by admin | Jul 27, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Dr. Ni Made Ruastiti, SST. MSi.
I. Pendahuluan
Industri kreatif merupakan bagian dari ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif adalah wujud dari upaya mencari pembangunan yang berkelanjutan melalui kreativitas. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumberdaya terbarukan. Ekonomi kreatif merupakan ekonomi evolusi tahap IV pasca ekonomi pertanian, ekonomi industri, dan ekonomi informasi (Deperindag, 2008).
Konsep industri kreatif jika dikaitkan dengan seni pertunjukan pariwisata akan memperlihatkan adanya kesinambungan pembangunan dalam bidang kesenian. Seni pertunjukan yang ditampilkan masyarakat Bali untuk pariwisata adalah wujud industri kreatif masyarakat setempat dalam mengembangkan kehidupan berkeseniannya yang telah dilakukannya secara berkelanjutan. Hal itu dapat diamati dari keberadaan seni pertunjukan pariwisata daerah ini yang sesungguhnya sebagian besar merupakan kemasan, pengembangan dari bentuk-bentuk kesenian Bali (Bandem, 1996; Soedarsono, 1999; Dibia; 2000; Picard, 2006; Ruastiti, 2008).
II. Sekilas Tentang Perkembangan Seni Pertunjukan Pariwisata di Bali
Bali selain di kenal sebagai pulau dewata juga terkenal karena memiliki berbagai jenis kesenian dalam kebudayaannya. Salah satu unsur kebudayaan Bali yang sering dipergunakan sebagai daya tarik pariwisata adalah seni pertunjukan.
Pulau Bali telah dipromosikan sebagai daerah tujuan wisata oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1920-an (Nielsen, 1928 : 9-18). Bali yang ketika itu masih di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda dianggap kurang memiliki potensi ekonomi, namun Bali memiliki kebudayaan yang sangat unik yang kemudian mereka kembangkan sebagai daya tarik wisata Bali. Pemerintah kolonial Belanda ketika itu mempergunakan Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) mempromosikan Bali ke negara-negara Eropa (Tantri, 1965: 60-80).
Sejak dibukanya Bali sebagai daerah tujuan wisata, kehidupan masyarakatnya mulai mengalami perubahan. Pendidikan yang diperoleh bagi sebagian warga masyarakat Bali melalui sekolah-sekolah yang dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda tampaknya secara perlahan-lahan telah memperluas wawasan mereka tentang berbagai hal terkait dengan kehidupan. Dengan diberikannya peluang untuk mengenyam pendidikan membuat sebagian warga masyarakat Bali ketika itu mulai mengubah pola pikirnya, dari cara berfikir irasional menjadi rasional (Gde Agung, 1989: 313).
Sebagaimana dikatakan Piet (1933: 86-87), bahwa sejak datangnya wisatawan ke daerah ini, orang Bali mulai berfikir tentang “waktu adalah uang”. Itu artinya bahwa orang Bali ketika itu sudah mulai berfikir rasional. Meningkatnya pendidikan kiranya telah dapat mengubah cara berfikir seseorang dari irasional menjadi rasional, dan hal itu juga tampak pada kehidupan masyarakat Bali dalam berkesenian. Mereka mulai mempunyai gagasan untuk menyikapi peluang atas ramainya kunjungan wisatawan datang ke Bali.
Ramainya wisatawan berkunjung ke Bali mendorong masyarakat setempat kreatif menciptakan sesuatu yang dapat “bernilai tukar”. Giddens (1986) menyatakan bahwa “nilai tukar” berkaitan erat dengan “komoditi”. Komoditi mempunyai nilai ganda, di satu pihak mempunyai “nilai pakai” (use value), dan di pihak lainnya mempunyai “nilai tukar” (exchange value). Sedangkan masyarakat Bali dalam kaitan dengan pariwisata lebih menekankan pada nilai ekonomis. Hal itu dapat dilihat dari sikap masyarakatnya yang semenjak ramainya wisatawan berkunjung ke daerah ini mereka tampak lebih banyak memilih profesi yang terkait dengan industri pariwisata seperti menjadi pemandu wisata, membuka usaha biro perjalanan wisata, membuka penyewaan mobil, penyewaan rumah tinggal/hotel, menjual makanan, menjual cendramata, menyekolahkan putra-putrinya ke jalur profesi terkait dengan pariwisata, dan lain sebagainya.
