by admin | Apr 19, 2010 | Artikel, Berita
Oleh : A.A.Ayu Kusuma Arini, Sst.,Msi., Ni Md. Bambang Rai Kasumari, Sst.,Msi., Cok. Istri Putra Padmini, Sst.,Msn.
Abstrak Penelitian
Tari Legong merupakan salah satu tari klasik Bali sebagai warisan budaya sejak dua abad silam. Daya tarik tarian Legong merupakan magnit tersendiri yang diakui kalangan pencinta seni tari Bali. Luwes, lentur dan gerak-gerak yang dinamis, sangat digemari wisatawan dan nampaknya akan tetap cemerlang sampai masa yang akan datang. Tari Legong di samping sebagai dasar tari putri juga menjadi primadona dari berbagai jenis tarian Bali yang paling unik di dunia.
Gaya tari Legong yang terkenal di Bali adalah gaya Peliatan, gaya Saba dan gaya Badung. Diantara ketiga gaya tersebut gaya Peliatanlah yang paling aktif melakukan pementasan secara reguler sebagai tari tontonan. Kepopuleran Legong telah dimulai sejak tahun 1931 setelah grup kesenian dari Peliatan menggemparkan masyarakat seni Eropa dalam Colonial Exhibition di Paris dengan penampilan tari Legong dan Calonarang. Demikian pula tahun 1952 untuk kedua kalinya melawat ke Eropa dan Amerika Serikat yang dibawa oleh seorang impresario Inggris, John Coast. Dengan demikian Legong Peliatanlah sebagai pelopor promosi pariwsata Bali di luar negeri. Begitu berkesannya penampilan tari Legong di London sampai-sampai BBC London memakai iringan tarinya untuk mengantar siaran bahasa Indonesia selama puluhan tahun.
Setelah sukses luar biasa di luar negeri dan sangat terkenal di dalam negeri maka segala usaha dilakukan untuk mempertahankan kekhasan gerak tarinya. Sudah tentu yang paling berjasa dalam membentuk penari-penari yang andal adalah duet A.A. Gde Mandera bersama Gusti Made Sengog yang keduanya telah tiada dengan menuangkan gaya dan perbendaharaan gerak tari yang spesifik. Pementasan secara reguler di Peliatan sejak tahun 1954 dengan kedatangan wisatawan kadang-kadang sebulan sekali, kemudian berlanjut hingga kini dengan pertunjukan tiga kali seminggu bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah bagaimana identitas Legong Lasem gaya Peliatan dan faktor-faktor apa yang mendukung sehingga tetap kontinu melakukan pertunjukan dengan mempergunakan metode deskriptif kualitatif melalui interviu pelatih tari, mantan penari serta para penabuh dan pemerhati seni di desa Peliatan. Di samping itu juga dengan mengamati dokumen yang masih tersimpan dengan baik.
Temuan dari penelitian ini adalah kekhasan gerak ngelayak, agem yang melengkung, sikap tangan yang lebih sempit, dagu yang diangkat, bahu dan belikat yang terkunci, angsel yang tersendat dan gerakan yang bergetar. Sebagai faktor prndukung tetap kontinu melakukan pementasan adalah karena kediplinan anggota untuk tetap menjaga nama baik Legong Peliatan yang sudah digandrungi penggemarnya, management yang transparan antara pimpinan yayasan dengan anggota, pembagian dana kesejahteraan bagi anggota, serta kerjasama yang baik dengan pengelola pariwisata
Hasil penelitian diharapkan menjadi sumber informasi dan pengetahuan yang signifikan bagi pencinta seni tari tentang primadona tari Bali yang tetap mempertahankan identitasnya secara terus menerus.
Kata Kunci: Kontinuitas, tari Legong Lasem gaya Pelatan.
by admin | Apr 18, 2010 | Artikel, Berita
Ringkasan Penelitian
Oleh: I Made Bendi Yudha Fakultas Seni Rupa Dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar
Masyarakat Bali yang dikenal religius, dalam hidup kesehariannya pada pelaksanaan ritual keagamaan yang disebut dengan Panca yadnya (lima jenis korban suci yang dilaksanakan dengan tulus ihklas), selalu dilengkapi dengan sarana-sarana upakara/banten sesajen yang sarat dengan berbagai jenis bentuk dan gambar berupa simbol yang religius magis. Seni banten adalah seni simbol, di mana benda-benda yang konkrit dan abstrak bisa di buat artistik seperti halnya simbol-simbol dari huruf-huruf gaib; dasa aksara, panca aksara, yang secara aplikatif memiliki fungsi yang berbeda dan terkadang saling bertentangan sesuai dengan kebutuhan serta tujuan penggunaannya.
