by admin | Apr 28, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Ni Wayan Ardini, S.Sn., M.Si. dan Wahyu Sriwiyati. S.Sn. (Anggota)
Ringkasan Penelitian Dosen Muda Dibiayai DIPA ISI Denpasar 2009
Dalam rangka mendukung kebijakan Keputusan Mendiknas Nomor 125/U/2002 Tentang Kalender Pendidikan dan Jumlah Jam Belajar Efektif di Sekolah diperlukan kegiatan Pekan Olah Raga dan Seni (PORSENI) dalam upaya mengembangkan pendidikan anak seutuhnya, dirasa perlu dilakukan pembinaan kesenian di SD melalui menyanyikan lagu wajib nasional merupakan bagian kegiatan pembinaan kesenian di sekolah.
Mencermati hal tersebut, Secara umum praktik menyanyikan lagu-lagu wajib nasional bagi siswa tingkat SD masih sangat kurang maksimal dilaksanakan. Berdasarkan hal tersebut, pelatihan lagu-lagu wajib nasional sangat tepat diberikan pada guru dan selanjutnya agar bisa diterapkan pada siswa di sekolahnya masing-masing. Hal ini juga untuk mengantisipasi menurunnya semangat nasionalisme yang indikasinya dapat dilihat dari semakin berkurangnya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan terkait dengan peringatan hari-hari nasional Bangsa Indonesia.
Sesuai dengan kebijakan tersebut di atas, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Denpasar, bahwa seni budaya harus tetap dipelihara dan dikembangkan, sejak tahun 2006 instansi ini secara rutin telah menyelenggarakan Pelatihan lagu-lagu Wajib Nasional yang diikuti oleh para guru Kesenian SD se kota Denpasar. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa serta memantapkan kepribadian dalam bidang seni maka dirasa perlu untuk mengembangkan kemampuan guru/siswa dalam menyanyikan lagu-lagu wajib nasional sehingga proses belajar mengajar siswa dapat lebih menyenangkan.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka penelitian ini penting dilakukan untuk membenahi dan meningkatkan penguasaan lagu melalui kebenaran dalam membunyikan notasi lagu-lagu wajib nasional serta dapat mengetahui bentuk penerapan penguasaan lagu-lagu wajib nasional di SD 4 Saraswati Denpasar. Dalam kegiatan ini guru lebih banyak mengajak siswa praktek menyanyikan lagu-lagu wajib nasional, di samping pahan dan menguasai secara baik dan benar dalam penguasaan pegang nada dengan intonasi yang tepat juga penerapan pada penguasaan syair, teknik penjiwaan lagu. Sebelum siswa diberikan materi lagu, guru pembina menjelaskan beberapa aspek pendukung, seperti: penguasaan dasar-dasar teori musik, cara bernyanyi yang baik dan benar, Dapat memahami jenis-jenis suara manusia, cara bernafas yang baik dalam bernyanyi, Pembentukan huruf vokal dan konsonan, membidik suara, latihan suara panjang, suara lentur, teknik penyajian/pembawaan lagu, teknik mendireksi, dapat mengetahui bahan materi lagu yang harus di praktekkan di sekolah.
Lagu wajib nasional sebagai salah satu jenis musik yang telah menyatu dengan jiwa masyarakat Indonesia memiliki fungsi yang kompleks dalam aktivitas budaya masyarakat. Lagu wajib nasional merupakan salah satu produk atau hasil karya cipta budaya masyarakat Indonesia di bidang musik. Sebagai salah satu ikon budaya masyarakat Indonesia, kesenian ini mempunyai fungsi dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial masyarakat. Ada beberapa fungsi yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat diantaranya: Fungsi pendidikan, fungsi sosial, fungsi pekestarian dan fungsi propaganda.
Salah satu foktor penting dalam program penerapan penguasaan lagu-lagu wajib di lingkungan Sekolah Dasar adalah peran seorang guru. Guru adalah sosok yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan proses belajar mengajar di tingkat Sekolah Dasar. Sukses dan tidaknya sebuah proses pembelajaran sangat tergantung pada bagaimana seorang guru melaksanakan peranannya dalam memanage sebuah pembelajaran. Terkait dengan peran tersebut, sebagaimana dikatakan Soekanto (1982:268), peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran.
