by admin | Jun 18, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Ida Bagus Nyoman Mas, SSKar
Bentuk garapan adalah hasil dari pengolahan elemen-elemen musikal dengan pengaturan pola-pola tertentu. Pola-pola tersebut nantinya akan mengalami suatu pembentukan atau proses untuk mencapai komposisi. Pengertian bentuk dalam hal penciptaan komposisi karawitan Bali adalah bentuk karawitan menurut sifat garapannya, seperti klasik tradisi, klasik modern (kreasi baru) dan kontemporer.
Pada dasarnya garapan Cak Lubdhaka adalah bentuk drama-musikal “kreasi baru” atau klasik modern, suatu pengolahan komposisi yang telah memiliki pola-pola tersendiri dengan model pengembangan yang sudah ada serta mengutamakan motif-motif yang lebih dinamis dan bervariasi. Merupakan suatu perwujudan hasil kreativitas yang lebih mengutamakan nilai-nilai dan kebebasan individual. Kendatipun karya olah vokal ini dalam bentuk kreasi baru, namun dalam mengolah materinya masih bertitik tolak pada bentuk-bentuk seni tradisi, yaitu ada keterikatan pada pola yang sudah dianggap baku dan lebih mengutamakan nilai-nilai kolektif.
Menurut Soedarso (1972 : 20), seni tradisi adalah bentuk yang sudah memiliki pola-pola dan standarisasi yang baku sering dikategorikan sebagai seni klasik atau tradisional. Sedangkan kata modern berarti sesuatu yang berkaitan dengan gaya, metode atau gagasan terbaru, tidak ketinggalan zaman, dan berhubungan dengan trend dan aliran masa kini. Bentuk klasik atau tradisional dan kreasi baru atau modern, sesungguhnya saling membutuhkan, saling mendukung dan bahkan saling memperkaya. Untuk menghasilkan karya-karya kreasi baru para seniman tidak harus melepaskan diri dari seni tradisi. Perlu diingat, kesenian tradisional yang dijauhkan dari moderenisasi sama dengan membiarkan kesenian itu mati, dan sebaliknya kesenian modern yang lepas dari akar budaya tradisi akan menyebabkan kehilangan identitas budayanya.
Para seniman tidak membiarkan kesenian tradisi menjadi beku, dan untuk itu setiap generasi terus berusaha untuk melakukan inovasi terhadap kesenian tradisi milik mereka. Para seniman secara sadar, kreatif dan selektif memasukkan ide-ide kedalam kesenian tradisional yang mereka warisi sejak zaman lampau dengan tujuan untuk memberikan “nafas” baru yang dapat mendekatkan kesenian itu dengan masyarakat zaman sekarang.
Bentuk Karya Cak Lubdhaka Selengkapnya
by admin | Jun 18, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Nyoman Suardina, S.Sn.,Msn
Dalam proses penciptaan karya seni kriya, tentu melalui berbagai tahapan. Tahapan tersebut harus terstruktur, dan sedapat mungkin menggambarkan suatu proses penciptaan yang teratur dan rasional. Maka diperlukan pendekatan atau acuan metode yang comparable dengan proses penciptaan yang dilakukan. SP Gustami, seperti yang disitir I Made Bandem dalam buku Metodologi Penciptaan Seni Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta, mengajukan tigapilar penciptaan karya kriya. SP Gustami secara cerdik dan sadar telah …membuat proses penciptaan seni kriya itu melalui tiga pilar penciptaan karya kriya seperti eksplorasi, perencanaan, dan perwujudan. Tentu di antara tiga pilar utama proses penciptaan ini diikuti oleh proses antara seperti pengkajian sumber ide, perwujudan konsep, mendiskripsikan masalah, dan mencari solusi untuk kemudian menjadi perancangan yang diinginkan. Perancangan diteruskan dengan predisain, mendisain, serta mewujudkan model sebagai awal dari pembentukan akhir karya seni. Perwujudan diikuti oleh finalisasi karya seni konstruksi dan pengujian artistik, serta memberi asesemen sebelum karya kriya itu disosialisasikan kepada masyarakat. Proses seperti itu memberi gambaran dasar kepada setiap pencipta seni kriya dan guna memahami suatu proses penciptaan kriya seni yang di samping bisa dilaksanakan secara intuitif, proses ilmiah juga berlaku dalam sebuah penciptaan.( Bandem, 2001,: 3-4). Berdasarkan acuan metode penciptaan seni di atas, ada beberapa tahap penyelesaian yang dilakukan dalam penciptaan ini.
