by admin | Sep 23, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Alit Widusaka, Dosen PS Fotografi
Fotografi
Dunia fotografi saat ini sudah tidak asing lagi keberadaannya di kalangan masyarakat pada umumnya. Dari anak kecil, remaja bahkan orang tua mampu mendokumentasikan setiap peristiwa yang hadir dalam keseharian mereka. Banyaknya media perekam dari berbagai jenis dan merek semakin memudahkan mengenal dunia fotografi. Secara umum pengertian fotografi adalah seni dan proses penghasilan gambar dengan cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan (Giwanda, 2002: 13). Kalau dalam seni lukis menggunakan media kuas dan cat, sedangkan dalam fotografi menggunakan kamera dan cahaya untuk menghasilkan karya. Jadi pada prinsipnya antara seni lukis dan fotografi memeliki persamaan. Istilah fotografi berasal dari bahasa latin, yakni photos yang berarti cahaya atau sinar, sedangkan graphos yang berarti menulis atau melukis. Jadi arti sebenarnya dari fotografi adalah proses dan seni pembuatan gambar (melukis dengan sinar atau cahaya) pada sebuah bidang film atau permukaan yang dipekakan. Gambar yang dihasilkan diharapkan sama seperti aslinya, hanya dalam ukurannya yag jauh lebih kecil (Nugroho, 2006: 250).
Melihat pengertian tersebut terlihat ada persamaan antara fotografi dengan karya seni lukis atau menggambar. Perbedaannya pada media yang digunakannya. Bila dalam seni lukis yang dipakai gambar dengan menggunakan media warna (cat), kuas dan kanvas. Sedangkan dalam fotografi menggunakan cahaya yang dihasilkan lewat kamera. Tanpa adanya cahaya yang masuk dan terekam dalam kamera, sebuah karya seni fotografi tidak akan tercipta. Ada dua istilah dalam fotografi dewasa ini yaitu seni fotografi dan fotografi seni. Penggunaan istilah ini sering rancu, padahal masing-masing istilah tersebut memiliki perbedaan.
Seni fotografi adalah suatu keahlian dalam bidang fotografi, sama makna seperti pengertian seni bela diri, seni drama, dan lain-lain yang enunjukkan suatu keahlian khusus dalam bidang tertentu. Fotografi seni adalah suatu karya foto yang memiliki nilai estetik dan artistic baik dari tataran ideasioalnya maupun dari teknikalnya (bebas dari fungsional). Dari uraian tersebut, maka seni fotografi adalah suatu pengetahuan teknik atau keahlian dalam pengambilan objek tertentu dengan menggunakan media kamera dan cahaya. Sedangkan foto seni adalah hasil karya visual yang memiliki nilai seni dan keindahan baik teknik, ide maupun konsep yang mendasarinya. Sejak ditemukannya teknologi fotografi yang mampu merekam objek secara realistic oleh Louis Jacques Mande Daugerre pada tahun 1839 fotografi terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan dengan penemuan berbagai teknologi fotografi.
Fotografi dan Imajinasi Selengkapnya
by admin | Sep 22, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Drs. I Nyoman Wiwana, dosen PS Seni Rupa Murni
Estetika (aesthetics) menurut Dickie berasal dari kata aisthesis dalam bahasa Yunani yang dapat diartikan sebagai rasa nikmat indah yang timbul melalui pencerapan panca indra (Djelantik, 1999: 5).
Selanjutnya Djelantik, dalam buku Teori Estetikan menyatakan unsur-unsur dasar estetika dapat dimanfaatkan untuk mengkaji tentang keberadaan dari seni. Struktur dalam karya seni mengangkat aspek keseluruhan dari karya. Struktur mengandung arti pengorganisasian, pengaturan, ada hubungan saling terkait antara bagian-bagian secara keseluruhan. Dalam struktur karya seni sedikitnya ada tiga unsur yang mendasar yaitu keutuhan (unity), penonjolan (dominance), dan keseimbangan (balance). Rasa keseimbangan inilah yang paling mudah dicapai dalam berkarya seni dengan jalan menyusun komposisi yang simetris (Djelantik, 1990: 32).
Sesuai teori estetika seperti disebukan di atas, seni lukis prasi sebagai buah karya manusia yang tiada lain bertujuan untuk memberikan kepuasan bagi diri seniman dan orang lain, niscaya memiliki nilai estetis. Nilai aestetis seni lukis prasi berawal dari pemenuhan unsur dasar kesenirupan, seperti garis, bidang, bentuk, tekstur, dan warna, yang disusun (dikomposisikan) secara proporsional sehingga tercapai keseimbangan (balance).