Terkait dengan aktivitas sebagaimana dimaksud di atas, dalam penerapan penguasaan lagu-lagu wajib seorang guru hendaknya memiliki kecakapan dan penguasaan terhadap materi tersebut serta memiliki program yang jelas agar materi yang diajarkan dapat ditangkap dipahami oleh para siswa. Kemampuan mengajar perlu dimiliki agar guru mantap dalam mengelola belajar-mengajar, percaya diri, kreatif dan proaktif sehingga pembelajaran yang dilaksanakan meraih hasil yang memuaskan.. Adapun aspek-aspek yang diajarkan diantaranya: teori dasar musik, teknik dasar menyanyi, sistem notasi lagu, teknik penyajian sebuah lagu.
by admin | Apr 28, 2010 | Artikel, Berita
Ida Bagus Nyoman Mas, SSKar. Dan I Komang Darmayuda, S.Sn., M.Si.
Dibiayai oleh DIPA ISI Denpasar Tahun 2009
Mpu Tanakung menceritakan kisah seorang papa, si Lubdhaka, yang karena melaksanakan brata Siwaratri pada malam Siwa yang suci, akhirnya mendapat anugerah dari Bhatara Siwa. Melalui kekawin itu Mpu Tanakung sesungguhnya telah menguraikan sapek-aspek filsafat agama, tata susila agama dan upacara agama menurut ajaran Siwa yang dapat dipakai pedoman dalam kehidupan.
Sementara dalam konteks kekinian, tokoh Lubdaka dinilai telah mengalami “reinkarnasi” menjadi Lubdhaka-Lubdhaka kontemporer. Perlakuan Lubdhaka kontemporer melakukan eksploitasi terhadap kawasan yang disucikan umat Hindu. Hal itu sangatlah kontradiktif dengan praktik yadnya yang dilakukan umat Hindu, karena yadnya itu digelar adalah untuk mencapai keharmonisan alam. Fenomena ini menjadi inspirasi yang menarik bagi penggarap untuk merealisasikan dalam sebuah garapan Cak Kreasi Baru yang berjudul Cak Lubdhaka.
by admin | Apr 28, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Ni Made Rinu
Disajikan dalam Loka Karya dengan thema: Kreativitas dan Inovasi Desain Industri Kerajinan Kunci Sukses menembus Pasar Global, Selasa tanggal: 27 April 2010 bertempat di Niki Hotel, Jalan Gatot Subroto IV/18 Denpasar.
Perguruan tinggi seni memiliki karakteristik yang mewilayahi keilmuawannya sendiri yaitu ilmu keindahan atau estetika dan persoalan “perwujudan” yang dilandasi proses kreatif dengan bobot kesenimannya. ISI Denpasar berada di kawasan Indonesia bagian timur, mewilayahi keragaman budaya etnik yang sangat variatif, merupakan kekayaan budaya sebagai sumber pendidikan dan pengembangannya dalam upaya menjawab tantangan, serta mewujudkan industri kreatif dalam berbagai segi seperti apa yang telah dicanangkan presiden sejak tahun 2008. Terutama bagi daerah Bali yang merupakan tantangan tersendiri dalam menghadapi dinamika proses kreatif, dinamika pasar, cagar budaya, hak atas kekayaan intelektual, erosi budaya, dan berbagai masalah social kesenian lainnya. Optimalisasi antara proses keilmuwan dengan proses kreatif inilah diharapkan mampu menjawab kepercayaan masyarakat dalam arti luas, merupakan tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi.
