by admin | Sep 16, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Wardizal, Dosen PS Seni Karawitan
Pantun Sebagai Teks Nyanyian
Didalam pertunjukan dendang, materi atau teks nyanyian pada umumnya berbentuk pantun, berwujud baris atau lirik (curahan perasaan) yang dikelompokkan menjadi bait, untaian atau kuplet. Berkaitan dengan pengertian pantun, Navis dalam bukunya Alam Terkembang Jadi Guru mengatakan:
Pantun, sama maknanya dengan umpama. Sepantun sama dengan seumpama, seperti yang ditemukan pula dalam bahasa Melayu yang sering menyebut kami sepantun anak itik, kasih ayam maka menjadi atau tuan sepantun kilat cermin dibalik gunung tampak jua (1984:233).
Zuber Usman dalam suatu diskusi pada seminar kesenian Minangkabau di Batusangkar (1970) mengatakan bahwa, pantun berasal dari kata petuntun (pa- tuntun = penuntun) yang artinya sama dengan umpama atau perumpamaan. Perubahan bunyi patuntun menjadi pantun adalah hal yang lazim dalam bahasa Minangkabau. Poerwodarminto dalam bukunya Kamus Umum Bahasa Indonesia mengatakan:
Pentun 1. sb. Sajak pendek, tiap-tiap kuplet biasanya empat baris (ab, ab) dan dua baris yang dahulu biasanya untuk tumpuan saja; 2. pribahasa sindiran; 3. jawab (pd. tuduhan) dan sebagainya; berpantun (pantunan): menyanyikan (membawakan) pantun bersahut-sahutan; memantuni; menyindir dengan pantun; memantunkan: mengarang pantun; mengatakan dan sebagainya dengan pantun; pemantun: pengarang pantun (1984:710).
Pantun terdiri dari beberapa baris dalam jumlah yang genap, dari dua baris sampai dua belas baris; separoh jumlah baris permulaan disebut sampiran, separoh berikutnya adalah isi pantun yang sesungguhnya. Fungsi sampiran adalah sebagai pengantar pada isi, bunyi, dan iramanya. Pantun yang sempurna adalah apabila sampirannya mengandung unsur tersebut.
Di samping berbentuk pantun, didapati juga teks nyanyian yang berbentuk talibun, yaitu karya puisi yang juga berwujud baris: enam, delapan, sepuluh dan seterusnya; biasanya dalam jumlah yang genap. Dapat dikatakan bersajak ab-ab untuk pantun yang berjumlah empat baris, abc-abc untuk yang enam baris dan abcd-abcd untuk pentun yang berjumlah delapan baris.
Daerah Perkembangan Kesenian Tradisional Minangkabau II
by admin | Sep 15, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Drs. I Wayan Sutha S, Dosen PS Seni Rupa Murni
Idiom estetik yang merupakan bagian dari topeng postmodernisme adalah:
Pastiche.
Pastiche adalah imitasi murni, tanpa pretensi apa-apa dan dalam karya seni merupakan suatu penyusunan elemen-elemen yang dipinjam dari perbagai pengarang atau seniman masa lalu, yang miskin orisinalitas dan merupakan salah satu bentuk imitasi yang tanpa beban kritik. Dalam prakteknya pastiche mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari kepingan sejarah, mencabutnya dari semangat zamannya dan menempatkan dalam konteks kekinian. Sebagai karya yang mengandung unsur-unsur pinjaman, mempunyai konotasi negatif sebagai praktek penciptaan yang miskin orisinalitas. Dalam pandangan Linda Hutcheon Pastiche mengimitasi karya masa lalu dalam kerangka menghargai dan mengapresiasinya yang merupakan bentuk imitasi murni, tanpa pretensi politis seperti parodi. Senada dengan pandangan Linda Hutcheon, adalah Umberto Eco Umberto Eco, di dalam Travels in Hyper-reality (Eco 1973:28) ia merupakan suatu “perang terhadap sejarah sebab, sejarah tidak dapat diulangi. Sejarah harus dibuat”.
Dengan demikian Pastiche dalam seni topeng mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari pelbagai keping sejarah, mencabut dari semangat zamannya dan menempatkannya dalam konteks masa kini. Lebih lanjut pastiche, mengutip Baudrillard, adalah titik balik sejarah. Sementara Fredrich Jameson secara metaforis menyebut pastiche sebagai penggunaan topeng sejarah, pengungkapan dalam bahasa yang telah mati. Pastiche adalah perang menentang kemajuan dan sejarah, sebab sejarah tak dapat diulangi namun sejarah harus dibuat dan teks pastiche mengimitasi teks-teks masa lalu, dalam rangka mengangkat dan mengapresiasikannya dan merupakan bentuk parodi terhadap sejarah “perang terhadap sejarah sebab, sejarah tidak dapat diulangi. Sejarah harus dibuat”.