Seni Pertunjukan Pariwisata Indutri Kreatif Berbasis Kesenian Bali selengkapnya
by admin | Jul 22, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Gede Suwidnya mahasiswa PS Seni Karawitan
Genjek merupakan kesenian yang muncul secara spontanitas di tengah-tengah masyarakat.Kepopuleran kesenian genjek tersebut disebabkan karena karena kebebasan menciptakan lirik lagu sebagai proses penyampaian informasi baik berupa kritik,pujian maupun sindiran dalam format yang sangat sederhana,sehingga membuat kesenian Genjek ini sangat komunikatif.
Pada ajang PKB XXXII Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab.Karangasem mengirim kontingen genjek yang merupakan kesenian khas karangasem.Sebagai duta yang terpilih adalah sekeha “Genjek Kadong Iseng”(Bungkulan,Seraya Barat) yang menampilkan lakon “Wireng Laga”.
Berdirilah sebuah kerajaan Amlaraja dengan rajanya yang amat masyur yang bergelar Anak Agung Anglurah Karangasem.Berkat kemasyuran beliau mampu memperluas kekuasaannya hingga ke Pulau Lombok ke kerajaan Seleparang.Suatu hari berangkatlah Pasukan Laskar Karangasem dengan segenap senjata(yang kemudian sebagai pendukung gebug ende di Seraya) menyerang kerajan lombok.Berkat anugrah Idha Sanghyang Widhi Wasa Tuhan YME yang bersstana di Pura Bukit ,Kerajaan Seleparang dapat ditaklukkan ,untuk memeriahkan kemenangan raja Karangasem prajurit bersenang-senang kegirangan.Dari hal inilah kemudian lahir syair-syair lagu yang sering disebut Macekepung.Namun karna perkembangan zaman timbul kreatifitas para seniman muda untuk mengembangkan syair cekepung menjadi gubahan melodi vocal,yang sering disebut masyarakat Karangasem khususnya Desa Seraya dengan istilah MAGENJEKAN.
Kerajaan Amla Raja Bergenjek Ria selengkapnya
by admin | Jul 20, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: A.A.Ayu Kusuma Arini, SST.,MSi
Regenerasi Penari dan penabuh
Untuk membicarakan masalah regenerasi penari pada Legong Peliatan dapat diperoleh informasi setelah sukses melakukan lawatan ke luar negeri sebagai duta kesenian ke Eropah dan Amerika tahun 1952. Regenerasi itu biasanya berlanjut dari faktor genetik (keturunan), bakat dan hobi. Begitulah yang terjadi di Peliatan, pada umumnya penari ataupun penabuh yang melanjutkan profesi sebagai seniman sudah didahului oleh kakek-nenek, ibu-bapak ataupun paman-bibi. Di samping itu memiliki pengajar tari Biang Sengog dan A.A.Mandera sebagai dwi tunggal dalam proses pelatihan lima generasi penari dalam rentang waktu antara tahun 1950an hingga 1970an.
Mandera menghabiskan seluruh hidupnya untuk menghidupkan tradisi gong kebyar dan Palegongan khas Peliatan. Ketekunan beliau mendidik dan melahirkan penari-penari Legong Peliatan tidak pernah terputus. Hal ini terlihat dengan kelahiran tanpa henti penari-penari generasi penerus yang berkualitas menggantikan penari yang sudah senior yang tidak bisa aktif lagi. Banyak penari senior pada batas usia tertentu mengalihkan perhatian pada profesi lain maupun sebagai ibu rumah tangga.
