Lugsuran atau Paridan sudah dapat dipindahkan dan dirapikan. Bagian dan kondisinya masih baik dapat dimakan atau dapat digunakan untuk yang lainnya, tetapi bagian yang tidak berguna dapat dibuang sebagai sampah. Sesuatu yang sangat mulia dan sangat agung dalam beberapa hari atau menit saja kemudian sudah menjadi sampah yang tidak berguna bahakan dianggap mengganggu.
Dari kaca mata artistik puing-puing Upakara ternyata tidak hanya sampah belaka, tetapi suatu yang sngat menarik dan mengandung nilai estetis yang tinggi. Puing-puing Upakara merupakan suatu media yang sangat artistik yang sungguh sangat sayang dibuang begitu saja. Fenimena di atas melahirkan sebuah konsep penciptaan yaitu “Tebuang Sayang” yang dilatar belakangi oleh aktifitas Upacara keagamaan, dimana totalitas religius yang kuat sebelum pelaksanaan Upakara tidak dibarengi dengan penghargaan setelah upacara selesai. Sungguh sangat sayang sebuah karya seni yang agung dan artistik dibuang begitu saja tatkala sudah dianggap tidak berguna lagi dan menjadi puing-puing sampah yang tak karuan.
Dari hasil eksplorasi yang penggarap lakukan, penggarap berhasil membuat beberapa rancangan disain kriya murni dalam bentuk dua dimensional yang diaktualisasikan dengan teknik ukir. Teknik pahatan yang digunakan disini sedikit keluar dari pakem kriya selama ini yang mana pahatan harus dimunculkan secara unik, rumit, halus dan sebaginya. Namun dalam karya ini pahatan ditampilkan secara ekspresif yang penuh dengan kebebasan baik melalui garis, bidang, ruang dan tekstur. Pahatan ekspresif ini digunakan untuk menghilangkan image selama ini bahwa untuk menghasilkan sebuah karya kriya memerlukan ketekunan dan waktu yang relatif lama. Disamping itu juga untuk menjawab bahwa dalam kriya itu juga ada gagasan dan ekspresi dan bukan hanya kemampuan ketrampilan belaka. Finishing dalam karya ini menggunakan eksperimen warna yang ditampilkan baik secara pelakat maupun transparan dengan goresan kuas yng ekspresif. Penggunaan warna sebagai finishing karya ini karena ingin memunculkan warna yang sebenarnya dari sumber obyek yang ada. Centre of interes juga akan dimunculkan dari proses pewaqrnaan ini. Warna yang digunakan adalah warna akrelic yaitu warna pencair air yang dapat diolah dengan mudah. Pencampuran dan permainan warna akan diadakan di atas material sehingga kan menjadi warna komplementer yang scara visual warna menjadi dominan. Finishing akhir dipoles dengan semir kiwi untuk mencari kilap yang mncul dari dalam kayu.
by admin | Apr 1, 2010 | Artikel, Berita
Oleh : Drs. I Nyoman Parnama Ricor, Jurusan Desain, FSRD, DIPA 2008
Abstrak penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif, pengambilan data dilakukan dengan teknik sampel. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya sampel dalam populasi sehingga tidak memungkinkan semua diambil disamping itu dukungan dana yang tidakmemadai. Untuk mengumpulkan data perkembangan ornamen di Denpasar dilakukan dengan teknik pengamatan terhadap subyek penelitian dengan memperhatikan tanda-tanda yang ada pada sumber data tersebut. .Dengan demikian pendekatan. Dapat dikatakan sebagai pendekatan semiotik. Dengan memperhatikan tanda-tanda tersebut dapat diketahui perkembangan ornamen pada bangunan tersbut, sehingga dapat dijelaskan antara bangunan yang baru. .sesuai dengan variabel dan tujuan penelitian yang diajukan, maka dapat dijelaskan sebagai berikut Perkembangan bahan/meterial banguan termasuk ornamen yang terjadi saat ini di Kota Denpasar mengalami keragaman bahan baku. Pada bangunan-banguan tua seperti pada banguan –banguan suci bahan-bahan yang digunakan hanya bata merah dan batu padas sebagai tambahan untuk penerapan ornamen ukiran. Namun kalau dilihat pada bangunan baru saat ini material bangunan tersbut lebih variatif, selain bata merah dan batu padas, saat ini digunakan batu padas kerobokan yang sifatnya lebih kasar dari pada batu padas ukiran yang dikenal sebelumnya. Disamping itu juga digunakan material pasir laut hitam, di Bali dikenal dengan bias melila, dimanfaatkan sebagai ornamen pelinggih padmasana, ornamen angkul-angkul, penyengker, dan sebagainya. Perkembangan terkahir adalah pemanfaatan batu candi atau batu hitam sebagai bahan pelinggih, gapura, maupun penyengker suatu banguan suci.