Contoh wujud pastiche yang paling riil di Indonesia, contohnya adalah Taman Mini Indonesia Indah dengan rumah adat dan segala macam museum di dalamnya. Sedangkan dalam seni topeng idion estetika pastiche adalah pengukangan topeng-topeng tradisi dengan penyusunan elemen-elemen rupa yang dipinjam dari perbagai seniman masa lalu, yang miskin orisinalitas yang disertai mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari kepingan sejarah, dan mencabutnya dari semangat zamannya serta menempatkan dalam konteks kekinian. Pastiche adalah perang menentang kemajuan dan sejarah, sebab sejarah tak dapat diulangi namun sejarah harus dibuat. Topeng karya seniman Ida Bagus Anom ini mengunakan idiom estetika pastiche karena bentuk yang diungkapkan tidak berubah dari karya-karya yang terdahulu dan merupakan imitasi tanpa adanya olahan seni sehingga tidak tampak adanya kreativitas senimannya, sehingga terlihat miskin ide dan hanya merekonstruksi masa lalu, karena karya seni topeng yang diciptakan disusun dari elemen-elemen atau atribut yang dipinjam dari pelbagai sumber, pencipta, seniman, atau tukang dari masa lalu serta merupakan perulangan sejarah.
Bentuk-bentuk Topeng Postmodernisme karya Ida Bagus Anom I selengkapnya
by admin | Sep 14, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: I Wayan Ekalaksana Satia Guna, Mahasiswa PS Desain Interior
Batu cadas merupakan batuan alam yang menurut proses terjadinya digolongkan kedalam Batu Robohan/lempung, yaitu semacam batu lapisan yang terdiri dari bermacam mineral kontak, diantaranya adalah kuarsa, mika fesper, kapur, lempung. Menurut kekerasannya, batu cadas dikatagorikan sebagai batu lunak (4 kg/cm2 – 8 kg/cm2). Batu lunak ialah batu alam, yang mudah dapat digali dengan peralatan tangan. Juga bagian pecahan batu ini dapat dipatahkan dengan tangan. Batu lunak sudah mengalami pelapukan dan mengandung banyak retakan. Bentuk batu cadas ini masir kasar sedang/halus, biasa berlapis, memiliki berbagai macam warna, diantaranya adalah putih, kuning abu-abu, merah coklat, dan hijau/bercorak, biasa digunakan untuk bahan elemen banguna seperti tirai jendela dan pintu, juga konstruksi dan lain sebagainya (Heinz Frick,1999:69-70).
Bangunan-bangunan tradisional Bali yang terkenal banyak menggunakan batu-batuan alam seperti salah satu contohnya adalah batu cadas yang paling umum digunakan bersamaan dengan batu bata, lama kelamaan dapat menimbulkan keresahan akan dampak negatifnya terhadap lingkungan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena bahan utama pembuatan bangunan-bangunan Bali itu sendiri banyak yang diambil begitu saja dari alam yang terkadang tanpa memperhitungkan dampak untuk kedepannya.
Isu degradasi lingkungan yang sedang dialami oleh bumi kita ini, seperti yang dikatakan oleh Heinz Frick di dalam bukunya Ilmu Bahan Bangunan “Bumi tempat kita tinggal ini sudah tidak “sehat” seperti dulu lagi. Seiring dengan berkembangnya pembangunan secara ekologis maka timbul suatu pembaruan dibidang arsitektur dimana manusia menjadi pusatnya. Berdasarkan pada kerusakan pada alam sekitarnya dan kehilangan sumber kehidupan manusia secara global, maka kebutuhan dasar manusia berwawasan lingkungan harus disadari secara benar. Perkembangan peradaban dan pemanfaatan alam secara berlebihan menyebabkan kualitas hidup menjadi kurang. Pencemaran udara, pengotoran air minum, serta proses keracunan tanah menarik perhatian untuk kepentingan kehidupan manusia dan pengertian pembangunan secara ekologis”. Oleh karena itu salah satu cara yang mungkin dapat kita lakukan untuk dapat meminimalisir dampak tersebut ialah dengan menciptakan bahan pengganti yang dapat menjadi alternatif pilihan bahan, yaitu dengan memanfaatkan abu sisa pembakaran sekam untuk bahan campuran yang dapat memberikan kesan tekstur layaknya batu cadas. Inilah tugas utama desainer ialah membantu menciptakan sebuah dunia masa depan (Bryan lawson, 1980:119).