Seni lukis prasi pada dasarnya merupakan hasil kretivitas seniman, sebagai hasil olah rasa, cipta, dan karsa, untuk memenuhi kebutuhan batin, rasa senang dan bahagia. Suatu kesenian yang bersumber dari filsafat dan sastra agama. Sebagai karya yang berfungsi memberi tuntunan, dan pembelajaran terhadap masyarakat. Demikian kesenian tradsi, termasuk seni lukis prasi, terdapat muatan estetik yang dijiwai oleh nilai-nilai budaya yang luhur.
Estetika seni lukis prasi, selain untuk menyenangkan hati masyarakat penonton, juga bersifat mendidik dengan dipilihnya cerita-cerita kepahlawanan, kesetiaan, dan kejujuran yang dikemas dalam cerita pewayangan. Dengan demikian, kesenian ini diharapkan tidak saja dapat membangkitkan rasa senang (estetis) bagi pelaku dan penikmatnya, tetapi yang lebih penting lagi adalah meningkatkan kesadaran masyarakat.
Manusia di dalam kehidupannya sehari-hari sesungguhnya tidak terlepas dari kesenian, karena dimanapun dia berada sesungguhnya dia sedang dikelilingi oleh benda-benda yang bernilai seni. Tentu saja hal ini harus diartikan apabila mereka mengkonsepkan dan memandang benda-benda yang ada disekitarnya adalah merupakan karya seni yang dapat memberikan rasa estetis ketika dia sedang menikmatinya. Seni lukis prasi misalnya, menawarkan bentuk-bentuk visual tertapi sarat deangan filosofis kehidupan, yang menjadikannya seni yang sangat berguna.
Estetika Seni Prasi Selengkapnya
by admin | Sep 22, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Drs. I Wayan Sutha S, Dosen PS Seni Rupa Murni
Kitsch
Kitsch berakar dari bahasa Jerman verkitschen (membuat jadi murahan) dan kitschen, yang secara literal berarti memungut sampah dari jalan. Oleh sebab itu, istilah kitsch sering ditafsirkan sebagai sampah artistik, atau juga didefinisikan sebagai selera rendah. Di dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms (1990), kitsch didefinisikan sebagai segala jenis seni palsu (pseudo art) yang murahan dan tanpa selera. Dikatakan sebagai selera rendah disebabkan karena lemahnya ukuran atau kriteria estetik, meskipun kriteria ini berbeda dari satu zaman dan tempat ke zaman dan tempat lainnya. Merumuskan kitsch (dalam kaitannya dengan gaya dalam seni topeng) bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa pendapat tentang gaya Kitsch ini. Di antaranya adalah dari John Waters Dictionaries. Bahwa definisi dari kitsch adalah gaya pop yang terlihat sentimental dan kurang berharga/murahan. Kitsch dikategorikan sebagai seni rendahan atau tidak ada unsur seni sama sekali di dalamnya. Tetapi kitsch dan seni tidak bertentangan, tetapi mendukung keberadaan satu sama lainnya.
Dalam kamus Word Refference dikatakan bahwa kitsch adalah gaya yang bercita rasa buruk, vulgar dan semu. Wededkind berpendapat bahwa kitsch adalah gaya kontemporer yang terinspirasi dari gaya Gothik, Rococo dan Barok. Bahwa kitsch menurutnya adalah seni yang ironi dan harfiah. Dapat dikatakan bahwa topeng bergaya kitsch adalah topeng yang dibuat inklusive, massal, dan kurang estetis. Produk bergaya kitsch bisa saja dari material mahal tetapi citra yang dihasilkan adalah murahan. Tapi kitsch memiliki kemampuan untuk menarik perhatian pada pengamat. Entah itu membuat pengamat tertarik atau malah membencinya. Jadi kitsch jelas memiliki keunikan.
Bagaimana pun soal rasa adalah hal yang subyektif. Barang yang dianggap bergaya kitsch di suatu tempat bisa menjadi gaya lain di negara lain. Di Prancis gaya kitsch mengandung unsur provokatif, sedang di Inggris gaya kitsch harus mengandung unsur kemewahan. Perhatikan topeng di bawah ini. Rambutnya bukan dari rambut asli. Tapi dari bahan benang sutra yang diwarna menyerupai rambut manusia. Dan bertahan hanya beberapa tahun saja, material murahan dan fungsi yang kurang baik.