Perkembangan motif ornamen yang paling menonjol kelihatan adalah pada bangunan bale kulkul, gapura an pelinggih. Hal ini nampak dari bangunan lama yang motif ukirannya tidak rapat, terkesan kaku, saat ini motif ukiran lebih luwes, rapat, rumit terkesan mewah. Motif-motif yang dikembangkan masih tetap sama seperti sebelumnya seperti karang asti, karang boma, karang tapel dan sebagainya, serta pepatran seperti patra sari, patra punggeln patra sambung, patra mesir, patra cina, emas-emasan dan lain-lain yang penerapannya dilakukan dengan teknik ukir. Dulu seorang pengukir adalah seorang penggagas motif sdangkan sekarang kebanykan pengukiur adalah seorang plagiator, yaitu seorang peniru dan penyebar motif dan style yang sudah ada. Dampaknya style ukiran dibeberapa tempat sama. Tidak ada kekhasan ukiran seorang tukang ukir atau kekhasan suatu daerah.
Pada banguan publik seperti sekolah dan perkantoran tidak terjadi perkembangan ornamen yang sioginifikan seperti yang terjadi pada gapura atau pelinggih. Penerapan ornamen hanya sebagai sebagai aksen pada beberapa tempat, wujudnya berupa pola-pola ornamen tanpa ukiran. Bahkan beberapa bangunan tampil polos dan sderhana namun tetap dapat memunculkan keindahan. Bangunan seperti itu keindahannya dapat dimunculkan dari bentuk dan karakter bahan yang digunakan. Namun beberapa publik yang membawa citra Bali menerapkan ortnamen ukiran yang sangat keltal seperti bangunan Art Centre Denpasar, BPD BaliJalan Gajah Mada Denpasar, dan Muium Bali Denpasar.
by admin | Mar 30, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Dru Hendro, S.Sen., M.Si., Jurusan Pedalangan, FSP, DIPA 2008
Abstrak Penelitian
Penelitian yang berjudul “Eksistensi Tradisional Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Lakon Bratayuda Dalam Upcara Bersih Desa Di Desa pandanan Klaten : Perspektif Budaya” ini merupakan hasil kajian terhadap pertunjukan seni tradisional wayang dikalangan masyarakat Pandanan, Klaten. Kegiatan yang masih dianggap sakral ini, pada era Globalisasi ini telah mengalami perubahan seiring dengan perubahan sikap dan pola pikir masyarakat sekarang. Perubahan itu terjadi karena respon masyarakat terutama generasi muda terhadap kegiatan ritual dan salkral itu mulai berkurang, sehingga berpengaruh terhadap semaraknya penyelenggaraan kegiatan upacara ritual.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah 1). Bagaimanakah bentuk pertunjukan wayang kulit purwa dengan lakon Bratayuda dalam upacara Bersih Desa yang diselenggarakan oleh masyarakat Pandanan, Klaten Jawa Tengah ? 2). Apakah pungsi pertunjukan wayang kulit purwa lakon Bratayuda dalam upacara Bersih Desa pada masyaraklat Pandanan, Klaten? 3). Apakah makna penyelenggaraan pertunjukan wayang kulit purwa dengan lakon Bratayuda dalam upacara Bersih Desa dengan kehidupan masyarakat sekarang? Dalam pembahasan ini digunakan teori Estetika untuk mengkaji bentuk pertunjukan wayang kulit purwa dengan lakon Bratayuda, teori Interaksionisme Simbolikuntuk membahas masalah fungsi seni pertunjukan wayang kulit purwa lakon Bratayuda pada masyarakat Pandanan, dan teori semiotika untuk menganalisa makna yang terkandung dalam pertnjukan wayang kulit purwa dengan lakon Bratayuda bagi kehidupan masyarakat Pandanan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, teknik pengumpulan data berupa pengamatan, wawancara, penelaahan dokumen, dan studi kepustakaan.
Pertunjukan wayang kulit dalam ritual Bersih Desa merupakan bentuk karya seni budaya nenek moyang yang secara budaya merupakan sinkritisme dari system religi, kepercayaan, dan adat istiadat. Proses ritual di dalam Bersih Desa merupakan bentuk system religi dan kepercayaan, sedangkan bentuk penyucian atau pelepasan denagn sajian pertunjukan wayang kulit purwa lakon Bratayuda merupakan proses pegalaman yang ditanamkan oleh lelluhurnya kepada keturunannya secara berkesinambungan sehingga masuk adat istiadat dalam ligkungan masyarakat Pandaan. Upacara ritual bersih desa sebagai bentuk religi ini masih dikembangkan sampai sekarang.
Fungsi pertunjukan wayang kulit bagi masyarakat Pandaan meliputi fungsi ritual, sosial, dan estetis. Fungsi-fungsi pada dasarnya sebagai jaringan interaksi sosial adanya rasa kebersamaan, rasa kekeluargaan, rasa solidaritas yang tinggi, dalam hidup di masyarakat. Sedangkan makna yang dapat diambil dari pertunjukan wayang kulit adalah makna estetis, makna spiritual, makna sosio-kultural, dan makna kesejahteraan.
