by admin | Jul 12, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan
Balaganjur kini semakin gaul di kalangan anak muda Bali. Padahal dulu gamelan ini tak lebih dari bunyi-bunyian pelengkap upacara kematian. Tapi kini Balaganjur menggeliat dan menggebrak menjadi seni pertunjukan yang layak disimak. Karena itu, sejak tiga tahun terakhir ini Pesta Kesenian Bali (PKB) memberikan ruang khusus pada seni pentas ini. Bahkan PKB ke-32 tahun 2010 ini menampilkan sembilan grup Balaganjur persembahan kabupaten/kota se-Bali. Sajian seni yang disebut Parade Balaganjur Pragmentari tersebut dapat disimak penonton di panggung terbuka Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Senin (21/6) malam lalu adalah kesempatan Denpasar, Gianyar, dan Badung unjuk lebolehan.
Perkembangan Balaganjur menggiring penonton tak hanya terpukau oleh gaya bermain musik Balaganjur itu saja. Konfigurasi tari yang ditampilkan justru menambah pesonanya. Ada aksi Balaganjur lengkap dengan tari-tarian yang bernuansa heroik. Dan banyak pula terlihat yang memadukan musik Balaganjur dengan koreografi tari yang dibingkai dengan tuturan mitologi, legenda, epos Ramayana dan Mahabhrata. Bleganjur kini memang tak sekedar sajian musik instrumental. Ia kini bisa disajikan dan disaksikan sebagai seni pertunjukan utuh. Siapa pun berangkali tak menduga, Balaganjur kini mencuat dan demikian ngetrend, khususnya di kalangan anak muda. Padahal sebelumnya, kaum muda Bali sempat malu menyentuhnya.
Tapi kini simaklah Parade Balaganjur Pragmentari di arena PKB itu, kaum muda Bali dengan penuh kebanggaan dan suka cita menyuguhkannya dan penonton yang memadati panggung terbuka ISI tersebut menikmati dengan antusias. Kota Denpasar tampil dengan tajuk “Nirasraya”, Kabupaten Gianyar mengetengahkan lakon “Gajah Waktra” dan Kabupaten Badung hadir dengan Balaganjur pragmentari “Bandha Moksa”. Ketiga grup tampil mempesona dengan memadukan keterampilan memainkan instrumen dan tata garap tari. Berkesempatan unjuk diri antara 10-15 menit, betapa gelora kreativitas seni kaum muda itu membumbung.
Pentas Balaganjur, Kebanggaan Kawula Muda Bali Selengkapnya
by admin | Jul 12, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Saptono (dosen PS Seni Karawitan)
Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Antonio Gramci dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Gagasanya yang cemerlang tentang hegemoni, yang banyak dipengeruhi oleh filsafat hukum Hegel, dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure (basis-suprastruktur). Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.
Teori hegemoni sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi tradisi Marxis. Menurut Femia pengertian semacam itu sudah dikenal oleh orang Marxis lain sebelum Gramci, seperti; Karl Marx, Sigmund Freud, Sigmund Simmel. Yang membedakan teori hegemoni Gramci dengan penggunaan istilah serupa itu sebelumnya adalah; Pertama, ia menerapkan konsep itu lebih luas bagi supremasi satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan pemekaian iistilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada relasi antara proletariat dan kelompok lainnya. Kedua, Gramci juga mengkarakterisasikan hegemoni dalam istilah “pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi” sebagaimana dipahami generasi Marxis terdahulu (Femia, 1983).
Teori hegemoni dari Gramci yang sebenarnya merupakan hasil pemikiran Gramci ketika dipenjara yang akhirnya dibukukan dengan judul “Selection from The Prissons Notebook” yang banyak dijadikan acuan atau diperbandingkan khususnya dalam mengkritik pembangunan. Dalam perkembangan selanjutnya teori hegemoni ini dikritisi oleh kelompok yang dikenal dengan nama “New Gramcian”.
Teori hegemoni dibangun di atas preis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramci dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moraldan intelektual” secara konsensual. Dalam kontek ini, Gramci secara berlawanan mendudukan hegemoni, sebagai satu bentuk supermasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supermasi lain yang ia namakan “dominasi” yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik (Sugiono, 1999:31).