Bentuk-bentuk Topeng Postmodernisme karya Ida Bagus Anom II, Selengkapnya
by admin | Sep 20, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Drs. I Nyoman Wiwana, dosen PS Seni Rupa Murni
Peralatan
Segala sesuatu yang ingin dibuat, diadakan sudah tentu memerluka peralatan untuk mewujudkannya. Demikian halnya dengan pembuatan seni lukis prasi menggunakan alat yang kalau dicermati masih sngat tradisional. Peralatan melukis prasi, khususnya sesuai dengan hasil pengamatan dilapangan tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Demikian pula bila dibandingkan dari beberapa tempat yang membuat lukisan prasi, hanya penamaan yang mungkin berbeda, tapi bentuk dan fungsinya sama.
Alat untuk melubangi lontar disebut inra di Tenganan Pegringsingan, dan Jempurit di Sidemen dan sekitarnya. Indra atau jempurit terbuat dari kawat baja berdiameter 4 mm. Kawat dipotong tajam berbentuk huruf v. Kemudian ujung yang berbentuk huruf v ditempelkan pada lontar yang akan dilubang, dengan memutar seperti jangka, sampai lubang terbentuk dengan sempurna. Lubang digunakan khusus untuk lontar yang memakai tali. Sedangkan lontar yang tidak memakai tali tidak perlu diberi lubang. Jumlah lubang disesuaikan, untuk lontar ukuran panjang diberi tiga lubang, yaitu pada ujung kiri dan kanan serta di tengah. Sedang lontar yang ukuran kecil cukup diberi dua lubang pada ujung-ujungnya.
Alat pres, seperti tampak pada foto di bawah, yang terbuat dari balok-balok kayu disebut Blagbag. Fungsinya disamping untuk mengencangkan lembaran-lembaran lontar, juga sebagai alat menyimpan lontar yang belum ditulisi. Ukuran alat disesuaikan dengan ukuran daun lontar.
Dengan alat yang sederhana ini permukaan daun lontar akan selalu terjaga. Pada foto kelihatan lontar yang disimpan pada alat tersebut. Terlihat sangat sederhana (tradisional), tetapi sangat epektif, bisa digunakan berulang kali, menyimpan dalam jumlah banyak mupun sedikit.
Selanjutnya, peralatan menulis menggunakan pisau khusus yang disebut Mutik atau Pangrupak. Mutik atau Pangrupak digunakan untuk menggabar dengan membuat torehan di atas daun lontar. Alat tersebut juga merupakan penentu dari mutu karya yang dihasilkan. Jika diperhatikan alat tersebut juga memiki ragam bentuk dan ukuran sesuai kegunaan.
Proses Pembuatan Prasi II selengkapnya
by admin | Sep 18, 2010 | Artikel, Berita
Oleh Drs. I Nyoman Wiwana, dosen PS Seni Rupa Murni
Seni lukis prasi merupakan salah satu karya seni rupa tradisional Bali, termasuk warisan budaya nenek moyang yang memiliki nilai estetika tinggi dan mempunyai karakteristik tersendiri. Bahan dasar terbuat dari daun lontar yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan. Seni lukis prasi yang terbuat dari daun lontar dengan gambar ilustrasi wayang di dalamnya, merupakan transpormasi dari naskah/kitab sastra, seeperti: kakawin, kidung dan sebagainya, yang ditulis atau digambar dengan menggunakan pisau khusus yang disebut pangrupak.
Untuk menyingkap rahasia maupun kekhususan dari cara pembuatan lukisan prasi, harus dikaji dan dicermati proses keseluruhan, mulai dari menyiapkan/pengolahan bahan baku, peralatan yang dipakai, teknik menulis pada daun lontar (teknik menggambar)penulisan sampai pewarnaannya.
Pengolahan Bahan
Bahan utama sebagai dasar untuk membuat gambar prasi adalah daun lontar. Istilah lontar dan rontal di Bali umumnya disamakan. Lontar adalah bentuk metatesis dari kata rontal. Kata rontal terdiri dari dua patah kata, yaitu ron dan tal. Kata ron dan tal itu termasuk bahasa Jawa Kuna yang diperkirakan sudah ada sebelum jaman Raja Balitung, awal abad ke-10. Ron artinya daun, dan tal artinya pohon. Kata rontal dan lontar itu sudah menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia umum (Suwidja, 1979:1).