Dari hasil pengamatan tersebut timbul penafsiran tentang suatu makna bahwa, manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, pada dasarnya memiliki dua potensi besar yang saling tarik-menarik dan melengkapi yaitu; melakukan strukturisasi/menata (order) yang berorientasi pada penataan kehidupan yang lebih baik dan melakukan penyimpangan/pertikaian bahkan penghancuran (chaos) yang cenderung menolak kemapanan. Hal ini bila pengelolaannya tidak didasari dengan konsep keseimbangan dan keharmonisan, maka akan berpengaruh terhadap tatanan sosial masyarakat yang rawan konflik dan perpecahan, sehingga menggoyahkan sendi-sendi keutuhan berbangsa dan bernegara.
Konsep keseimbangan yang terkandung dalam sarana-sarana upakara/banten sesajen bila di komparasikan dengan memaknai fenomena kehidupan yang terjadi di lingkungan masyarakat dewasa ini, nampaknya telah terabaikan bahkan ditinggalkan. Hal ini dapat dibuktikan di mana telah terjadi tindakan-tindakan penyimpangan baik terhadap alam maupun pada kehidupan manusia antara lain, terjadinya eksploitasi terhadap sumber kekayaan alam, diskriminasi di bidang hukum dan HAM , jender, serta penyalahgunaan kewenangan di bidang administrasi negara, dan akan berdampak pada meluasnya krisis ekologis dan degradasi moral, serta mempertinggi tingkat kemiskinan masyarakat.
Berdasarkan pemahaman terhadap simbol-simbol tersebut di atas, dapat dijadikan sebagai pengalaman interaktif serta sumber inspirasi, yang menstimulasi alam imaji pencipta untuk memicu bagi munculnya olah cipta rasa yang kreatif berupa ide-ide tentang nilai-nilai kehidupan. Adapun tuturan konsep filosofisnya diabstraksikan ke dalam karya seni lukis, dengan memadukan bentuk representatif dengan abstraktif melalui penerapan garis, warna dan tekstur yang variatif, serta melalui teknik impasto, sehingga mencerminkan keaslian karya seni (authenticity of the art work), yang estetik, artistik serta mencerminkan nilai kebaruan (novelty) yang personal.
Kata-kata kunci: seni lukis, simbolisasi bentuk, ruang, imaji rupa.
by admin | Apr 14, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Supriyanto Dosen Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Diterbitkan dalam jurnal AGEM 8 (1) : 1-17 september 2009
Nilai estetis yang terkandung pada tata busana dan tata rias tari bedaya secara visual terkait dengan karakter yang terdapat pada tari bedaya. Artinya penari bedaya yang edial semestinya dipilih kecuali dengan prnilaian kualitas kepenariannya, dan masih diperlukan persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan ketepatan seorang penari mengenakan dodol ageng dan rias paes ageng. Hal ini penting karena tidak semua penari yang baik dan sesuai penari bedaya bisa mengenakan busana dodot ageng dan rias paes ageng,karena ada persyaratan ketentuan fisik yang dapat memenuhi persyaratan keserasian dalam berbusana dodot ageng dan rias paes ageng. Nilai estetis yang terkandungdalam tata busana dan tata rias tari bedaya gaya Yogyakarta mempunyai kaitan erat dengan makna yang terkandung dalam tari bedaya dengan segala unsur yang terdapat di dalamnya. Sehingga apabila terjadi perubahan secara evolutif pada tata busana dan rias tari bedaya maka berarti ada kaitannya dengan makna yang terkandung pada tariannya.
