Ciri-ciri Tradisi Gamelan Palegongan

Ciri-ciri Tradisi Gamelan Palegongan

Oleh I Wayan Suharta Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Setiap masyarakat memiliki tradisinya sendiri. Tradisi itu meliputi segala aspek kehidupan seperti ; sosial, budaya, ethis, moral dan keagamaan. Tradisi itu hidup dalam masyarakat dan terungkap lewat bahasa, dalam perilaku dan adat-istiadatnya. Secara historis tradisi merupakan hasil pergumulan masyarakat dalam perjalanan hidupnya menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang dijumpainya. Dalam masyarakat, tradisi itu dijaga dan dilestarikan. Oleh masyarakat, lewat pendidikan tradisi itu diteruskan dari satu angkatan ke-angkatan berikutnya. Ajaran yang mementingkan tradisi yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sebagai pegangan hidup disebut tradisionalisme (Mangunhardjana, 1996 : 220).

Tradisi dapat berasal dari praktek hidup yang sudah berjalan lama berpegang pada tradisi budaya yang ada dalam masyarakat sebagai warisan nenek moyang. Para penganut tradisi budaya memandang tradisi masyarakat sebagai prinsip dan cita-cita ethisnya, serta dalam menentukan perilaku dan aktifitas ethis mereka. Kadang-kadang mempergunakan kesenian sebagai wahana pengungkapan, untuk mewujudkan bentuk-bentuk kesenian yang dapat dimaksudkan sebagai satu kategori kesenian tradisional.

Kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat pendukungnya. Cita rasa disini mempunyai pengertian yang luas, termasuk nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa ethis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan muda. Dengan ciri-ciri, tumbuh secara konstan beratus-ratus tahun, bentuknya mendetail, isinya selaras dengan keinginan orang-orang di daerah kekuasaan dan ada renungan tentang pandangan hidup (Jennifer Lindsay, 1989 : 40).

Palegongan merupakan salah satu kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar, serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat Bali pada umumnya. Gending-gending Palegongan masih sanggup bertahan dalam identitas tradisionalnya, serta mengendalikan alamnya sendiri, justru karena dalam alam musiknya terkandung nilai-nilai yang lebih dalam seperti nilai budaya, peradaban, norma, dan adat yang menyatu dengan masyarakat pendukungnya (Aryasa, 1980 : 12).

Pola-pola gending Palegongan yang sudah menjadi baku dihasilkan melalui expresi konsepsi para empu dalam keadaan suasana jiwanya yang sedang menikmati rasa kedamaian, kemegahan, kesucian dan kecemerlangan, disajikan sebagai perwujudan rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta rasa pengabdian kepada masyarakatnya, tanpa dikejar suatu tujuan balas imbalan atau sifat-sifat pamerih        yang berlebihan.

Gamelan sebagai suatu media ungkap, telah memiliki identitas tersendiri dengan kelengkapan dan wujud instrumen yang berbeda-beda, merupakan ciri tradisi gamelan Bali untuk membedakan jenis barungan yang satu dengan jenis barungan yang lain. Beberapa ciri tradisi untuk menunjukkan identitas dari gamelan Palegongan sebagai satu barungan gamelan, adalah : 1) laras yang dipakai adalah laras pelog, 2) memiliki lima sistem susunan nada-nada, 3) berdiri sendiri sebagai satu kesatuan yang disebut barungan, 4) ada sistem ngumbang-ngisep, yaitu dua buah nada yang bilahnya dibuat sama tetapi getaran suaranya berbeda, 5) bentuknya berbilah dan sebagian besar mempergunakan resonator, 6) sistem pembuatannya masih memakai sistem tradisi dengan pedoman petuding, 7) umumnya dikelola oleh sekaa sebagai organisasi tradisi.