1. Eksplorasi
Judul atau topik ciptaan ‘Serikat Serangga’ berupa image kehidupan, digali dari hal-hal dan kejadian yang dialami dalam hidup, yang mengusik sanubari, dikiaskan dalam metafor didasari ide dan konsepsi pribadi. Dari faktor eksternal, sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab pendahuluan, bahwa hal-hal yang menghambat kemajuan bangsa seperti, korupsi, penipuan, kerakusan, dan lain-lain, ataukah sebaliknya hal-hal yang membawa kearah kemajuan, sepeti semangat kerja, gotong-royong, dan sebagainya, dipetakan dalam wilayah pikiran. Timbul kemudian imaji-imaji, sehingga pikiran menanggapi realitas itu dan ditafsirkan sebagai suatu metafor baru yang merupakan bagian dari layar kehidupan. Karena dimensi kehidupan ini begitu luasnya, sangat misteri dan menarik untuk diungkap, maka dipandang sangat tepat memilih ‘Serikat Serangga’ sebagai tema. Melalui kontemplasi mendalam, ‘Serikat Serangga’ diyakini dapat mewadahi pencitraan fenomena alam semesta yang memberi inspirasi dalam penciptaan.
Metode Penciptaan Serikat Serangga Dalam Penciptaan Seni Kriya selengkapnya
by admin | Jun 17, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Drs. I Dewa Putu Merta, M.Si (Dosen PS Seni Rupa Murni)
Karya yang berjudul keseimbangan vertikal ini terinspirasi dari bentuk lingga yoni. Lingga Yoni ini merupakan perwujudan rwa bineda. Lingga adalah simbol laki-laki dan yoni adalah simbol perempuan (ibu dan bapak) yang apabila hal itu dipertemukan akan melahirkan air kehidupan di dunia ini yang disebut dengan tirta amerta. Lingga juga merupakan lambang purusa (bapak/laki-laki). Yoni adalah lambang predana (perempuan). Lingga Yoni adalah simbol Siwa sebagai Bapak dan Siwa sebagai Ibu (bapak akasa dan ibu pertiwi) yang akan melahirkan suatu kehidupan keseimbangan dan keharmonisan di alam semesta ini. Keseimbangan vertikal dalam karya ini diwujudkan dengan bentuk bulatan lonjong keatas dan kebawah berdiri tegak diatas segi empat. Untuk mencapai dinamika keindahan karya dicapai dengan permainan tekstur kasar dan halus yang dibuat hampir melingkar pada sisi bulatan lonjong, sehingga terjadi pergulatan antara dua hal yang berbeda untuk mencapai keharmonisan karya dan hal ini juga didukung oleh pewarnaan yang sedikit berbeda.
Bentuk karya ini berangkat dari dua jenis kelamin manusia yang berbeda atau rwa binedha. Walaupun kedua jenis kelamin tersebut berbeda yaitu laki dan perempuan, namun keduanya tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini karena mereka saling membutuhkan. Laki adalah sebagai Bapak dan perempuan sebagai Ibu yang akan melahirkan suatu kehidupan keseimbangan dan keharmonisan di dalam rumah tangga. Pasangan laki dan prempuan ini dapat memberikan inspirasi bentuk lingkaran lonjong vertikal dan ruang tembus di dalamnya. Diatas lingkaran disusun dua buah bentuk bidang bulatan yang berbeda, sehingga secara keseluruhan terkesan seperti bentuk figur manusia yang sedang memadu kasih yang menggambarkan pasangan harmonis. Keindahan karya ini didukung oleh karakter bahan batu dan kulit kerang laut yang alami. Kesan tekstur kasar pada permukaan yang diakibatkan oleh sifat bahan kulit kerang dan batu dapat melahirkan karakter artistik pada perujudan patung.