Kata kunci: Tari Bedaya, dodot ageng, dan tata busana.
by admin | Apr 8, 2010 | Artikel, Berita
Oleh : Desak Made Suarti Laksmi, SSKar.,MA., Jurusan Tari, FSP Penciptaan DIPA 2008
Abstrak Penelitian
Sebuah komposisi garapan karawitan iringan tari kreasi Kupu-Kupu Kuning Angarung smudra yang mendapat inspirasi dari sejarah kerajaan karangasem tatkala meluaskan daerah kekuasaan ke Pulau Lombok pada tahun 1692. Saat itu Karangasem diperintah oleh tiga raja bersaudara dan seorang diantaranya memimpin ekspidisi mengerahkan pasukan menyebrang selat Lombok dalam empat buah perahu. Perihal ribuan Kupu-kupu Kuning sebagai pelindung dan pemberi arah empat buah perahu yang mengangkut laskar kerajaan Karangasem tersebut, telah divisualisasikan di ats kanvas dalam bentuk karya seni lukis oleh A.A. Made Djelantik. Bekolaborasi dengan A.A.A. Kusuma Arini, SST., M.Si yang bertindak sebagai penata tari, kami mengangkat kisah taburan Kup-kupu Kuning tersebut sebagai tema sentral penciptaan karya seni tari. Sebagai penata karawitan ketertarikan untuk mengimplementasikan gagasan tersebut ke dalam garapan karawitan iringan tari kreasi, dengan perkembangan struktur bentuk komposisi tradisi. Karya ini dituang ke dalam barungan gamelan semarandana dengan permainan patet untuk penunjang dinamika dramatik untuk alur tematik. Tariannya dibawakan oleh sembilan penari anak-anak permpuan sebagai tari kelompok dengan tatanan busana iminatif kupu-kupu kuning yang diinovasikan.
Adapun tujuan penggarapan ini, pertama: untuk mendesiminasikan sejarah kerajaan Karangasem; kedua, sebagai informasi kepada masysrakat bahwa peristiwa bersejarah tersebut dapat divisualisasikan kedalam bentuk karya seni tari; dan ketiga, untuk menambah khasanah repertoar tarian anak-anak.
Metode penciptaan melalui tiga tahapan, yakni tahap eksplorasi, improvisasi dan forming. Tahap eksplorasi diawali dengan menelaah buku sumber yang berjudul Kupu-kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok. Membahas secara tuntas ide penggarapan dengan parner penata iringan untuk mendapatkan kesamaan tafsir tentang tema dan wujud garapan. Tahap improvisasi dengan menggali motf-motif sekwen musik sesuai tema dan juga pengembangan ornamentasi yang dapat mendukung tarian. Tahap forming merupakan proses akhir dari penciptaan ini dengan menyusun komposisi musik secara mengalir sehingga terwujud sebuah garapan selaras dengan komposisi tarinya. Tema tarian adalah perlindungan dengan suasana patriotik dalam durasi waktu 13 menit, 10 detik. Proses penggarapan dilakukan di sanggar Seni Citra Usadhi Mengwitani Badung. Dengan menggunakan seperangkat barungan gamelan Semarandana, lebih memberi peluang terhadap kemungkinan permainan suasana, karena dalam gamelan tersebut dimungkikan untuk bermain patet lebih banyak.
Harapan penata, mudah-mudahan karya cipta yang sederhana ini dapat berkembang sebagai tarian anak-anak dimasa-masa mendatang.
Kata kunci : Semarandana, Kupu-kupu Kuning.
by admin | Apr 8, 2010 | Artikel, Berita
Oleh : I Made Gerya, S.Sn., Jurusan Kriya Seni, FSRD, Penciptaan DIPA 2008
Abstrak penelitian
Dalam penciptaan karya seni yang mengambil tema konsep rwa bineda yang memvisualisasikan lewat media kayu dan limbah kayu. Dengan pemahaman tentang konsep rwa bineda yang kental mengandung nilai dualistik dan saling bertentang satu dengan yang lainnya, tidak pernah selesai sepanjang zaman. Dan konsep rwa bineda bagi pandangan masyarakat Bali tetap eksis dan percaya dengan konsep dualistik, yang berbeda bentuk sifat dan prinsip hidup yang sering tertuang dalam konsep kiwa-tengen (ilmu hitam dan ilmu Putih). Dan ini juga mewarnai hidup manusia di jagat raya ini baik bersifat individu maupun universal, sesuai dengan ruang dan waktu di mana kita berbeda. Terkait dengan karya kriya yang mengambik tema rwa bineda sebagai konsep seni, dapat dipakai landasan dalam memahami pemilihan bahan kayu baik mewakili nilai bagus alamiah bahannya, dan ilmiah kayu yang mengandung nilai konotasi negatif. Dan dalam karya digabung menyatu, dengan pertimbangan hukum rasa estetik harmonis pribadi seniannya. Ternyata hasilya dapat menunjukan lima karya kriya kayu yang menggunakan kayu dan limbah kayu dapat diwujudkan secara nyata dan berkualitas artistik magis ekspresif.