Kata Kunci: Pertunjukan Wayang Kulit Purwa, Lakon Bratayuda, Ritual Bersih Desa, Budaya.
by admin | Mar 29, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: A.A. Gede Rai Remawa, M.Sn. Jurusan Desain, FSRD, DIPA 2008
Abstrak Penelitian
Desain interior adalah bidang ilmu baru yang sedang berkembang dan memiliki prospek yang cukup luas pada era modern ini. Semakin modern perkembangan budaya dan kehidupan maka bidang desain ini akan semakin diperlukan, untuk memberikan berbagai kemudahan berbagai aktivitas kehidupan di dalam rumah tinggal. Belakangan ini pembangunan dan renovasi rumah tinggal cenderung mengabaikan kaidah-kaidah estetika (tujuan akhir dalam bidang seni rupa dan desain). Hal tersebut terlihat pada penurunan derajat keberaturan unsur-unsur desain pada setiap desain interior bangunan baik yang direnovasi maupun pada bangunan baru.
Fenomena desain interior masa lalu secara logis dapat dijadikan pengalaman untuk mengembangkan desain interior di masa yang akan datang. Ketaatan desainer masa lalu untuk mengikuti peraturan-peraturan bangunan terlihat lebih baik apabila dibandingkan dengan kondisi saat ini. Hal ini terjadi akibat kolektivitas budaya agraris yang membimbing masyarakat untuk tunduk pada peraturan dan ajaran (Hindu). Budaya ini bertentangan dengan era sekarang yang didominasi individualitas kapitalis yang mengabaikan aturan-aturan masa lalu. Dalam konsep Bali telah dirumuskan bahwa masa depan adalah akibat dari masa kini dan masa lalu yang dikenal dengan sebutan Tri Semaya (Atita, Wartamana dan Nagata).
Konsep ruang rumah tinggal tradisional Bali Madya (Bali Arya) adalah konsep ruang yang dikembangkan dari konsep ruang Bali Age (Bali Pegunungan) dengan konsep ruang era masuknya Majapahit ke Bali yang mengalami keemasannya pada masa Dalem Waturenggong. Konsep ruang ini diterapkan dengan mengutamakan fungsi dan lingkungan. Fungsi-fungsi ruangnya mengacu pada situasi dan kondisi aktivitas penghuni pada saat itu sehingga melahirkan konsep ruang seperti yang diwarisi sekarang. Keterbatasan waktu untuk melakukan penelitian maka sesuai dengan metode yang digunakan (purposive sample) maka Desa-desa yang dipilih adalah yang berada di Kecamatan Gianyar seperti: Sukawati, Gianyar, Blahbatuh, Tegallalang, Ubud, Payangan dan Tampaksiring.
Penelitian ini akan dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif yang dianalisis dari sudut pandang desain interior untuk mengetahui desain ruang Bali Madya dan melihat secara cermat tingkat keberaturan desain yang ada pada data lapangan dan dinilai secara visual. Pembuktian akan dilakukan dengan melihat konsep dan derajat keberaturan unsur-unsur desain pada desain rumah tinggal tradisional Bali Madya (Bali Arya) khususnya yang menyangkut keberaturan garis dan bidang. Pengkhususan penelitian ini dilakukan untuk memperdalam dan mempertajam penelitian sehingga diperoleh hasil yang dapat mengembangkan materi dasar untuk kepentingan konservasi, pengembangan pembangunan rumah tinggal dan pengkayaan materi pembelajaran.
Keyword: Konsep ruang, Bali Madya, dan Keberaturan
by admin | Mar 26, 2010 | Artikel, Berita
OLEH: Ida Ayu Gede Artayani, S.Sn. Jurusan Kriya, FSRD, DIPA 2008
Abstrak Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan sample dan pembahasan dilakukan secara kualitatif. Sample diambil di Wilayah Desa Sidakarya dan Banjar Dukuh Sari Desa Sesetan. Jenis kerajinan patung yang dibuat didominasi patung-patung wanita beridentitaskan wanita Bsali. Tema-tema yang mncul pada patung ini misalnya patyung menari, patung pakaian adat Bali, patung menjunjung padi, patung orang tua dan lain-lain. Ukurannya bervariasi tergantung pesanan, muali dari 50cm sampai 150cm bahakn adayang mencapai 200cm. Kerajinan ini kebanyakan berbahan kayu suar, karena jenis kayu ini memilki garis-gais serat yang baik, cukup mudah didapat dan mudah dikerjakan. Finishingnya menggunakan bahan semir netral, tujuannya untuk memperlihatkan terstur serat bahan. Kegiatan pembuayan patung di Desa Sesetan ini sudah mulai berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, terutama setelah peristiwa Bom Bali I dan II. Peristiwa bom tersbut dianggap sebagaipenyebab utama menurunnya pasar terhadap kerajinan patung ini. Pasar yang lesu menyebabkan aktifitas perajin menjadi berkurang, sehingga untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, banyak perajin beralih proposal menjadi tukang bangunan, buruh bangunan, bertani dan pekerjaan lain sesuai kemampuannya. Namun yang perlu dicatat bahwa beberapa sentra kerajinan kayu ini masih bisa tetap bertahan. Upaya pelestarian dilakukan dengan mengikuti berbagai pameran baik diangkat lokal maupun nasional melalui dinas terkait.