Untuk menjawab semua tantangan dan cita-cita secara implisit ISI Denpasar melalui pengembangan rumpun keilmuan seni yang sampai saat ini baru memiliki 2 (dua) Fakultas yaitu: Fakultas Seni Pertunjukan (terdiri dari; Jurusan Seni Tari, Seni Karawitan dan Pedalangan), Fakultas Seni Rupa dan Desain terdiri dari Jurusan Seni Rupa Murni (Minat: Seni Lukis dan Seni Patung), Jurusan Kriya (Minat: Kayu dan Keramik), Jurusan Desain ( Program Studi: Interior dan Desain Komunikasi Visual) dan Program Studi Fotografi sebagai embrio terwujudnya Fakultas Seni Media Rekam. Sesuai dengan judul makalah tersebut di atas, bahwa Fakultas Seni Rupa dan Desain memiliki peran yang sangat strategis dalam menyiapkan sumber daya yang memiliki daya saing untuk mendukung industri kerajinan memasuki pasar global.
by admin | Apr 27, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Ida Bagus Chandrayana, Dosen Fotografi
Memadukan teknik pemotretan dan teknik pengolahan dengan menggunakan teknik cetak sandwich pada proses finishing menggunakan komputer dengan bantuan program photoshop . Pada saat pemotretan model dilakukan teknik pencahayaan dengan memakai satu dan dua lampu agar diperoleh hasil yang lebih dramatis. Ada karya yang hanya memakai satu lampu dan karya yang lain menggunakan dua lampu, sehingga terdapat variasi pada tata cahayanya. Dengan demikian, penggunaan satu dan dua lampu tersebut merupakan salah satu dalam proses perwujudan karya ini. Selain itu, mengingat karya ini menggunakan tubuh manusia sebagai objek penciptaan, maka fotografer harus juga mengarahkan model tersebut untuk berpose atau mengambil pose sesuai dengan maksud karya ini, sehingga diharapkan ia benar-benar mendukung ekspresi karya nude photography tersebut. Untuk pemotretan tektur dengan menggunakan pencahayaan day light. Arah sinar kebanyakan side light di sebabkan ingin memunculkan kontras dari tekstur tersebut.
Pada karya ini menggambarkan tubuh wanita yang gelisah pada diri sehinga sampai merusak kulit tubuh yang indah pada jaman sekarang ini banyak orang-orang yang pada gelisah dengan diri nya, warna kuning yang bertesktur sama warna coklat pada bagian perut nampak kelihatan kontras. Tangan dengan ekspresinya membentuk karakter yang sagat kuwat, bagian dada bagian atas sebagai penyeimbang sehingga foto ini kelihatan padat.
by admin | Apr 27, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Syafi’udin (Mahasiswa Fotografi, ISI Denpasar)
Saat ini, teknologi fotografi sudah sedemikian canggih. Digitalisasi membuat semuanya jadi sangat mudah, sehingga fotografi semakin banyak peminatnya dan menjadi wabah di berbagai kalangan di Indonesia. Ada yang sekedar hobby, ada yang memang menjadi seorang fotografer jurnalistik atau fotografer komersil. Tentunya semuanya telah menjadi ruang bisnis yang cukup profit. Apapun bentuknya, bisnis fotografi seolah tak pernah mati karena hampir semua bidang membutuhkan dokumentasi foto, seiring dengan kemajuan teknologi fotografi itu sendiri.
Secara historis, fotografi mengalami beberapa kali era perkembangan. Pada tahun 1824, seorang seniman lithography Perancis Joseph-Nicéphore Niépce, setelah 8 jam meng-exposed pemandangan dari jendela kamarnya melalui proses “Heliogravure” di atas plat logam yang dilapisi aspal, berhasil melahirkan sebuah imaji yang agak kabur dan berhasil pula mempertahankan gambar secara permanen. Kemudian ia pun mencoba menggunakan kamera obscura berlensa. Maka pada tahun 1826 lahirlah sebuah “foto” yang akhirnya menjadi awal sejarah fotografi. Kemudian berkembang pada era William Henry Fox Talbot (1834-1840) yang menemukan negative film dan kertas foto dengan lapisan emulsi silver nitrat yang lebih pendek waktu eksposure & cetaknya, yaitu hanya dalam hitungan menit bahkan detik. Setelah itu fotografi terus berkembang hingga era digital yang sangat canggih.
