by admin | Sep 1, 2010 | Artikel, Berita
Oleh I Ketut Darsana, Dosen PS Seni Tari ISI Denpasar
Dari tahun ketahun kesenian Bali khususnya Seni Tari mengalami perkembangan yang cukup pesat, didukung oleh adanya lembaga pendi-dikan formal seperti SMK/Perguruan Tinggi bidang Kesenian, sanggar-sanggar tari, dan ditunjang oleh adanya Pesta Kesenian Bali setiap tahun oleh Pemerintah Daerah Bali. Hal ini memberi dampak positif terhadap perkembangan Kesenian Bali umumnya dan Seni Tari Khususnya. Melihat adanya perkembangan ini sudah tentunya menuntut fasilitas yang mema-dai misalnya: tempat pentas (panggung), mutu garapan, tata rias, dan juga tata busana dan hiasan yang berfungsi sebagai hiasan juga mengandung sifat simbolis yang mengandung maksud dan makna tertentu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Busana dalam Tari Bali bertujuan untuk membantu agar mendapat suatu ciri atau pribadi peranan yang dibawakan oleh para pelaku. Selan-jutnya membantu memperlihatkan adanya hubungan peranan yang satu dengan peranan yang lainnya. Dan juga membantu menumbuhkan rasa keindahan lewat warna dan hiasan yang menyertainya. Agar mendapat efek yang diinginkan dalam pentas maka busana menunaikan fungsi yaitu: (1) fungsi yang paling penting ialah membantu menghidupkan perwatakan pelaku. Maksudnya sebelum dia berdialog, busana sudah da-pat menunjukkan peran yang dibawakan, umurnya, kepribadiannya, status sosial misalnya golongan bangsawan, brahmana, rakyat jelata dan lain-lain. Bahkan busana dapat menunjukkan hubungan psikologinya dengan karakter-karakter lainnya, (2) menunjukkan ciri individu peranan, melalui warna styl busana dapat membedakan peran satu dengan yang lainnya, (3) memberi fasilitas dan membantu gerak para pelaku.
Transformasi Busana Adat Bali Aga Dalam Tata Busana Tari Selengkapnya
by admin | Sep 1, 2010 | Artikel, Berita
Oleh I Nyoman Wija, SE,AK *
Pers dan kebudayaan bagaikan mata pisau, yang menjadi “bencana” bagi kehidupan publik dan perilaku masyarakat, karena mampu mendorong perubahan menuju keseimbangan kekuasaan, kearifan dan keunggulan lokal atau daerah. Di samping itu, secara politis termasuk sangat cukup berkorelasi dengan kekuasaan, karena bisa mempengaruhi kreativitas politik masyarakat terhadap perubahan orientasi, strategi, dan kebijakan politik. Sehingga, pers dan kebudayaan seringkali dimanfaatkan berbagai pihak baik negara maupun kelompok di tengah masyarakat untuk kepentingan berbeda-beda.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, di singkat Orba yang berlangsung sejak 1968 hingga 1998 pers dengan media massa cetak maupun elekronik, dan kebudayaan dengan elemen seni, etnis dan agama seringkali dimanfaatkan sebagai pola strategis dalam mengkonstruksi legitimasi publik demi mencapai tujuan memenangkan persaingan di antara kelompok masyarakat untuk menandingi kekuatan negara. Sehingga, keberadaan pers dan kebudayaan seakan setali tiga uang, bagaikan terpenjara dan sangat terbatas. Bahkan, seringkali terjadi pembredelan media massa cetak dengan peristiwa berdarah yang disebut kisruh Malari, 15 Januari 1974. Sedikitnya, ketika itu tercatat selusin media massa cetak mengalami pembredelan atau pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Karena dianggap terlalu kritis terhadap kebijakan pemerintah. Di antaranya: Majalah Tempo, deTIK, dan Editor.