Hasil Karya Seni Patung Modern dari Transpormasi Nilai-Nilai Ceritera Sutasoma selengkapnya
by admin | Jun 16, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Made Pande Artadi, S. Sn., M. Sn
a. Keketusan
Mengambil bagian terpenting dari suatu tumbuh-tumbuhan yang dipolakan berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya. Keketusan dalam ragam hias tradisional sangat banyak jenisnnya, seperti: keketusan wangga yang menggambarkan bunga-bunga besar yang mekar dari jenis tanaman yang berdaun lebar; keketusan bungan tuwung adalah hisan berpola bunga terung dalam bentuk liku-liku segi banyak berulang atau bertumpuk menyerupai bunga terung; keketusan bun-bunan adalah hiasan berpola tumbuh-tumbuhan jalar atau jalar bersulur. Keketusan lainnya seperti:mas-masan, kakul-kakulan,batun timun, pae, ganggong, dan lain sebagainya.
b. Pepatran
Jenis ragam hias ini berwujud gubahan-gubahan keindahan hiasan dalam patern-patern yang juga disebut patra. Ide dasar pepatran banyak diambil dari bentuk-bentuk keindahan flora. Keindahan flora diambil sedemikian rupa sehingga jalur daun, bunga, putik dan ranting dibuat berulang-ulang. Masing-masing pepatra memiliki identitas yang kuat dalam penampilannya, sehingga mudah diketahui, seperti: Patra Punggel yang ide dasarnya diambil dari potongan tumbuh-tumbuhan menjalar, terutamanya ujung daun paku yang masih muda. Punggel berarti potongan. Jenis pepatran yang lain adalah Patra Cina. Karena namanya, kehadiran dari patra ini diyakini oleh masyarakat Bali sebagai pengaruh dari kebudayaan Cina. Patra Cina merupakan stiliran dari tumbuhan kembang sapatu yang dalam pengolahan batang, daun dan bunganya dibuat dengan garis tegas sehingga mencerminkan pola yang konstruktif. Patra Samblung ide dasarnya diambil dari tanaman Samblung, yakni tanaman menjalar dengan daun-daun yang lebar. Dalam pepatran tanaman samblung ini dibuat berupa tanaman yang ujung-ujungnya menjalar dan melengkung harmonis. (lihat Gambar 3. 9) Dalam bangunan tradisional Bali jenis pepatran ini menempati bidang-bidang yang panjang karena polanya yang berulang dan memanjang.
Keketusan, Pepatraan dan Kekarangan selengkapnya
by admin | Jun 16, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Gede Yudarta (Dosen PS Seni Karawitan)
Pengertian Tabuh Angklung Keklentangan
Dalam periodisasi gamelan Bali, Gamelan Angklung tergolong sebagai salah satu tua. Gamelan ini diperkirakan muncul pada abad ke X. Terkait dengan itu, keberadaan komposisi tabuh-tabuh Angklung diperkirakan sudah ada pada masa-masa itu. Di Bali terdapat tiga jenis gamelan angklung yaitu Angklung Kembang Kirang, Angklung Kekelentangan dan Angklung Don Nem (Sukerta, 1998:4).
Memperhatikan nada-nada, sistem laras gamelan angklung pada umumnya berlaras selendro, sedangkan dilihat jumlah bilah pada salah satu instrumen pokoknya masing-masing dapat dikelompokkan menjadi gamelan Angklung 4 nada, gamelan Angklung 5 nada dan gamelan Angklung 6 nada.