Prinsip Seni Rupa

Prinsip Seni Rupa

Oleh: I Made Suparta, Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar

Prinsip-prinsip seni rupa adalah cara penyusuan, pengaturan unsur-unsur rupa sehingga membentuk suatu karya seni. Prinsip Seni Rupa dapat juga disebut asas seni rupa, yang menekankan prinsip desain seperti: kesatuan, keseimbangan, irama, penekanan, proporsi dan keselarasan. Desain atau yang dulu diistilahkan dengan sebutan nirmana sebenarnya secara meteri  tidak ada perubahan yang mendasar, karena semua prinsip tersebut masih seperti semula.

1. Prinsip Kesatuan

Untuk mendapatkan suatu kesan kesatuan yang lazim disebut unity memerlukan prinsip keseimbangan, irama, proporsi, penekanan dan keselarasan. Antara bagian yang satu dengan yang lain merupakan suatu kesatuan yang utuh, saling mendukung dan sistematik membentuk suatu karya seni. Dalam penerapannya pada bidang  karya seni rupa/kriya prinsip kesatuan menekankan pada pengaturan obyek atau komponen obyek secara berdekatan atau penggerombolan unsur atau bagian-bagian. Dalam kekriyaan pengaturan ini bisa dilakukan atau dapat dilakukan dengan cara permainan teknik pahatan, memformulasikan obyek, subyek, dan isian-isian pada suatu bidang garapan.

2. Prinsip Keseimbangan

Prinsip keseimbangan berkaitan dengan bobot. Pada karya dua dimensi prinsip keseimbangan ditekankan pada bobot kualitatif atau bobot visual, artinya berat – ringannya obyek hanya dapat dirasakan. Pada karya tiga dimensi prinsip keseimbangan berkaitan dengan bobot aktual (sesungguhnya). Keseimbangan ada dua yaitu: Simetris dan asimetris. Selain dua keseimbangan itu ada juga yang namanya keseimbangan radial atau memancar yang dapat diperoleh dengan menempatkan pada pusat-pusat bagian. Pencapaian keseimbangan tidak harus menempatkan obyek secara simetris atau di tengah-tengah. Keseimbangan juga dapat diperoleh antara penggerombolan dengan obyek-obyek yang berukuran kecil dengan penempatan sebuah bidang yang berukuran besar. Atau mengelompokkan beberapa obyek yang berwarna ringan (terang) dengan sebuah obyek berwarna berat (gelap).

3. Prinsip Irama

Irama dalam karya seni dapat timbul jika ada pengulangan yang teratur dari unsur yang digunakan. Irama dapat  terjadi pada karya seni rupa dari adanya pengaturan unsur garis, raut, warna, teksture, gelap-terang secara berulang-ulang. Pengulangan unsur bisa bergantian yang biasa disebut irama alternatif. Irama dengan perubahan ukuran (besar-kecil) disebut irama progresif. Irama gerakan mengalun atau Flowing dapat dilakukan secara kontinyu (dari kecil ke besar) atau sebaliknya. Irama repetitif adalah pengulangan bentuk, ukuran, dan  warna yang sama (monotun).

4.  Prinsip Penekanan

Pada seni rupa  bagian yang menarik perhatian menjadi persoalan/masalah prinsip penekanan yang lebih sering             disebut prinsip dominasi. Dominasi pada karya seni rupa dapat dicapai melalui alternatif  melalui memggerombolkan beberapa unsur, pengaturan  yang  berbeda, baik ukuran atau    warnanya. Seperti misalnya gambar orang dewasa pada sekelompok anak kecil, warna merah di antara warna kuning. Penempatan dominasi tidak mesti di tengah-tengah, walaupun posisi   tengah menunjukkan kesan stabil.

Penekan atau pusat perhatian atau juga disebut obyek suatu karya/garapan adalah karya yang dibuat berdasarkan prioritas utama. Karya yang diciptakan paling awal tersebut lebih menonjol dari berbagai segi obyek pendukungnya seperti ukuran, teknik, dan pewarnaannya. Dalam seni kriya, penciptaan suatu karya dinominasi menjadi tiga bagian; I. obyek ciptaan. 2. obyek pendukung dan 3.  isian-isian.  Obyek ciptaan mendapat perhatian yang prioritas dan dominan karena akan dijadikan pusat perhatiannya. Obyek pendukung yang dimaksudkan adalah bentuk-bentuk yang dibuat agar tidak sama persis dengan obyek ciptaan, karena sifatnya sebagai pendukung. Sedangkan isian-isian adalah obyek yang memberikan aksen terhadap kedua obyek ciptaan. Atau memberi pola/motif pada bidang-bidang tertentu untuk memunculkan obyek ciptaan.