Namun, setelah presiden Soeharto lengser keprabon dan era reformasi mulai bergulir pers dan kebudayaan seakan mulai mendapatkan angin segar dan memasuki babak baru. Bahkan, presiden Habibie–sebagai pengganti Soeharto–melalui Menteri Penerangan, M. Yunus Yosfiah pada tahun 1998 menghapus SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers). Karena dianggap sebagai bentuk kebijakan represif pemerintah terhadap kebebasan pers dan perkembangan kebudayaan. Langkah bijak dan strategis dalam mencapai puncak kebebasan pers itu semakin diperkuat oleh presiden, KH Abdurahman Wahid dengan membubarkan Departemen Penerangan.
Reformasi dan Demokrasi
Kemudian pers mendadak berkembang pesat bagaikan jamur di musim hujan dan ratusan media massa cetak maupun eletronik bermunculan dengan beragam informasi beritanya. Mulai masalah terkait SARA hingga pribadi semakin tumbuh subur sebagai konsumsi masyarakat publik. Di samping itu, beragam perubahan secara perlahan mulai terjadi di tengah masyarakat. Persoalan mulai keagamaan, sosial budaya, sosiologis, historis, politik, hingga gender seakan mendapat angin segar menuju perubahan dan membuka diskursus pluralistik, yang mengarahkan pemberdayaan masyarakat bersifat partisipatif. Karena masyarakat dapat berkreativitas kebudayaan tanpa harus “menghegemoni” kelompok lain yang sangat heterogen, namun saling bersinergis dalam keanekaragaman.
Sayangnya, kebebasan pers kemudian menciptakan “ironi demokratisasi” yang mengakibatkan terjadinya konglomerasi media massa cetak yang hanya berpihak terhadap kepentingan ekspansi dan akumulasi modal segelintir pengusaha. Bahkan, dalam pandangan Agus Sudibyo bahwa kejatuhan presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai akibat dari “ironi demokratisasi” terhadap kebebasan pers yang kebablasan. Menurutnya, media massa cetak terkesan kurang proporsional dalam memberi ruang terbuka terkait pendapat, perspektif, dan klaim yang muncul tentang kepemimpinan Gus Dur.
Hal senada juga diungkapkan oleh, Atmakusumah, yang mengatakan kemunduran citra pers di era tahun 2004, disebabkan oleh empat faktor, yakni: pertama, tekanan fisik dan serangan terhadap media pers dengan adanya demontrasi massa di kantor perusahaan pers; kedua, terbunuhnya juru kamera TVRI, Mohamad Jamaluddin, dalam konflik bersenjata di Aceh yang penyebab kematiannya tidak jelas; ketiga, penyanderaan dua wartawan RCTI, Ersa Siregar dan Fery Santoro, oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Fery kemudiaan dibebaskan, tetapi Ersa tewas dalam tembak menembak antara GAM dan Tentara Nasional Indonesia; dan keempat, larangan atau hambatan dari pejabat militer bagi wartawan dalam dan luar negeri untuk meliputi wilayah konflik bersenjata di Aceh.
PKB Dalam Konstruksi Media Massa: Antara Teks, Konteks, dan Realitas Selengkapnya
by admin | Aug 29, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Ni Luh Desi In Diana Sari
Pemilihan warna adalah merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam menentukan respon dari calon pemakai. Warna adalah hal yang pertama dilihat oleh seseorang (terutama warna background). Warna akan membuat kesan atau mood untuk keseluruhan gambar atau grafis, warna meruapkan unsur penting dalam grafis karena dapat memberikan dampak psikologis kepada orang yang melihat. Warna mampu memberikan sugesti yang mendalam kepada manusia.
Dalam komunikasi grafis penggunaan warna perlu disusun dan ditata secara tepat sehingga menimbulkan suasana mempengaruhi luas kehidupan manusia sekaligus sebagai lambang psikologis. Warna juga bersifat case sensitif meskipun secara universal penggunaan warna – warna dibidang komunikasi grafis telah diakui namun warna erat kaitannya dengan latar belakang budaya sebuah bangsa atau komunitas tertentu yang mungkin memberikan penilaian berbeda untuk penggunaan warna – warna yang berbeda. Sebagai contoh, warna merah jangan digunakan untuk kemasan produk yang dijual di saudi Arabia karena nilai budaya setempat meyakini bahwa warna merah adalah haram karena identik dengan darah.