Teori Hegemoni Sebuah Teori Kebudayaan Kontemporer Selengkapnya
by admin | Jul 12, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Gede Suwidnya (Mahasiswa PS Seni Karawitan)
Musim kemarau kala itu di desa Seraya Karangasem belum berahir.Hujan yang dinanti-nanti berlum juga menunjukkan tanda-tanda akan turun.Bagi masyarakat di desa Seraya kondisi ini sangat tidak menguntungkan.Mereka juga ingin merasakan tanah mereka diguyur hujan meski berada pada daerah kering.Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai petani.Tentunya masyarakat di daerah tersebut tidak akan tenang dan bissa diam dengan keadaan seperti itu.
Ahirnya mereka melakukan suatu rapat untuk menjalankan suatu tradisi yang sangat sakral yang mungkin dapat mengatasi masalah kemarau yang berkepanjangan.Dari hasil paruman desa,tercetuslah ide untuk melaksanakan ritual yang bernama “GEBUG ENDE”.
Gebug Ende adalah salah satu tradisi yang unik dan diyakini oleh masyarakat sekitar dapat membantu masalah mereka mengatasi masalah kemarau yang berkepanjangan,tentunya tradisi ini sudah berjalan lama secara turun temurun dan menjadi kepercayaan masyarakat setempat.
Pengertian Gebug Ende :
Istilah Gebug Ende dikenal juga dengan nama Gebug Seraya.Gebug Ende berasal dari kata Gebug dan Ende,Gebug berarti memukul dan Ende berarti alat yang digunakan untuk menangkis (tameng).Alat yang digunakan untuk memukul adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5 centi meter hingga 2 meter.Sedangkat alat untuk menangkisnya terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan dan dianyam berbentuk lingkaran.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tari Gebug Ende merupakan salah satu tarian/permainan yang menjadi tradisi masyarakat Seraya yang dimainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama membawa ende dan penyalin,dimana pemainnya saling memukul dan menyerang.Tehnik yang dibutuhkan adalah memukul dan menangkis.
Tradisi Gebug Ende Selengkapnya
by admin | Jul 10, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Drs. I Gede Mugi Raharja, MSn
a. Struktur Badan dan Atap Bangunan
Bentuk dan struktur badan bangunan rumah tinggal Bali Madya sebelumnya dibuat sederhana dengan pola-pola bebaturan yang sederhana. Bentuk segi empat dan segi empat panjang adalah bentuk yang paling banyak digunakan sebagai bangunan induk rumah tinggalnya. Sebahagian besar bentuk atap bangunannya menggunakan bentuk limasan dan beberapa menggunakan bentuk atap pelana seperti untuk bangunan paon/dapur.
Struktur badan bangunan tradisional Bali sebagian besar menggunakan tiang (sesaka) yang terbuat dari kayu, begitu juga halnya dengan struktur atap menggunakan bahan kayu yang dikombinasikan dengan bambu. Kayu yang digunakan memiliki kualifikasi atau jenis tertentu pada setiap jenis bangunan di Bali, misalnya : kayu cendana, menengen, cempaka, kuanitan dan majegau dipergunakan pada bangunan suci (Sanggah/Merajan/Pura). Kayu ketewel, teger, bendu, sentul, sukun, seseh dan timbul dipergunakan untuk bangunan bale pada rumah tinggal. Sedangkan untuk bangunan lumbung (jineng) dan dapur (paon) mempergunakan kayu wangkal, kutat, blalu, sudep, seseh dan buhu.
Untuk studi kasus di lapangan, peneliti mendapatkan bahwa bangunan suci terbuat dari kayu dan bambu. Kerangka tiang menggunakan kayu dengan konstruksi rangka dan sunduk serta pasak (lait). Kerangka atapnya menggunakan kayu dan bambu khususnya untuk iga-iga-nya.
