by admin | May 1, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Drs. I Nyoman Nirma
Dibiayai DIPA ISI Denpasar
Ringkasan Penelitian
Ketepatan memilih media dalam pembelajaran sangat tergantung pada pengetahuan dan pengalaman pendidik tentang ragam media dari media yang sederhana sampai pada media yang canggih. Bila dilihat dari perkembangannya pada mulanya media dianggap sebagai alat bantu mengajar guru (teaching aids). Alat Bantu yang dipakai adalah alat Bantu Visual misalnya: gambar, model, obyek dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman konkrit, motifasi belajar serta mempertinggi daya serap dan retensi belajar (Sadiman dkk,2005:07)
Di Bali media pembelajaran agama Hindu yang berwujud gambar-gambar dijumpai dalam bentuk seni lukis Wayang Kamasan. Dikenal dengan istilah ‘Wayang Kamasan’, karena seni lukis ini berkembang di desa Kamasan, Klungkung-Bali. Ini dibuktikan dengan hadirnya seni lukis Wayang Kamasan pada gedung Kertha Gosa yang dibangun sejak jaman kerajaan Klungkung. Tema lukisan wayang ini menceritakan tentang perjalanan Bhima ke swarga loka, Diah Tantri, Sang Garuda Mencari Amerta dan Palelindon. Pada prinsipnya seluruh cerita dalam lukisan ini bersumber pada ajaran-ajaran agama Hindu.
Berdasarkan lukisan Wayang Kamasan yang ada pada gedung Kertha Gosa, mengindikasikan bahwa sejak dahulu seni lukis Wayang Kamsan telah dijadikan sebagai media budaya untuk menyampaikan pendidikan moral yang baik bagi masyarakat di jaman Kerajaan Klungkung.
Hingga kini tema-tema cerita yang biasa diangkat dalam seni lukisan Wayang Kamasan di desa Kamasan, Klungkung-Bali meliputi cerita Mahabharata, Ramayana, Sutasoma, Lelintangan, Panji, dan cerita-cerita rakyat lainnya yang mengadung nilai filosofis ajaran Agama Hindu. Ini berarti seni lukis Wayang Kamasan sangat penting peranannya sebagai media dalam menstransfer pendidikan moral dalam Kehidupan Masyarakat Bali.
Berdasarkan uraian di atas, maka Seni lukis Wayang Kamasan sebagai Media Pendidikan Moral akan dikaji eksistensinya dalam mengajarkan moral yang baik agar mudah diingat dan dipahami, serta dilaksanakan oleh masyarakat Bali.
by admin | May 1, 2010 | Artikel, Berita
Oleh I Wayan Suharta Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Keberadaan kebudayaan Bali mencakup unsur-unsur yang sangat banyak dan beragam, salah satu diantaranya adalah unsur upacara. Upacara-upacara di Bali adalah merupakan suatu mata rantai yang tak dapat terpisahkan antara tatwa dan filsafat yaitu merupakan tujuan dari ajaran agama Hindu, serta susila adalah aturan-aturan yang patut dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Ketiga unsur tersebut merupakan unsur-unsur universal ajaran agama Hindu dimana antara unsur yang satu dengan yang lainnya harus saling dipahami dan ditaati secara terpadu serta tidak terpisahkan (Swarsi, 2003 : 1).
Cukup beralasan dan masuk akal, karena sebagian besar siklus kehidupan orang Bali dikendalikan oleh kegiatan-kegiatan yang relegius. Dalam menjalankan kegiatan tersebut terlihat bahwa kehadiran hakekat yang tertinggi selalu mendapat porsi yang dominan dan menonjol. Mereka percaya bahwa dengan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan hakekat yang tertinggi yaitu Tuhan Yang Maha Esa berserta segala ciptaannya, mereka akan berhasil dalam setiap pekerjaan sesuai dengan dharmanya.