Untuk mencapai desain warna yang efekif bisa dimulai dengan memilih warna bisa mempresentasikan tujuan daripada media komunikasi grafis yang dibuat. Pallet warna yang dibuat sebaiknya cocok dengan tujuan atau pesan yang ingin disampaikan. Sebagaimana misalnya anda ingin mendesain media grafis untuk anak – anak TK, maka ada baiknya anda memilih warna – warna cerah untuk membuat suasana ceria. Sementara untuk membuat situs komunitas dapat dipergunakan warna – warna hangat agar menimbulkan suasana yang lebih santai. Sebaliknya jika anda bermaksud untuk menonjolkan penyajian informasi, dimana content akan mendominasi, maka sebaiknya dipergunakan warna – warna sederhana dan tidak mengganggu. Misalnya, jangan menggunakan background kembang – kembang dengan warna yang mencolok.
Dalam sebuah desain, komposisi warna sangat penting. Komposisi berarti to compose, yang berarti mengarang, menyusun, atau mengubah. Johannes Itten dalam buku The Elements of Color 1970 pada halaman 91 menyatakan : “To compose in color means to juxtapose two or more colors in such away that they jointly produce a distinc and distinctive exspression. The selection of hues, their realtives situation, their locations, and orientations, within the composisition their configurations or simultaneousley pattern their extensions and their contrast relationshipare decesive factors of expression.”
Artinya, Efek sebuah warna dalam komposisinya ditentukan oleh situasi karena warna selalu dilihat dalam hubungannya dengan lingkungannya. Warna yang dikeluarkan dari lingkarannya akan memiliki kekuatan sendiri. Kualitas dan kuantitas keluasaannya merupakan faktor yang sangat menunjang. (Pujiriyanto, 2005:43)
Warna selengkapnya
by admin | Aug 29, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Hendra Santosa, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
- 1. Zaman Prasejarah
Berdasarkan bukti-bukti prasejarah, Bali telah melalui beberapa tahapan zaman/kebudayaan. Pada zaman paleolitikum dengan bukti-bukti di daerah Sembiran dan Trunyan terdapat perkakas terbuat dari batu berupa kapak genggam batu yang buatannya masih kasar. Dari zaman batu kasar, berpindah pada zaman batu muda dengan peninggalan berupa kapak-kapak batu, beliung-beliung batu, yang telah dihaluskan, sekarang sebagian di simpan di musium Bali dan sebagian lagi di musium Jakarta. Peninggalan-peninggalan tersebut, tersebar hampir diseluruh Bali, seperti di Palasari, Kediri, Bantiran, Kerambitan, Payangan, Ubud, Pejeng, Salunglung, Kesiman, Selat, Nusa Penida, dan beberapa desa di Bali Utara Soekmano, Sejarah Kebudayaan Indonesia II, (Yoyakarta). Zaman batu Muda ini menurut para ahli sejarah kemungkinan telah berkembang di Bali antara 2000 sampai 3000 tahun sebelum Masehi (Soekmano. Sejarah Kebudayaan Indonesia II, (Yoyakarta),.
Zaman perunggu di Bali terjadi beberapa abad sebelum masehi dengan ditemukannya seni menuangkan logam atau disebut dengan kebudayaan Dongson yaitu sebuah kebudayaan yang berkembang dari daerah Tongkin di Indo Cina. Bukti-bukti peninggalan kebudayaan Dongson, misalnya di beberapa tempat ditemukan kapak-kapak, beliung yang terbuat dari perunggu. Bukti lainnya adalah peti mati terbuat dari batu yang dinamakan sokarpagus ditemukan di daerah Gilimanuk, Tabanan, dan Gianyar. Pada zaman Dongson ada cara menyimpan mayat dalam batu yang sama sekali bukan sebagai pengaruh Hindu. Caranya, mayat terlebih dahulu dikecilkan dan disimpan di dalamnya, kemudian dimasukan benda-benda dari perunggu, manik-manik, kain-kain, dan piring-piring yang bergambar.