Penggunaan Abu Sekam Untuk Mendapatkan Tekstur Batu Cadas Alami, selengkapnya
by admin | Sep 14, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Drs. D.A. Tirta Ray, M.Si, dosen PS Seni Rupa Murni
Keberadaan topeng di Desa Mas tidak dapat dilepeskan dengan latar belakang topeng di Bali pada umumnya, dan dikaitkan dengan adanya Topeng di Blahbatuh, Gianyar . Namun sebelum membicarakan persoalan topeng perlu kiranya diketahui, seni pertunjukan mempergunakan topeng di Bali sudah berkembang sejak zaman pemrintahan Raja Jaya Pangus sekitar abad X. Dalam kumpulan prasasti Jaya Pangus ini sudah ditemui beberapa istilah-istilah seperti: atapukan yang artinya pertunjukan yang mempergunakan alat-alat penutup muka (topeng).
Di Pura penataran Blahbatuh, tersimpan topeng sebanyak 22 buah berasal dari Jawa dan Bali ke 22 buah topeng ini pada dasarnya merupakan tanda kemenangan Dalem Gelgel dalam menaklukan Kerajaan Balangbangan. Dalam Gelgel atau Dalem Waturenggong yang konon parasnya sangat tampan, disamping tampan beliau juga ”Bagus Aeng” sehingga sangat karismatik dalam kepeminpinannya. Untuk mendapatkan pasangan yang sepadan, maka beliau melamar seorang putri dari kerajaan Blambangan.
Setelah lamarannya diterima oleh Raja Blambangan, dalam tahap pengambilan keputusan, maka secara diam diam sang putri mengirim utusan ke Gelgel untuk meyakinkan seperti apasih Dalem Waturenggong itu sendiri. Maka diutuslah seorang tukang gambar untuk menggambar dalem waturenggong, namun sangat disayangkan entah apa yang ada dalam benak hati dari situkang gambar wajah ini berani membelot, sehingga wajah Dalem yang sangat tanpan dan gagah itu munculah wajah seorang raja yang sepertinya sedang sakit-sakitan. Akhrinya terjadilah persitegangan saat itu, Blambangan diserang habisdan dapat di taklukan sampai akhirnya, sebagai tanda bukti kemenangan kerajaan Gelgel bawalah beberpa buah Tapel / topeng yaitu topeng maha patih, putri cantik, dan lain sebagainya sebanyak 22 buah sebagai tanda menyerah dan Blambanan berada dibawah kekuasaan Raja Bali.
Selanjutnya topeng-topeng ini ditiru oleh beberapa seniman di Bali untuk dibuat kembali sebagai pelengkap tari-tarian yang berkaitan dengan upacara agama Hindu di Bali (Wawancara Dengan Ida Bagus Anom Tgl, 26 Juli 2009). Sedangkan untuk topeng di Desa Mas juga pada mulanya berawal dari tiruan topeng-topeng yang ada dan berkembang di Bali seperti seperti topeng barong, rangda, topeng panca, bondes, topeng wayang dan topeng sidekarya. Seperti halnya di atas dibuatnya berbagai jenis topeng di Desa Mas oleh para seniman tempo dulu juga bertujuan untuk kepentingan upacara agama Hindu. Namun setelah datangnya pengaruh asing terutama pada masa penjajahan Belanda kesenian di Bali secara umum dan keseniaan topeng pada khususnya juga mengalami perubahan, tidak semata-mata hanya untuk kepentingan upacara agama Hindu akan tetapi juga untuk kepentingan pariwisata.
Perkembangan Kerajinan Topeng Di Desa Mas, selengkapnya
by admin | Sep 13, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Hendra Santosa, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
1. Zaman Prasejarah
Berdasarkan bukti-bukti prasejarah, Bali telah melalui beberapa tahapan zaman/kebudayaan. Pada zaman paleolitikum dengan bukti-bukti di daerah Sembiran dan Trunyan terdapat perkakas terbuat dari batu berupa kapak genggam batu yang buatannya masih kasar. Dari zaman batu kasar, berpindah pada zaman batu muda dengan peninggalan berupa kapak-kapak batu, beliung-beliung batu, yang telah dihaluskan, sekarang sebagian di simpan di musium Bali dan sebagian lagi di musium Jakarta. Peninggalan-peninggalan tersebut, tersebar hampir diseluruh Bali, seperti di Palasari, Kediri, Bantiran, Kerambitan, Payangan, Ubud, Pejeng, Salunglung, Kesiman, Selat, Nusa Penida, dan beberapa desa di Bali Utara. Zaman batu Muda ini menurut para ahli sejarah kemungkinan telah berkembang di Bali antara 2000 sampai 3000 tahun sebelum Masehi.