Jadi karya dihasilkan dari pengolahan konsep rwa bineda dan limbah kayu, menunjukan motif topeng, manusia, barong, rangda, api dan air sebagai unsur penunjangnya. Dengan komposisi kontras menuju komposisi estetika harmonis, artinya banyak motif posisikan silang, sembraut, ekspretif, tetapi stelah diadakan perombakan saling menyesuaikan motif utama dan pendukung dapat menyatu secara pertimbangan estetika pribadi penciptanya. Ternyata konsep rwa bineda perlu lagi di lakukan pengkajian ulang dan pengembangan kosep dalam penciptaan karya seni dengan cara pandang yang baru dari sudut teoritis dan penciptaan seni.
by admin | Apr 7, 2010 | Artikel, Berita
Studi Kasus Promosi Restauran Bebek Bengil di Ubud Bali
Oleh : A.A. Gde Bagus Udayana, SSn., M.Si., Jurusan DKV, FSRD, Penciptaan DIPA 2008
Abstrak penelitian
Obyek Foto Food Shot adalah makan. Ia dapat berupa makan pembuka, makanan utama, makanan penutup, aneka jajanan, aneka jenis minuman dan lain-lain. Pemotretan Food Shot harus dibedakan dengan pemotretan pemandangan (landscape) atau fine art. Sebuah foto, meskip[un mengandung unsur makanan atu miniuman, tidak dapat dikatakan Food Shot apabila makanan dan minuman dalam foto tersebut aspek yang dikenakan fotogarafer bukan karya Food Shot yang terdapat dalam foto tersebut, Foto Food Shot harus memenuhi kriteria seperti diungkapkan Hanawi Winarko (2000; 52) bahwa pemotretan Food Shot tujuan utamanya adalah menampilkan unsur-uinsur makan dan minuman. Fotografer ditantang untuk dapat menghadirkan keunggulan makanan dan minukman daloam karya fotonya.
Berdasarkan atas latar belakang yang digambarkan di atas maka diajukan beberapa permasalahan sebagai berikut (1) Bagaimana proses penciptaan foto “Food Shot” dalam Desain Komunikasi Visual? (2) Bagaimana proses retouching digital dapat membantu pada foto “Food Shot” dalam Desain Komunikasi Visual?.
Metode penciptaan yang digunakan pada penciptaan bersifat “deskriptif” dengan caraq mencipakan foto “Food Shot” dengan Digital Still Life Photography dan mengiterpretasikan foto-foto serta mengidentifikasikan berdasarkan pada teori estetika dan desain.
Dalam pengambilan gambar, merupakan tata permainan cahaya. Dengan menggunakan dua buah lampu flash, satu dari kiri dengan penyinaran spot atau standar reflektor, lainnya diatas obyek dengan menggunakan soft boxx60x60. Posisi di sebelah kiri obyek 60 cm lebih kiri dari sasaran, sedangkan yang lainnya diatas obyek. Dari samping kanan diletakan selembar kertas putih yang berfungsi sebagai reflektor sekedar untuk memeberikan keseimbangan cahaya dan sebagai background menggunakan kain putih yang nantinya dapat dengan mudah seandainya dalam digital image ingin memberikan banyak variasi untuk backgroundnya. Dengan hadirnya cahaya-cahaya flash yang divariasi dengan standar reflektor dan soft box, maka warna alas yang menyatu dengan latar belakang atau background yang berwarna putih. Itu bisa menjelma dengan memberikan tidak sekedar satu warna tungal, melainkan nuansanya berbeda-beda. Di situlah inilah dan asiknya studi pemotretan Food Shot dengan berbagai lampu flash berikut asesorisnya, kita bisa mewujudkan imijinasi kita menjadi karya foto, wqalaupun tidak bisa sebebas seorang pelukis yang bekerja dengan kuas dan catnya.
Kata Kunci: Menciptakan foto “FOOd Shot” dengan Digital Still Life Photography dalam desain komunikasi visual