Bentuk, Fungsi dan Material Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya I Selengkapnya
by admin | Jul 9, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Ni Putu Tisna Andayani, Dosen PS Seni Karawitan
Perhelatan besar Pesta Kesenian Bali ke XXXII mengambil tema ” Sudamala ” yang berarti ”Mendalami Kemurnian Nurani” menyajikan berbagai bentuk kesenian tradisional yang tidak hanya khas Bali namun juga kesenian tradisional lainnya dari wilayah Indonesia maupun dari Mancanegara pun ikut berpartisipasi. Salah satu diantaranya ditampilkan Parade Lagu Daerah Bali di ajang PKB.
Untuk itu ”Catur Muka Swara” yang merupakan duta kota Denpasar juga ikut mengambil bagian pada ajang Parade Lagu Daerah Bali yakni tepatnya pada hari Kamis, 24 Juni 2010. Grup Band Catur Muka Swara yang terbentuk sejak tahun 1998 ini tidak pernah melewatkan kesempatan setiap tahunnya untuk tampil di ajang Pesta Kesenian Bali. Maka dari itulah kegiatan Parade Pop Daerah Bali Kota Denpasar kali ini yang berada dibawa arahan Bapak I Nyoman Astita, MA selaku penanggung jawab kegiatan adapula I Komang Darmayuda, S.Sn, M.Si., Ni Wayan Ardini S.Sn, M.Si dan I Ketut Sumerjana S.Sn selaku Pembina dimana notabene mereka semua tercatat sebagai Dosen di Jurusan Karawitan ISI Denpasar terus berusaha untuk melestarikan kesenian olah vokal dan musik melalui Catur Muka Swara. Baik itu dari segi musikalitas maupun penampilannya diatas panggung. Selain kerja keras dari para Pembina dan Penyanyi dimana dalam kurun waktu yang cukup singkat akhirnya dapat menampilkan sesuatau yang berbeda dari peserta parade lainnya walaupun dengan properti yang cukup minim dan jauh dari kesan glamour namun tetap elegan. Hal ini juga tidak terlepas dari peran koreographer dan penata costume Ni Made Wulan Tisandi,SS yang sangat jeli dalam pemilihan materi untuk costume dan juga apik menggabungkan gerakan-gerakan tari dengan musik iringan yang telah diaransemen dan disajikan dengan apik oleh para musisi handal Kota Denpasar diantaranya Gus Jack Suparwata (Guitarist), Wing Wiryawan (Bassist), Gung Gus (Drumer), Kt. Sumerjana (Keyboard 1), Dewa Pangkwala (Keyboard 2) serta didukung pula oleh mahasiswa jurusan Karawitan ISI Denpasar yakni Yuliarta & Tissen pada kendang, serta siswa SMA & SMP kota Denpasar Ade & Aditya pada Gamelan.
Catur Muka Swara diharapkan menjadi andalan Pemkot Denpasar di dalam melestarikan dan mengembangkan seni musik, khususnya lagu-lagu daerah Bali di bawah koordinasi Dinas Kebudayaan Pemerintah Kota Denpasar. Kegiatan ini tentunya diharapkan dapat meneruskan kesenian olah vokal dan musik di Kota Denpasar serta digunakan sebagai tolok ukur agar generasi-generasi muda kota Denpasar dapat terus berkarya dan berkreativitas di bidang Seni sesuai dengan tujuan Kota Denpasar yakni menciptakan Kota yang berwawasan Seni Budaya. Menurut pengamatan dari Dosen berprestasi ISI Denpasar 2010 Ni Wayan Ardini, S.Sn, M.Si., ia lebih menyoroti pergeseran Lagu Pop Bali versi PKB saat ini sudah megalami pergeseran yang tadinya sangat kuat menggunakan Laras Pelog & Slendro namun saat ini condong lebih mengarah ke ” Guruh-guruhan ” (versi Guruh Soekarno Poetra). Ia juga menyinggung tentang pengaruh teknologi yang juga memberikan dampak yang cukup signifikan dan merugikan bagi perkembangan Lagu daerah Bali terutama dalam ajang PKB. Perlu dikaji lebih mendalam lagi baik dari segi koreografi, musik dan aransemen lagu sehingga tidak terjadi hal-hal yang dikenal dengan Plagiarisme. Hal ini membunuh secara perlahan-lahan kreativitas para arranger maupun koreographer padahal justru di ajang-ajang seperti inilah seharusnya mereka berani untuk menampilkan kreativitasnya dan style-nya masing-masing imbuhnya. Ardini juga berharap agar musisi-musisi handal Bali yang sudah sukses di ajang-ajang nasional dapat ikut terlibat dalam Pesta Kesenian Bali sehingga dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bermusik para generasi muda Bali.