Sebagai intisari dari pandangan dan konsep hidup inilah timbul paradigma tentang tiga keseimbangan hidup yang kemudian disebut Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Konsep ini mengajarkan agar selalu dijaga keseimbangan dan keselarasan hidup antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, antara manusia dengan alam lingkungannya dan keseimbangan hidup antara manusia dengan sesamanya (Tim Penyusun Pemda Tk. I Bali, 1992 : 32). Sebagai realisasi dari ketiga konsep ini, dilaksanakan melalui berbagai cara seperti pembacaan mantra dan doa-doa, menyanyikan lagu-lagu pujaan dan menyelenggarakan upacara yang disebut yadnya.
Sesuai dengan ajaran agama Hindu, yadnya berarti sebagai suatu korban suci secara tulus ikhlas tanpa pamrih. Yadnya merupakan sarana untuk mengadakan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai perbuatan mulia untuk menjaga keseimbangan dan tercapainya tujuan hidup di dunia akhirat. Oleh sebab itu hampir setiap hari dapat dijumpai orang melaksanakan yadnya dari tingkat yang terkecil seperti yadnya sesa hingga yang terbesar seperti upacara Eka Dasa Rudra di pura Besakih. Indikasi ini menunjukan adanya berbagai bentuk dan pelaksanaannya, yang secara garis besarnya ada lima jenis yadnya yang dilaksanakan oleh masyarakat Hindu di Bali disebut Panca Yadnya, meliputi ; Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya dan Dewa Yadnya.
Artikel selengkapnya
by admin | Apr 30, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Ketut Sida Arsa, S.Sn
RingkasanPenelitian Biaya DIPA 2009
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pergeseran bentuk estetika wadah di perusahaan I.B. Gede Pidada di Kelurahan Kesiman. Penelitian ini merupakan penelitian survey lapangan dengan melibatkan sekitar 30 orang yang merupakan karyawan dan masyarakat Kesiman. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik dokumentasi, wawancara, dan kuesioner. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif kuantitatif
Hasil analisis data menunjukkan bahwa persinggungan globalisasi dengan budaya lokal telah melahirkan suatu bentuk kebudayaan baru. Dimana unsur-unsur estetik dalam setiap kebudayaan dikemas menjadi suatu yang serba instan dan mendatangka keuntungan. Estetika dipandang tidak lebih dari hasil suatu proses logis, dimana kebutuhan dan teknik oprasional dipadukan sehingga menghasilkan sebuah bentuk karya yang akhir dalam hal ini wadah. Wadah dipandang hanya sebagai ekspresi logika dan rasionalitas fiungsi sehingga melahirkan bentuk ”estetika komoditi” yang dikendalikan oleh prinsif dasar kemersial dan kapitalisme yaitu mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga ekspresi estetis dalam pembuatannya tidak menjadi sesuatu yang utama melainkan hanya sebagai pemanis saja. Proses komodifikasi secara sadar atau tidak sadar telah menyentuh langsung pada dingding makna kebudayaan apalagi ketika simbol, ikon, dan budaya telah mulai disentuh oleh prinsif komersil
Berdasarkan temuan ini maka disarankan hendaknya seluruh pihak yang terkait dalam proses komodifikasi budaya Bali, kususnya yang bergerak di dalam komodifikasi wadah agar tetap memeperhatikan nilai-nilai estetika dan religiss yang terdapat pada wadah, serta menjaga keutuhan budaya Bali.
Kata Kunci : estetika, komoditi, komersial
by admin | Apr 30, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Ida Ayu Gede Artayani, S.Sn, M.Sn.
Dibiayai DIPA ISI Denpasar, 2009
Ringkasan Penelitian
Desa Binoh terletak di wilayah Kecamatan Denpasar Barat, adapun Desa Binoh dibatasi oleh Kelurahan Sempidi di sebelah barat, kelurahan Ubung Kelod di sebelah selatan, dan Desa Peguyangan di sebelah timur.
Desa Binoh terdiri dari dua bagian yaitu, Binoh Kaja dan Binoh Kelod, kerajinan yang hidup di daerah ini adalah keterampilan tradisional yang diwariskan secara turun temurun. Pengrajin atau pekerja di sini kebanyakan wanita yang telah berumur dan telah berkeluarga. Para suami atau kaum laki-laki biasanya bekerja di sawah dan membantu dalam pengangkutan barang-barang gerabah yang sudah jadi serta dalam proses pembakaran.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mendorong kaum wanita untuk menekuni pekerjaan sebagai pembuat kerajinan gerabah. Dan kendala apa yang dihadapi oleh pengrajin dalam memajukan usahanya.