Penemuan-penemuan lain di bidang fotografi masih banyak, diantaranya daguerreotype (Daguerre: 1838), Gum Bichromate (Mungo Ponton: 1839), Calotype (WHF Talbot: 1840), Cyanotype (Sir John Herchel: 1842), Salt print, albumen print dan lain-lain. Semuanya tentu mempunyai karakter dan nilai seni tersendiri. Bahkan hingga saat ini, masih ada beberapa orang yang menggunakan & mengembangkan tekni-teknik tersebut untuk membuat karya seni fotografi.
Di Indonesia, adalah Irwandi,S.Sn, M.Sn, seorang dosen ISI Yogyakarta, yang mengembangkan teknik Cyanotype dalam karya seni fotografinya. Berawal dari ketertarikannya pada fotografi ‘old print’, dia melakukan beberapa kali percobaan dan berhasil ‘menemukan’ kembali teknik cyanotype. Pada Tahun 2005, dia mengadakan pameran fotografi old print tentang cyanotype. Kemudian dia aktif menyelenggarakan workshop fotografi cyanotype di beberapa kampus di berbagai kota. Dan bersama rekannya, Edial Rusli, dia juga menulis buku fotografi tentang teknik old print.
Cyanotype pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan Inggris bernama Sir John Herchel pada tahun 1842. Selain itu, John Herchel juga menemukan fixer atau larutan pengawet dalam proses cuci-cetak foto. Cyanotype disebut juga dengan istilah blue print karena karakteristik hasil cetaknya yang berwarna biru / cyan. Uniknya, cyanotype ini tidak hanya dicetak pada media kertas, namun juga dapat dicetak pada kain, kayu, batu dan media lain. Tak heran jika karya fotografi dengan teknik cetak cyanotype ini mempunyai nilai seni yang tinggi.
Bahan-bahan chemical yang dipergunakan adalah Potassium Ferricyanida, Ferric Amonium Citrate dan Aquades. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur dengan takaran:
- Solution A (20% solution) : 25 grams Ferric Ammonium Citrate dan 125ml Distilled Water
- Solution B (14% solution) : 17 grams Potassium Ferricyanide dan 125ml Distilled Water
Pengukuran harus dilakukan dengan tepat memakai timbangan millimeter. Kemudian, solution A dan solution B dicampur pada gelas ukur hingga bener-benar saling menyatu, maka jadilah larutan emulsi. Pengukuran dan pencampuran tersebut harus dilakukan pada ruangan dalam kondisi cahaya tugsten atau merah. Larutan emulsi tersebut dioleskan pada kertas atau media lain yang sebelumnya telah direndam dalam larutan garam 2% (proses penggaraman). Pengolesan dilakukan dengan memakai kuas yang halus, kemudian kertas tersebut dikeringkan.
Setelah kertas siap digunakan, diatas emulsinya ditempel film yang akan dicetak. Film bisa berupa film hitam-putih, film ortho/lith film/ image setter dan transparancy printer/ photocopy. Kemudian ditindih dengan kaca dan dijepit dengan diberi alas triplek di bawah kertas supaya posisinya tidak tergeser-geser ketika proses exposing atau penyinaran. Proses exposing menggunakan cahaya matahari atau lampu UV selama 10-20 menit. Setelah itu proses Developing atau washing.
Proses developing atau washing dilakukan di ruang dengan kondisi cahaya redup atau tungsten. Cuci kertas / cetakan tadi dengan air selama 1-2 menit. Kemudian rendam ke dalam larutan sodium thiosulphate / fixer selama 1-2 menit atau lebih. Larutan fixer ini berfungsi sebagai pengawet. Setelah itu dibilas lagi dengan air dan kemudian dikeringkan. Karya foto dengan teknik cetak cyanotype sudah siap dinikmati.