Catur Muka Swara Bergema Diajang Parade PKB XXXII 2010 Selengkapnya
by admin | Jul 9, 2010 | Artikel, Berita
Oleh I Wayan Diana (Mahasiswa PS Seni Karawitan)
Etnomusikologi sebagai disiplin ilmu musik yang unik. Etnomusikologi mempelajari musik dari sudut pandang sosial dan kebudayaan. Istilah “etnomusikologi” pertama dikemukakan oleh ahli musik berkebangsaan Belanda yang bernama Jaap Kunst (1950). Seorang pakar etomusikologi barat yang bernama Mantle Hood menyatakan bahwa penelitian etnomusikologi merupakan studi musik dari berbagai bangsa yang ditinjau dari konteks sosial dan kebudayaan. Musik itu dipelajari melalui peraturan-peraturan tertentu yang dihubungkan dengan bentuk kesenian lainnya; seperti tari, drama, arsitektur, dan ungkapan kebudayaan lain termasuk bahasa, agama, dan filsafat (I Made Bandem, Etnomusikologi Penyelamat Musik Dunia, ISI Yogyakarta, 1987 : hal.1.). Begitu juga halnya gamelan Gender Wayang sebagai salah satu alat musik tradisional Bali dalam jangkauan ilmu etnomusikologi tidak saja hadir sebagai sebuah bagian dari musik itu sendiri, melainkan sebagai bagian dari kebudayaan yang menyangkut kearifan lokal (local genius) masyarakat pendukung, agama, dan tatanan falsafat sesuai tempat, waktu, dan situasi (desa, kala, patra) dari tempat tumbuh kembangnya gamelan Gender Wayang itu sendiri.
Jika dicermati lebih dalam lagi, gamelan Gender Wayang selain ditinjau dari unsur musikologinya mampu hadir sebagai identitas budaya Bali, kalau berbicara dalam konteks budaya sebagai penanda jati diri suatu daerah. Budaya orang Bali begitu kental dengan sebuah tatanan, aturan, etika, dan susila dengan toleransi yang sangat tinggi, dan semua itu apabila dikaitkan dengan gamelan Gender Wayang, maka akan terlihat sebuah persamaan dari dimensi yang berbeda sebab budaya orang Bali yang penuh dengan kearifan, kesantunan, dan kelembutan seperti sebuah refleksi dari untaian-untaian nada slendro yang memiliki kesan dan karakter anggun, tenang, dan damai. Kedamaian, anggun, dan kesan tenang dari suara yang ditimbulkan oleh gamelan gender wayang menjadikan salah satu faktor penyebab dan pembentuk manusia Bali dengan budayanya yang penuh dengan tatanan, etika, aturan, susila, dan toleransi tinggi.
Dari tinjauan filsafat, merupakan sebuah pengungkapan suatu yang hakiki dari sebuah nilai (I Ketut Gede Asnama, MA, Facebook, 31 Januari 2010), gamelan Gender Wayang kaya akan nilai-nilai adi luhung berkenaan dengan konteks filsafat apabila dikaitkan dengan konteks musikologinya, salah satunya adalah tertanamnya sebuah konsepsi bayu, sabda, dan idep atau energi/tenaga, ungkapan/kesan, dan pikiran/konsep. Dalam konteks bayu yaitu energi tenaga dari Gender Wayang yang memiliki sebuah energi tenaga sangat halus dan lembut apabila ditinjau dari countur atau efek dari suara slendro dari instrument Gender Wayang. Namun dibalik kesan halus dan lembut, tersimpan sebuah kekuatan atau energi yang sangat besar menghentakkan rohani apabila ditinjau dari sebuah kepekaan rasa.
Gamelan Gender Wayang dalam Konteks Etnomusikologi Selengkapmnya