Dengan begitu, sebutan daun rontal dipakai untuk menyebut daun dari pihon lontar yang sebelum dipergunakan sebagai bahan tulis. Sedang setelah ia dipakai sebagai bahan tulis seperti tulisan naskah kakawin, kidung, dan gegambaran, maka ia disebut lontar. Maka muncul pula nama atau istilah yang memakai kata “Pustaka Lontar” maupun “budaya lontar”.
Untuk mengenal lebih dekat tentang bahan baku khususnya lontar di Bali, sebaiknya terlebih dahulu diketahui tentang daun lontar itu sendiri. Daun rontal sebagai bahan baku utama seni lukis prasi dihasilkan oleh pohon rontal (barrosus sundaicus), termasuk keluarga palma (palmacase) Pohon ini tumbuh di daerah tropis dengan keadaan tanah yang kering serta curah hujan yang rendah/jarang (Suwidja, 1979:2).
Kabupaten Karangasem yang terletak paling Timur pulau Bali, yang merupakan kabupaten mewilayahi lokasi penelitian ini mempunyai karakteristik seperti yang disebutkan di atas, yaitu musim kemaraunya panjang, banyak lahan yang mengalami kekeringan dan tandus. Di wilayah kabupaten Karangasem, ada dua kecamatan, yaitu kecamatan Abang dan kecamatan Kubu, yang memiliki lahan tanaman pohon rontal yang persebarannya cukup luas. Hampir semua desa-desa yang wilayahnya berbatasan dengan kedua wilayah kecamatan tersebut banyak tumbuh pohon lontar. Di antaranya, desa Datah, kecamatan Abang dan desa Kubu serta desa Tianyar yang merupakan wilayah perbatasan antara kabupaten Karangasem dengan kabupaten Buleleng. Di wilayah desa tersebut, didominasi oleh jenis tumbuhan pohon rontal dibandingkan dengan jenis tumbuhan yang lainnya. Tumbuhnya pohon rontal secara liar, tumbuh dengan sendirinya tanpa melalui pembudidayaan. Daun rontal, biasanya dijual ke tempat-tempat pembuatan seni lukis prasi oleh penduduk desa penghasil daun rontal. Salah satu di antaranya adalah desa Tenganan Pegringsingan, yang dipilih jadi lokasi penelitian ini.
Proses Pembuatan Prasi I selengkapnya
by admin | Sep 17, 2010 | Artikel, Berita
Oleh: Hendra Santosa, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar
3. P’oli dari Berita-berita Cina
a. Berita-berita Cina Tentang Bali
Menurut berita-berita Cina, pulau Bali dikenal dengan nama P’oli. Walaupun ada beberapa perdebatan mengenai letak P’oli. Sebagian ahli sejarah menganggap bahwa P’oli adalah Aceh karena disana ada kerajaan Dalem Puri, Kedua menganggap P’oli adalah Kalimantan karena lebar pulau yang disebutkan tidak sebanding dengan Bali, serta di Kalimantan ada kerajaan Puni. Penulis menganggap bahwa P’oli itu sama dengan Bali menurut letaknya di sebelah timur Jawa dan hingga saat ini untuk menyebut tempat tinggal para raja dinamakan dengan puri.
Menurut berita Cina, P’oli adalah sebuah pulau yang berada di sebelah tenggara Kanton, dengan rajanya Kaundinya (seorang mahaguru). Pada abad III raja Champa bernama Houn Tien (Kaundinya) sebagai raja pertama dari negeri itu yang mengirim utusan dagang. Keluarga Kaundinya itu terkenal sebagai Saila Raja atau dalam bahasa Cinanya sebagai Fu-nan. Mungkin sekali keluarga Raja ini yang memerintah di P’oli.
Pada abad V, Bali telah mendapat pengaruh agama Budha. O.W. Wolters mengungkapkan seperti yang diuraikan dalam cerita tambo dari dinasti Chi Selatan (479-502), disebutkan tentang kapal-kapal dari Kun-lun yaitu sebutan bagi orang-orang Indonesia, bahwa tidak semua utusan-utusan yang datang ke Cina itu berkaitan dengan perdagangan saja. Pada tahun 430 Masehi telah datang utusan dari negeri Tan-tan dan P’oli yang menyampaikan surat-surat berisi pujian terhadap kaisar karena jasanya dalam penyebaran agama Budha.
Alur Perkembangan Kebudayaan Bali III selengkapnya