Cyanotype bukanlah teknik yang mudah, namun prosesnya yang butuh ketelatenan dan kreatifitas membuat karya foto menjadi lebih artistik. Meski saat ini kebanyakan orang lebih menyukai teknik yang lebih mudah dengan adanya teknologi digital, namun bukan tidak mungkin jika cyanotype ataupun teknik old print lainnya justru menjadi aliran fotografi alternatif yang mempunyai nilai jual lebih tinggi. Saat ini bahkan ada komunitas fotografi old print di beberapa daerah. Fotografi adalah sebuah seni observasi. Seni dalam mencari sesuatu yang menarik dari sebuah tempat yang biasa saja. Hal ini hanya sedikit berhubungan dengan apa yang kita lihat dan sangat berhubungan dengan cara kita melihat. Selamat memotret dan berkesperimen… ([email protected])
by admin | Apr 27, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Wardizal, Dosen PS Seni Karawitan
Syamsimar, lahir Jorong Guguak Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada tahun 1945. Tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga yang kurang mampu dimana orang tua laki-laki (Datuk Tumbijo) berprofesi sebagai petani dengan menyambi sebagai tukang saluang dan orang tua perempuan (Rakiah) sebagai ibu rumah tangga. Latar belakang pendidikan orang tua laki-laki, tidak begitu mengembirakan dengan arti kata tidak pernah sekolah. Sedangkan orang tua perempuan sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) naman tidak sampai tamat. Syamsimar sendiri berhasil menamatkan pendidikannya di Sekolah Rakyat bertempat di tanah kelahirannya di Jorong Guguak, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Profesi orang tua laki-laki sebagai petani, tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga. Menurut pengakuan Syamsimar, pada masa dahulu (dekade 60-an) kehidupan ekonomi masyarakat secara umum betul-betul dalam masa-masa sulit. Situasi sosial, politik, dan keamanan pada masa itu juga serba tidak menentu. Oleh karena itu, peluang dan kemampuan berusaha warga masyarakat juga sangat terbatas. Namun, apapun situasinya, proses kehidupan harus berjalan dan berlanjut. Untuk mencukupi kehidupan ekonomi keluarga, Datuk Tumbijo sang Ayah melakoni profesi lain dengan menyambi sebagai tukang saluang (mengiringi dendang dengan intrumen saluang). Dalam perkembangannya kemudian, profesi tambahan sang ayah ternyata cukup mampu menutupi kebutuhan ekonomi keluarga, walau hanya untuk keperluan makan sehari-hari (Wawancara, tanggal 15 Agustus 2009).
Profesi sang Ayah sebagai tukang saluang –disamping bertani sebagai pekerjan utama- menjadi faktor pendorong utama perjalanan kehidupan dan proses kesenimanan syamsimar dikemudian hari. Syamsimar kecil sering diajak sang ayah ke acara-acara bagurau (pertunjukan saluang dendang) di daerah-daerah sekitar kampung tempat tinggal. Tidak ada maksud lain, hanya keinginan menyenangkan hati sang anak dan sebagai ujud atau ungkapan kasih sayang dan perhatian sang Ayah. Namun sejarah berkata lain, rutinitas keikutsertaan Syamsimar dalam mendampingi sang ayah pada acara-acara bagurau (pertunjukan saluang dendang), tanpa disadari telah menjadi proses pendidikan non formal pada diri Syamsimar dalam mempelajari dan memahami dendang Minanngkabau. Seiring dengan perjalanan waktu, Syamsimar tumbuh sebagai sosok wanita Minangkabau yang mempunyai bakat dan talenta dalam pertunjukan dendang. Setelah melalui proses pematangan dan pencarian jati diri yang cukup panjang, Syamsimar ’memproklamirkan’ diri sebagai pendendang wanita pada umur 20 tahun (tahun 1965).
Dalam perjalanan kehidupan rumah tangganya, Syamsimar telah melangsungkan pernikah sebanyak 4 (empat) kali. Pernikahan pertama dilangsungkan Syamsimar pada umur 14 tahun (1959) dengan seorang petani Malin Putiah dan cerai hidup. Pernikahan kedua dilakukaan Syamsimar pada umur 17 tahun (1962) dengan dengan Malin Suleman, seorang tukang rumah/perabot. Pernikahan ketiga dilakukan pada tahun 1964 dengan Kinan, seorang petani. Untuk menunjang kelancaran profesinya sebagai tukang dendang, Syamsimar menikah untuk keempat kalinya dengan Yusri lelo Sati pada tahun 1966 seorang Tukang Saluang dan mendirikan goup kesenian ”Minang Maimbau”.