Melalui penelitian di lapangan, menggunakan metode observasi dan wawancara, akhirnya permasalahan tersebut bisa terjawab. Adapun faktor yang mendorong wanita melakukan pekerjaan ini karena: Faktor pendidikan (wanita pengrajin rata-rata berpendidikan SD) kesempatan kerja, dan faktor ekonomi karena menggeluti pekerjaan ini tidak terkait oleh waktu sehingga para wanita bisa menselaraskan peranannya sebagai ibu rumah tangga.
Adapun kendala yang dihadapi oleh para pengrajin disini adalah: bahan baku dari daerah pengrajin sendiri semakin berkurang, dan harus mendatangkan dari daerah lain, teknologi, dan disain yang kurang serta pemasarannya. Selain itu dengan banyaknya gerabah-gerabah dari luar masuk kedaerah Bali yang memiliki disain lebih bagus.
by admin | Apr 30, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Nyoman Lia Susanthi Dosen PS Seni Pedalangan
Banyak tuntutan menjadikan seni pertunjukan harus dikemas untuk konsumsi pariwisata. Sehingga fungsi wayang sebagai tontonan kerap kali dipolesi dengan sentuhan inovatif dan kreatif. Dimulai dari pemanfaatan teknologi, menciptakan karakter-karakter baru dalam pewayangan hingga menyelipkan bahasa Inggris dalam setiap pementasannya. Bahasa yang biasa digunakan dalam pementasan wayang adalah bahasa Kawi, Bali dan Indonesia. Namun karena kebutuhan pasar menjadikan peket yang diberikan untuk penonton asing adalah wayang berbahasa Inggris. Sehingga pesan dan filosofi yang terkandung dalam wayang dapat diterima oleh penonton asing. Dari paparan diatas sangat diperlukan untuk melahirkan dalang yang memiliki kemampuan berbahasa asing khususnya bahasa Inggris.
ISI Denpasar sebagai lembaga pendidikan pencetak seniman intelektual, menjadikan bahasa Inggris sebagai matakuliah umum. Khususnya bagi mahasiswa Jurusan Pedalangan ISI Denpasar, mereka memperoleh matakuliah ini sebanyak dua semester, berjenjang (Bahasa Inggris I dan Bahasa Inggris II), pada semester II dan III. Dalam pembelajaran matakuliah bahasa Inggris memiliki tujuan instruksional yaitu mahasiswa mampu menggunakan bahasa Inggris baik lisan maupun tulisan dengan baik dan benar. Guna mencapai tujuan tersebut diperlukan pemikiran cermat, agar faktor-faktor yang terlibat dalam pembelajaran dapat berhubungan, bersinergi, sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Namun dalam proses pembelajaran bahasa Inggris di Jurusan Pedalangan ISI Denpasar seringkali menjadi momok bagi sebagian mahasiswa. Walaupun bahasa Inggris telah dipelajari dari tingkat sekolah menengah, bahkan tingkat sekolah dasar, banyak mahasiswa belum mampu menguasainya. Beberapa keluhan yang sering muncul adalah ketidakpahaman terhadap struktur tata bahasa internasional tersebut. Bahasa Inggris dinilai matakuliah sulit terutama dalam tata bahasa (English Grammar) serta penghafalan sekian ribu kosa kata baru. Selain itu faktor usia mahasiswa Pedalangan yang dominan sudah berusia lanjut, menjadikan bahasa Inggris sangat malas untuk dipelajari. Kendala-kendala inilah yang menyebabkan calon dalang berpendidikan ini tidak benar-benar menguasai bahasa Inggris.
Artikel Selengkapnya
by admin | Apr 29, 2010 | Artikel, Berita
Pembinaan Karawitan Kelompok Karawitan Ngesti Laras, Paguyuban Ngeksi Gondo Dibawah Naungan Yayasan Adi Budaya Denpasar Tahun 2009
Oleh: Tri Haryanto, S.Kar., M.Si.