5.  Prinsip Proporsi

Proporsi adalah perbandingan antara bagian-bagian yang satu yang lainnya dengan pertimbangan seperti: besar-kecil, luas-sempit, panjang-pendek, jauh –dekat  dan yang lainnya. Dalam seni rupa kriya, perbandingan ini mempertimbangkan seperti bidang gambar dengan obyeknya. Yang juga memjadi perbandingan dalam seni rupa kriya  adalah skala maupun riil/aktual. Berdasarkan kondisi riil, botol lebih tinggi dari pada gelas atau piring lebih lebar dari pada mangkok. Proporsi juga digunakan untuk membedakan obyek utama (tokoh), pendukung (figuran), dan isian-isian (pendukung/latar).

6. Prinsip keselarasan

Prinsip ini juga disebut prinsip harmoni atau keserasian. Prinsip ini timbul karena ada kesamaan, kesesuaian, dan tidak adanya   pertentangan. Selain penataan bentuk, teksture, atau warna-warna yang berdekatan (analog). Kalau dalam karya ada warna-warna yang berlawanan (komplementer) harus dicarikan warna pengikat/sunggingan seperti warna putih.

Ekspresi Estetis Pada Karya Seni Fotografi

Ekspresi Estetis Pada Karya Seni Fotografi

Oleh: I Komang Arba Wirawan, Dosen PS Fotografi

Berawal dari fotografi jurnalistik yang digeluti selama 5 tahun bekerja sebagai wartawan foto pada harian Denpasar Post (1998-2003), Kelompok media Bali Post. Kecintaan pada dunia fotografi tumbuh seiring dengan waktu, berbekal dengan kamera analog Nikon FM 2, berbagai sudut kota lalu lintas kota Denpasar, olah raga, human interest  dan kriminalitas terekam menghiasi harian DenPost. Hiruk pikuk reformasi 1998, demo mahasiswa, sampai bom Bali I menjadi tugas jurnalistik yang sangat berkesan. Meliput dengan menahan kesedihan hati dan air mata dimana saat menyaksikan korban bom terbakar, dimana hasil karya ini terlalu sadis untuk dipublikasikan. Ini semua membawa pada sebuah titik dimana fotojurnalistik merupakan ajang tempaan menuju pada foto seni, yang membawa kematangan melihat moment, angle, dan ekpresi estetis. Berbekal dengan kamera analog Nikon F4 yang berhasil dibeli dari bonus dikantornya memberikan fasilitas yang lebih lengkap dalam menghasilkan sebuah karya fotojurnalistik. Saat kesempatan muncul untuk menjadi tenaga pengajar di Program Studi Fotografi, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Mengarahkan pada bertemunya titik gaya seni fotografi yang digelutinya. Kesempatan studi banding ke Program Studi Fotografi, Fakutas Media Rekam ISI Yogyakarta, dari pimpinannya tidak disia-siakan, dengan menghasilkan karya monumen 11 maret, light of jogja, taman sari, yang mendapat apresiasi pada pameran di Musium Neka (2006). Kesuksesan ini membawa keyakinan semakin percaya diri, bahwa seni fotografi suatu saat dapat berdampingan dengan seni rupa yang lain. Apalagi kondisi kampus yang dinamis dengan iklim dan pergaulan seni yang tinggi, mempercepat cita-cita menjadikan Bali sebagai pusat seni fotografi. Pemikiran ini dilatar belakangi bahwa Bali dapat menjadi pusat seni rupa (seperti lukis dan patung, terakhir seni kartun) mengapa seni fotografi tidak.