Keputusan untuk menjadi tukang dendang diambil lebih didasarkan kepada faktor ekonomi. Berdasarkan pengalaman pribadi selama mendampingi sang ayah, Syamsimar meyakini dengan melakoni profesi sebagai tukang dendang cukup mudah mendapatkan uang. Di samping itu, juga karena dorongan bakat dan talenta serta lingkungan keluarga dimana ayah dan suami sebagai seorang tukang saluang. Syamsimar juga melihat, bahwa dendang pada hakekatnya berisikan ungkapan suara hati terhadap berbagai fenomena kehidupan yang terjadi dan berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, jika dicermati secara mendalam hampir semua teks nyanyian dendang (pantun) berisikan jeritan, ratapan bahkan juga nasehat terhadap berat dan sulitnya menjalani kehidupan.
Syamsimar merupakan sosok seniman yang ditempa dalam lingkungan agama (Islam) dan adat Minangkabau yang begitu kuat. Selama masa perjalanan hidupnya dihabiskan di kampung halaman Parahyangan, Tanah Datar. Wanita Minangkabau dihadapkan kepada berbagai pantangan dan larangan yang ”dianggap’ dapat memberi malu kepada kaum kerabat pesukuan. Melibatkan diri dalam aktivitas berkesenian merupakan perbuatan sumbang yang kurang pantas dilakoni oleh kaum perempuan. Dalam kungkungan adat yang cukup membelenggu tersebut, Syamsimar mampu eksis dan menempa dirinya menjadi seorang tukang dendang. Kemampuan untuk bertahan dan menunjukkan eksisitensi di tengah masyarakat tidak terlepas dari dukungan keluarga, baik orang tua, mamak maupun anak dan suami. Hal yang paling utama adalah, rasa keberterimaan masyarakarat terhadap kehadiran Syamsimar sebagai seniman tukang dendang wanita. Respon dan sambutan yang bagus dari bebagai lapisan masyarakat telah mengantarkan Syamsimar ke dapur rekaman. Mulai rekaman pertama tahun 1967 sampai rekaman rerakhir tahun 2001 dilakukan dalam naungan perusahaan rekaman Tanama Record Padang. Sampai sekarang (yang masih diingat oleh Syamsimar), 50 buah master kaset rekaman saluang dendang telah dihasilkan. Sukses yang diraih juga berdampak terhadap kehidupan ekonomi keluarga Syamsimar. Anggapan awal Syamsimar bahwa dengan menjadi tukang dendang akan lebih mudah mendapatkan uang tampaknya menemukan pembenaran. Dari penghasilan sebagai tukang dendang, Syamsimar bisa membikin rumah, membeli mobil, menabung dan memagang (menyewa) sawah.
Masa-masa kejayaan syamsimar sangat dirasakan pada dekade 70-an (mulai top 1967). Alunan suara dan sentilan-sentilan pantun yang didendangkan dan lebih banyak merefleksikan fenomena sosial sangat disukai banyak orang. Ribuan kaset rekaman dendang Syamsimar telah tersebar secara luas di tengah masyarakat. Nama Syamsimar begitu melegenda, fenomenal bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu penyangga musik tradisional Minangkabau, khususnya musik vokal (dendang). Sejak tahun 2003, Syamsimar telah berhenti secara total dari hiruk pikuknya pertunjukan saluang dendang di Minangkabau. Di samping usia yang sudah uzur (64 tahun), Penyakit stroke yang dideritanya telah mengantarkannya lebih banyak dipembaringan tempat tidur. Namun demikian, dedikasi dan sumbangsihnya dalam pengembangan dan pelestarian musik vokal Minangkabau (dendang) hampir tak tergantikan sampai sekarang.