Gamelan Angklung memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai aktivitas masyarakat. Adapun fungsinya, disamping sebagai salah satu seni bebali yaitu mengiringi pelaksanaan upacara, gamelan ini juga dapat berfungsi sebagai seni balih-balihan (tontonan). Dalam konteks upacara keagamaan gamelan ini sering dipergunakan dalam berbagai kegiatan upacara baik Dewa Yadnya maupun Manusa Yadnya. Sedangkan dalam fungsinya sebagai seni balih-balihan, dengan semakin berkembangnya kesenian ini di masyarakat, seringkali gamelan ini dipergunakan sebagai pengiring tari-tarian dan musik instrumental hiburan
Berkaitan dengan fungsinya dalam berbagai aktivitas masyarakat, tata penyajian gamelan ini ada yang disajikan pada satu tempat dan seringkali disajikan dengan sambil berjalan sebagai musik prosesi untuk mengiringi peed yaitu bentuk prosesi (pawai) adat yang dilaksanakan dalam upacara ngaben atau yang sejenisnya. Seringnya gamelan tersebut dipergunakan sebagai pengiring rangkaian upacara ngaben hal itu menimbulkan kesan bahwa gamelan Angklung identik dengan upacara ngaben. Di beberapa daerah seperti di wilayah Bali Utara, gamelan angklung justru dipergunakan sebagai pengiring upacara dewa yadnya dan berbagai bentuk upacara lainnya yang dilaksanakan di Pura.
Berkaitan dengan pembelajaran pada Praktek Karawitan I, salah satu diantaranya yang diangkat sebagai materi pembelajaran adalah gamelan Angklung Keklentangan. Dipergunakannya gamelan ini sebagai salah satu materi pembelajaran, karena, gamelan ini memiliki nilai-nilai yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat baik nilai ritual, nilai estetik dan nilai hiburan yang tinggi.
Tabuh Angklung Keklentangan Klasik selengkapnya
by admin | Jun 15, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Gede Yudartha
1 Pengertian Tabuh Jegog
Gamelan Jegog merupakan salah satu jenis gamelan yang menjadi ciri khas kabupaten Jembrana (Sukerna, 2003:1). Berbeda dengan jenis gamelan sebelum yang
diungkap dalam buku ini, gamelan Jegog terbuat dari bahan dasar Bambu. Sebagimana diuraikan oleh Sukerna (2003:2-3), gamelan ini awalnya merupakan gamelan bilah dimana bilah tersebut terbuat dari kayu Bayur/Panggal Buaya dengan resonator bambu yang terdapat dan tumbuh subur di sebagian besar wilayah Jembrana. Namun karena langkanya bahan baku kayu tersebut, pada perkembangan selanjutnya bilah tersebut digantikan dengan hanya memakai bambu saja. Terjadinya perubahan ini ternyata secara musikal menghasilkan kualitas suara yang lebih nyaring dan menghasilkan suara yang menggema.
Secara aklamasi masyarakat Jembrana khususnya di kalangan seniman menunjuk bahwa yang menciptakan gamelan ini adalah I Wayan Geliguh atau Kiyang Geliduh (1872) pada tahun 1912. Ia adalah seorang seniman yang berasal dari Banjar Sebual, Desa Dangin Tukad Aya, Kecamatan Negara, Jembrana.
Sebagai produk budaya asli masyarakat Jembrana, gamelan ini memiliki fungsi yang sangat beragam. Awalnya gamelan ini dipergunakan sebagai media komunikasi untuk memanggil warga masyarakat desa agar berkumpul guna melakukan kegiatan nyucuk yakni kerja bakti membuat atap rumah dari ijuk. Pada perkembangan berikutnya, gamelan ini dipergunakan untuk mengiringi tari pencak silat, suatu atraksi yang diadakan pada waktu istirahat atau setelah selesai nyucuk. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa gamelan ini memiliki fungsi sosial yang kemudian berkembang berfungsi sebagai hiburan atau seni tontonan. Sebagai salah satu tontonan yang sangat menarik gamelan Jegog sering dikompetisikan dengan dihadap-hadapkan (mebarung) antara satu sekaa dengan sekaa yang lainnya yang mana event ini disebut dengan ”Jegog Mebarung”.
Tabuh Jegog selengkapnya