Berdasar pada teori seni yang terkait dengan wacana fotografi adalah teori seni komunikasi, teori seni ekspresi, teori seni fungsional, dan teori seni instrumental. Teori-teori seni ini bisa saling terkait satu sama lain dalam konteks bagaimana sebuah karya foto dapat di implementasikan sebagai fotografi seni dengan bentuk-bentuk penampilannya secara dwimatrawi.

Membuat foto seni yang merupakan bagian fotografi, yang memiliki konsep estetika yang memperhitungkan terlebih dahulu unsur-unsur penciptaan sebuah foto, dari pencahayaan sampai proses pencetakannya. Semua direncanakan dengan matang dan terencana, karena kini foto seni telah sama rumitnya dengan seni lain. Apalagi jika kita membincangkan posisi fotografi dalam konteks kesenirupaan (fine art). Bisakah dan mampukah fotografi disandingkan dalam keluarga seni rupa (High Art). Koeksistensinya ini tidaklah berpretensi saling menegasikan. Justru sebaliknya, dan siapa tahu, dunia High Art makin diperkaya dengan hadirnya fotografi di komunitasnya. Sejalan Dengan perkembangan teknologi sekarang ini fotografer yang mau menekuni foto seni akan lebih mudah dengan hadirnya teknik digital. Apalagi mau bekerja keras mencoba dan mau belajar terus-menerus. Sebuah foto akan dapat menjadi representasi fotografer yang menciptakannya. Sehingga lahir maestro-maestro fotografi punya ciri khas masing-masing, sehingga mengenalkan diri ke publik yang lebih luas.

Sebuah karya fotografi yang dirancang dengan konsep tertentu dengan memilih objek foto yang terseleksi dan diproses dihadirkan sebagai luapan ekspresi artistik fotografernya, maka karya tersebut bisa menjadi sebuah karya fotografi ekspresi. Sehingga karya foto tersebut dimaknakan sebagai suatu medium ekspresi yang menampilkan jati diri photografernya dalam proses penciptaan karya fotografi seni.

Fotografi sebagai salah satu entitas dalam domain seni rupa juga tidak terlepas dari nilai-nilai dan kaidah estetika senirupa yang berlaku. Namun dengan keyakinan bahwa setiap genre memiliki nilai dan kosa estetikanya sendiri, maka fotografi pun berbagai sub-genre-nya juga tidak lepas dari varia nilai dan kosa estetikanya sendiri. Setiap kehadiran jenis fotografi karena tujuan penghadiran tentunya juga memerlukan konsep perancangan yang bermula dari ide dasar dan kontemplasi yang berkembang menjadi implementasi praksis yang memerlukan dukungan peralatan dan teknik ungkapan kreasinya. Lebih jauh lagi bagi pencapai objektifnya, diperlukan berbagai eksprementasi dan eksplorasi baik terhadap objek fotografi maupun proses penghadiranya setelah menjadi subjek/subjectmatter dalam karya fotografinya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa setiap objek perlu dipotret beberapa kali dalam rangka eksperimentasi dengan berbagai  sudut pandang/angle (pandangan estetik) maupun dengan teknik komposisi dan panduan pecahanyaan dan kecepatannya penutup rana yang berbeda. Semuanya digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan berbagai ragam alternative tampilan yang memiliki nilai estetis yang berbeda secara eksploratif dan dipastikan bisa memberikan beberapa pilihan hasil foto yang terbaik yang disesuaikan dengan hasil foto yang terbaik yang disesuaikan dengan kebutuhan nilai estetis yang diharapkan. Hal tersebut tercemin dalam domain fotografi sebagai aspek yang ideasional maupun yang bersifat teknikal.