Zaman perunggu di Bali terjadi beberapa abad sebelum masehi dengan ditemukannya seni menuangkan logam atau disebut dengan kebudayaan Dongson yaitu sebuah kebudayaan yang berkembang dari daerah Tongkin di Indo Cina. Bukti-bukti peninggalan kebudayaan Dongson, misalnya di beberapa tempat ditemukan kapak-kapak, beliung yang terbuat dari perunggu. Bukti lainnya adalah peti mati terbuat dari batu yang dinamakan sokarpagus ditemukan di daerah Gilimanuk, Tabanan, dan Gianyar. Pada zaman Dongson ada cara menyimpan mayat dalam batu yang sama sekali bukan sebagai pengaruh Hindu. Caranya, mayat terlebih dahulu dikecilkan dan disimpan di dalamnya, kemudian dimasukan benda-benda dari perunggu, manik-manik, kain-kain, dan piring-piring yang bergambar.
Alur Perkembangan Kebudayaan Bali I, selengkapnya
by admin | Sep 13, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Drs. I Wayan Sutha S
Drs. D.A. Tirta Ray, M.Si
Abstrak Penelitian.
Dibiayai Oleh Dipa ISI Tahun 2009 Direktorat Pendidikan Tinggi Depertaman Pendidikan Nasional, Dengan Surat Perjanjiaan Nomor:109/I.5.2/PG2009
Topeng merupakan hasil budaya masyarakat yang berkembang menjadi suatu bentuk karya seni sebagai sarana ritual upacara keagamaan/kepercayaan dan sarana keseniaan yang mempunyai tukuan estetis. Topeng dalam perjalanannya dipengaruhi oleh perkembangan dinamika kehidupan global yang sangat cepat dan kompleks dengan ditandainya oleh mobilitas yang tinggi oleh sekelompok masyarakat antar bangsa. Hal ini mengakibatkan pertukaran informasi secara luas dan cepat, sekaligus terjadinya proses transformasi budaya. Salah satu wujud dari transformasi budaya adalah terbentuknya bermacam-macam gaya hidup baru, dimana gaya hidup tersebut diinterpretasikan ke dalam bentuk seni topeng yang sifatnya komersial. Salah satu gaya seni topeng yang sedang berkembang adalah gaya neo vernakuler, yaitu suatu gaya dari faham postmodern yang menerapkan ide-ide, nilai-nilai atau gagasan-gagasan budaya dari suatu negara atau kawasan yang diasimilasikan dengan rancangan baru.
Dalam proses perkembangan tersebut, para kritisi seni topeng larut dalam perbedaan menggali budaya tradisi demi menemukan bentuk topeng yang berpijak dan berakar di daerah sendiri. Untuk pertama kalinya sebutan “Topeng Pop Art” dengan mengacu pada karya-karya tradisi, bersamaan dengan itu, muncul sebutan topeng postmodern, masa perkembangan topeng modern pembaharuan oleh beberapa seniman topeng yang sering mendapatkan pesanan dari luar negeri. Sebagai gerakan baru, kiranya lebih tepat disebut gerakan postmodern, sekaligus sebagai seni topeng sekuler.
Penelitian ini mengambil kasus fenomena perubahan fungsi dan bentuk topeng tradisional menjadi sebuah topeng postmodern dengan idiom-idiom estetikanya postmodernisme sebagai hiasan yang dikerjakan oleh seniman topeng Ida Bagus Anom asal Desa MAs. Tujuan penulisan ini antara lain adalah untuk mengetahui latar belakang perubahan yang topeng tradisional menuju postmodern. Penulisan dilakukan dengan cara memaparkan unsur-unsur yang berubah, tetap atau baru pada topeng trasisioanal yang berkembang menjadi topeng yang mengandung nilai-nilai postmodernisme yang sifatnya komersial. Selain itu penelitian didukung dengan melakukan studi komparasif pada pengembangan artefak tradisional lain dan jenis-jenis pola perubahannya sebagai ilustrasi peta perubahan dan pengembangan artefak tradisional yang ada.