Adapun asuhan pertama Biang Sengog sebagai penari Legong Lasem yang dipersiapkan untuk missi kedua ke Eropa tahun 1952 yang masih hidup saat penelitian ini adalah A.A Anom dan Gusti Ayu Raka. Kemudian generasi angkatan kedua namun kini tidak aktif menari tercatat A.A Arimas. Selanjutnya angkatan 1960an hingga 1970an, baik yang tidak aktif menari maupun yang masih sering menari, tercatat nama-nama Bulan Trisna Jelantik, Desak Widhi, Jero Kartika, A.A.Raka Astuti, A.A.Sri Utari, Cok. Ratih Iryani, Luh Nyoman Sulasih, Ni Luh Mas, A.A.Rita dan yang lainnya.
Perkembangan Legong gaya Peliatan selengkapnya
by admin | Jul 18, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Drs. I Wayan Suardana, M.Sn
Pengaruh Kolektif Seni Kerajinan Batu Padas
Seni kerajinan berkembang dan dilakukan melalui tradisi sosial suatu masyarakat yang berfungsi untuk menopang dan mempertahankan kolektivitas sosial. Seni kerajinan merupakan bagian penting dalam sistem perekonomian masyarakat Sukawati. Peran tersebut menjadikan seni kerajinan itu, memiliki posisi yang unik dalam membentuk identitas masyarakat. Hal ini dapat dilihat melalui sudut pandang perajin yang bersangkutan sebagai penghasil karya seni tersebut, eksistensi seni kearajinan yang terdiri dari beberapa unit usaha baik yang bersifat kelompok maupun perseorangan bergerak dalam jenis usaha yang sama dan jenis produk yang sama pula. Dalam prosesnya dilandasi sifat gotong-royong, tenggang rasa, solidaritas dan loyalitas dalam menjunjung tinggi kehidupan berkelompok. Sifat-sifat ini sangat mewarnai iklim kerja para perajin di Silakarang yang terdiri dari kelompok-kelompok usaha.
Sebagai produk sebuah komunitas seni kerajinan ukir batu padas, dalam proses produksinya melibatkan banyak pihak dan orang lain, sehingga suatu karya seni karajinan tidak lepas dari keterlibatan person, proses dan produk. Sebab itu jika dari proses atau aktivitas perajin dalam bentuk kolektif, maka aktivitas kesenian ini, berfungsi sebagai pengikat solidaritas masyarakat.
Meninjau fungsi sosial seni kerajinan Silakarang dalam situasi umum, dapat dicermati dari aspek produk. Diketahui bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh perajin seni ukir batu padas Sukawati adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan masyarakat, berupa produk fungsional seperti, tempat pas bunga, tempat lilin, maupun produk non fungsional yang sifat libih pada dekorasi seperti gebogan. Gebogan merupakan seni ukir yang terinspirasi dari bentuk sesajen Bali, yang tersusun dari berbagai jenis buah-buahan, pada bagian puncaknya dihias dengan topeng dalam wujud laki dan perempuan dan ornamen yang terbuat dari janur.
Karya-karya tersebut di atas, digunakan dalam situasi umum atau keperluan sehari-hari seperti pesta pada acara perkawinan, upacara potong gigi, dan acara formal seperti ulang tahun suatu organisasi. Dengan demikian karya-karya yang dihasilkan perajin sentra Sukawati ini jelas peranannya untuk mengemban fungsi sosial. Dengan kecendrungan sebagaimana tersebut pada point ke dua pendapat Feldman tentang ciri seni yang memiliki fungsi sosial, bahwa karya-karya tersebut digunakan untuk dapat dilihat dalam situasi umum di kehidupan sehari-hari atau untuk keperluan tertentu.