Proses penciptaan dan penghadiran  karya seni fotografi pada umumnya melalui empat proses : a) Proses pencarian Ide; b) Proses pemotretan; c)Proses editing atau kamar terang ; c) Proses printing atau akhir end-product-nya. Pada setiap proses memiliki varian estetika tersendiri baik bersifat ideasional maupun yang bersifat  teknikal. Proses yang pertama pencarian ide dicari dengan studi kepustakaan ataupun eksplorasi internet, diskusi, menyaksikan pameran-pameran seni rupa lainnya juga traveling mencari objek-objek dan moment estetis dalam perjalan tersebut. Proses yang kedua, pemotretan adalah eksekusi dari fotografernya disini tentunya telah dipersiapkan teknik, dan peralatan yang memadai untuk menghasilkan karya seni fotografi. Proses yang ketiga adalah proses editing yang diperlukan penguasaan komputer Photoshop yang memadai untuk menampilkan karya yang lebih estetis dari hasil pemotretan. Proses yang keempat disini tidak kalah pentingnya karena hasil akhir sebuah karya seni fotografi dapat dinikmati apakah karya seni fotografi tersebut mendapat apresiasi dari masyarakat atau tidak, juga ditambahkan dengan pertimbangan apakah print kertas atau print kanvas sehingga dengan tambahan  pigura karya seni fotografi tersebut sempurna. Selamat Berkarya.

Apa Sih Kriya Itu?

Apa Sih Kriya Itu?

Oleh: I Made Suparta, Dosen PS Kriya Seni ISI Denpasar

Grace Cochrane menggambarkan seni kriya yang tidak melakukan reaksi yang berlawanan mengenai nilai dan arti yang didifinisikan oleh seni, terhadap yang perlu dikerjakan dengan istilah yang diaplikasikan secara langsung pada sejarah crafts dan desain, yang bermanfaat bagi praktek crafts adalah mempunyai nilai kemasyarakatan. (Grace Cochrane, 1997: 56-57). Nilai kemasyarakatan kriya memang tidak perlu disangsikan lagi karena kriya itu lahir sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat secara jasmani maupun rohani.

Kriya sebagai salah salu bagian dari Seni rupa dipandang sangat relevan sebagai media/sarana untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan. Pendekatan yang dikenal dengan education throught art (pendidikan melalui seni) telah diterapkan sejak usia dini. ( Herbert Read dalam Syafii dkk. 2003: 1.6).  Ceritera Tantri yang divisualisasikan dalan  karya cipta kriya sesuai dengan pendapat Herbert Read adalah sangat tepat bila ceritera tantri yang diwujudkan berupa  kriya seni relevan di diperkenalkan pada anak-anak sejak dini.

Mantan Dirjen Dikti Satryo Soemantri Brodjonogoro pada seminar di ISI Denpasar, 18 Mei 2009 berkeinginan untuk menjadikan seni sebagai suatu kebutuhan hidup. Ajakan atau seruan tersebut adalah angin segar sekaligus tamparan bagi para pelaku seni baik yang ada pada jalur pormal maupun para seniman alam. Beliau sangat percaya, hanya para senimanlah yang mampu melakukan hal tersebut, dimana dalam krisis global ekonomi melanda dunia, seni relatif stabil bertahan khususnya dibidng industri kerajinan.

Secara visual, keberadaan ukiran yang bertemakan Ceritera Tantri merupakan salah satu bagian dari seni tradisional Bali  yang sampai saat ini masih lestari.  Dalam tradisi kehidupan masyarakat Bali, perilaku binatang dijadikan sebagai  cermin dalam menjalani kehidupan ini. Dalam artian kita tidak harus berperilaku seperti binatang, namun ketokohan binatang yang  kadang kala mempunyai sifat yang lebih mulia dari manusia patut dijadikan panutan. Karena ceritera yang menggunakan binatang sebagai tokohnya ini banyak memberikan cermin hidup dan kehidupan.