Alur Perkembangan Kebudayaan Bali I, Selengkapnya
by admin | Aug 29, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Hendra Santosa, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
Sejarah world music sendiri menurut literatur – diawali tahun 1889 tatkala Achille Claude Debussy, atau yang lebih dikenal sebagai Claude Debussy sebagai komposer terkemuka dunia, memboyong rombongan gamelan Jawa. Mereka didatangkan langsung dari Yogyakarta, lewat laut (!) untuk meramaikan perayaan 100 tahun Revolusi Perancis. Kemudian pada 1900, giliran rombongan Gamelan Bali yang didatangkan langsung ke Paris, juga oleh Debussy. Pada masa itu, mulailah dikenal sebagai apa yang disebut sebagai non-western music. Dan hasil penampilan Gamelan Jawa dan Bali tersebut, memang menghebohkan dan sangat mengejutkan
Hal yang sama juga dilakukan Guruh Soekarno, yang di ujung tahun 1975 menggamit Gipsy Band yang bermarkas di Jl. Pegangsaan, untuk berlatih memadukan gamelan Bali dengan musik rock. Sebelumnya Guruh memang telah belajar musik dan gamelan Bali pada Kompiang Raka, instruktur kesenian Bali Saraswati yang markas latihannya ada di Taman Ismail Marzuki, “Waktu itu Guruh masih sekolah di SMA Cikini, dia belajar kesenian Bali secara intens. Saya kira, jika orang mau serius melakukan eksplorasi seni di jenis kesenian yang berbeda, maka ia memang harus mengetahui secara mendalam kesenian yang berbeda itu. Guruh menguasai musik Barat sama baiknya dengan penguasaannya pada budaya Bali. Jadi tatkala ia membawa repertoar baru Chopin Larung, Geger Gelgel, Barong Gundah dan lain-lain itu, orang nggak lagi meragukan kapasitasnya sebagai seniman. Istilahnya, bisa dipertanggung-jawabkan hasilnya, “ pendapat Kompiang Raka. Guruh Soekarno menyetujui pendapat itu, “Minimal, saya telah punya dasar tentang kesenian Bali secara dalam dulu. Waktu kuliah di Belanda, saya juga membentuk komunitas kesenian Bali dan bermain bersama teman-teman di kampus maupun luar kampus, “ kata Guruh Soekarno.
Perkembangan World Musik selengkapnya
by admin | Aug 29, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Ni Luh Desi In Diana Sari
Selain peranya sebagai penyampai pesan komunikasi, huruf mempunyai dampak pada ruang dalam suatu layout dua dimensi.
Dalam menentukan jenis huruf dan ukuran yang cocok, perlu memahami beberapa hal berikut: Jenis huruf yang berbeda mempunyai ukuran yang berbeda walaupun menggunakan satuan ukuran yang sama (point).
Walaupun sudah disamakan ketinggian hurufnya dari baseline sampai capline secara manual (Tidak lagi menggunakan satuan point huruf masing – masing), namun secara optis tidak sama tinggi. Ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: x-height yang berbeda, beda tebal tipis (stem stroke & hairline stroke), Pengaruh optis dari serif (kait pada huruf) dan lain – lain. (Rustan, 2008:18)
Letter Spacing adalah jarak antar huruf atau karakter, sedangkan istilah kerning sebenarnya adalah pengaturan ruang atau jarak antara karakter yang satu dan yang lain dengan tujuan untuk meningkatkan keterbacaan. Sebaiknya semakin kecil ukuran huruf, jarak antara huruf semakin diperbesar, sebaliknya apabila ukuran huruf lebih besar dari ukuran normal, sebaiknya jarak antar hurufnya diperkecil.
Word spacing adalah jarak antarkata. Word spacing sebaiknya mengikuti letter spacing. Makin lebar letter spacing, word spacing sebaiknya semakin lebar pula. Word spacing harus diatur untuk menghindari terjadinya river.
Tipografi dalam Layout selengkapnya