Fungsi Seni kerajinan Ukir Batu Padas Sukawati II
by admin | Jul 16, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Wardizal, Dosen PS Seni Karawitan
Alek Marapulai (upacara perkawinan), merupakan suatu bentuk upacara adat di Minagkabau untuk peresmian perkawinan sepasang pengantin yang sudah resmi menikah. Bagi manusia, perkawinan merupakan suatu peristiwa hidup yang paling berkesan. Oleh karena itu, seseorang atau keluarga dengan kondisi sosial yang baik (berkecukupan) akan merayakan peristiwa perkawinan dalam keluarga mereka dengan upacara pesta atau alek marapulai. Pelaksanaan upacara ini pada dasarnya bertujuan untuk memberitahukan kepada masyarakat nagari, bahwa pasangan pengantin tersebut telah resmi menikah. Di sampiong itu, tujuan lainnya adalah sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena acara pernikahan sang pengantin telah berlangsung dengan baik dan selamat.Dalam pelaksanaan alek marapulai ini semua karib kerabat, tetangga, pemimpin adat (penghulu, ninik mamak, cerdik pandai), pemimpin agama (ulama) serta pemimpin dan warga masyarakat diundang untuk memberikan doa restu kepada kedua pengantin.
Secara umum, upacara perkawinan di Minangkabau terdiri atas empat tahapan, yaitu: manyilau, manaiakan siriah, batimbang tando, akad nikah dan baralek. Manyilau, adalah proses penjajakan dari pihak keluarga perempuan atau laki-laki terhadap calaon suami atau istri dari anak atau kemenakan mereka. Hal itu dilaksanakan untuk mengetahui asal-usul dari si calon tersebut, apakah sudah punya calon lain atau belum, di samping juga untuk menjajaki apakah si calon itu kira-kira mau atau menolak anak atau kemenakan mereka. Tugas manyilau tersebut dilakukan oleh perempuan.
Pihak yang melakukan manyilau, berbeda pada setiap daerah di Minangkabau. Di Daerah Payakumbuh, manyilau dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap perempuan yang diingini untuk dijadikan sebagai menantu. Sedangkan di daerah Bukittinggi, manyilau dilakukan oleh pihak perempuan. Hal itu tergantung pada pihak yang akan meminamng. Jika yang meminang adalah pihak perempuan, maka manyilau datang dari pihak perempuan, demikian juga sebaliknya.
Pertunjukan Kesenian Tradisional Pada Upacara Alek Marapulai (Pesta Perkawinan) Selengkapnya
by admin | Jul 16, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: A.A.Ayu Kusuma Arini, SST.,MSi
Dalam pembelajaran tari, Mandera menerapkan dua hal yang mendasar. Bagi anak perempuan, sebagai dasar tari diajari tari Legong karena perbendahraan gerak lebih lengkap. Sedangkan anak laki-laki diajarkan tari Baris. Untuk mengajar tari Legong selain Biang Sengog, dipercayakan pula kepada Gusti Ayu Muklen dari Pejeng dan Ni Ketut Reneng dari Denpasar. Sebagai pengajar tari Baris ada A.A.Rai Breset dai Mas, Nyoman Kakul dan Made Jimat dari Batuan. Sedangkan untuk Kakebyaran ada Wayan Rindi dari Denpasar, Ketut Maria dari Tabanan dan Gede Manik dari Singaraja.
Pelatihan tari Legong Lasem gaya Peliatan dari semula biasanya dilakukan pada siang hari yang diiringi permainan kendang Gungkak Mandera dan gumaman melodi oleh Niang Sengog sendiri. Untuk memberi dasar gerak, Sengog membantu pembentukan olah tubuh lewat pijatan tubuh penari dengan kaki agar tubuh menjadi luwes dan lentur. Menurut pengakuan Raka Rasmi sebagai penari Condong Legong yang pertama kali diasuh Niang Sengog untuk persiapan ke Paris tahun 1952, betapa beratnya mulai belajar menari. Tubuh betul-betul terasa sakit guna mendapatkan agem yang kuat. Tubuh harus tengkurep di lantai, kemudian diinjak-injak untuk melemaskan otot. Di bawah ketiak diikat sabuk setagen supaya agem tidak berubah. Untuk melatih gerakan ngelayak (kayang) dilakukan sendiri dengan bersandar di atas meja yang setinggi pinggang. Di samping itu kadang-kadang pelatih tari berdiri di samping sembari memegang pinggang penari (wawancara, 20 Agustus 2009).
Teknik Pembelajaran Tari Legong selengkapnya