Nilai yang terkandung dalam seni kriya adalah kegunaannya yang sesuai dengan tingkat kebutuhan praktisnya, oleh karena itu nilai itu dapat bermacam-macam seperti: religius, spiritual, moral, etis, estetis, dan nilai praktis. Nilai-nilai itu dapat ditarik dari landasan dasarnya, antara lain: agama, logika, etika, dan estetika. 1). Melalui agama akan keluar nilai relegius, magis, kepercayaan dan spiritual. 2). Melalui logika akan keluar nilai intelektual, ilmiah, ilmu pengetahuan, dan kebenaran empiris. 3). Melalui etika akan keluar berbagai macam nilai moral, sopan santun, susila dan etis. 4). Melalui estetika akan melahirkan nilai keindahan, keseimbangan, kesegaran, hiburan, keanggunan, keagungan, dan estetis. (Karna Yudibrata, 1981/1982: 56-57). Seni kriya tidak lepas dari unsur-unsur motif maupun pola sebagai elemen dasar pembuatan ornamen/hiasan, penempatan, dan kesesuaian mengikuti bidang/ruang guna terciptanya keharmonisan. Ditinjau secara kronologis kegiatan hias-menghias maupun penggunaan motif hias, berdasarkan sifatnya yang ada, dapat digolongkan  menjadi 4 (empat). Pertama kategori primitif (prasejarah), kedua kategori klasik (mulai dikenalnya tulisan), ketiga kategori tradisional (zaman Madya) dan terakhir kategori modern (praktis, ekonomis, dan efisien). Pada dasarnya semua karya/benda seni kriya  digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan manusia, baik secara jasmani maupun rohani sesuai zamannya. Walaupun pengambilan motif dan penggunaan pola ditampilkan secara sederhana, dalam perkembangan selanjutnya, motif hias maupun pola-pola yang diterapkan dalam seni kriya menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama yang tergolong kriya seni sebagai media tersalurnya gagasan estetik, kedua yang tergolong kriya fungsional sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup sekaligus mengandung elemen estetis, dan ketiga yang tergolong kriya fungsional konstruktif merupakan simbolisasi dan perwujudan cita-cita luhur. (SP. Gustami, 1983/1984: 2-4).

Apapun bentuk dan makna seni kriya, kehadiran mereka masih di tunggu oleh masyarakat, walaupun sebatas untuk pemenuhan kebutuhan primernya dan terbatas pada tingkatan masyarakat kelas menengah ke bawah. Disadari pula, derasnya pengaruh luar (asing) dan adanya dorongan alam dapat menimbulkan cara pandang dan perilaku masyarakat untuk membentuk komunitas (stratifikasi) sosial yang akan mengantarkan adanya dualisme budaya masyarakat yaitu kelas atas dan bawah. (SP. Gustami, 1991:1).

Menentukan sikap ketika dihadapkan pada suatu keadaan memilih, bukanlah suatu tindakan yang mudah untuk dilakukan. Kecermatan menjadi sebuah pertimbangan yang menentukan bagi para kriyawan yang memilih kewajiban ganda. Kewajiban ganda yang dimaksud adalah kriyawan yang mempunyai visi dan misi dengan berbagai konsep dan tindakan yang dapat mensejajarkan kiprah seni kriya dengan seni rupa lainnya. Faktor waktu bagi pelaku seni kriya yang ada di belakang meja pemerintahan, menjadikan mereka memiliki kesempatan yang terbatas untuk berkreasi. Sebaliknya, kriyawan (perajin) yang terjun maupun menerjunkan diri di bidang seni kerajinan jarang sekali, bahkan tidak sempat, memikirkan visi dan misi seni kriya sesuai perkembangan zaman. Dirunut dengan rentang waktu yang cukup panjang dan berliku-liku, sudah pada tempatnya bila kriyawan intelektual meninggalkan prinsip-prinsip yang tidak lagi mendukung kemajuan seni kriya untuk mengejar dan mensejajarkan predikat “seninya”. Namun demikian, kriya juga tidak bisa lepas dengan produk-produk yang dibutuhkan masyarakat seperti yang diharapkan oleh Grace Cochrane.

Kajian Estetis Seni Lukis Gaya Pita Maha

Kajian Estetis Seni Lukis Gaya Pita Maha

Oleh: Drs. I Dewa Made Pastika, Drs. A. A. Gede. Yugus, Msi., I Dewa Ayu Sri Suasmini, S. Sn, M. Erg.