Sebagaimana umumnya keberadaan Perguruan Tinggi di Indonesia, di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, pembinaan kesenian khususnya dibidang seni karawitan merupakan bentuk implementasi dari salah satu dharma bagi komunitas di perguruan tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat. Darma ini diartikan sebagai pengamalan ilmu pengetahuan teknologi dan seni, dilakukan oleh perguruan tinggi secara melembaga melalui metode ilmiah, langsung kepada masyarakat yang membutuhkan, dalam upaya mensukseskan dan mengembangkan manusia pembangunan (Adiputra, 1997:295). Karenanya adalah kewajiban bagi setiap insan akademik untuk melaksanakan kegiatan ini seiring dengan darma pendidikan dan penelitian.
Dalam pelaksanaannya, pengabdian kepada masyarakat terfokus pada suatu wilayah tertentu, utamanya yang kurang berkembang seperti pada kelompok karawitan Ngesti Laras pada Yayasan Adi Budaya. Diadakannya pembinaan-pembinaan dalam rangka pelestarian dan penguatan ketahanan nilai-nilai budaya (budaya Jawa), sebagai salah satu upaya mensejajarkan budaya Jawa dengan budaya lokal (Bali) dalam menunjang dunia pariwisata dan sebagai wujud preventif guna mencegah pengaruh negatif yang muncul dari dampak kepariwisataan.
Kelompok karawitan Ngesti Laras adalah bagian dari suatu Yayasan Adi Budaya di bawah naungan keluarga besar Paguyuban Ngeksi Gondo di Denpasar. Selain karawitan, wujud dari pelestariannya meliputi adat budaya ”nganten Jawa”, seni tari, dan seni pedalangan. Dengan demikian, sungguh berat apa yang diemban oleh kelompok karawitan Ngesti Laras, karena harus juga mendukung dari semua jenis seni yang membutuhkan peran serta dari karawitan sebagi pendukung pertunjukannya. Seperti dalam upacara pernikahan yang masih ingin melestarikan adat seperti apa yang berkembang di Jawa, maka perlu juga dukungan dari karawitan sebagai pengiring upacara pernikahan tersebut. Selai itu juga dalam pementasan seni pertunjukan lainnya seperti, pertunjukan seni Tari dan seni Pedalangan yang masih membutuhkan iringan langsung, juga perlu dukungan dari karawitan.
Dilaksanakannya sistem pembinaan terhadap kelompok karawitan Ngesti Laras secara berkelanjutan, hal ini disebabkan oleh karena adanya keinginan anggota kelompok karawitan dan masyarakat pendukung (Paguyuban Ngeksi Gondo) untuk senantiasa dapat meningkatkan apa yang telah dicapai dapat diandalkan dalam berbagai aktivitas yang melibatkannya. Kebanggaan kelompok karawitan terhadap aktivitas yang disertainya, menimbulkan antusiasme yang sangat tinggi dimana salah satu keinginan yang belum mereka gapai adalah memiliki sarana dari jenis-jenis pakaian tari, dan wayang sebagai sarana pentas pedalangan. Sedangkan untuk gamelan sudah diberi dari Pemerintah Daerah Tingkat I Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Juni 2006, meskipun masih berwujud gamelan Kuningan, namun dari pihak Pemda TK I DIY memberikan sinyal untuk memberikan gamelan yang lebih layak untuk disandingkan dengan gamelan-gamelan yang ada di Pulau Dewata ini yang serba gemerlapan.
Merasa dengan potensi yang dimiliki serta adanya dukungan dari masyarakat pendukung (Paguyuban Ngeksi Gondo), kelompok karawitan Ngesti Laras selalu ingin mengembangkan diri dengan berbagai hal yang ada kaitannya dengan adat budaya dan seni pertunjukan. Tidak menutup kemungkinan juga akan bisa menembus dalam ranah kepariwisataan di Pulau Dewata, melihat celah yang ada dan tidak menutup kemungkinan hal itu mudah untuk dijangkau. Untuk menjangkau itu, maka kelompok karawitan ini selalu ingin berbenah diri untuk menambah perbendaharaan materi baik untuk konser, untuk iringan adat budaya, iringan tari, dan iringan pedalangan.
Pembinaan Karawitan Ngesti Laras Yayasan Adi Budaya selengkapnya