Ringkasan Penelitian, Dibiayai oleh dana DIPA ISI Denpasar

Seni lukis gaya Pita Maha adalah seni lukis yang semula tumbuh dan berkembang di desa Ubud, dan kemudian menyebar  ke daerah lainnya di Bali. Seni lukis yang berakar dari seni lukis klasik tradisional, mendapat sentuhan seni lukis barat, memiliki  corak dan gaya tersendiri yang khas dan unik, dilanjutkan oleh generasi penerusnya sampai sekarang, sebagai seni lukis gaya Ubud.

Dengan adanya perkembangan seni lukis Bali, akibat dari pengaruh yang bersifat positif  atau negatif yang berasal dari dalam maupun luar negeri, banyak mengalami pembaharuan, baik dalam hal ide, konsep-konsep atau teknik pengerjaannya. Pembaharuan dalam hal tema, dari tema pewayangan  selanjutnya menjadi tema kehidupan sehari-hari dalam berbagai aspek seperti upacara di pura, pertunjukan tarian, kesibukan di sawah dan lainnya. Perkembangan di bidang teknik, proporsi-anatomi, persepektif, sinar bayangan dan pewarnaan. Seni lukis gaya Pita Maha pada saat sekarang masih dipajang di  Museum Puri Lukisan Ratna Warta di Ubud, sampai sekarang memiliki koleksi 227 lukisan dan 105 karya patung.

Meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi telah merangsang kreativitas seniman dalam menciptakan karya-karya baru dan menumbuhkan daya kritis yang lebih mendasar. Berkembangnya seni lukis  Bali sampai sekarang tidak lepas dari dukungan pelukis tua yang dulu secara langsung mendapat pendidikan dari pelukis barat (Walter Spies dan Rudolf Bonnet),  sebagai pelopor berdirinya organisasi  Pita Maha. Di dalam hal menghadapi pengaruh ini, seniman memiliki sikap mandiri, toleransi yang tinggi sehingga dapat mengadakan perubahan karya, pembaharuan serta peningkatan kwalitas karya.

Untuk mengetahuai eksistensi seni lukis Pita Maha dalam hal, ciri-cirinya, teknik pelukisan, bahan dan alatnya serta nilai estetisnya, maka yang menjadi subyek penelitian adalah lukisan-lukisan asli karya pelukis anggota organisasi Pita Maha. Dari lukisan-lukisan itu ditetapkan 10 karya lukisan yang dijadikan sampel yang dapat mewakili karya lainnya. Karya lukisan yang didasarkan atas potensi kreatif seniman, dalam menanggapi pengaruh pembaharuan dibagi menjadi 5 kolompok, yaitu: a. Lukisan tetap dengan tema pewayangan, tidak menunjukkan pengaruh pembaharuan. b. Lukisan  tema pewayangan dengan pembaharuan dalam susunan dan gaya pewayangan. c. Lukisan yang mengalami pembaharuan dalam tema kehiduan sehari-hari. d. Lukisan mengalami pembaharuan dalam tema, proposi anatomi dan sinar bayangan. Dan e. Lukisan yang mengalami pembaharuan secara utuh, seperti: tema, pewarnaan, sinar bayangan dan proporsi-anatomi. Dari karya lukisan ini dianalisa dan dikaji berdasarkan   prinsip-prinsip penyusunan yaitu, kesatuan, penonjolan dan keseimbangan, yang merupakan basis dari prinsip susunan yang berpotensi memberikan rasa keindahan (estetis) karya lukisan. Kajian estetis, terhadap unsur-unsur penentu bentuk dari seni lukis gaya Pita Maha yang terdiri dari: garis, obyek, warna dan tekstur.

Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum  unsur garis sangat dominan dalam menentukan obyek lukisan Pita Maha, karena garis adalah paling hakiki dalam seni lukis dan garis adalah ekonomi dalam seni. Garis dapat berdemensi tebal dan tipis. Garis sebagai kontour yang berdemensi sama tebalnya dapat membentuk kesatuan dalam lukisan pewayangan dan  garis yang tebal dan tipis pada lukisan yang menekankan sinar-bayangan. Garis contour dapat munjukkan penonjolan pada bagian yang terang dengan garis tipis dan garis tebal pada bagian yang kena bayangan. Persamaan unsur garis dapat juga membentuk keseimbangan bagian-bagian dengan keseluruhan obyek.

Dalam pewarnaan, yang didasari oleh gradasi hitam dan putih, memunculkan kesatuan warna antara satu warna dengan warna lainnya mengesankan warna kelam (olem) yang tidak menjolok, karena ada kesamaan dasar warna. Kesan warna kelam sangat tergantung dari kepekatan gradasi warna hitam-putih dan setiap pelukis berbeda cara memberi penekanan atau kepekatan tinta hitam, ada yang senang dengan tinta yang pekat (gelap) dan ada yang senang lebih encer (terang), tergantung dari karakter masing-masing. Teknik pewarnaan ini menunjukkan ciri khas seni lukis Bali pada umumnya dan seni lukis Pita Maha pada khususnya. Penonjolan warna, ditunjukkan dengan penempatan warna pada bagian obyek yang dianggap lebih penting dengan intensitas yang lebih tinggi. Penerapan warna dengan teknik penyinaran (nyenter) dari campuran warna putih dengan kuning memberi kesan penonjolan pada bagian yang terang (kena sinar), dan juga membentuk kesatuan yang dapat menggugah rasa keindahan karena menimbulkan harmoni  dalam perpaduan antara gelap dan terang. Keseimbangan dalam penerapan pewarnaan, dengan penyebaran warna-warna pada setiap bentuk sesuai dengan warnanya masing-masing secara merata, berkesan tidak berat sebelah (seimbang) pada bagian-bagian obyek dan secara keseluruhan.

Penerapan tekstur dalam seni lukis Bali pada umumnya dan seni lukis Pita Maha pada khususnya, bersifat tekstur semu, bidang kelihatan kasar tetapi sebenarnya halus (rata). Tektur muncul dari penerapan teknik sigar mangsi dan atau aburan (gelap-terang), yang membedakan  bagian yang berada di dalam (bawah) lebih hitam dan yang di atas lebih putih, sehingga berkesan terpisah, berbeda, yang sebenarnya datar dan sama saja. Dalam seni lukis Pita Maha tidak secara kusus membentuk tekstur, seperti seni lukis gaya lainnya.

Kelahiran II, 2005

Kelahiran II, 2005

Oleh: Bendi Yudha

Pengantar Karya seni Lukis

Akrilik pada kanvas, 120 cm x 120 cm

Ketika jabang bayi masih ada dalam kandungan telah terjadi adanya dua kekuatan yang saling tarik-menarik berupa kekuatan materi dengan roh. Dua kekuatan ini selalu bergerak sehingga pada saat kelahirannya ia telah memasuki alam kegelapan (awidya) yang dalam proses perjalanan akan berpengaruh terhadap tingkat kesadarannya  dalam menentukan sifat baik atau buruk untuk mencapai tujuan hidupnya. Dengan kenyataan ini manusia seyogyanya menghayati kembali nilai-nilai moral dan spiritual sebagai tuntunan hidup sehingga dalam kehidupan ini tetap terjaga keseimbangan hidup jasmani dan rohani  dalam upaya menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya, antara manusia dengan Tuhan.

Gagasan ini diwujudkan melalui figur bayi berwarna kuning sebagai simbol benih kehidupan dan sosok bayi berwarna putih dengan latar belakang warna merah sebagai simbol kehidupan yang telah dipengaruhi oleh unsur-unsur  keinginan yang berkaitan dengan kebutuhan materi atau kebendaan. Bentuk-bentuk yang menyerupai batu disimbulkan sebagai lima unsur alam yang memberikan energi terhadap kehidupan ini, sedangkan latar belakang yang berwarna kuning menggambarkan arah terbitnya matahari sebagai simbul dari alam spiritual yang penuh keheningan. Di balik latar yang berwarna kuning muncul bentuk abstraktif yang berwarna-warni disimbulkan sebagai suatu kekuatan-kekuatan yang selalu datang menggoda dan menyelimuti jiwa manusia.

Loading...